Minggu, 26 Mei 2013

BERSERAH DIRI: The Trilogy 11

BERSERAH DIRI: The Trilogy 11: The Trilogy 11 SHALAT البـســــــــــم اللّهِ الرَحـمن الرَحَـــــــــــيم " Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sha...

The Trilogy 11

The Trilogy 11
SHALAT



البـســــــــــم اللّهِ الرَحـمن الرَحَـــــــــــيم




"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, ......." (QS 4:43)

Belum lagi dengan syarat sah-nya shalat, yaitu suci diri, pakaian dan tempat.

Dan sebuah kalimat yang dibaca dalam shalat, ......sesungguhnya shalat-ku, ibadah-ku, hidup dan mati-ku semata-mata adalah karena dan untuk Allah Tuhan semesta alam, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslimin).

Dan kesemuanya itu, kita akan melihatnya sebagai yang saling berhubungan erat dan saling berkaitan........

Suci yaitu bersih lahir-bathin pada diri, pakaian dan tempat saat melakukan shalat.... 

Suci lahir (nyata dan kelihatan) pada diri, pakaian dan tempat adalah ditujukan pada kebersihan dari kekotoran atau najis.

Sedangkan suci bathin (yang tak kelihatan) adalah ditujukan pada hati dan pikiran yang bersih dari keinginan selain kepada Allah semata. Begitupun pada pakaian dan tempat yang bersih karena dan untuk Allah semata.... Jangan pakaian indah-mu yang digunakan untuk shalat membuat riya atau bangga, dan jangan karena shalat di tempat atau masjid aku ato masjid si-anu pun membuatmu lengah dari semata hanya karena Allah.

Janganlah kehidupan dunia memabukkan dirimu dari mencintai Allah semata.

MABUK yang dimaksud Allah bukan hanya karena narkoba atau minuman keras, melainkan juga seperti mabuk CINTA, mabuk JABATAN, mabuk KEKUASAAN, mabuk HARTA, serta MABUK kehidupan dunia lainnya yang dapat melengahkan kamu sehingga tak memahami apa yang kamu ucapkan dalam bacaan shalat-mu. (Janganlah kamu mengikuti dan mengerjakan apa yang tidak kamu pahami, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati akan diminta pertanggung jawaban).

Semoga Allah memberikan karunia kepada kita semua dalam memahami maksud dan tujuan dari setiap petunjuk yang merupakan kehendak-Nya agar kita tak tersesat di dalam menempuh Jalan-NYA...... amiiin.

BERSERAH DIRI: PASANGAN SEGALA SESUATU

BERSERAH DIRI: PASANGAN SEGALA SESUATU: PASANGAN SEGALA SESUATU Duhai teman terkasih-ku, Mengapa kau amat benci kepada yang pahit, dan hanya mengharapkan yang manis saja...

PASANGAN SEGALA SESUATU



PASANGAN SEGALA SESUATU


Duhai teman terkasih-ku,
Mengapa kau amat benci kepada yang pahit, dan hanya mengharapkan yang manis saja ??
Teramat bahagia ketika kebaikan datang, dan menolak bahkan memaki bila yang datang kepada-mu adalah keburukan ??


Renungkanlah teman.....

Dapatkah kau merasakan nikmatnya yang manis, tanpa pernah merasakan yang pahit ??
Dapatkah kau merasakan nikmatnya kebaikan, tanpa pernah merasakan keburukan ??
Bagaimanakah rasanya bila matahari bersinar terus sepanjang hari tanpa digantikan oleh malam, bila hanya siang yang kau sukai ??


Menjadi adakah nikmat-nya siang bagimu ?? 

Atau kau yang hanya menyukai malam, adakah nikmatnya malam, bila tak pernah menjumpai siang ??

Sesungguhnya, manis dan pahit adalah NIKMAT dari rahmat Tuhan-mu untuk kau syukuri...
Begitu pula kebaikan dan keburukan, serta siang dan malam.... juga segala macam pasangan yang datang dalam hidupmu, apakah itu kebahagiaan ataupun kesedihan, kecukupan dan kekurangan.... yang semuanya sesungguhnya adalah NIKMAT dari rahmat Tuhan-mu. 


Sehingga apa-apa yang kau temui dan rasakan sesungguhnya adalah FANA.... Sebab itu janganlah berlebihan dalam mencintai segala sesuatu, sehingga melupakan atau menolak kebencian yang pasti akan hadir menemui-mu pula.....

Begitu kita telah memahami ini, maka kita akan lebih arif dan bijaksana dalam hidup di kehidupan ini..... bahkan terhadap menyikapi iblis dan setan penguasa kegelapan, sehingga tak lagi kita mengutuk dan mengumpatnya.... karena kita telah mengetahui dan memahami hakikat sejati kehidupan. 

GELAP dan TERANG sama-sama sebagai yang dibutuhkan dalam kehidupan ini. Sebab itulah Allah ciptakan keduanya sebagai pelengkap kehidupan bagi kemanusiaan.

Jumat, 24 Mei 2013

BERSERAH DIRI: MENEGUHKAN KEMBALI KEIMANAN

BERSERAH DIRI: MENEGUHKAN KEMBALI KEIMANAN: BAGIAN 1 MENEGUHKAN  KEYAKINAN (IMAN) Kembali meneguhkan keimanan menuju agama yang diridhai-Nya sebagai upaya perbaikan kehidupan ...

MENEGUHKAN KEMBALI KEIMANAN



BAGIAN 1
MENEGUHKAN  KEYAKINAN (IMAN)
Kembali meneguhkan keimanan menuju agama yang diridhai-Nya sebagai upaya perbaikan kehidupan yang lurus dan menuju pada keselamatan sejati.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).”
(QS 16:102)
A
dalah naif, bila diri yang belum memahami jati dirinya tetapi kemudian serta merta dihadapkan pada tuntutan akan kokohnya rasa keimanan, dimana pokok bahasannya adalah keyakinan. Sedangkan keimanan merupakan rasa bathin yang amat kuat mengikat pada ‘sesuatu’ yang tak tampak dan terasa oleh indera, yaitu masih ghaib, sehingga mempengaruhi pola hidupnya. Perjalanan kehidupannya yang panjang dan mengalami banyak hal sebagai pelajaran, kelak sebagai yang akan membuka akal dan kesadaran pada hatinya. Hanya dengan kehendak dan izin Allah sajalah, sesungguhnya, maka segala yang gaib tersebut dapat dipahami dan jelas terlihat oleh hati yang telah dibersihkan-Nya dari selimut tabir-tabir yang menutupi.
Tidaklah pas kata “tuntutan” bila disandingkan dengan rasa, apalagi rasa tentang keimanan atau keyakinan. Adalah fitrah kemanusiaan memiliki kebebasan dalam keyakinannya, dan tidak ada paksaan dan keterpaksaan dalam agama dan beragama. Begitulah seharusnya. Kebebasan segalanya, termasuk dengan kebebasan berpikir, menggunakan akal logikanya sampai menemukan sendiri, bahwa ada tabir-tabir gelap yang sesungguhnya membatasi diri-nya dalam segala hal. Dan pada akhirnya, diri-nya sendiri pun menyadari keterbatasan-nya sebagai makhluk ciptaan yang, ternyata, segalanya amat bergantung pada kekuasaan mutlak yang sesungguhnya berkuasa atas segala sesuatu, termasuk membuka kegelapan-kegelapan yang meliputi dirinya, dan mengeluarkannya kepada cahaya terang yang menunjukkan.
Kekuasaan apa dan siapa yang sesungguhnya tersebut tentu telah kita ketahui bersama, akan tetapi makna-makna yang lebih dalam semoga akan menggugah lebih jauh akan kesadaran jiwa kita sebagai yang terikat melekat kepada kekuasaan tersebut.
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”    (QS 7:172)
Karena sesungguhnya, keterikatan tersebut telah ada sejak diri belumlah berwujud atau terlahir ke dunia bersama jasad. Kehidupan di dunia, yaitu pada pemenuhan kebutuhan jasad, sedikit demi sedikit, telah mengkontaminasi atau mempengaruhi ikatan-ikatan bathin tersebut. Hingga semakin besarnya pula keinginan kehidupan dunia maka semakin besar pula kekuatan melepaskan ikatan-ikatan bathin atau keimanan tersebut. Hal inilah yang membuat jiwa menjadi tersesat, semakin menjauhi ‘asal’ keberadaannya. Jangankan menyadari kepada yang gaib, kepada yang nyata saja telah tertutupi oleh hawa nafsu kehidupan dunia dan dorongan kebutuhan jasad. Ambil satu contoh, narkoba dan minuman keras, betapa itu telah merusak jiwa dan jasad pemakai yang sejumlah besarnya adalah generasi muda yang menjadi tulang punggung harapan para orang tua.
Dalam sejarah kehidupan kemanusiaannya, adalah nurani-nya (cahaya asal) yang menyadarkan dirinya untuk kembali merajut ikatan-ikatan yang telah lepas. Seperti orang yang tersesat dan hendak kembali pulang serta banyak bertanya untuk mendapat petunjuk arah pulangnya. Sungguh telah terbuang dengan percuma waktu selama itu.
“Demi waktu. Sungguh, insan kemanusiaan berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Akan tetapi, Allahu rahmanur-rahiim, Dia yang maha Pengasih dan Penyayang, sangat menyukai orang-orang yang hendak kembali, serta dengan kasih dan sayang-Nya maka Dia akan menunjuki jalan kembali yang terang-benderang, lurus, dan lagi menyelamatkan.
Tersesat adalah tak tahunya arah kemana tujuan seharusnya diambil. Atau disebabkan oleh telah terlalu jauhnya kesesatan menyimpangkan dari arah yang seharusnya. Dan mungkin masih banyak hal lainnya sebagai penyebab sesat dari tujuan, sehingga membuat kesulitan untuk dapat segera keluar dan beralih dari kesesatannya.
Betapa kehidupan dunia ini telah melengahkan diri kita dari pemahaman-pemahaman yang hakiki yang sebenarnya perlu bagi kehidupan yang lebih baik dan sehat lagi dari sebelumnya. Tidak hanya lebih baiknya kehidupan kita sendiri, melainkan juga kehidupan bersama secara umum. Kehidupan dunia memang yang telah melalaikan jiwa kita dari kebenaran yang haqq, dan melalaikan jiwa kita pula akan keberadaan kekuatan aparat-aparat yang diutus Tuhan untuk membantu kehidupan setiap diri kemanusiaan.
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”  (QS 10:100)
Kehidupan dunia pula yang telah melalaikan setiap diri kemanusiaan dari kesadaran-kesadaran yang seharusnya bergerak dan berkembang lebih tinggi lagi dari sebelumnya, yang dapat mengkokohkan kembali keimanannya. Karena begitu erat hubungan antara keyakinan yang didasari oleh kesadaran-kesadaran pemahaman yang merupakan kebenaran dari Tuhannya. Kebenaran-Nya sebagai ketetapan atau kehendak-Nya yang sesungguhnya mengikat kuat setiap diri kemanusiaan, baik disadari ataupun tidak disadari, baik sukarela ataupun terpaksa. Segala sesuatu, termasuk diri-nya adalah yang diliputi oleh kuasa, kehendak, serta rahmat pemeliharaan-Nya.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Tetapi, karena Dia Yang Maha pengasih dan Penyayang tak menginginkan kemanusiaan terus dalam kesesatan, maka bagi mereka yang mau membuka hati dan akalnya, telah begitu banyak Allah tebarkan petunjuk di alam ini, dan orang-orang yang saling menasehati sebagai penyampai petunjuk kebaikan dan kebenaran, serta juga yang telah ada dalam kitab suci sebagai pedoman hidup kemanusiaan. Dan dengan akal kesadaran jiwa-nyalah maka segala apa yang dilihat, dirasa, dan yang sampai kepadanya adalah merupakan rahmat dari-Nya. Juga adalah sifat kemanusiaan yang hendak mengetahui segala sesuatu, maka sungguh diri-nya amatlah membutuhkan petunjuk sebagai cahaya yang menerangi gerak kehidupannnya.
PETUNJUK
Begitu banyak petunjuk Allah yang bertebaran di langit dan di bumi dan yang berada di antara keduanya. Seluruhnya bertebaran dihadapan mata baik yang berada di langit dan di bumi akan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang membutuhkan, yang mencari, yang berilmu, yang berfikir, dan juga bagi orang-orang yang beriman. Inilah yang disebut Kitabul Ardhi.
Kedua, petunjuk yang disampaikan langsung ditanamkan kedalam kalbu tanpa proses olah pikir, tanpa pengamatan dan penelitian. Inilah yang disebut di dalam dada, yaitu Lauhul Mahfudz.
Dan ketiga, petunjuk dari Allah yang berupa Kitab Suci, yang didalamnya berisi firman-firman Tuhan yang disampaikan melalui malaikat-Nya kepada salah seorang insan kemanusiaan yang telah diimankan, diislamkan, dan diihsankan oleh Dia sebagai nabi dan rasul-Nya, dan untuk disebarkan kepada umat atau kaumnya agar selamat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Ini disebut Kitab Samawi atau merupakan kitab yang ‘turun dari langit’, yaitu kitab yang berisi firman-firman Tuhan yang merupakan petunjuk kepada keselamatan hidup di dunia dan kelak di akhirat, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al Qur’an.
Ketiganya, sebagai penyampai atau pembawa petunjuk yang mengarahkan kepada adanya hari akhir dan kadar baik-buruk, yang juga merupakan sebagai yang gaib, yang baru akan dapat dihadapi di waktu kemudian. Juga merupakan dua hal utama yang perlu dijadikan acuan sebagai petunjuk keselamatan yang harus diyakini. Berikut pula para malaikat, para rasul dan seluruh kitab suci adalah merupakan alat atau aparat Allah yang bertugas sebagai penyampai petunjuk keselamatan tersebut. Keduanya ini harus diterima dan dicapai dengan baik pada ‘akhir’-nya (khusnul khatimah) agar dapat kembali pulang kepada Allah.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. (QS 2:177)
Iman-nya tersebutlah yang sesungguhnya lebih menghidupkan jiwanya dan mengarahkan kehidupannya menjadi jauh lebih baik lagi. Dengan iman-nya itu pula, setiap diri hidup berada diatas landasan yang kokoh sehingga mampu melalui masa-masa tersulitnya terus hendak mencapai kesempurnaannya. Bersama iman-lah setiap diri merasa memiliki harapan dan asa-nya ke depan, yaitu hari kemudian-nya.
Dan telah sejak awal kehidupannya, diri kemanusiaan, dari setelah kelahirannya, telah dibentangkann kitab di alam (kitabul ardhi) tersebut sebagai petunjuk yang seiring dengan dibukakan kitab di dalam dada-nya (lauhul mahfudz) untuk dapat menerima pemahaman yang kelak akan datang masuk, kemudian berharmonisasi dengan petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam kitab-kitab suci (kitab samawi) dan kitabul ardhi sebagai peringatan, yang datang melalui seseorang yang terpercaya (rasul Allah).
Akan tetapi tanpa iman, kesemuanya tersebut tidak akan memiliki arti apa-apa. Tidak akan membawa pada keselamatan di dunia dan akhirat. Padahal untuk hal sekecil apapun saja diperlukan iman atau rasa percaya, keyakinan. Ambil contoh, bila seseorang hendak pergi ke suatu tempat dengan menggunakan angkutan umum, bila ia tak percaya kepada supirnya, maka apa yang terjadi? Pasti terhambat. Dan bila ia telah percaya, maka masih dibutuhkan keberserah dirian-nya.
Bila terhadap rasa percaya yang sepele saja membutuhkan sebuah keberanian, apalagi kepada rasa percaya terhadap sesuatu  yang besar, yaitu keselamatan hidup di dunia dan di akhirat, tentulah dibutuhkan hal yang lebih besar dari sekedar keberanian. Apakah itu? Mencari sesuatu yang tidak sepele, yang sesungguhnya benara-benar menguasai keselamatan itu sendiri, yang ternyata adalah ada tapi tak kelihatan oleh mata-nya, dan yang berkuasa tapi tak disadari-nya. Dan akan menjadi nyata wujud dengan segala sifat-Nya bagi orang-orang sungguh-sunguh berusaha menuju kepada-Nya. Maka iman itu diklasifikasikan (Rukun Iman) kepada, yaitu :
1.    Allah (Pencipta segala sesutu)
Sebagai nama tunggal bagi pencipta segala sesuatu baik yang nyata kelihatan, maupun yang nyata tidak kelihatan.
2.    Para Malaikat (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
3.    Para Rasul (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
4.    Kitab-Kitab Suci (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
Ketiganya merupakan alat atau aparat Allah yang menyampaikan petunjuk kepada keselamatan.
5.    Hari Akhir (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
6.    Kadar Baik-Buruk (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
Keduanya, yaitu Hari Akhir dan Kadar Baik-Buruk, merupakan Petunjuk menuju keselamatan agar mencapai akhir yang baik dan sempurna, khusnul khatimah. Beriman kepada Hari Akhir atau hari kemudian, maksudnya agar manusia percaya pada hari penghakiman, dimana segala amal perbuatan sekecil apapun akan diperhitungkan. Dan beriman kepada kadar baik dan buruk, maksudnya agar manusia dalam kehidupannya pun dapat menerima bukan hanya nikmat kebaikan, akan tetapi nikmat keburukan pun harus dapat diterimanya.
Seperti halnya telah menganggap lumrah dalam menerima malam setelah siang, dan telah pula menganggap lumrah, maaf, saat harus buang air (besar maupun kecil) setelah menerima nikmat makanan dan minuman dari Tuhan-Nya. Karena Allah menciptakan segala sesuatu selalu pasti bersama pasangannya, betapa Tuhannya selalu memberikan rahmat-Nya yang hanya berupa rahmat kebaikan, sekalipun diri kemanusiaan menganggapnya adapula keburukan yang diterimanya, namun keburukan tersebut, sesungguhnya adalah agar dirinya mencapai kesempurnaan fitrah-nya.
Sesungguhnya, rahmat-Nya tidaklah berkekurangan dan tidak pula berlebihan, keterbatasan diri-nya lah yang menjadikannya kurang ataupun lebih. Menjadi kurang ataupun lebih, adalah disebabkan karena diri-nya sendiri yang tak mempersiapkan dalam menerima semua rahmat-Nya. Begitulah keterbatasan pada kemanusiaan dalam menilai segala sesuatu selalu dengan pasangannya, sebagai yang baik atau buruk, kurang atau lebih, benar atau salah dan lain sebagainya, yang padahal semuanya tersebut adalah rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan rahmat Allah adalah tunggal, yaitu kebaikan, dan tidak ada yang lainnya, hanya kebaikan. Hanya karena tak sesuai keinginannya, maka dirinya menilai sebagai yang buruk. Padahal dirinya memiliki keterbatasan dalam memandang dan memahami, yang kelak akan disadarinya bahwa apa yang semula dikiranya keburukan, ternyata adalah membuat kebaikan bagi dirinya. Dia-lah Allah Yang Maha Sempurna, dan Dia menghendaki setiap makhluk-Nya pun menjalani kesempurnaan sebagai ciptaan-Nya.
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.(QS 17:36)
Keenam Rukun Iman tersebut diatas wajib diimani secara nyata dan tidak hanya sekedar percaya tanpa pengetahuan, agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Mengimani petunjuk yang merupakan jalan lurus yang terang sebagai kebenaran yang datang dari yang Maha Benar, dan disampaikan melalui penyampai yang benar dan terpercaya, serta berakhlak mulia, lagipula tidak sedikitpun mereka mengharap upah ataupun imbalan, adalah kerugian apabila diri ini mengingkarinya.
Bila diingkari, yaitu amal perbuatan yang tidak didasari oleh keimanan, maka tunggulah saat bencana dan musibah datang yang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri, dimana dada terasa sesak, sempit, dan menghimpit. Maka rasa iman itu baru muncul, dimana penyesalan tiada lagi berguna karena dosa dan balasan kini di hadapan mata dan siap dituai. Karena amal perbuatan seberat biji sawi pun memiliki balasan.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Padahal tidak usahlah maut di hadapan mata, perbuatan seperti, mencuri, menipu, korupsi, dan pidana lainnya akibat tidak adanya rasa iman, maka penjaralah ganjarannya. Itulah kehinaan disebabkan menuruti hawa nafsunya. Itu pula karena belum terlihat oleh hatinya segala yang gaib, termasuk akibat atau balasan dari perbuatan. Bagaimana mungkin, bila sedang haus, kita bisa mengimani (meyakini) bahwa dengan minum maka hauspun akan terobati, tetapi tidak dapat mengimani atau meyakini perbuatan buruk yang kelak akan mengakibatkan keburukan pula bagi dirinya sendiri? Bukan hati yang buta, akan tetapi hawa nafsu (diri) yang membabi-buta, tiada perduli kepada hari kemudian yaitu penjara akibatnya, dan kadar baik-buruk nya yaitu apa yang dipandang baik hari ini maka kelak pasti akan datang pasangannya. Seperti datangnya cahaya yang selalu bersamaan diiringi oleh bayangan gelap-nya.
Betapa setiap diri kemanusiaan cenderung mengikuti hawa nafsunya, akan tetapi nurani-nya pun, kelak ketika menghadapi musibah dan bencana, akan mengharapkan petunjuk dan lindungan dari apa yang dianggapnya sungguh-sungguh berkuasa termasuk kepada dirinya.



Bab I
Meyakini  ALLAH
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) Agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
 (QS 7:172)
K
emanakah seharusnya seluruh keyakinan mengarah, dan harapan serta daya kekuatan bertumpu, bila selain kepada Dia yang sesungguhnya mencipta, menguasai, dan kemudian memelihara? Yaitu yang mencipta segala sesuatu dengan sempurna rancangan dan kejadiannya yang tanpa cacat, menguasai segala sesuatu dengan sempurna adil dan bijaksana-Nya, serta memelihara segala sesuatu dengan sempurna kasih dan sayang-Nya. Dia-lah Cahaya diatas cahaya, yang mencipta segala sesuatu dengan cahaya-Nya, menetapkan pada kehendak-Nya dan meneranginya dengan petunjuk-Nya, kemudian memelihara dengan kemurahan dan kasih sayang-Nya yang Maha Adil lagi Bijaksana. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari-Nya.
Bukan mata yang tak melihat dan bukan pula hati yang buta, akan tetapi cahaya sejati yang seharusnya menerangi segala sesuatu tersebut yang belum menyentuh jiwanya. Sehingga kesempurnaan segala sesuatu tersebut, baik ciptaan-Nya, kuasa-Nya, dan pemeliharaan-Nya menjadi tak nyata oleh mata dan hatinya terhalang oleh kekotoran-kekotoran akibat kecintaan yang berlebihan kepada selain-Nya, bukan mata yang tak melihat, melainkan hatinya yang buta. Jadilah jiwa-nya kehilangan keyakinan.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Bila cahaya sejati telah menyentuh jiwa-nya, maka dia telah berada di dalam naungan istana sadar. Seperti layaknya berada di dalam ruangan yang diterangi cahaya lampu setelah gelapnya, maka hati dan jiwanya telah memiliki keyakinan, ketenangan, dan ketentraman, setelah sebelumnya merasa sempit, resah, gundah, serta takut dan tersesat. Cahaya sejati itulah yang menerangi jiwa-nya hingga mengetahui dan memahami dengan kesadaran-nya, tentang mana yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menyelamatkan dan menjerumuskan.
Bukan pula hati tak mengetahui atau menyadari keberadaan dan kuasa mutlak-Nya, akan tetapi kepentingan pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya jauh lebih kuat mempengaruhi jiwa, menyesatkan dari petunjuk-Nya dari jalan lurus sesuai kehendak-Nya. Pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya menjadi lebih kuat yang didorong oleh keinginan dan kebutuhan yang telah membelenggu kehidupannya. Hal tersebutlah yang semakin menjauhi dirinya dari cahaya petunjuk Tuhannya, yang seharusnya dapat melihat segala kebenaran hakiki menuju keselamatan dirinya.
Keadaan seperti itu membuat pengenalan terhadap Tuhannya menjadi semakin terkikis, semakin tersesatlah dirinya dari jalan kembali kepada Tuhannya. Padahal kembali kepada Tuhannya adalah hal yang utama dari setiap tujuan, karena segala sesuatu di semesta alam ini, termasuk dengan dirinya, adalah berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Jangankan menyadari keberadaan Tuhannya, menyadari keberadaan para aparat (malaikat)-Nya, yang sesungguhnya bersinggungan langsung dengannya dan sebagai penyampai segala kehendak dan ketetapan-Nya pun tak pernah terasa apalagi diketahui dan dikenalnya. Ya, aparat Allah yang sesungguhnya menjaga, membantu, dan membawa petunjuk atas perintah Tuhannya, inipun menjadi semakin tak dirasa keberadaannya. Lama-kelamaan terkikis dan hilanglah keyakinan peran mereka terhadap kehidupan kemanusiaan.
Karena di alam, maka diri kemanusiaan tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena tak terjangkaunya pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan sedangkan Dia yang Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin, yang diberi pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui sebagai Yang Maha Pemberi (Pemurah), kecuali bila telah diberi pengetahuan yang atas kehendak-Nya? Sedangkan Dia mutlak meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar, Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenal segala sesuatu, bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang Maha Tunggal (Allaahu Ahad), agar setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus menyekutukan kepada selain Dia.
Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala tempat keberadaan-Nya.
Dzat atau Wujud Tunggal
Ar Rahman adalah sebutan Dia untuk dzat atau wujud tunggal-Nya. Wujud-Nya adalah Maha Pemurah kepada segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dalam pemeliharaan-Nya yang maha sempurna. Dan segala sesuatu tidak ada yang lepas dari rahmat-Nya.
Dia merahmati seluruhnya apa-apa yang berada di langit maupun yang berada di bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, setiap saat, mengatur dan memeliharanya dengan sangat sempurna. Begitulah kesibukan-Nya yang sama-sekali tidak tersentuh oleh kelelahan maupun rasa kantuk untuk merahmati seluruh makhluk (QS 2:255).
Melalui cahaya-Nya (nur Allah) penciptaan diawali dengan penciptaan para aparat atau malaikat-Nya (nur Cahya), kemudian semesta alam dengan segala sesuatu isinya, termasuk insan kemanusiaan (nur Muhammad sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji). Dengan demikian Dia-lah sumber asal segala sesuatu, tetapi segala sesuatu bukanlah Dia. Segala sesuatu tersebut yang tak terhitung jumlahnya dan bertebaran di semesta alam ini adalah perwujudan Dia. Akbar di dalam Tunggal-Nya.
 Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah) segala sesuatu secara saling berketerkaitan atau berinteraksi hingga tercapai keseimbangan yang sempurna yang sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan-Nya (sunathullah). Itulah mengapa kemurahan-Nya menjadi berhubungan sekali dengan keadilan-Nya, yaitu menjaga keseimbangan pada setiap rahmat-Nya, baik itu menjaga keseimbangan dalam mencari rizki, kehidupan sosial, dan pula menjaga keseimbangan alam sebagai tempat kehidupan.
Begitu pula kemurahan-Nya berkaitan dengan kekuasaan-Nya, agar dengan kuasanya rahmat-Nya sampai kepada seluruh ciptaan-Nya. Dan begitu pula keterkaitan dengan ilmu-Nya, tentu pengetahuan-Nya haruslah meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya. Begitulah keterkaitan segala sifat dari Maha Pemurah-Nya, maka Dia adalah Maha Segala-galanya di dalam ketunggalan-Nya.
Masih begitu banyaknya segala sesuatu wujud, baik yang nyata terlihat (lahir) maupun yang tak terlihat (bathin), yang belum diri-diri kemanusiaan ketahui, dan setelah semakin diketahui maka telah menunggu lagi berikutnya untuk pula diketahui. Jangankan menentukan berapa banyak jumlah wujud yang belum diketahui, menentukan jumlah yang sudah diketahui saja pun takkan pernah selesai.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Begitulah Dia, wujud Sang Maha Pemurah. Segala sesuatu wujud yang berada dan tersebar di semesta alam ini adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Pemurah, ar raahman, dan Dia bukan-lah segala sesuatu tersebut. Keterbatasan diri kemanusiaan-lah yang sesungguhnya menjadi tabir yang menutupi penglihatan kepada-Nya, sedangkan Dia mengetahui segala sesuatu tanpa batas. Bagaimana mungkin diri kemanusiaan dapat melihat dan mengetahui Dia yang sesungguhnya memberi penglihatan dan pengetahuan kepadanya? Kecuali Dia berkehendak lain kepadanya. Dia-lah yang zhahir dan yang bathin. Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya, dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk memahami, apalagi dalam hal mendefinisikan Dzat-Nya.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)
Allah memang kuasa berkehendak memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, seperti diterangkan diawal ayat di atas. Akan tetapi Dia pun menyatakan, hanya kepada mereka yang mau menggunakan akal-nya itulah maka Allah berkehendak menganugerahkan hikmah-Nya. Sehingga kehendak-Nya adalah bagi mereka yang menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran dan menerapkan apa-apa yang didapat melalui akalnya.
Sekalipun akal kemanusiaan pun sebagai yang memiliki keterbatasannnya, namun sesungguhnya, akal dan kesadaran tersebut adalah merupakan yang sedang berkembang menuju kesempurnaannya. Dan sungguh, keterbatasan pada diri-diri kemanusiaan pun mengalami tingkatan-tingkatan yang lebih karena berdasarkan sejauh mana penggunaan akal-nya yang terbatas, apalagi dalam hal mengenal-Nya. Selama dia tak berhenti pada suatu tingkatan, dan menjadi taqlid tak lagi hendak menggunakan akal-nya,  maka akal-nya akan terus berkembang kepada tingkatan-tingkatan yang membawa kesadaran-nya kepada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Seluruhnya tersebut, yang sampai kepada diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya adalah karena karunia kemurahan-Nya untuk seluruh umat kemanusiaan. Lihat dan renungkanlah, segala sesuatu yang Allah ciptakan, kemudian segala sesuatu tersebut memiliki gerak atau kehidupannya, sesungguhnya demi kemudahan kehidupan kita, diri-diri kemanusiaan. Bila rahmat-Nya tersebut ada yang terasa buruk bagi kita, sesungguhnya adalah karena keterbatasan dan menjadikan karena ulah perbuatan kita sendiri. Maka, kelak setelah mendekati puncak kesadaran, kita akan memahaminya bahwa, sesungguhnya hal-hal itupun demi mencapai kebersihan diri kita sendiri juga. Demi menyucikan kekotoran atas dosa-dosa yang meliputi jiwa, agar mencapai kesempurnaan akhir pada saat hendak kembali pulang kepada-Nya, ilayhi raji’un. Subhanallah, sungguh Dia Yang Maha Kasih Sayang lagi Maha Bijaksana yang bahkan dengan azab-Nya. ternyata adalah karena Cinta Kasih-Nya hendak menyucikan segala kekotoran dosa makhluk-Nya.
Kita, sebagai diri-diri kemanusiaan yang merupakan ciptaan-Nya, hanya dapat mengenal wujud-Nya melalui segala rahmat-Nya. Bila hanya satu atau dua rahmat-Nya, belumlah tentu cukup untuk dapat mengenal-Nya. Itulah sebabnya Dia selalu mengingatkan kita agar selalu menggunakan akal dan hati dalam setiap interaksi dengan sesama makhluk-Nya di alam ini.
Nama Tunggal
Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam terbaik).......  (QS 17:110)
Begitu banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap penyebutan kepada-Nya, seperti, ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti allah, dan lain-lainnya berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian nama-nama terbaik-Nya, seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain sebagainya. Allah adalah nama tunggal Tuhan, berasal dari al-ilah (dua suku kata al dan ilah yang dilebur pengucapannya menjadi Allah). Kata al yang menunjuk kemutlakkan kata berikutnya, yaitu ilah (tuhan), sehingga bermakna tuhan yang mutlak. Mutlak sebagai yang Maha Kuasa, mutlak sebagai Maha Pengasih dan Penyayang, dan Dia sendirilah yang memberitahukan melalui firman-Nya,
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,........”  (QS 18:14)
Akan tetapi setiap ‘nama’ dan ‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk, yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara, mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang sesungguhnya beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk memudahkan dalam penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
Di dalam al Qur’an pun begitu banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya, yang merupakan nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan sebutan-sebutan kepada sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung. Maka itulah Dia menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya, sehingga lebih mudah dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang merupakan petunjuk-Nya.
Sebuah nama menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah karena pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya sebagai predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya predikat-nya, maka semakin besar dan agung pula nama-nya.

Predikat Tunggal
Pekerjaan-Nya yang selalu sibuk mencipta segala sesuatu disetiap waktu, tiada pernah berhenti dan tiada tersentuh kelelahan, dan tiada pula tersentuh rasa kantuk (QS 2:255), maka sebutan Khaliq atau Maha Pencipta adalah sebagai  predikat tunggal Tuhan. Dia-lah pencipta segala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada. Dan segala sesuatu selain Dia adalah ciptaan-Nya, yaitu semesta alam, langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya, kemudian menyempurnakan dengan menentukan kadar-kadarnya (sunathullah) dalam kuasa serta pemeliharaan-Nya.
Segala sesuatu Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah), dan dengan cahaya-Nya tersebut yang sebagai bahan baku penciptaan para aparat-Nya yang disebut malaikat (nur Cahya). Sampai disitulah, Dia yang Maha Tunggal, kini hanya tinggal memerintah para aparat-Nya untuk mengerjakan apa-apa yang dikehendaki-Nya (itulah mengapa terkadang pada firman-Nya menggunakan kata “Kami”  yang berarti memerintahkan kepada para aparat-Nya, yakni para malaikat, untuk mengerjakan apapun kehendak-Nya). Dan kemudian, dengan memerintahkan para malaikat-Nya, kemudian dibentuk dan dibangunlah semesta alam beserta segala isinya, yaitu yang memenuhi langit dan bumi, termasuk diri-diri kemanusiaan sebagai perwujudan yang Maha Terpuji (nur Muhammad).
Nur atau cahaya tersebutlah yang sesungguhnya sebagai energi, yang dengan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, yang menggerakkan atau menghidupkan segala sesuatu (materi) bekerja dalam satu (ke-Tunggal-an) sistem semesta secara keseluruhan yang begitu akbar, tak terhitung jumlah materi beserta sifatnya yang tercipta, bahkan termasuk rizki yang berupa makanan-nya demi kelangsungan kehidupan sistem tersebut.
Semesta alam ini, bumi dengan jumlah populasi tumbuhan yang mencapai milyaran, populasi hewan yang mencapai milyaran, dan populasi manusia pun mencapai milyaran. Di langit pun begitu, bintang yang bertebaran di dalam satu galaksi saja, populasinya pun mencapai milyaran, sedangkan di langit terdapat milyaran galaksi. Bayangkanlah betapa luas dan tak terhitungnya isi semesta alam ini. Suatu predikat Yang Maha Agung-lah penciptanya.
Allah yang menciptakan, memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam. Itulah nama atau sebutan predikat tunggal-Nya sebagai Khaliq. Dan Dia-lah pencipta segala sesuatu yang memenuhi langit dan bumi, termasuk langit dan bumi itu sendiri sebagai tempat atau alam yang amat teramat luas (semesta alam).
Af’al Tunggal
Af’al tunggal-Nya adalah Semesta Alam, sebagai karya cipta-Nya yang tunggal (QS 21:30), yang merupakan suatu sistem makro semesta yang saling terkait satu sama lainnya dari setiap keseluruhan isinya secara sempurna dalam suatu hukum Tuhan, yang disebut sunathullah. Sehingga tidak sedikitpun sesuatu yang terlihat cacat pada setiap bagiannya, sekecil apapun itu (QS 67:3).
Tentu pula, semesta alam ini dipenuhi oleh nur Allah, nur Cahya, dan nur Muhammad sebagai unsur dasar pembentukan segala sesuatu yang menjadi makhluk-Nya. Bahkan, makanan berikut sumber-sumber makanan-nya pula, yang dalam ilmu biologi disebut dengan ‘siklus rantai makanan’, yang merupakan rizki dari Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Suatu makhluk yang merupakan rizki makanan bagi makhluk lainnya, menjadi saling berketergantungan kepada manfaat satu sama lainnya.
Nur atau cahaya inilah yang sesungguhnya merupakan energi yang membentuk wujud atau struktur setiap materi, kemudian menghidupkan-nya, yaitu tumbuh dan berkembang, bahkan ikut serta membentuk wujud-wujud atau struktur-struktur yang jauh lebih kompleks dan rumit yaitu makhluk hidup, seperti manusia. Energi-energi yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai materi, tetap masih memerlukan cahaya untuk keberlangsungan gerak hidup-nya, termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Kesemuanya tersebut adalah merupakan kehendak-Nya dalam sebuah ketetapan (sunathullah). Kelak, di bab-bab selanjutnya, tentang energi ini akan diuraikan secara bertahap dan lebih luas lagi.
Segalanya dicipta, dibentuk, kemudian dihidupkan dan menerima pula segala sesuatunya dalam sistem lindungan dan pemeliharaan-Nya. Tiada yang luput sedikitpun dari setiap kehendak dan ketetapan Dia yang Maha Kuasa. Adalah sifat makhluk sebagai yang menerima, sedangkan Dia adalah sebagai pemberi, yang Maha Pemurah (ar Rahman) dan Maha Adil. Keadilan-Nya lah yang menciptakan keseimbangan yang sempurna di alam ini.
“...dan  Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”. (QS 55:7-9)
Sifat Tunggal
Segala sesuatu dinamakan berdasarkan sifatnya. Begitupun kepada Dia, akan tetapi dikarenakan Allah memiliki sifat-sifat yang tak terhitung banyaknya (Akbar), maka tak ada nama yang sesuai dan layak diberikan untuk segala sifat-Nya. Sehingga disebut Akbar sebagai sifat tunggal-Nya agar mencakup keseluruhan sifat-Nya yang tak terhitung.
Penafsiran dari beriman kepada Allah adalah lebih untuk mengenal-Nya melalui sifat-sifat Allah yang mewujud di alam, serta kemudian membuat diri ini tergugah untuk menggunakan sifat-sifat tersebut kepada setiap amal perbuatannya. Sehingga terciptalah manusia-manusia ber-ketuhanan yang maha esa, yang berakhlak mulia serta berbudi pekerti luhur lagi mulia, yaitu perwujudan Allah di bumi sebagai penebar rahmat-Nya kepada semesta alam, khalifah yang rahmatan lil alamiin.
Pengertian ketuhanan disini bukan berarti yang ber-tuhan itu adalah tuhan, melainkan perwujudan dari sifat-sifat Tuhan pada dirinya. Seperti pada pengertian kita kehujanan, maka bukti-bukti keberadaan hujan ada pada kita, yaitu basah-nya sebagai salah satu sifat hujan yang membasahi. Dengan demikian, pemahamannya adalah mewujudkan sifat-sifat Tuhan pada setiap gerak amal perbuatannya yang jelas bersentuhan dengan apapun selain pula dirinya, sehingga menjadi rahmat bagi bagi diri dan sesama makhluk Tuhan. Rahmatan lil ‘aalamiyn.
 Akbar-nya sifat-sifat Allah yang tak terjangkau dengan hitungan dan bilangan-Nya oleh kemanusiaan, dikarenakan hitungan dan bilangan-Nya pun adalah merupakan makhluk ciptaan-Nya (segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan, pun termasuk nama-nama dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya adalah makhluk), adalah sebagai yang menunjukkan bukti keakbaran rahmat dan nikmat Allah yang sesungguhnya, keseluruhannya dianugerahkan bagi kehidupan kemanusiaan.
 Lihatlah dalam kehidupan dunia sehari-hari disekitar kita, sekalipun dikatakan, orang-orang beriman telah langka, tetapi norma masihlah hidup diantara mereka, terbukti masih ada kepedulian dan kasih sayang antar sesama, sekalipun yang sebaliknya pun tetap merajalela. Artinya, sifa-sifat Allah tetap mewujud di bumi melalui manusia-manusia yang ber-keimanan berdasarkan tinggi-rendahnya kadar keimanannya.
Dalam teologi dan metafisika Islam, para ulama membedakan antara Dzat Tuhan dan Sifat Tuhan yang dinyatakan-Nya melalui wahyu. Di dalam Al Qur’an, Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Pengasih, Yang Maha Pemurah, Yang Hidup, Yang Maha Kuasa, dan lain-lainnya. Dari sebutan-sebutan itulah kemanusiaan memahami sifat-sifat Allah yang akbar (banyak dan tak terhitung), namun Dzat-Nya diluar jangkauan pengetahuan kemanusiaan.
Oleh sebab itulah, maka para ulama memisahkan antara Dzat Tuhan di satu sisi dengan Sifat-Sifat Tuhan di sisi yang lain. Dimana Dzat Tuhan sebagai yang bathin (tak terlihat atau ghaib), dan Sifat-Sifat Tuhan sebagai yang zhahir (nyata atau lahir) bagi pengetahuan kemanusiaan. Tidak seperti kemanusiaan memahami yang selain Tuhan, malah kebalikannya. Segala sesuatu selain Tuhan, dapat dipahaminya melalui wujud dan bentuknya sebagai yang zhahir (nyata atau lahir)-nya, dan sifat-nya sebagai yang bathin bathin (tak terlihat atau ghaib). Karena itulah Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang Bathin.
Secara ekstensial, tidak ada perbedaan yang dapat memisahkan antara Dzat dan Sifat. Sekalipun demikian, kemanusiaan memandang adanya perbedaan antara pengampunan Tuhan dengan siksa-Nya, seolah ada sisi baik dan kejam dari kuasa-Nya. Padahal pengampunan Tuhan adalah bagi mereka makhluk-Nya yang berusaha keras memperbaiki kesalahan tanpa mengulanginya kembali, sedangkan siksa-Nya adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri yang terus hanyut dengan kesalahan yang berlarut-larut. Seperti itulah hukum atau ketetapan (sunathullah)-Nya yang takkan pernah berubah.
Marilah kita tinjau dan resapi dalam-dalam, serta coba memahami makna-makna dari sifat dua puluh Allah yang telah dianugerahkan kepada seluruh kemanusiaan, sehingga menyadarkan kita kembali akan keagungan dan kemuliaan Dia, yaitu betapa hampanya kita bila tanpa anugerah-Nya, serta memanfatkan anugerah tersebut sebaik-baiknya, juga siap menerima bila anugerah yang telah diberikan dicabut kembali oleh-Nya.
1.          Sifat Wujud
Dia bersifat Wujud, yaitu ada. Sedangkan ciptaan-Nya, termasuk manusia ternyata tidak ada. Wujud manusia adalah perwujudan Allah. Maka, segala sesuatu yang merupakan makhluk-Nya ternyata adalah perwujudan Allah. Perwujudan Allah adalah wujud semesta alam ini termasuk isi di dalamnya baik yang nyata terlihat dan yang nyata tak terlihat, tetapi Dia bukanlah alam itu sendiri.
Bingung? Tidak usah bingung. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah pastilah ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah penulis itu sendiri, tentunya. Perwujudan-Nya yang begitu Akbar meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, menunjukkan ke-tak berhinggaan termasuk wujud-Nya sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya.
Allah meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia, sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya saja. Maka Dia-lah yang Akbar.
Sifat wujud-Nya ini dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yaitu wujud yang sesempurna-sempurnanya (muhammad), sebagai perwujudan Dia Yang Maha Sempurna lagi Maha Terpuji.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.”  (QS 95:4)
Perwujudan-Nya pada setiap ciptaan atau makhluk-Nya, merupakan petunjuk, bahwa segala sesuatu ada setelah Dia adakan atau wujudkan. Sehingga, mengarahkan kepada pemahaman, bahwa sesungguhnya Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu.
2.          Sifat Qidam
Allah  bersifat Qidam, yaitu pendahulu. Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist). Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir. Sungguh tak terhitung awal segala sesuatu, maupun akhir dari segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat, maka Dia pulalah yang Akbar.
Dia mendahului segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir. Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin ada dari segala sesuatu tersebut yang mengetahui kapan Dia berakhir. Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dan sifat sebagai pendahulu inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan. Ya, sifat inilah yang mendasari diri kemanusiaan selalu mendahului dengan menganalisa, memahami, kemudian merencanakan segala sesuatu sebelum melaksanakan niat kehendak-nya untuk mencapai kesempurnaan hasil yang akan didapatnya. Dengan anugerah sifat inilah manusia menjadi memiliki peradaban yang selalu berkembang semakin sempurna dari waktu ke waktu.
Segala sesuatu selalu didahului oleh kehendak serta ketetapan dari setiap perencanaan-Nya. Tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan-Nya dan berada di dalam kesempurnaan kuasa serta pemeliharaan-Nya. Dan Dia sebagai pendahulu segala sesuatu, maka menunjukkan sifat-Nya yang kekal abadi sebagai bukti bahwa segala sesuatu, baik yang telah ada sebelum ini dan telah tidak ada sebelum ini, maupun kelak yang akan ada dan kelak akan tiada, adalah didahului oleh keberadaan dan kehendak-Nya. Dan dengan demikian, maka jelaslah, bahwa Dia-lah yang Kekal Abadi.
3.          Sifat Baqa
Allah bersifat Baqa, yaitu kekal abadi. Sedangkan segala sesuatu selain-Nya bersifat fana atau berubah-ubah, tidak kekal dan sementara atau mengalami kematian (berakhir). Dia abadi bersama segala sifat-Nya, dan tidak ada yang berubah dari apa-apa yang telah ditetapkan-Nya.
Kekekalan dan keabadian-Nya mengkerdilkan segala sesuatu selain Dia. Kerdil dalam segala hal, karena segala hal tersebut pun ternyata adalah ciptaan-Nya. Kerdil pada setiap makhluk-Nya adalah bentuk keterbatasan dalam segala hal tersebut. Hidup yang terbatas, kekuasaan yang terbatas, keadilan yang terbatas, kesabaran yang terbatas, kekuatan yang terbatas, ilmu yang terbatas, penglihatan dan pendengaran yang terbatas, serta dalam segala hal makhluk memiliki keterbatasan yang mutlak.
Anugerah-Nya kepada manusia dari sifat-Nya ini, ialah pada kekalnya jiwa yang dengan amal perbuatan-nya yang melekat terus di diri kemanusiaan, yang terus terbawa di kehidupan-kehidupan selanjutnya, baik itu adalah amal perbuatan baik ataupun amal perbuatan buruk. Kekal sebagai yang mendapat balasan nikmat ataupun balasan siksa selama adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), yang sesungguhnya merupakan sarana pemurnian (kesucian) jiwa agar dapat kembali kepada Tuhannya. Kembali kepada-Nya dalam keadaan bersih dari noda kekotoran selama bersinggungan dengan kehidupan dunia, karena yang dapat kembali kepada-Nya hanyalah mereka yang telah suci.
Segala perwujudan-Nya yang dalam bentuk ciptaan atau makhluk memiliki kekekalan berdasarkan waktu yang telah ditetapkan-Nya untuk suatu urusan dalam setiap rancangan semesta-Nya yang Akbar. Sifat Abadi-Nya mengukuhkan sifat-sifat sebelumnya yaitu sebagai yang wujud dan yang pendahulu. Juga yang mewujudkan segala bentuk dan sifat kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga Dia berbeda dengan selain-Nya, yaitu seluruh ciptaan atau makhluk-Nya, termasuk manusia yang ternyata sesungguhnya fana ternyata tidak ada atau hampa, karena selalu mengalami perubahan (hadits).
4.          Sifat Mukhalafathul Lil Hawaditsi
Bermakna, Allah berbeda dengan makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Maka segala sesuatu yang selain Dia tidak akan dapat menyamai sifat Allah. Dia-lah yang Maha Tunggal. Tidak ada definisi yang tepat yang dapat ditujukan kepada-Nya, kecuali apa-apa yang telah diterangkan oleh-Nya sendiri melalui firman-Nya.
Jadi jelaslah bahwa segala sesuatu selain Dia adalah tidak ada, kosong atau hampa, dan amat bergantung terhadap semua hal kepada-Nya. Ada karena diwujudkan oleh-Nya, jangankan hidupnya, matinya saja karena dimatikan oleh-Nya. Tidak sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan segala sesuatu adalah merupakan perwujudan-Nya, yang juga merupakan ciptaan atau makhluk-Nya tentu amat bergantung kepada-Nya.
Dan sifat berbeda inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yang memiliki jiwa dengan karakteristik yang saling berbeda satu sama lainnya. Sehingga dengan demikian, timbullah saling berketergantungan dan saling melengkapi satu sama lainnya dalam keselarasan ekosistem semesta, seperti yang telah ditetapkan dari kehendak-Nya (sunathullah), Tuhan seluruh alam.
Perbedaan ini memang ada efek di sisi negatif-nya, namun efek di sisi yang positif-nya jauh lebih besar dan lebih bermanfaat. Lihatlah seluruh perbedaan yang telah Allah ciptakan dan tersebar di alam ini. Bila segala sesuatu yang Dia ciptakan dalam bentuk, ukuran, sifat, gerak, dan warna yang seluruhnya memiliki persamaan, maka apa yang terjadi. Semua akan terlihat dan terasa monoton dan membosankan.
Dan Dia yang dengan rahmat-Nya memelihara seluruh segala sesuatu di semesta alam ini menjadi bergantung dan berharap akan kuasa perlindungan dan pemeliharaan-Nya disetiap waktu. Juga Dia yang tak pernah lelah dan tidur memelihara seluruh makhluk-Nya. Dengan demikian, hal tersebut membuktikan Dia sebagai yang berdiri sendiri atau bersifat mandiri.
5.          Sifat Qiyamuhul Binafsihi
Sifat-Nya yang berdiri sendiri atau mandiri, dan segala sesuatu selain Dia bergantung kepada-Nya, yaitu hidup dalam pemeliharaan-Nya yang sangat sempurna.
Dia tidak membutuhkan sesuatu sekecil atau sebesar apapun, justru kepada Dia-lah segala sesuatu berharap akan rahmat serta karunia-Nya. Segala sesuatu-lah yang sesungguhnya bergantung kepada-Nya. Adanya keberadaan segala sesuatu adalah karena kehendak-Nya, sehingga hanya Dia-lah yang memberikan rahmat pemeliharaan dan perlindungan. Maka, bagaimana mungkin Dia membutuhkan dari selain-nya, sedangkan selain-Nya amat berharap atas segala rahmat-Nya.
Dan sifat berbeda inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan di dalam kehidupannya agar dapat mandiri berusaha dalam menggapai dan mensyukuri setiap rahmat-Nya dengan tidak bergantung atau berharap kepada selain Dia, Tuhannya Yang Maha Pemurah lagi Maha Mandiri sebagai Yang Maha Tunggal.
Tentunya Allah menganugerahkan sifat inipun dengan menganugerah segala rahmat-Nya yang lain agar kemandiriannya dapat terwujud, seperti fisik dan kekuatan, akal dan pikiran, serta kesadaran dan rasa. Yang kesemuanya tersebut merupakan dasar pendukung bagi fitrah kehidupan setiap diri kemanusiaan agar menjadi khalifah di bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan demikian anugerah-Nya itulah yang menjadi petunjuk sebagai bukti, bahwa segala sesuatu mengarah tertuju hanya kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal sebagai tempat kembali segala sesuatu.
6.          Sifat Wahdaniyat
Dia-lah yang bersifat esa atau tunggal, sedangkan yang selain Dia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia, adalah berbilang atau jamak, bahkan tak terhitung. Bila dibandingkan, diri-nya bagaikan setetes dari jumlah tetesan air yang memenuhi lautan di atas permukaan bumi. Apalagi keberadaannya bila dibandingkan dengan semesta alam raya ini, bagai titik kecil yang tak terlihat. Dan segala sesuatu di semesta alam raya yang tak terhitung itu, bersumber atau berawal dari-Nya, serta akan mengarah kembali pulang kepada-Nya.
Karena di alam, kemurahan-Nya yang berupa rahmat kebaikan sebagai yang tunggal, menjadi tak terhitung dan berpasang-pasangan dipahami oleh diri-diri kemanusiaan. Dipahami sebagai kebaikan dan keburukan, kemudahan dan kesulitan, terang dan gelap, dan lain sebagainya yang merupakan segala sesuatu yang banyak tak terhitung dan berpasangan.
Akan tetapi, janganlah lupa, bahwa sebenarnya, diri ini yang dengan jasadnya meliputi milyaran sel bersama milyaran kehendak yang berada di bawah pengaruh dirinya. Adalah yang tunggal pula bersama keakbaran-nya. Sadarilah, sesungguhnya inipun adalah anugerah ketunggalan yang diberikan kepada setiap diri kemanusiaan sebagai perwujudan Dia Yang Maha Tunggal di alam dunia.
Tidak hanya ketunggalan pada wujudnya, tetapi juga dengan ketunggalan kehendak pada diri-nya, ketunggalan kehendak pada keluarga-nya, ketunggalan kehendak pada lingkungan atau kelompok-nya, terus kepada yang lebih luas lagi cakupannya sesuai dengan kapasitas kemampuan dirinya. Kesemuanya untuk mencapai kesempurnaan.
Ketetapan-Nya (sunathullah) yang menghendaki segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya memiliki kecenderungan mendapatkan pasangan-nya, untuk menentramkan rasa kebergantungan yang merupakan fitrah ciptaan atau makhluk kepada penguasa yang menguasainya.
7.          Sifat Qudrat
Sifat-Nya yang berkuasa, sedangkan bagi makhluk-Nya adalah yang dikuasakan, atau dapat pula diartikan sebagai yang diberi kuasa oleh-Nya. Dialah Penguasa Sejati, segala sesuatu selain Dia adalah yang dikuasai-Nya. Kekuasaann-Nya meliputi langit dan bumi, serta apa-apa yang terdapat diantara keduanya. Dan Dia tiada pernah lengah terhadap sesuatu, sekecil atau sebesar apapun itu.
Kekuasaan-Nya diiringi keadilan dan kebijaksanaan sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang serta Maha Memelihara. Dengan itulah terjaga keseimbangan berdasar ketetapan-Nya (sunathullah), sebuah keseimbangan semesta ciptaan-Nya.
Dan pada diri kemanusiaan pun dianugerahkan pula sifat kuasa ini kepadanya sebagai bukti gelar khalifah di bumi yang diberikan saat hendak mencipta kemanusiaan pertama, yaitu Adam AS. Tentu sifat kuasa yang dianugerahkan-Nya tidak untuk dipergunakan sebagai yang merusak dan saling menumpahkan darah (QS 2:30), seperti yang dikhawatirkan para malaikat.
Sayangnya pula kekhawatiran para malaikat terhadap dua hal tersebutlah yang justru benar-benar terjadi selama ini dalam sejarah peradaban kemanusiaan. Keserakahan akibat hawa nafsu yang mendasari dua perbuatan buruk tersebut adalah, seperti tidak bertanggung jawabnya pada kerusakan alam akibat dieksploitasi habis-habisan kemudian ditinggalkan. Tidak bertanggung jawabnya atas kerusakan kehidupan sosial kemasyarakatan akibat mengejar kebutuhan materi, seperti tumbuh dan berkembangnya prostitusi, judi, hiburan malam, dan narkoba yang merusak moral kehidupan kemanusiaan itu sendiri. Juga pada ego diri ataupun kelompok golongan yang demi kepentingannya, maka menafikan nilai-nilai kemanusiaan, kebaikan dan kebenaran, yang bahkan dapat berujung kepada saling menumpahkan darah.
Kembali kepada kesadaran bahwa sifat qudrat (kuasa)-nya sebagai yang dianugerahkan Tuhannya kepada diri-nya adalah sebagai amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkan, merupakan hal mutlak agar menyadari fitrah-nya sebagai wakil Tuhan di bumi sebagai khalifah yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
8.          Sifat Iradat
Dia-Lah yang sesungguhnya memiliki sifat kehendak tehadap segala sesuatu, sedangkan makhluk-Nya adalah yang diberi kehendak oleh-Nya.
Kehendak-Nya merupakan suatu ketetapan yang mutlak bagi maupun dengan melalui makhluk atau ciptaan-Nya. Melalui makhluk-nya, siapapun atau apapun dia, yang pada saat itu dijadikan alat atau aparat-Nya dalam menyampaikan kehendak-Nya, baik itu merupakan rahmat sebagai suatu kebaikan, ataupun azab sebagai suatu keburukan.
Sifat kehendak ini yang juga dianugerahkan kepada diri-diri kemanusiaan sebagai yang harus dimurnikan atau disucikan dari kekotoran ego dan hawa nafsunya agar kelak dalam mewujudkannya tetap berada pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, sebagai amanat yang kelak akan dipertanggung jawabkannya.
Sifat kehendak ini pula ternyata sebagai yang membawa kepada anugerah kepada sifat-sifat lainnya yang mendukungnya dari mulai penglihatan, pendengaran, hingga petunjuk ilmu dan rasa (hati) yang membuat kehendak-nya ini menjadi bermanfaat dan dapat menetapkan dirinya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Yaitu kehendak-nya yang merupakan perwujudan dari kehendak Dia Yang Maha Tunggal yang sesungguhnya merahmati segala sesuatu yang ada pada dirinya maupun yang datang kepadanya. Bahkan segala sesuatu yang di luar dirinya, baik yang diketahui maupun yang belum atau tidak diketahuinya, seluruhnya sebagai yang berada di dalam kehendak-Nya.
Dan segala sesuatu yang merupakan makhluk-Nya yang berada dalam naungan pemeliharaan-Nya dan berada di dalam kehendak dengan kuasa dan hukum-Nya (sunathullah), akan saling menciptakan keseimbangan kehidupan, yaitu kesetimbangan semesta sebagai ketetapan-Nya yang mutlak. Sehingga segala sesuatu di alam tiada yang lepas dari pengetahuan dan ilmu-Nya.
9.          Sifat Ilmu
Dia-lah yang bersifat ilmu, yaitu yang sejatinya pemilik ilmu. Sedangkan segala sesuatu selain Dia makhluk adalah yang diberi ilmu, atau dapat disebut pula sebagai keilmuan oleh-Nya. Dan yang selain Dia itu pulalah, yang jangankan memiliki kepintaran, kebodohan pun tidak akan dimiliki-nya bila tidak diberikan oleh Tuhannya.
Dan pada setiap diri kemanusiaan yang diciptakan-Nya dengan kesempurnaan melalui ilmu yang dianugerahkan-Nya yang membedakan dirinya dengan makhluk lainnya, yaitu gelar ke-khalifahan kepadanya. Jadi, ilmu tersebut merupakan anugerah berupa amanat yang kelak harus pula dipertanggung jawabkannya. Ilmu-nya adalah merupakan ilmu-Nya, yang kelak akan kembali kepada pemilik sejati-Nya tetap dalam kemurnian dan kesuciannya, tidak terkotori atau terkontaminasi oleh ego dan hawa nafsunya.
Anugerah inilah yang diberikan kepada Adam, bapak dari setiap diri kemanusiaan, yang justru menimbulkan kedengkian sebagian malikat-Nya. Kemudian disebutlah dia iblis, yaitu malaikat yang membangkang dari perintah Tuhannya (QS 2:30-34). Kedengkiannya itu menjadi dendam abadi sepanjang masa, sampai hari akhir (kiamat), yang berusaha hendak menjerumuskan setiap diri kemanusiaan kedalam kesesatan. Namun, dengan rahmat ilmu inilah manusia, yang bila memanfaatkannya secara maksimal agar tetap dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dapat menghindarkan dirinya dari penyesatan iblis, dan dapat pula mencapai kesempurnaan-kesempurnaan lainnya dalam kehidupannya. Yaitu ilmu yang bermanfaat, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
10.     Sifat Hayyat
Allah bersifat hidup, sehingga hanya Dia-lah yang sejatinya hidup, sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang menerima atau diberi hidup atau kehidupan. Dan yang selain Dia pasti mengalami kematian kemudian terurai di alam. Dan yang selain Dia pula, jangankan kehidupan, kematiannya pun merupakan atas kehendak dan izin-Nya. Hidup-Nya lah yang menghidupkan segala sesuatu ciptaan-Nya.
Begitupun pada diri-diri kemanusiaan yang dianugerahi hidup-Nya bagi kehidupan-nya. Anugerah inipun adalah amanat kepada kemanusiaan sebagai yang harus dipertanggung jawabkannya kelak. Kehidupan kemanusiaan yang membawa tugas amanat sebagai wakil Tuhan di muka bumi agar menjadi rahmat bagi sesama makhluk-Nya di alam. Dengan demikian kematiannya pun tetap melalui kehendak-Nya, tidak seenaknya mengakhirinya sendiri.
Kehidupannya adalah karena diutusnya aparat-aparat (malaikat) Allah pembawa hidup kepada seluruh apa-apa yang berada pada tubuh atau jasad-nya. Mata dapat melihat, telinga dapat mendengar, dan mulut dapat mengucap. Bahkan kepada hidup-hidup yang lebih halus yang tidak terasa telah bekerja di dalam jasad, seperti jantung yang berdetak untuk memompa darah, paru-paru yang mengatur pernafasan dan suplay oksigen, usus yang mencerna, sampai kepada metabolisme sel-sel yang jumlahnya milyaran, yang kesemuanya bekerja dalam keseimbangan dalam suatu sisitem kehidupan. Kesemuanya bukanlah diri kita yang mengatur dan memerintahkan-nya.
Bila disadari, sistem kehidupan yang bekerja di dalam satu tubuh diri kemanusiaan, seperti dijelaskan di atas, seharusnya dapat berharmonisasi dengan kehidupan di luar tubuh atau jasad-nya, sehingga terjadi keseimbangannya. Yaitu, kehidupan yang membawa dan menciptakan kehidupan kepada yang lainnya, yang tidak merusak kehidupan atau bahkan saling menumpahkan darah. Kehidupan sebagai khalifah yang merupakan fitrah yang telah ditetapkan oleh-Nya, yang paling tidak adalah sebagai yang memimpin dirinya tetap berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Begitulah kehidupan kemanusiaan sebagai yang menerima anugerah hidup dari Dia Yang Maha Hidup lagi Yang Maha Pemurah.
Kehidupan diri-diri kemanusiaan adalah merupakan perwujudan hidup-Nya, karena kemanusiaan adalah wakil-Nya di alam dunia. Yang mewakili sifat-sifat Dia sebagai Ar Raahman. Kehidupannya akan menjadi bernilai bila pula memanfaatkan anugerah lainnya seperti dengan anugerah pendengaran, penglihatan, dan pengucapan.
Dan sungguh kebanyakan diri-diri kita lalai dari mensyukuri betapa berharganya nilai kehidupan ini, terutama dengan telah diterimanya pendengaran, penglihatan, dan pengucapan. Dan baru akan disadarinya kelak dengan penyesalan yang dalam, bila salah satunya hilang dari dirinya. Apa rasanya mengetahui ada yang perlu dilihat tetapi matanya buta, atau mengetahui ada yang perlu didengar tetapi telinganya tuli, dan ada yang perlu diucapkan tetapi mulutnya bisu?
Ingatlah, sesungguhnya setiap diri kemanusiaan adalah hanya menerima nikmat-Nya, sama sekali tidak ada yang dimilikinya. Hidup-nya saja karena kehidupan yang sesungguhnya dianugerahkan Tuhannya. Menghendaki hidup pun tidak. Pernahkah diri-nya minta dihidupkan? Tentu tidak. Bila demikian mengapa menjadi ada rasa takut mati? Sedangkan meminta hidup saja pun tak mampu, bila tak digerakkan oleh Tuhannya.
Apakah juga pernah meminta nafas, atau meminta udara untuk bernafas? Tentu juga tidak. Ingatlah kembali ketika terserang sakit flu, saat dada sesak dan hidung tersumbat. Maka kelegaan bernafas menjadi terasa mahal baginya saat itu. Renungkanlah, bila melihat orang yang sedang sakit, untuk bernafasnya saja dia harus membeli oksigen. Begiitulah sesungguhnya nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Dan kita sebagai diri-diri kemanusiaan hanya menerima nikmat dari segala rahmat-Nya.
Semua telah Dia berikan, dan bila pemberian-Nya tersebut dapat hilang dari kita, tentulah itu disebabkan ulah diri kita sendiri. Bukan Dia yang mencabut pemberian-Nya. Segala apa yang diberikan Allah kepada diri kemanusiaan adalah hanya rahmat dari Dia Yang Maha Pemurah (ar raahman), dan rahmat-Nya tersebut menjadi keburukan adalah karena ulah dirinya sendiri. Sesungguhnya bukanlah Tuhan yang memberi keburukan, melainkan dirinya sendiri yang telah mengkufuri nikmat Tuhannya.
11.     Sifat Sama’
Dia bersifat mendengar, maka segala sesuatu selain Dia dapat mendengar bila telah diberikan pendengaran oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul lil hawaditsi), maka Dia mendengar tidak menggunakan telinga, tidak memerlukan organ-organ pendengaran. Dia mendengar segala sesuatu dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi pendengaran-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat mendengar karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha Mengetahui, dalam hal ini Dia mengetahui melalui dengar-Nya. Dia mendengar segala sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin di dalam hati. Dia mendengar pula segala suara apa-apa yang berada di kejauhan langit dan yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Segala sesuatu termasuk dengan diri-diri kemanusiaan dapat mendengar adalah karena anugerah pemberian dari Dia Yang Maha Pemurah. Pendengaran yang diberikan kepada manusia adalah memiliki keterbatasan, dikarenakan sifat-sifat lainnya yang terbatas pula. Dan segala keterbatasan menjadi ada karena di alam, karena organ-organ pada jasadnya yang membatasi. Dan karena keterbatasannya itupun maka menjadi rahmat yang perlu disyukurinya. Bayangkanlah seandainya dirinya yang serba terbatas dapat mendengar segala macam suara. Juga segala macam alat atau organ, termasuk organ-organ pendengaran yang melekat pada jasad kemanusiaan adalah merupakan aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Harmonisasi terhadap yang lainnya, maksudnya adalah, daun telinga yang menerima informasi suara yang sebagai gelombang energi yang menggetarkan gendang telinganya, kemudian getaran-getaran tersebut disalurkan melalui sistem saraf untuk dibawa ke otak untuk diolah sebagai data-data informasi. Sementara, reaksi balik otaknya menunggu perintah dari hati-nya yang mengelola dan mengatur berdasarkan data-data informasi yang tertanam di otaknya.
Hati yang sedang gelisah takkan dapat mengelola segala informasi yang masuk tersebut dengan baik. Begitupula hati yang amat dipengaruhi hawa nafsu (keburukan), maka akan meresponnya dengan keburukan pula. Begitupun hati yang telah dipenuhi oleh kesibukan dunia, maka tiada akan merespon yang asing dari dunia-nya, seperti informasi tentang akhirat. Dengan berjalan kehidupan-nya, tanpa disadari, sebenarnya adalah usaha melatih keharmonisan organ-organ tersebut melalui pengalaman-pengalamannya.
Mensyukuri anugerah pendengaran ini dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi lebih peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
12.     Sifat Bashar
Dia bersifat melihat, maka segala sesuatu selain Dia, dapat melihat bila telah diberikan anugerah penglihatan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul lil hawaditsi), maka Dia melihat tidak menggunakan mata, tidak memerlukan organ-organ penglihatan. Dia melihat segala sesuatu dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi penglihatan-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat melihat karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha Mengetahui, dalam hal ini Dia mengetahui melalui lihat-Nya. Dia melihat segala sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin di dalam hati. Dia melihat pula segala kejadian apa-apa yang berada di kejauhan langit dan yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Dan segala macam alat atau organ-organ penglihatan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya pula. Makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya yang ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Bila pada pendengaran, data informasi yang diterimanya adalah suara, getaran-getaran yang dihantarkan sistem sarafnya membawa energi gelombang bunyi ke otak, maka pada penglihatan informasi yang diterimanya adalah bentuk dan warna yang kemudian disalurkan sarafnya ke otak. Dan tetap dipengaruhi oleh hati untuk mengelola informasi tersebut.
Sehingga hati-lah yang sesungguhnya dominan merasakannya yang mempengaruhi pengelolaan setiap informasi yang masuk tersebut. Seluruh informasi tersebut dirasakan dan dinilai menjadi baik atau buruk, sehingga yang akan keluar pun tentunya dalam bentuk kebaikan atau keburukan.
Juga dalam mensyukuri anugerah inipun, dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi lebih peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
13.     Sifat Kalaam
Dia bersifat berbicara, maka segala sesuatu selain Dia, dapat berbicara bila telah diberikan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul lil hawaditsi), maka Dia berbicara tidak menggunakan mulut, tidak memerlukan organ-organ pengucapan. Dia berbicara dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi pengucapan-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun. Dan Dia-pun tak terbatas hanya kepada mendengar apa-apa yang diucapkan di dalam hati, sekalipun baru hanya niat, maka telah diketahui-Nya.
Anugerah ini adalah salah satu jenis respon yang keluar dari hati-nya melalui alat-alat atau organ-oragan pengucapan. Dari mulai apa yang telah dikelola hatinya berdasarkan informasi-informasi  yang telah tertanam di otaknya, yang kemudian disalurkan melalui sistem sarafnya kepada organ pita suara yang berada dikerongkongan bergerak kepada lidah dan langit-langit, kemudian keluar dari mulut dengan bibirnya.
Karena itulah segala ucapan yang keluar dari mulutnya, sesungguhnya, adalah cerminan apa yang ada di dalam hati. Begitulah pengaruh hati yang amat dominan dalam setiap gerak kehidupan diri-diri kemanusiaan, yang hendaknya selalu terjaga dalam kesucian dan kemurniannya. Ucapan bagaikan mata pedang yang siap mencelakakan orang lain dan juga dirinya sendiri.
Dan segala macam alat pembicaraan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya, agar terjadi harmonisasi terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan Allah pada diri-diri kemanusiaan.
S
elamilah urutan makna-makna ketiga-belas dari dua puluh sifat Allah tersebut, dari mulai wujud yang masih mengandung makna yang sangat luas pengertiannya, semakin dipersempit atau diperjelas sampai dengan iradat. Kemudian semakin diperjelas kembali oleh sifat ilmu sampai dengan kalaam. Sungguh maha sempurna Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya, sekalipun itu hanyalah penyampaian.
Kemudian pada ketujuh sifat Allah pada uraian selanjutnya memiliki keunikan, disebabkan, ternyata adalah pengulangan beberapa sifat-sifat yang diurai sebelumnya, hanya ditambahkan kata ‘Maha’, sehingga lebih bermakna mutlak dalam penafsirannya.
Segala macam sifat-sifat Tuhan tersebut, bahkan yang tak tersebutkan sesungguhnya telah dianugerahkan-Nya kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak dan ketetapan-Nya. Dan kepada seluruh makhluk-Nya, Allah menganugerahkan sifat-sifat tersebut sebagai petunjuk atau ilmu dan pengetahuan yang berupa perintah dan larangan yang suci dari kesalahan, kekurangan, maupun kecacatan  dengan memerintahkan dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya (yudabiruu fil ‘amr). Suci dari kesalahan-nya akan ternodai bila diri manusia lebih memilih hawa nafsu-nya sebagai yang lebih mendominasi dibanding dengan petunjuk Tuhan-nya, sehingga tatanan atau kadar yang telah ditetapkan Tuhan-nya dilanggarnya dengan membabi-buta.
Pada diri-diri kemanusiaan, diperintahkan dari tempat tunggal-Nya, yaitu dari kalbu atau lubuk hati yang paling dalam, sebagai tempat yang Maha Halus lagi Maha Pengasih dan Penyayang ter-rasa berada. Diperintahkan kepada aparat-aparat Allah yang berada pada jasad tubuh manusia, seperti, akal untuk berfikir, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium bebauan dan bernafas, mulut untuk berbicara atau makan dan minum, sampai kepada organ-organ tubuh maupun sel-sel pembentuk jaringan, seperti, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, dan memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan, maupun perintah-perintah lainnya yang ternyata bukanlah diri sendiri yang memerintahkan, melainkan Dia-lah yang Maha Halus dan Bathin-lah yang sesungguhnya tanpa terasa yang menetapkan kadarnya, memerintahkan, mengatur, kemudian memelihara setiap urusan pada makhluk ciptaan-Nya.
Bayangkanlah, bila satu urusan saja Dia perintahkan kepada aparat-Nya untuk ‘libur’, tak bekerja, maka apa yang terjadi pada tubuh? Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada jasad-nya. Sakit. Sungguh Dia Maha Meliputi segala sesuatu, baik itu kuasa-Nya, kehendak-Nya, rahmat-Nya, ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, bahkan sampai kepada wujud-Nya.
Mari kembali kepada uraian sifat-sifat Tuhan selanjutnya, setelah barusan sempat terhenti demi penjelasan yang terasa begitu penting, agar maknanya dapat menjadi hikmah untuk uraian selanjutnya yang menjelaskan sifat-sifat yang merupakan hak mutlak Allah memerintahkan langsung melalui aparat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan yang telah dipilih-Nya.
14.     Sifat Qadiraan
Sifat Allah yang Maha Kuasa, yaitu sifat kuasa-Nya yang mutlak yang tiada segala sesuatupun yang dapat menggugat atau bahkan melemahkan kuasa-Nya. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, makhluk ciptaan-Nya, memiliki kekuasaan karena diberikan oleh-Nya, yang merupakan perwujudan kekuasaan-Nya di alam. Dia memiliki kekuasaan mutlak yang tidak terbatas, tidak dibatasi oleh ruang, tidak pula dibatasi oleh waktu, tidak oleh apa dan siapapun.
Makhluk-Nya diberikan pula kekuasaan sebagai anugerah atau karunia dari-Nya, akan tetapi karena di alam, maka kekuasaan yang diterimanya pun amatlah terbatas oleh ruang dan waktu, serta oleh apa dan siapa. Dia Maha Berkuasa terhadap segala sesuatu, dan segala kuasa-Nya adalah kebijaksanaan sebagai Yang Maha Memelihara segala sesuatu makhluk-Nya sebagai keseimbangan semesta yang mutlak di alam. Dan segala kuasa-Nya mutlak pula didahului oleh kehendak-Nya.
Keterbatasan kekuasaan yang diberikan secara umum kepada kebanyakan diri-diri kemanusiaan, akan tetapi secara khusus, ada pula sebagiannya yang diberi kelebihan kekuasaan dibanding yang lainnya. Kadar atau tingkat kuasanya, dari hanya menguasai dirinya sendiri, sampai kepada menguasai yang jauh lebih luas, seperti keluarga, lingkungan, suku, daerah aatu wilayah, sampai bangsa atau negara.  Begitulah Maha Kuasa-Nya Dia mengatur kehidupan ini agar tercipta keharmonisan dari saling kebergantungan satu sama lainnya secara sempurna.
Tidaklah diri-diri kemanusiaan dapat memaksakan secara berlebihan dalam pengelolaan kekuasaannya menurut sekehendak hatinya. Bila itu terjadi, maka tunggulah kejatuhannya. Karena begitulah sistem aturan kehidupan (sunathullah) yang telah ditetapkan-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya sebagai sistem semesta pula, kebanyakan menyebutnya sebagai hukum alam.
Kuasa sebagai wujud sifat khalifah adalah tetap dalam koridor fitrah kemanusiaan sebagai perwujudan Dia Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang membawa rahmat Tuhannya kepada seluruh makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
15.     Sifat Muridhaan
Yaitu sifat Allah yang Maha Kehendak, sedangkan ada pula diri-diri kemanusiaan diberi kehendak oleh-Nya lebih dibanding yang lainnya. Pada makhluk pun memiliki kehendak, namun Allah Maha Mengetahui siapa yang pantas dilebihkan, karena Dia lebih mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya berdasarkan keadilan, kebijaksanaan, serta ilmu-Nya.
Diri-diri kemanusiaan pun memiliki kehendak atau keinginan sebagai anugerah-Nya pula, namun tidak semua diri kemanusiaan diberi lebih. Ada beberapa yang diberi lebih dibanding yang lainnya. Sebenarnya hal ini dikarenakan kehendak atau keinginan-nya tersebut amat dipengaruhi hawa diri-nya atau nafs-nya, mereka yang dilebihkan adalah mereka yang kehendaknya tidak terkontaminasi oleh ego dan hawa nafsunya akibat terhanyut oleh megahnya perhiasan dunia. Bila telah tidak begitu, maka kehendak-nya merupakan kehendak-Nya, yaitu Dia Yang Maha Berkehendak.
Dilebihkan-Nya kehendak kepada mereka, sekalipun terkadang diperjalanannya, diri kemanusiaan, dapat pula terkontaminasi oleh penyesatan iblis sehingga memiliki kesalahan-kesalahan, akan tetapi hal tersebut merupakan pelatihan sebagai penyaring kesempurnaan jiwa mereka pula. Ibarat seorang anak yang sedang belajar berjalan mengalami jatuh bangun, serta kesakitan akibat benturan. Tetapi spirit hendak menyempurnakan segala geraknya menjadikannya lebih bernilai, sebagai harapan yang pasti akan terwujud.
“...... Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS 2:30)
Dia Maha Berkehendak, dan tidak ada kecacatan ataupun kesalahan sedikitpun dari setiap kehendak-Nya, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, dan tidak sesuatupun yang dapat luput dari pengetahuan-Nya.
Dia Maha Kuasa, maka Dia pun berkehendak, dan kehendak-Nya pasti selalu diiringi oleh pengetahuan-Nya, karena itulah setiap kehendak-Nya tersebut menjadi sempurna terwujudnya.
16.     Sifat Alimaan
Segala sesuatu selain Dia tidak ada yang luput dan selalu berada dalam kuasa kehendak-Nya, dalam kuasa cipta-Nya, serta dalam kuasa pemeliharaan-Nya. Oleh sebab itulah Dia bersifat Maha Mengetahui. Yang segala macam pengetahuan berada dalam ilmu-Nya. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, baik yang tersebar dilangit dan dibumi tanpa ada yang luput dari pengetahuan-Nya.
Diri-diri kemanusiaan, pada dasarnya, selain telah diberi pengetahuan berupa kitab yang telah tertanam di dalam dada (kitab mubiyn), ternyata masih menerima juga ilmu yang ditambahkan (dilebihkan dari orang-orang kebanyakan) dengan cara bertahap melalui petunjuk-Nya sesuai respon kesadaran jiwanya. Beberapa diberi lebih dibanding kebanyakan karena hatinya telah mengalami kepekaan. Hal yang mempengaruhi kepekaan hati adalah kekotoran yang melekat dan menutupi masuknya petunjuk ilmu dari-Nya, semakin banyak kekotoran yang melekat dan menutupi maka hatinya akan semakin buta, karena kesadarannya tak dapat merespon akalnya untuk berpikir. Kekotoran hati banyak penyebabnya, diantaranya adalah pengakuan (ego), hawa nafsu yang tak terkontrol, kebencian, iri dan dengki, munafik, kejam, taklid buta, dan masih banyak lagi yang lainnya sebagai hal-hal keburukan.
Sebaliknya, menjaga hati agar selalu bersih dari kekotoran adalah seperti kaca yang selalu terjaga kejernihannya, dimana segala macam cahaya yang menerangi sebagai petunjuk dapat masuk ke dalamnya, sedangkan debu-debu kekotoran yang hendak ikut masuk terhalang oleh kaca tersebut yang terjaga terus kejernihannya. Begitulah ilmu yang sebagai petunjuk dapat masuk ke dalam hati yang bersih, sehingga kesadarannya dapat merespon akalnya untuk berpikir lebih jauh lagi kepada pemahaman dan hikmah.
Kehidupan dunia (material) yang menghanyutkan setiap jiwa kemanusiaan juga membawa debu-debu kotoran yang jelas dapat melekat di hati, sehingga bila hati tak sering dibersihkan maka debu-debu tersebut akan terus menumpuk dan semakin sulit serta membuat rasa malas untuk membersihkannya. Dan hatinya pun menjadi terhalang untuk mengetahui segala wujud bathin yang tak dapat dilihat mata lahirnya.
“....... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”  (QS 22:46)
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Sungguh banyak ayat yang mengingatkan kembali betapa pentingnya menjaga kebersihan hati untuk dapat menerima petunjuk dari-Nya yang berupa ilmu dan pemahaman yang akan terus datang sebagai rahmat-Nya tanpa pernah habis-habisnya sampai akhir zaman.
“....... Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh keringlah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (lagi).”  (QS 18:109)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS 31:27)
17.     Sifat Hayyaan
Dia-lah Allah yang Maha Hidup. Segala sesuatu selain Dia diberi kehidupan oleh-Nya. Maka segala sesuatu selain Dia akan mengalami kematian, yaitu berakhir, kemudian terurai menjadi sesuatu yang lain, mengalami alam (kehidupan) yang lain. Dan bila tiba saatnya, maka sesuatu yang lain tersebut berkumpul kembali, siap untuk dibangkitkan oleh-Nya. Begitulah yang terjadi pada seluruh makhluk atau ciptaan-Nya. Seperti siklus terjadinya hujan.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Pada hal keberadaan kehidupan insan kemanusiaan, kebanyakan  tidak mau mempercayai dan menganggap tabu hal ini dikarenakan sama saja dengan membenarkan atau mengakui proses reinkarnasi yang ada pada ajaran Hindu dan Budha. Padahal banyak dijelaskan didalam firman-Nya yang menyebutkan kebangkitan  setelah kematian, tetapi ini dipahami hanya pada setelah kejadian hari akhir, yang justru membelenggu kedinamisan pemahaman. Padahal reinkarnasi (siklus kebangkitan) adalah proses siklus tidur dan bangun dalam skala besar (tidur sama dengan mati, dan bangun sama dengan hidup). Kelak kita akan mengulas tuntas di keimanan terhadap hari akhir, dibelakang.
Jangankan hidupnya, bernafas-nya sajapun karena anugerah yang diberikan-Nya. Dari paru-paru, hidung, mulut, serta saluran-saluran pernafasannya. Adakah kehendaknya yang memerintahkan organ-organ tersebut untuk menerima udara bagi pernafasannya? Udaranya saja, Dia yang menyediakan. Disinilah peran para aparat Allah (malaikat) dalam menjalankanfungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
Akan menjadi lebih bernilai lebih lagi bila telah dapat merasakan pendengaran tidak hanya melalui telinga, merasakan penglihatan tidak hanya melalui mata, dan merasakan ucap tidak hanya melalui mulut. Begitulah hidup yang telah mencapai tingkat rasa. Yaitu hati-nya pun telah hidup, hatinya yang melihat, hatinya yang mendengar, dan hatinya yang mengucap.
Bukan hanya jasadnya yang hidup, akan tetapi dirinya telah menghidupkan hati-nya menjadi lebih peka terhadap segala sesuatu. Mereka inilah yang mendapat karunia dari Tuhannya, sebagai termasuk orang-orang yang dilebihkan dari kebanyakan diri-diri kemanusiaan pada umumnya. Semakin bersih hatinya maka semakin tinggi pula kualitas hidupnya.
Bukan lagi diri-nya yang melihat, mendengar, dan berucap. Melainkan dia melihat melalui penglihatan-Nya, dia mendengar melalui pendengaran-Nya, dan dia mengucap dengan pengucapan-Nya. Hatinya yang memberitahukannya, bahwa dirinya diberi kekuatan untuk dapat melihat, mendengar, dan mengucap oleh kekuatan dan kekuasaan Allah Yang Maha Pemurah, ar raahman. Tiadalah kekuatan selain dari kekuatan-Nya, bahkan dalalm berkehendak pun tiadalah dirinya memiliki kekuatan. Karena Dia-lah yang sesungguhnya berkehendak, bukanlah dirinya sendiri yang berkehendak melihat, berkehendak mendengar, ataupun berkehendak mengucap.
Tetapi pengakuan (ego) begitu kuat menyesatkan, seolah-olah atas kehendaknya sendirilah dia dapat melihat, mendengar dan mengucap, padahal segala sesuatunya amat bergantung kepada Tuhannya. Tarikan dan hembusan nafasnya pun dirinya tak memiliki kuasa atasnya. Dan terhadap fungsi organ di dalam jasad, seperti jantung yang berdetak dan memompa darah, paru-paru yang menghisap oksigen, usus yang mencerna, dan lain-lainya bahkan hingga kepada gerak hidup (metabolisme) sel-sel tubuhnya, yang kesemuanya adalah bukan dia yang menguasai dan memerintahkan mereka untuk bekerja. Hidupnya adalah karena kehidupan yang diberikan Tuhannya, sehingga yang dirasakan olehnya adalah dirinya menjadi dapat melihat, mendengar, dan mengucap yang merupakan nikmat yang belumlah disyukurinya.
Begitulah Dia Yang Maha Pemurah memberikan nikmat hidup, yang baru hanya apa yang ada didalam jasadnya. sudah begitu tak terhitung kuasa Dia atas jasad kita, bahkan diri pun tak sadar atas kekuasaannya tersebut. Setelah sakit datang, dan terbaring di tempat tidurnya, barulah menyebut nama Tuhannya, merintih dan meminta pertolongan-Nya.
Kita, diri-diri kemanusiaan, diberi pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat berharmonisasi dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya dapat meraskan nikmat-nikmat lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di langit.  Yang dengan pendengaran, penglihatan dan ucap tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya dalam bentuk rahmatan lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhan kepada sesama makhluk-Nya.
18.     Sifat Sami’aan
Tiada sesuatu bunyi  pun yang dapat luput dari pendengaran Allah, sekalipun yang berada di dalam kedalaman bumi atau lautan dengan suara pelan atau bahkan berbisik-bisik. Dia-lah yang Maha Mendengar. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi pendengaran bila dikehendaki-Nya.
Seperti yang telah diulas di atas, Dia-lah yang sesungguhnya memiliki pendengaran, sedangkan makhluk-Nya adalah diberi alat-alat pendengaran yang merupakan aparat-aparat Allah jua dalam suatu ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuata-nya untuk dapat mendengarpun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
Adakah diri-nya yang berkuasa dan yang sesungguhnya memerintahkan organ-organ pendengarannya untuk bekerja, dari mulai menerima bunyi yang masuk ke telinga sebagai gelombang dan menyentuh serta menggetarkan gendang telinga kemudian getaran-getaran sebagi informasi tersebut disalurkan saraf-sarafnya menuju otak, dan seterus-seterusnya? Begitulah yang dimaksud dengan peran para aparat Allah (malaikat) dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (para malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS 32:9)
Bahkan diri kita saja tak sanggup memahami bagaimana organ-organ tersebut dapat ada dan terbentuk. Dari apa dan bagaimana proses pembentukannya saja kita tak memahaminya, apalagi dapat menguasai atau memerintahkannya. Yang kita punya, hanya merasakan nikmat-Nya saja tidak lebih.
Terganggunya saja pendengaran kita, seperti masuknya air ke dalam telinga, maka nikmatnya berkurang dan membuat resah. Apalagi bila pendengaran tersebut dapat hilang.
19.     Sifat Bashiraan
Tiada sesuatu kejadian pun yang dapat luput dari penglihatan Allah, sekalipun yang terjadi di dalam kedalaman bumi atau lautan. Dia-lah yang Maha Melihat. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi penglihatan bila dikehendaki-Nya. Dan dikarunikan-Nya kepada beberapa orang yang telah dikehendaki-Nya berupa kelebihan diantara yang lainnya. Sesungguhnya Dia Maha Adil lagi Maha Bijaksana dengan kehendak-Nya tersebut.
Begiu pula dalam penglihatan, Dia-lah yang sesungguhnya memiliki penglihatan, sedangkan makhluk-Nya adalah diberi alat-alat penglihatan yang merupakan aparat-aparat Allah jua dalam suatu ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat melihatpun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
“....... Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”  (QS 22:46)
Ya, seluruh indera dan fungsi jasad kita haruslah dalam keseimbangan yang harmonis dengan hati yang sesungguhnya amat berperan dalam setiap amal perbuatan. Amal perbuatan adalah cerminan apa yang berada di dalam hati, maka hati yang bersih dari kotoran yang melekat, akan membuka kesadaran dan akal kita untuk tetapa berada dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, serta mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatan yang juga berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran pula.
“.... Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.”  (QS 30:28)
Hati yang jernih, akan membuat akalnya tidak tersesat kepada pemikiran-pemikiran yang dapat merugikan dirinya sendiri dibelakang hari. Bahkan hatinya dapat lebih jauh lagi melihat pada hal-hal yang masih tersembunyi (ghaib) yang orang-orang lain belum melihatnya. Begitulah Allah melebihkan penglihatan beberapa orang diantara yang lainnya, yaitu kepada mereka yang membersihkan hatinya sehingga dapat menerima sebanyak-banyak petunjuk dari-Nya. Adakah yang lebih bijaksana dan adil dari selain-Nya?
20.     Sifat Mutakalimaan
Dia-lah yang Maha Berbicara, sedangkan segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dapat berbicara bila diberi atau dikaruniakan oleh-Nya. Dia berbicara melalui wujud karya ciptaan-Nya, ilmu-Nya, kuasa-Nya, dan melalui kehendak-Nya, pemurah-Nya, serta kasih dan sayang-Nya.
Bahkan, Dia dapat langsung berbicara kepada makhluk-Nya, siapapun, jika Dia sendiri menghendaki. Apakah melalui ilham, ide, ataupun melalui sebuah mimpi. Yang juga merupakan demi sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat berbicarapun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
Dia memberikan karunia pertunjuk kepada mereka, diri-diri kemanusian, yang telah menyiapkan dirinya untuk menerima petunjuk-Nya. Yaitu mereka yang membersihkan hatinya dari kekotoran yang menghalangi masuknya cahaya (petunjuk) Allah serta karunia-karunia Dia yang lainnya.
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. (QS 76:2)
Mereka inilah yang dilebihkan diantara yang lainnya. Begitu banyaknya contoh mereka yang dilebihkan dalam ucapnya oleh Allah, seperti presiden pertama RI Sukarno sebagai orator ulung, yang pidato-pidatonya dapat menghinoptis mereka yang mendengarnya, dan menggugah jutaan rakyatnya bersatu dan berjuang melawan penjajah, padahal mereka terpisah-terpisah oleh pulau, terpisah-pisah oleh adat istiadat, bahkan oleh komunikasi yang amat sulit tidak seperti sekarang.
Juga seperti yang lainnya, mereka yang penyanyi, yang suara alunan lagunya dapat menggugah emosi pendengarnya bergolak, menangis, atau bahkan berjingkrak-jingkrak tak perduli lagi telah menghilangkan kesadaran normalnya.
Kurang apalagi Allah mengkaruniakan segala sifat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Adakah yang dapat diingkari? Atau adakah kecacatan dari segala yang diberikan-Nya? Jika diri kita hendak mencari, dan bila menemukannya, maka kekurangan atau kecacatan tersebut akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai akibat dari ulahnya sendiri.
Dia-lah Allah Yang Maha Tunggal, ar raahman, Yang Maha Pemurah, yang memerintah dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya untuk menjalankan apa-apa yang menjadi kehendak-Nya.
Tempat Tunggal
Dimanakah Allah berada? Begitu banyak pula jawaban, tetapi tak pernah dapat memuaskan hati. Diantaranya adalah, kemana pun menghadap disitulah wajah Allah, Allah lebih dekat dari urat leher sendiri, Allah bersemayam di arsy, dan bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Allah berada di langit, tak heran bila selalu mengadahkan wajahnya ke atas saat berdoa memohon kepada-Nya.
Allah meliputi seluruh makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Seluruhnya, yaitu segala sesuatu baik nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat. Betapa luasnya jangkauan pemahaman ini sehingga seluruh jawaban diatas adalah nyata benarnya. Maka dapat disimpulkan, bahwa segala sesuatu tersebut, seluruh tempat (alam), sesungguhnya justru yang berada dalam jangkauan-Nya, bukanlah Allah yang berada di mana, melainkan segala sesuatu itulah yang berada pada-Nya, ada dalam lindungan, kuasa, dan pemeliharaan-Nya. Maka ‘Arsy,  yang paling tepat sebagai sebutan untuk tempat tunggal-Nya.
“..... yang bersemayam di atas ‘arsy. Milik-Nya lah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada diantara keduanya, dan apa yang ada dibawah tanah.”  (QS 20:2-6)
Sekalipun demikian, sesungguhnya, hanya kepada makhluk-lah seharusnya ditujukan pertanyaan mengenai dimana keberadaan tempatnya, karena justru makhluk atau ciptaanlah yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidaklah layak kepada pencipta dibatasi oleh tempat atau ruang ataupun alam, sejatinya Dia sama sekali tidak membutuhkan tempat atau ruang sebagai letak-Nya berada. Dia tidak serupa dengan segala sesuatu. Dikarenakan seluruh makhluk-Nya disebut sebagai semesta alam, sedangkan Dia meliputi seluruh makhluk, maka jelas segala tempat berada di dalam Dia. Kelirulah yang mengatakan bahwa Dia berada di dalam tempat ataupun alam.
Dia yang meliputi segala sesuatu, maka tempat-tempat yang dinisbatkan kepada-Nya adalah diambil berdasarkan makna sebutan-sebutan maupun sifat-sifat Allah, seperti Allahu rabbul alamiin (Allah yang menguasai seluruh ruang atau alam), Allahu maliikiyawmid-diiyn (Allah yang menguasai seluruh waktu atau masa), dan Allahu rahmaanur-rahiim (Allah yang menguasai seluruh rasa). Maka, jelaslah ‘tempat keberadaan’ Allah pun meliputi segala sesuatu. Padahal Dia tak terbatas oleh ruang, waktu, dan rasa. Lebih tepatnya, segala sesuatu bertempat pada (arsy)-Nya. Segala tempat adalah singgasana (dalam kuasa)-Nya.
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.(QS 13:19)
1.          Allaahu Rahmaanur-Rahiim
Dia-lah Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Rasa kasih dan sayang-Nya berada di dalam bathin setiap segala sesuatu, makhluk ciptaan-Nya. Kasih dan sayang-Nya tersebut diwujudkan secara nyata (dzahir) di dunia dan kelak nanti di akhirat. Itulah mengapa timbul penafsiran bahwa Allah berada dan bertempat di dalam bathin, yaitu Allaahu arsyis tawaa. Sesungguhnya, Dia-lah penguasa alam rasa (bathin).
Apakah mata yang sesungguh-nya melihat, ataukah yang berada di dalam kalbu yang melihat? Apakah pula telinga yang mendengar, ataukah yang berada di dalam kalbu yang sesungguhnya mendengar? Juga, apakah sesungguhnya mulut yang berbicara, ataukah yang berada di dalam kalbu yang berbicara? Kemudian gabungkanlah, seolah-olah sedang mengobrol bersama teman sambil minum teh, merokok, dan sesekali menerima sms, kemanakah arah semua itu menuju, baik pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan? Maka, sesungguhnya yang berada di dalam kalbulah yang memerintahkan semuanya. Yaitu Dia, Allaahu arsyis tawaa.
Kalbu atau bathin yang paling dalam sebagai tempat Dia yang Maha Tunggal secara halus-lembut bersemayam, adalah tempat yang suci dan bersih, serta yang memancarkan cahaya kebenaran-Nya yang sebagai pengiring bagi niat, ucap, dan perbuatan. Akan tetapi, jika, diri telah terbiasa mengikuti hawa-hawa diri (nafs), maka kepekatannya akan meliputi kalbunya, sehingga cahaya kebenaran-Nya tidak dapat menembus keluar mengiringi setiap niat, ucap, perbuatannya.
Kalbu berada di kedalaman hati yang paling dalam, itulah mengapa secara tak sadar kebanyakan kita mengatakan bahwa, apa yang disuarakan dari hatinya yang paling dalam adalah sebuah kebenaran paling benar (haqq). Disitulah ar rahmaanur-rahiim sebagai Yang Maha Pemurah (Kasih) lagi Maha Penyayang (Sayang) memerintah, akan tetapi terkadang perintahnya dibiaskan oleh hati yang dipenuhi kekotoran.
Tentu kita sering mengalami, begitu tersentuhnya hati kita melihat seorang yang sedang dalam kesusahan (peminta-minta, misalnya) , dan itulah yang pertama timbul di benak kita sebagai wujud kasih dan sayang dari perwujudan Dia ar rahmaanur-rahiim, akan tetapi hal tersebut dibiaskan oleh kekotoran yang melekat di hati kita, maka akal dan pikiran kita menjadi tersesat dan timbullah was-was (sebagai yang dibisikkan setan), seperti “bila kuberikan, maka akan berkurang uangku, sedangkan kebutuhanku masih banyak”. Atau juga “ah, tubuhnya masih kuat untuk bekerja, biarkan saja dia”. Akhirnya, timbullah keragu-raguan sebagai yang menghasut hati dan menyesatkannya.
Padahal Allah menganugerahkan penglihatan, pendengaran dan hatinya untuk hal-hal tersebut, dimana kepekaannya yang pertama timbul, saat hatinya tersentuh itulah kebenaran yang seharusnya direalisasikannya. Dan realisasi kepekaannya lah yang menjadikan dirinya sebagai rahmat bagi sesamanya.
Jika diri ini menyadari dengan mendalam, seharusnya bersyukur telah melihat hal tersebut, dan menjadikannya sebuah kesempatan untuk melakukan amal perbuatan baik. Bila uang yang tinggal hanya selembar-selembarnya di saku celana atau bajunya, maka berkacalah kepada Ibrahim yang hanya memiliki satu-satunya anak yang baru dikarunikan Tuhannya setelah di masa tuanya kemudian diminta Allah untuk di-qurbankan kepada-Nya. Kita memang bukan sekelas dengan para nabi, namun jelas sekali Allah mengisahkan segala kisah para nabi di dalam Al Qur’an sebagi petunjuk bagi kemanusiaan untuk mengetahui dan mengambil pelajaran agar memperoleh keselamatan hidup di dalam setiap jalan lurus-Nya. Begitulah hikmah kisah Ibrahim yang merupakan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang kemudian.
Sesungguhnya, justru yang tinggal satu-satunya itulah yang disebut sebagai sejatinya ber-qurban. Ya sebuah pengorbanan di dalam ber-qurban kepada Allah dengan mewujudkan kebajikan kepada sesama makhluk-Nya, sebagai wujud rasa berserah diri (islam)-nya semata-mata hanya kepada Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Begitulah Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang yang karena kepekaan hati, maka keberadaan-Nya begitu terasa di dalam kalbu kita yang paling dalam. Dekat sekali. Itulah mengapa surga dan neraka kita berada pada rasa yang amat mempengaruhi jalannya kehidupan kita. Rasa tentram dan damai, senang dan bahagia, serta kemudahan dan kelapangan adalah surga yang dinikmati rasa dan tak perlu menunggu semesta alam ini hancur dulu baru merasakannya. Tetapi di kehidupan ini, sekarang ini pun dapat dirasakan.
Begitupun panasnya neraka, tidak perlu menunggu kematian dan kemudian menunggu di alam kubur hingga dibangkitkan di hari kiamat, tetapi dapat dirasakan ketika dada terasa sempit dan sesak, sedih dan takut, kekurangan dan kesulitan, serta sakit dan menderita.
Akan tetapi semua itu hanyalah sebagai perjalanan dalam penyucian dan pemurnian jiwa setiap diri kemanusiaan yang pada akhirnya menuju kepada-Nya, setelah tercapai kemurnian dan kesucian jiwanya. Selama masih ada kekotoran yang melekat pada jiwanya, maka perjalanan tersebut akan terus berulang-ulang, selama langit dan bumi ini masih ada, atau belum kiamat (QS 11:106-108).
2.          Allaahu Rabbul Alamiin
Dia-lah Allah semesta alam, yang menciptakan, menguasai, hingga memelihara langit dan bumi serta segala sesuatu yang terdapat diantara keduanya dengan maha sempurna. Ini berdasarkan firman-Nya (QS 2:115, kearah manapun menghadap, disitulah wajah Allah). Sehingga timbullah penafsiran bahwa Allah berada dan meliputi keseluruhan alam.
Tempat-Nya adalah perwujudan segala macam sifat-Nya di alam, dan sungguh nyata, dan terasa keberadaan-Nya. Seperti bila kita hadir di baithullah Mekkah, di masjid-masjid, atau ketika melakukan shalat di rumah. Akan tetapi selamilah, berdasarkan urutan keterangan tempat di atas yang berdasarkan tingkat kesakralannya, maka begitu pulalah kita menjaga tingkat kesucian diri kita yang berdasarkan kesakralan tempat tersebut.
Itulah keteledoran diri kita yang menganggap Tuhan hanya berada di tempat-tempat yang memiliki kesucian tingkat tinggi, sehingga bila sedang berada di pasar atau di pusat perbelanjaan, maka merasa Tuhan pun lengah dari kuasa pengawasan-Nya. Ataupun di tempat-tempat lainnya yang tidak terasa kehadiran-Nya disitu, seperti di kantor, di terminal, di tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya.
Kemanakah Allah beserta aparat-Nya? Allah bukan tidak ada, atau menjauh serta sirna menghilang. Akan tetapi, tentunya, cahaya kebaikan-Nya akan tertutupi, menjadi tidak terlihat nyata lagi, bila gelapnya keburukan telah begitu pekat bertumpuk dan bersatu padu. Maka akibatnya bisa kita tebak, kemungkaran semakin merajalela dan sulit untuk diperbaiki. Sehingga segala yang haqq (kebenaran sejati) tertupi oleh banyak dan bersatu padunya kebathilan (kesesatan). Maka iblis dan bala tentaranya pun tidak perlu lagi berlama-lama disitu, segeralah dia meninggalkan pasar menuju tempat-tempat yang lebih dianggap sakral, agar dia memiliki kesibukan yang lebih menantang.
Dan merupakan keteledoran kita pula bila memahami, bahwa setelah alam dunia ini (kiamat), yaitu alam akhirat, adalah hanya alam keabadian dan kenikmatan saja bagi mereka yang menerima nikmat surganya, atau hanya alam keabadian dan azab bagi mereka yang menerima nerakanya. Alam kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat adalah alam bagian dari semesta alam, dimana Allah tetap menguasai dan merahmati-nya, tetap dalam aturan dan sistem kehendak-Nya. Surga dan neraka adalah hari pembalasan dari amal perbuatan sebelumnya ketika kehidupan sebelum kematiannya, dan jelas-jelas berada di alam dunia ini juga.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Dari penjelasan ayat tersebut di atas, para malaikat berdoa agar para penghuni surga dapat terhindar dari kejahatan. Maka penafsirannya, bahwa di surga pun masih ada kejahatan yang dapat pula menjerumuskan mereka penghuninya masuk ke dalam neraka pula. Jadi kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia adalah tetap merupakan kehidupan dalam naungan agama. Yaitu kehidupan yang tidak lepas juga dari amal perbuatan penghuninya dalam hukum agama (aturan)-Nya, Allaahu Maliikiyawmid-diin.
Jadikanlah dimanapun keberadaan, adalah sesungguhnya tempat Allah. Yang perlu disucikan melalui setiap niat dan perbuatan, karena sesungguhnya Dia tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. Dimulailah dari masing-masing diri yang hendak menyucikan hati dan langkahnya demi suatu tujuan akhir, yaitu keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Kemudian orang yang dekat akan mengambil sebagai contoh untuk kebaikan dirinya pula. Demikian seterusnya kepada yang didekatnya pula, contoh itu tertular, lama kelamaan semakin meluas sebagai kebaikan semesta. Amin, yaa Rabbal Alaamiiyn.
3.            Allaahu Maliikiyawmid-diiyn
Dia-lah Allah yang menguasai hari-hari agama yaitu hari-hari yang diliputi oleh sistem yang mengatur jalannya kehidupan di hari-hari tersebut. Adalah sifat Allah yang mencipta segala sesuatu, maka mutlak pula Dia menguasai hari-hari agama, karena sesungguhnya Dia-lah penguasa Ruang dan Waktu juga Rasa, baik di alam dunia dan alam akhirat sebagai Allaahu rabbul alamiin (Tuhan pemilik semesta atau seluruh alam). Baik alam dunia, alam rasa dan alam akhirat yang meliputi kematian, alam kubur (barzhak) atau hari-hari penantian, hari-hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan. Kesemuanya tersebut, baik di hari-hari dunia, hari kematian, hari-hari penantian, hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan adalah terangkum dalam hari-hari agama, dan Dia pulalah sebagai Penguasa-nya (maliikiyawmid-diin).
Segala sesuatu selain Dia, pasti mengalami hari akhir maupun hari kemudian (waktu setelah hari akhir), yang sering dianggap sepele dikarenakan kebutuhan jasad yang mendesak. Padahal, yang kemudian itu sangatlah dipengaruhi oleh yang sebelumnya maupun oleh yang sekarang ini. Sayangnya, bisikan dan godaan setan ikut berperan untuk semakin mendesakkan kebutuhan-kebutuhan jasad manusia semakin intens, melupakan dan menutupi gambaran akibat-akibat yang akan dituainya kelak di kemudian hari. Disamarkan dengan pemandangan indah yang dibuat iblis agar diri-diri terjerumus oleh segala macam bujuk rayunya.
Segala sesuatu pada akhirnya adalah kembali kepada-Nya, melalui penghakiman atau hisab, seperti yang telah dijanjikan dan ditetapkan oleh-Nya. Dan Dia-lah sebagai Hakim yang Adil, segala sesuatu, sekecil apapun itu, telah tercatat di dalam catatan-Nya. Penghakiman dan hisab, adalah peristiwa pada masa transisi sebagai penentu pada kehidupan berikutnya yaitu dengan mengalami atau merasakan surganya ataukah nerakanya, yang merupakan akibat dari perbuatan dari masa kehidupan sebelumnya.
Kehidupan berikutnya, atau hari kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya, disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108), bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan di dunia dengan di akhirat. Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau lebih bersifat sebagai yang sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Jika demikian, maka akan timbul pertanyaan, telah berapa kalikah diri ini mengalami siklus hidup-mati (kebangkitkan)? Seperti layaknya tidur dan bangun di dalam skala kehidupan sehari-hari.Hal ini akan lebih luas diuraikan pada keimanan terhadap hari akhir di belakang.
Dan hanya bathin yang telah kosong dari segala macam hawa nafsu pengakuan (ego), dan memenuhi hati aatu bathin-nya  dengan rasa mengakui yang akan dapat merasakan Kasih Sayang Allah melalui segala kemurahan-Nya. Inilah upaya membersihkan kembali hati atau kalbu yang telah dipekati oleh kotoran-kotoran hawa diri (nafs) yang telah lama melekat, agar cahaya kebenaran-Nya dapat menembus keluar bersama niat-ucap-perbuatan.
D
ari ketiga keterangan diatas yang sedikit mengulas keberadaan ‘tempat’ Allah, maka membuktikan secara logika yang dapat diterima akal pikiran dan hati, bahwa keberadaan Allah tidaklah dibatasi oleh ruang dan waktu serta rasa, atau tidak dibatasi dimensi apapun dalam anggapan makhluk, melainkan di setiap tempat atau alam, di setiap waktu, dan di setiap rasa. Dia sempurnakan setiap kejadian melalui sifat-Nya sebagai Pencipta, dan Dia sempurna adil dan bijaksana melalui sifat Kuasa-Nya, serta sempurna kasih dan sayang melalui sifat-Nya sebagai Pemelihara.
Karena itu, tidaklah mungkin Dia berada hanya pada satu tempat saja, seperti di langit ke tujuh, atau kemana mata menghadap disitulah wajah Allah, ataupun di dalam dada orang yang beriman, sehingga hal ini dapat membuat kesalah pahaman bahwa Dia terbatas hanya di tempat-Nya menetap. Dan Maha Suci Allah dari segala prasangka makhluk-Nya.
Arsy tempat Allah bersemayam, mengandung makna yang bathin atau tersembunyi. Bila Allah sendiri-pun mengatakan bahwa Dia meliputi segala sesuatu, maka penafsiran tempat keberadaan-Nya, mengisyaratkan bahwa Arsy juga berada di setiap segala sesuatu. Secara lebih spesifik lagi adalah, tempat atau Arasy-Nya berada di dalam bathin setiap segala sesuatu makhluk-Nya, yang tentunya juga paling halus dan bathin yang paling dalam. Pada diri manusia adalah di lubuk hati yang paling dalam atau biasa disebut kalbu.
Tetapi hal ini tak memuaskan jiwa, karena kalbu pun tak pernah tepat di ketahui letak pasnya dimana. Hanya berada di dalam dada sebagai yang bathin. Semua pasti akan menunjuk ke dalam dada, bila ditanya dimana letak kalbu.  Keberadaan-Nya haruslah ada sebagai yang bathin, juga ada sebagai yang nyata. Karena Dia, sesungguhnya adalah Yang Dzahir selain juga Yang Bathin.
Keterbatasan diri kemanusiaan dalam memandang dengan inderanya, mendefinisikan dengan ilmu atau akalnya, serta merasakan dengan hati dan kalbunya adalah hal yang takkan pernah terwujud atau kesampaian bila tanpa petunjuk dari-Nya sendiri. Dia hanya bisa dicapai hanya oleh kesucian yang murni.
Bagaimana hendak mengetahui dan mengenal-Nya dengan menggunakan indera, ilmu dan akal, serta hati dan kalbu, sedangkan sesungguhnya semua itu adalah pemberian-Nya? Bagaimana hendak mengetahui Dia Yang Maha Mengetahui, sedangkan segala pengetahuan adalah karena pemberian-Nya? Hanya apabila Dia telah berkehendak kepada siapa yang dikehendakinya mendapatkan petunjuk dari-Nya, maka tabir-tabir yang menyelimuti pandangan hati dan kalbunya terbuka sedikit demi sedikit sesuai dengan kemurnian dan kesucian hati atau kalbunya. Kelak kita akan sampai pula dengan menyadari nyatanya Dia adalah pada ketunggalan wujud-wujud ciptaan-Nya, sebagai perwujudan Dia Yang Bathin.
Bila diri hendak memaksakan juga, resapilah, segala usaha sejauh mata memandang, sekeras apapun akal pikir bekerja, dan sedalam-dalamnya dengan kepekaan kesadaran yang tajam masuk ke dalam hati atau kalbu, maka akan berujung kepada Dia Yang Maha Tunggal. Kelak, Allah akan menambahkan petunjuk-Nya secara bertahap untuk menghilangkan rasa dahaga kita, dan dengan izin-Nya kita akan mengulas keimanan terhadap yang lainnya, yang semoga dengan itu maka terbukalah sedikit-demi sedikit hijab yang menutupi hati dan jiwa kita dari memandang Dia.
Semoga ulasan terbatas dari yang serba terbatas ini, cukup membuka kesadaran kita sebagai makhluk ciptaan-Nya untuk meneguhkan kembali keimanan atau rasa keyakinan kepada Allah SWT sebagai Khaliq segala sesuatu, dan menggugah jiwa kita lagi kepada petunjuk-Nya yang banyak tersebar di semesta alam raya ini sebagai kebenaran yang hakiki, termasuk apa-apa yang berada di dalam diri-diri kita masing-masing. Dan sesungguhnya Allah-lah yang membuka dada dan menerangi jiwa dengan cahaya-Nya agar bertambah teguh hati orang-orang yang telah beriman.
Diri yang ber-Ketuhanan
Kembali kepada uraian sifat-sifat Allah yang telah diulas. Ketiga belas sifat dari wujud hingga kalaam, sesungguhnya adalah ‘menunjukkan’ akan ketiadaan diri kemanusiaan-nya, baik wujudnya hingga sifat-sifat, yang sesungguhnya semua adalah karunia dari Allah.
Itulah kesadaran awal dari keimanan. Sadar bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada atau gaib, bahwa segala sesuatu adalah atas rahmat karunia-Nya, dan tiada satupun yang sesungguhnya sebagai yang dimiliki-nya, bahkan seluruh apa-apa yang terdapat di dalam tubuh-jasadnya yang ternyata adalah milik-Nya yang dianugerahkan kepada-Nya. Bila demikian, mengapa Dia tak terlihat, justru yang terlihat (wujud) adalah makhluknya?
Apakah sama yang mencipta dengan yang dicipta? Siapa yang memiliki pengetahuan, yang dicipta atau yang mencipta? Yang dicipta hanya dapat melihat yang mencipta melalui perwujudan-Nya. Perwujudan-Nya yaitu ciptaan-Nya sendiri. Itulah makna, ke arah manapun engkau menghadap disitulah wajah Allah. Karena semua, seluruh apa-apa yang berada di langit dan di bumi maupun yang berada diantara keduanya adalah ciptaan-Nya, makhluk-Nya, yaitu perwujudan segala sifat-Nya. Tidaklah mungkin sesuatu dapat melihat yang mewujudkan-nya.
Bagaimana mungkin Dzat-Nya dapat dilihat, didefinisikan, dan dibuktikan oleh wujud-wujud yang segala sesuatunya amat teramat bergantung justru kepada-Nya. Penglihatan-nya, adalah karena diberi penglihatan oleh-Nya. Pikir  dan akal-nya pun karena diberi petunjuk oleh-Nya. Segala sesuatu yang dirasa sebelumnya adalah sebagai yang dimilikinya, ternyata adalah anugerah dari-Nya, dan atas kehendak-Nya maka dirinya pun dapat menerima anugerah tersebut.
Dan cahaya hanya terlihat bila dalam kegelapan, seperti terlihatnya bintang-bintang di malam hari, tak perlu dicari lagi, hanya tinggal mendongakkan kepala ke langit yang jernih. Demikian pun Dia, keberadaan-Nya tak terasa bila jiwa sedang dalam kesenangan akan kemewahan dunia, tetapi akan terasa dan dibutuhkan bila jiwa sedang dalam kesempitan. Tetapi yang Allah kehendaki, adalah kepada mereka yang sedang dalam kesenangan akan kemewahan dunia agar berbagi kepada mereka yang sedang dalam kesempitan. Berbagi cahaya rahmat-Nya kepada sesama-nya sebagai makhluk.
Dzat Tuhan yang tak terlihat, bukan sekedar hanya pemahaman bahwa, bila Dia dapat terlihat, maka kehidupan akan menjadi berbeda. Bila seperti itu, tiada lagi unsur ujian dalam kehidupan ini. Bagaimana hendak melakukan kesalahan, bila ada polisi yang siap menjeratnya. Bukan sekedar seperti itu. Perwujudan Tuhan pada kemanusiaan, intinya, adalah memahami diri-nya pun telah dianugerahkan sifat-sifat keilahi-an (ketuhanan). Artinya, polisi-nya pun ada di dalam diri-nya, makna-makna hukum ada di dalam dada-nya, sebagai kitab yang di dalam dada.
Karena di alam, cahaya pun selalu hadir bersama bayangannya sebagai kegelapan, dan dengan ke-Maha Adilan-Nya pun, Dia menyerahkan kepada setiap jiwa untuk dapat memilih dengan kesadaran yang murni (keikhlasan) segala sesuatu arah tujuan-nya. Sekalipun tiada lepas Dia menunjuki dengan memberikan rambu-rambu sebagai tanda yang terang arah keselamatan dari setiap tujuan. Padahal, jiwa hanya dapat berkeinginan, sedang kekuatannya tetap adalah kekuatan dari-Nya. Kemurnian (keikhlasan) atau tidaknya lah yang menentukan sesat atau tidaknya arah tujuan-nya.
Tidaklah salah mereka yang mencari Dzat Tuhan, karena dengan usaha-nya mereka akan menemui wujud-wujud Dia di alam sebagai Allahu Akbar, yaitu perwujudan Dia, Allah Yang Maha Tunggal yang Maha Pemurah, Maha Pencipta, Maha Kuasa, dan yang memerintah segala kehendak dari tempat tunggal-Nya.
Apakah engkau yang memerintahkan jantung memompa darah dan kemudian mengalirkannya keseluruh tubuh, ataukah Dia yang memerintahkan?
Apakah engkau yang memerintahkan paru-paru menghisap udara, kemudian memisahkan oksigen dari gas lainnya bagi keperluan pernafasan, ataukah Dia yang memerintahkan?
Dan apakah sesungguhnya engkau yang mendatangkan pembeli untuk menguntungkan setiap perniagaanmu?
Atau siapakah yang sesungguhnya menumbuhkan dengan subur tanam-tanaman di ladangmu?
Siapakah pula yang sesungguhnya melindungimu ketika kamu keluar dari rumah kediamanmu? Ketika berjalan, bekerja, berkendara, atau bahkan ketika tidur?
Dia-lah Allah yang berkehendak, mengatur, serta memelihara setiap diri kemanusiaan ataupun makhluk lainnya. Diri kemanusiaan adalah bentuk wadah kosong sebagai jasadnya yang telah siap menerima sifat-sifat Allah yang dianugerahkan kepadanya agar saling berbagi rahmat-Nya kepada sesamanya. Itulah keutamaan menyadari bahwa ‘aku’ (ego) sesungguhnya adalah tiada, dan yang ada hanyalah ‘Aku’ (Dia atau Allah).
Makna laa hawla walaa quwwata illa billahi menyadarkan-nya, bahwa diri-nya adalah wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji, yang kekuatan-nya adalah karena kekuatan-Nya. Dengan demikian segala ucap-nya adalah ucap-Nya, segala niat dan pikir-nya adalah niat dan pikr-Nya, segala gerak perbuatan-nya adalah gerak-Nya.
Disadari sepenuhnya, bahwa hidup kehidupan-nya adalah karena dia menerima karunia hidup kehidupan dari Dia Yang Maha Hidup. Bukanlah karena kesanggupan-nya, maka dia dapat melakukan shalat, dapat berpuasa, dapat pergi hajji, dapat ber-qurban (berkorban), dapat bersedekah, dapat berzakat, serta dapat berbagi rezeki atau rahmat.
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.”  (QS 10:100)
Bukan pula karena kemampuan-nya, maka dia dapat memiliki jabatan terhormat atau kekuasaan, dapat memiliki harta kekayaan, dapat memiliki anak-anak yang menyenangkan hati, serta dapat memiliki istri yang cantik. Bahkan sekalipun semua tersebut dengan rasa ikhlasnya, bukanlah karena diri-nya, melainkan seluruhnya tersebut adalah hanya karena kemurahan Tuhannya mengkaruniakan kepada diri-nya. Hanya karena kehendak Tuhannya, hanya karena kekuasaan Tuhannya, dan hanya karena ketetapan Tuhannya.
Jika rahmat dari setiap sifat-Nya dicabut oleh Allah dari manusia itu, maka matilah dia. Atau sebagian kecilnya saja dari nikmat-nikmat tersebut yang dicabut-Nya, mungkin manusia itu dalam keadaan ‘koma’, tidak dapat berinteraksi layaknya manusia normal. Atau juga, satu saja rahmat penglihatan-Nya yang dicabut oleh-Nya, memiliki bola mata tetapi tak dapat melihat. Lebih menyempit lagi, ditumbuhkannya jamur di lensa hitam matanya, maka itulah penyakit katarak yang akan mengganggu penglihatan, sehingga pandangannya menjadi buram. Persempit lagi dengan, saat mencari sesuatu benda yang tidak bisa ditemukan, bila tidak diberi tahu oleh yang lain bahwa ternyata benda itu berada didekatnya. Subhanallaahu.
Itulah tahap kesadaran awal dalam usahanya kembali mengkokohkan iman dan keyakinan-nya dengan memahami makna ketiga belas sifat Allah di dalam sifat tunggal-Nya. Kemudian melangkah kepada ketujuh sifat terakhir yang membawa diri kepada tahap kesadaran berikutnya, yaitu yang justru membangunkan diri dari kehampaan sebelumnya, agar lebih mengenal diri karena ‘merasa’ selalu disertai atau bersama Dia yang berkehendak, baik itu dalam ucap, tekad, perbuatan, janji, diri, ahli, daya, cipta, dan karsa-nya. Bahwa ucap, adalah ucap Allah, tekad adalah tekad Allah, dan selanjutnya yang tiada lepas dari kuasa sifat Allah yang mewujud kepada dirinya untuk berbagi rahmat kepada sekitarnya, yang pula harus dijaga kemurniannya.
Dalam perwujudan-Nya, seorang diri kemanusiaan yang diberi kepercayaan, atau anugerah, atau derajat yang sedikit lebih tinggi dari beberapa yang lainnnya, adalah diri kemanusiaan yang diberi beban amanat sesuai kadar yang telah diamanatkan (kadar ketetapan Allah). Ia mendapatkan dan merasakan nikmat darinya (derajat tersebut), maka akibatnya pun membayangi nikmat tersebut. Diperjalanannya, setan-setan pun membisikkan, iblis pun menggoda, serta hawa diri (nafs)-nya coba-coba ikut bermain. Maka bayang-bayang nikmatnya pun mewujud sebagai sesuatu yag dipandang indah memukau.
Hanya dua hal yang mungkin terjadi (ketetapan Allah), yaitu kehinaan bila ia justru terhanyut oleh godaan., atau berwujud kemuliaan bila ia dapat tak tergoda dan malah akan menaiki tangga derajat berikutnya. Dan bagi mereka yang keteguhannya disebabkan ia tak ingin dijauhi oleh Dia, maka, cukuplah Allah yang akan melindungi serta memelihara-nya. Diri seperti itulah orang yang takwa, mengerjakan apa yang diperintah dan meninggalkan apa yang dilarang Tuhan-nya. Inilah kesadaran jiwa yang telah dan selalu diiringi cahaya yang menunjukkan perbedaan antara yang terang dan yang gelap, sehingga tahu arah tujuan. Akan tetapi, janganlah lengah, karena bila ada cahaya maka disitu pun pasti ada bayangannya, yaitu kegelapan. Tahap ini adalah masih berada dalam taraf berharap atau bergantung kepada lindungan serta pemeliharaan-Nya. Berharap rahmat-rahmat terbaik dari setiap karunia-Nya.
Sungguh, (ayat-ayat) ini adalah peringatan, maka barang siapa menghendaki tentu dia mengambil jalan menuju kepada Tuhannya. Tetapi kamu tidak mampu, kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS 76:29-30)
Tahap selanjutnya, dan merupakan tahap yang terakhir, adalah tahap telah berada dalam taman nikmat-Nya. Yaitu, ilaihi raji’un,  kembali pulang kepada-Nya, tinggal bersama-Nya. Dimana, ada segala sesuatu secara bersamaan  manunggal dalam satu keaadaan dan dalam satu wujud, karena Dia-lah, maka segala sesuatu itu ada bersama dalam wujud Tunggal-Nya.
Segala yang berpasangan seperti susah-senang, sedih-bahagia, gelap-terang, dan seluruh pasangan lainnya, tidak akan dapat ikut masuk, sehingga tidak ada kebutuhan lagi akan semua itu. Bagaimana ada, sedangkan diri-nya pun telah tiada, sirna menyatu, di tempat itu hanya ada yang Maha Tunggal. Sayangnya, dikarenakan keterbatasan diri ini untuk dapat menguraikan secara panjang lebar dan lebih detail, maka menghambat penguraiannya. Jadi biarkanlah setiap masing-masing diri mengalaminya sendiri secara langsung setelah melalui tahapan pengokohan keimanan, pemurnian berserah diri, kemudian memelihara keduanya sebagai ketakwaan yang abadi dalam hidupnya. Insya Allah.
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada rasul Allah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapatkan kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”
(QS 49:7)



Bab II
MEYAKINI PARA MALAIKAT
“Demi (malikat-malaikat) yang diutus membawa kebaikan, dan yang terbang dengan kencangnya, yang menyebarkan (rahmat Allah) seluas-luasnya, dan yang membedakan sejelas-jelasnya (antara yang benar dan yang salah), dan yang menyampaikan wahyu, untuk menolak alasan-alasan atau membawa peringatan, sungguh apa yang dijanjikan kepadamu pasti akan terjadi.
(QS 77:1-7)
B
eriman kepada para malaikat adalah termasuk dalam iman kepada yang ghaib, yang nyata tidak terlihat. Tetapi, bila telah dada dibuka oleh yang maha pemberi petunjuk, maka menjadi nyata dan terlihat. Dan mempercayai adanya para malaikat yang juga merupakan aparat Allah, adalah mempercayai pula kepada adanya Iblis dan Jin, yang merupakan termasuk kedalam ras malaikat, juga merupakan bagian dari mengimani kepada segala sesuatu yang ghaib, yaitu yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh indera kemanusiaan.
Namun bila Allah telah menghendaki, maka tentulah kemanusiaan akan dapat memahami dan melihat dengan pandangan mata hatinya yang telah bersih dari segala penyakit hati yang mengotori dan menghalangi pandangannya terhadap segala hakikat kebenaran.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pada ayat di atas, penafsirannya, malaikat yang membangkang dari sujud kepada Adam itulah yang disebut iblis. Karena pada ayat di atas, diterangkan bahwa Allah memerintahkan hanya kepada para malaikat, namun mengapa iblis sebagai yang enggan?  Hal ini menunjukkan, bahwa iblis adalah bagian dari ras malaikat (para aparat Allah). Jadi, keberadaan iblis adalah setelah adanya Adam. Sebab sebelum adanya Adam, mereka, para malaikat adalah makhluk Allah yang paling patuh dan selalu mensucikan nama-Nya (seperti yang disebutkan penggalan ayat 30 surah al Baqarah “..... Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”). Dan semenjak itulah akhirnya iblis berprofesi sebagai penghasut setiap diri kemanusiaan kepada jalan yang sesat.
Dari penafsiran ayat tersebut, maka timbullah pemahaman, bahwa tidak patuh-nya iblis terhadap perintah Tuhannya adalah refleksi dari sifat ketidak patuhan kemanusiaan terhadap perintah Tuhannya untuk selalu berada di dalam jalan lurus-Nya. Sekalipun iblis menjadi yang tidak patuh terhadap Tuhannya, tetapi Allah sebagai Yang Maha Kuasa pun menghendaki hal tersebut terjadi. Sebab Dia mengetahui apa yang makhluk-Nya tidak ketahui, sebab dengan begitu Allah ingin membuktikan bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu, termasuk kemanusiaan sebagai ciptaan-Nya yang amat sempurna.
Juga ditegaskan lagi di QS al Baqarah ayat 102, tentang setan-setan, yaitu malaikat Harut dan Marut, yang mengajarkan ilmu sihir di Babilonia.
“..... Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan kepada seorangpun sebelum mengatakan, seungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya ...... (QS 2:102)
Dalam penciptaan, cahaya-Nya adalah sebagai unsur dasar segala macam ciptaan setiap makhluk Allah, termasuk tentunya pada penciptaan malaikat, cahaya selain bersifat menerangkan, ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang bersifat panas inilah malaikat pembangkang menjadi ada, dan disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti kita tahu, malaikat tercipta dari cahaya, sedangkan iblis dan jin dari api.
Cahaya yang berubah menjadi api begitu banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar, dan bukan benda yang terbakar itulah api-nya, bukan pula terang-nya, tetapi nyala-nya. Jelas kita dapat membedakan antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu cahaya yang menjadikan terang yang kemanusiaan dapat mengambil manfaat dengannya sebagai petunjuk, juga cahaya yang menjadikan nyala api yang membakar sebagai hawa nafsu. Begitulah sifat yang berpasangan dari cahaya.
Dan keduanya cenderung amat membutuhkan benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui sehingga bermanfaat keberadaannya. Semua benda menjadi terlihat ada, karena ada cahaya yang menyentuhnya. Terangnya pun ada pada benda itu. Akan tetapi, berhati-hati pulalah terhadap panas-nya cahaya, yang dapat berubah menjadi cahaya yang membakar. Ulasan tentang malaikat sebagai yang diciptakan dari cahaya melalui pancaran cahaya-Nya, atau energi dasar bagi penciptaan segala sesuatu akan juga diulas pada Kitab II Bagian ke-4, Lahir & Bathin secara lebih logis lagi, yang insya Allah, akan menambah keyakinan kita akan keberadaan dan pengaruh-nya sebagai aparat Allah yang bertugas membantu kemudahan terhadap kehidupan setiap diri kemanausiaan.
Keduanya pun dapat bertempat pada setiap diri kemanusiaan yang sebagai ‘benda’ agar fungsinya lebih berarti. Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi menghasut. Yang satunya memberi petunjuk dengan terang-nya, sedangkan yang satunya lagi menghasut dan membakar dengan panas-nya. Akan tetapi, ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat bagi setiap diri kemanusiaan. (Lihat kembali penjelasan sifat Hayyat pada Dua Puluh sifat Tuhan di awal bab keimanan)
Mengapa iblis membangkang dan menjadi musuh bagi setiap diri kemanusiaan?
Itulah ketetapan Allah. Dan pada diri kemanusiaan akan timbul dan bertambah kesempurnaannya dengan adanya iblis yang membangkang dan menjadi musuh, atau ujian bagi setiap diri kemanusiaan. Kesempurnaan adalah juga menyerupai kemenangan. Diperlukan suasana pertandingan (penyaringan) untuk sebuah kemenangan, penonton sebagai suporter yang membakar semangat dan pelatih sebagai pemberi petunjuk, serta wasit sebagai hakim yang memiliki hukum pertandingan. Itulah suasana sportivitas kehidupan dunia sebagai pembentukan insan-insan berkualitas yang diharapkan Allah sebagai pemilik dan penguasa Hukum yang Maha Sportif (fair play atau bersih dan adil).
Sebenarnya iblis akan hilang dari setiap diri kemanusiaan bila jiwa dapat menundukkan dan membuatnya bersujud, dengan tidak melayani segala bisikkannya dan bila selalu berada di wilayah yang diterangi cahaya-Nya (lebih dominan pengaruh malaikat-Nya). Allah menyebut jiwa ini sebagai jiwa yang tenang (nafs al muthma’inah), yang dapat mengatur atau mengelola hawa nafsu-nya kepada nafsu kebaikan.
Jadi sebenarnya, iblis adalah malaikat juga, dia akan tunduk patuh dan menjadi cahaya penerang atau petunjuk bagi jiwa, dan dapat pula membangkang menjadi api yang panas membakar hati, serta bujuk rayunya kepada api neraka yang menghinakan. Iblis seperti berada dan terbawa dalam aliran darah, mendorong hawa nafsu amarah maupun hawa nafsu keburukan lainnya, maka tensi darah pun melonjak naik, jantung berdetak cepat, maka hal tersebut akan mempengaruhi organ tubuh lainnya tanpa terkendali oleh yang secara halus Maha Mengendalikan dalam Pemeliharaan-Nya, akibat dari jiwa yang menjauhi cahaya-Nya. Maka ingatkan-lah terus jiwa dengan selalu menyebut nama-Nya (dzikr), agar hati menjadi damai, tenang dan tentram.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS 7:27)
Betapa banyak jalan dan cara iblis membisikkan hasutan-hasutannya agar diri (jiwa) terjerumus pada kehinaan. Iblis adalah sisi gelap, atau bisa disebut juga sisi negatif hati setiap diri kemanusiaan. Kekuatannya sama dengan malaikat tetapi intensitas pengaruhnya terhadap manusia amatlah sering disetiap waktu. Pada awalnya iblis adalah ras malaikat, tetapi setelah pembangkangannya terhadap perintah Allah tidak mau sujud (tunduk) kepada Adam as, maka Allah menamakannya iblis.
Tidaklah mungkin malaikat dapat melawan apa yang telah menjadi kehendak Allah, dan menjadi malaikat pembangkang yang disebut iblis, akan tetapi hal tersebut terjadi memang karena ketetapan-Nya pula. Ketetapan-Nya yang berupa qudrat-iradat yang dianugerahkan kepada kemanusiaan, yaitu memberikan dua pilihan jalan kefasikan atau ketakwaan.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Jadi mereka yang mengambil jalan kefasikan adalah mereka yang merubah para malaikat yang seharusnya tunduk sujud sebagai menjaga dan membantu-nya, menjadi malaikat pembangkang yang malah menyesatkan yang disebut iblis. Terkadang kemanusiaan tanpa sadar menjadi terhanyut oleh hawa nafs-nya sendiri, sehingga diri-nya sendirilah yang menciptakan iblis di dalam dadanya dari yang semula sebagai malaikat yang tunduk patuh membantu kehidupannya. Kelak, jika hal tersebut dibiarkan, sehingga dirinya hanyut oleh kesesatan, maka akan kembali kepada dirinya sendiri sebagai bencana yang akan disesalinya.
Pada dasarnya jiwa cenderung kepada hawa nafsunya, dan juga berketergantungan kepada petunjuk, tetapi bukan berarti semua nafsunya tidak dapat diatur atau dikelola dengan benar. Ini dapat dianalogikan kepada bibit penyakit atau bakteri atau virus yang ada didalam tubuh yang dapat dilemahkan (imune) sehingga tidak membahayakan atau bahkan malah dibuat sebagai fungsi kekebalan tubuh. Jiwa yang telah kebal atau imune terhadap godaan dan bujuk rayu iblis, jin, maupun bisikan setan, bahkan malah menundukkan dan menyuruh-nya untuk bersujud atau tunduk kepada diri-nya, bahkan menjadi sebagai yang menjaga dan membantu.
“Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat (manfaat kebaikan) melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.”  (QS 21:28)
Bila dicermati dan dipahami secara mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri-nya sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir, yaitu hadir dengan sifat pembangkangan dan kesombongannya yang hendak menjerumuskan diri-nya kepada kehinaan`. Hadir semakin kuat mencengkeram jiwa kita selalu dalam pengaruhnya. Bila dirinya tak hendak menundukkan hawa nafsunya, maka iblis-nya pun akan terus tetap menjadi malaikat pembangkang sebagai yang akan terus selalu menyesatkan jiwa-nya.
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri......”  (QS 13:11)
Begitupun dengan merasakan keberadaan malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya. Jiwa yang secara tak sadar terus menjauhkan diri dari cahaya Tuhannya, maka justru kegelapannya yang menjadikan dirinya berada dalam kuasa penyesatan bujuk rayu iblis. Keberadaan hatinya yang gelap tanpa cahaya Tuhannya, membuat hatinya buta tak lagi dapat melihat kebenaran dari setiap segala sesuatu.
Sudah pada dasarnya pula setiap diri kemanusiaan menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi tidak mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata memandang. Tetapi sayangnya jiwa tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat menerapkannya kedalam memahami akan tempat tujuan mana dia seharusnya bergantung dan mendapatkan petunjuk, perlindungan, dan pemeliharaan yang baik dan sempurna.
Bila telah dapat menerima dan memahami hal ini, maka bukan hanya menerima kebaikan dengan senang hati dan bersyukur, akan tetapi (harus) mau pula menerima keburukan dengan ikhlas berserah diri hanya kepada-Nya. Layaknya seperti menyambut dengan tanpa beban akan datangnya malam yang sepi dan membosankan, setelah siang yang melelahkan tapi mengasyikkan bagai sebuah permainan. Itulah menyadari kebaikan dan keburukan sebagai satu hal yang berpasangan, layaknya cahaya dan bayangannya. Pasti ada sisi gelapnya, selain sisi terangnya.
“Allah memilih para utusan (rasul) dari malaikat dan manusia.........  (QS 22:75)
Sekarang marilah kita sedikit lebih menajamkan pembahasan tentang wujud malaikat yang sesungguhnya telah lama hadir dan ikut berperan terhadap kehidupan kita, di dalam diri kita, di sekeliling kita, serta yang bukan hanya sesekali hadir tanpa kita sadari sebelumnya, tetapi di setiap denyut nadi serta tarikan dan helaan nafas sebagai gerak hidup atas perintah dan kehendak Dia Yang Maha Tunggal. Makna aparat Allah, yaitu para malaikat-Nya, bisa kita ketahui dari setelah menafsirkan setiap firman-Nya yang berada di dalam al Qur’an, dan Dia selalu menggunakan kata “Kami” untuk menunjukkan kekuasaan-Nya yang melalui perintah kepada setiap aparat-Nya untuk membawa suatu urusan (kehendak) Tuhannya. Marilah kita ambil satu  atau dua ayat sebagai contoh dalam penafsiran tentang aparat Allah,
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Makna ayat tersebut, adalah Dia yang sesungguhnya memerintah kepada malaikat (wujud angin) yang sebagai aparat-Nya untuk membawa (suatu perintah dari Dia) kabar gembira berupa rahmat-Nya (hujan) dalam wujud awan mendung kepada daerah atau wilayah dimana orang-orangnya telah mengharapkan kedatangan hujan itu. Setelah berada diatas wilayah tersebut, segala wujud partikel-partikel gas (juga para malaikat) yang berada disitu mengkondensasikan (suatu perintah dari Dia) awan mendung tersebut agar mengubahnya menjadi titik-titik air yang memiliki berat dan jatuh menjadi hujan.
Dan dengan hujan (air) itu, Allah memerintahkan kepada semua aparat-Nya yang berwujud unsur-unsur pendukung kehidupan di dalam permukaan bumi untuk menyuburkan (suatu perintah dari Dia) tanah tersebut agar bermanfaat pula terhadap aparat-Nya yang lain seperti tumbuh-tumbuhan yang juga sebagai penyampai rahmat Allah kepada seluruh makhluk-Nya. Dan begitulah seterusnya, serta berulang-ulang, sehingga rahmat-Nya tersebar merata kepada seluruh makhluk-Nya, yang ternyata adalah aparat-Nya pula. Itulah qudrat dan iradat (kuasa dan kehendak)-Nya melalui para aparat (malaikat)-Nya, yang pada akhirnya ternyata seluruh makhluknya adalah merupakan para aparat-Nya sebagai penyampai rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Sekarang, kita kembalikan pemahaman tersebut kepada wujud halus malaikat yang berupa cahaya, sebagai penyampai petunjuk, perintah, kuasa dan kehendak Allah. Segala sesuatu di alam ini pasti tersentuh cahaya, karena sebelum Allah menciptakan segala sesuatu, Dia menciptakan cahaya terlebih dahulu. Begitu pulalah yang dikatakan sains ilmu pengetahuan modern. Cahaya juga adalah energi. Dan setiap energi dapat berubah bentuk menjadi bentuk energi lainnya karena interaksinya dengan energi atau materi lainnya, semisal menjadi energi gerak, energi listrik, energi panas, energi bunyi, dan lainnya. Maka dengan cahaya itulah segala petunjuk, perintah dan kehendak Allah disampaikan kepada segala sesuatu atau makhluk-Nya. Kelak pada ulasan-ulasan pada bab-bab berikutnya dapat menambah lagi pemahaman kita terhadap wujud nyata malaikat, karena ulasan di belakang akan lebih terfokus pula keterkaitan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang lebih logis. Memang begitulah penyajiannya secara bertahap agar tak membosankan.
Segala energi, daya atau kekuatan yang tak terlihat di dalam alam inilah sesungguhnya yang bekerja dan tunduk atas perintah serta kehendak Dia, Allahu rabbul ‘aalamiiyn, Tuhan yang mencipta, menguasai, merahmati dan memelihara semesta alam. Kelak, penjelasan ulasan mengenai energi, daya atau kekuatan aparat-aparat Allah ini, yang insya Allah dapat membuka dada kita kepada pemahaman-pemahaman yang mengkokohkan kembali keimanan kepada-Nya.
Itulah nyatanya malaikat yang sebelumnya kita rasa ghaib tak terlihat oleh mata, dan nyata hanya berdasarkan keyakinan atau iman belaka. Mungkin pekerjaannya yang tak terlihat, akan tetapi hasil kerjanya, dan makna dari rentetan proses kejadian dalam pekerjaannya yang menjadi nyata terasa dan terlihat sehingga menjadi lebih mudah dalam memahami keberadaannya, apalagi oleh hati yang telah terbuka. Dan hanya Dia-lah sesungguhnya yang membuka dada kita. Karena para aparat-Nya sangat menanti-nati tugas yang akan diberikan kepadanya. Subhanallaah.
“Tiada seorangpun diantara kami (malaikat) melainkan mempunyai kekdudukan tertentu, dan sesungguhnya kami benar-benar bersaf-saf (antri bergiliran dalam menunaikan perintah Allah).” (QS 37:64-65)
Para malaikat, aparat-aparat (malaikat) Allah, diklasifikasikan berdasarkan kelompok tempat tugasnya, seperti minnallaahu yang berada di dalam kalbu atau hati, mii ‘indillahi yang berada bersama jasad, min dii’anfusihiim yang berada di luar jasad, dan tandziilal ‘adziizir-rahiim yang turun dan naik membawa rahmat Tuhan terbaru. Klasifikasi ini adalah sekedar untuk memudahkan dalam penguraiannya saja agar lebih terarah dari setiap yang dicoba untuk dipaparkan demi mencapai pemahaman secara bertahap. Insya Allah.
MALAIKAT  Minallahu
“Dan kamu akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya, dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil....... (QS 39:75)
Dari Allah (langsung di kalbu) diperintahkan kepada aparat-Nya, yang wilayah kerjanya di dalam kalbu atau sanubari manusia yang halus dan lembut. Itulah nyatanya yang di dalam sanubari selalu bersih dan murni karena diperintahkan langsung oleh yang Maha Halus dan Lembut, ar Rahman, melalui Jibril yang Qudus, kepada hati dan rasa manusia yang juga pada dasarnya diciptakan halus dan lembut, serta penuh kasih sayang. Maka semua perbuatan dipandang baik bila didasari maupun yang keluar dari sanubari, dan disebutlah sebagai niat yang tulus, murni atau ikhlas yang keluar dari sanubari yang paling dalam.
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
“..... Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus.....” (QS 2:253)
Begitulah peran malaikat ini kepada nabi-nabi, seperti nabi Isa AS dan nabi Muhammad SAW sebagai yang diperkuat olehnya. Kekuatan Jibril inilah yang menjaga segala ucap dan amal perbuatannya tetap berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dari Tuhannya. Begitulah contoh manusia-manusia yang sempurna. Maka lihatlah dan renungi pula mereka yang menolak atau mengingkari, seperti yang diterangkan lanjutan ayat tersebut di atas.
“.... Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada (pula) diantara mereka yang kafir.....” (QS 2:253)
Tentulah mereka yang saling bertentangan adalah antara mereka yang beriman dan yang kafir. Mereka yang beriman adalah mereka yang telah membuka hatinya dari petunjuk Tuhannya yang dibawa malaikat suci penyampai petunjuk. Sedangkan mereka yang kafir adalah mereka yang menutup hatinya dari petunjuk Allah, yaitu mereka yang membiarkan hatinya penuh dengan kekotoran hawa nafsu serta pengakuan (ego)-nya. Sehingga cahaya (malaikat suci) yang membawa petunjuk tak dapat masuk menembus hati untuk menerangi akal sehatnya kepada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dari Tuhannya. Keduanya adalah pasangan yang saling bertentangan, yang merasa kepentingannya akan terganggu.
“(Dia-lah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang memiliki Arsy, Yang mengutus Jibril dengan membawa perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, supaya dia memeperingatkan tentang Hari Pertemuan.” (QS 40:15)
Tidak hanya kepada nabi-nabi, begitupun dengan merasakan keberadaan malaikat Jibril pada diri-diri kemanusiaan, yaitu pada diri-diri yang selalu menjaga kesadarannya, selalu ingat kepada Tuhannya dalam setiap geraknya. Keberadaan malikat kudus (suci) ini yang berada di dalam kalbu setiap diri kemanusiaan ini adalah mutlak, hanya saja perannya sangat dipengaruhi oleh tingkat kebersihan atau kesucian hati masing-masing diri kemanusiaannya.
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
Bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya, dan sebagai yang memberi petunjuk pada setiap gerak amal perbuatannya selalu berada dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Jiwa yang secara tak sadar terus menjauhkan diri dari cahaya Tuhannya, maka justru dia semakin mendekatkan dirinya kepada kesesatan bujuk rayu iblis.
Akan tetapi, sekalipun kalbu ini dipenuhi kemurnian, di permukaan luarnya dapat dipenuhi oleh debu-debu kekotoran, yang membuat niatnya menjadi melenceng akibat hawa-hawa nafs yang dibisikan setan yang menghasut hendak menjerumuskan, dan mengeluarkannya menjadi amal perbuatan yang buruk dan tidak murni lagi terkontaminasi oleh hawa nafsu keinginan serta kebutuhannya yang berlebihan.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
Semakin pekatnya kekotoran yang menyelimuti permukaan kalbu tersebut, maka perintah-perintah dari yang Maha Tunggal yang berupa gelombang-gelombang cahaya (wujud aparat minallahu, malaikat) tidak dapat menembus keluar membawa kebenaran dari Tuhannya untuk disampaikan kepada setiap aparat-aparat lainnya yang bertugas menyampaikan pula. Dan terjadilah ketidak harmonisan suatu urusan, mal function pada sistem penyampaian. Akibatnya adalah, pola hidup yang salah kaprah dari setiap pola pikir yang salah. Dan ini dapat terus menyebabkan kesalahan kepada setiap niat dan perbuatan, seperti efek domino.
Kembali kepada yang Tunggal, yang terasa berada pada sanubari yang paling dalam, adalah cara terbaik untuk membenahinya, sambil membersihkan yang pekat menyelimuti kalbu atau hati, menghindari setiap niat serta perbuatan buruk agar tidak menambah pekat lagi kalbu kita. Krena kepekatannyalah yang akan menutupi kalbunya, sehingga cahaya kebenaran-Nya tidak dapat menembus keluar mengiringi setiap niat, ucap, perbuatannya.
“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS 53:6)
Banyak-banyak  mengingat-Nya, shalat, dan berpuasa adalah cara-cara memperbaiki kembali rusaknya sistem komunikasi antara Allah, malaikat-Nya, serta jiwa kita yang sangat membutuhkan setiap cahaya petunjuk dari rahmat-Nya. Jangan biarkan karunia agung-Nya menjadi hal yang sia-sia, apalagi berubah menjadi keburukan akibat disesatkan oleh iblis dan pengakuan (ego)-nya. Tidaklah setiap jiwa diciptakan kecuali hanya untuk sebagai perwujudan-Nya di alam, yaitu sebagai khalifah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama-nya. Itulah fitrah kemanusiaan-nya.
MALAIKAT  Min Indi‘anfusihiim
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Inilah para malaikat yang wilayah tugas-nya di bumi, yaitu aparat yang dari sisi luar atau di sekitar diri kemanusiaan. Para aparat Allah yang tak terhingga jumlahnya tersebut, sesungguhnya berada di mana-mana tak terhitung jumlahnya, dan secara tak disadari, telah ikut berperan dan mempengaruhi kepada diri kita dalam ucap, gerak, serta perbuatan setiap diri kemanusiaan bersama segenap makhluk Allah lainnya.
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap buah dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah tiu, keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang berpikir.”  (QS 16:68-69)
Ternyata tidak hanya pada kenabian di kemanusiaan yang menerima wahyu dari Allah, melainkan hewan pun dapat menerima wahyu. Bahkan tidak hanya hewan, .... dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang .... (QS 41:12)
Seperti yang dijelaskan ayat (QS 16:68-69) di atas, pada wujud-wujudnya yang nyata dan dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan sehari-hari dan sangat berperan serta mempengaruhi diri kita. Dan segala wujud yang secara langsung berinteraksi dengan dengan kita, seperti anak-istri dan orang tua, harta benda, perhiasan, rumah tinggal, kendaraan, ladang pekerjaan, sesungguhnya adalah ‘aparat Allah’ yang juga merupakan sebagai sarana dan fasilitas bagi kemudahan kita yang ternyata bukanlah milik dan dibawah kuasa serta perintah kita, melainkan hanyalah anugerah dari Dia yang Maha Pemurah untuk dikelola, layaknya segala organ-organ yang berada di dalam tubuh atau jasad.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”  (QS 9:24)
Segalanya yang tersebut pada ayat di atas, jelaslah atas anugerah Allah, akan tetapi dapat pula menjadi godaan atau ujian bagi yang menerimanya, saat kecintaan terhadap-nya melebihi kecintaan kepada-Nya. Makna ayat tersebut adalah, jangan sampai diri terkecoh dari rasa memiliki yang sesungguhnya ternyata bukanlah milik kita. Sehingga bila semua itu hilang atau pergi, tidaklah menjadi penyakit bagi hati dan jiwa.
Dengan begitu, kita sendirilah yang sesungguhnya ikut serta ‘menciptakan’ surga atau neraka yang juga diperuntukkan bagi kita sendiri di alam masih dalam kehidupan.
Dalam kehidupannya, diri kemanusiaan, jelas saling berinteraksi dengan sekitarnya, maka bila telah disadari, bahwa sesungguhnya kita jelas berhadapan dengan ‘para malaikat’ yang selain sebagai penyampai perintah dan kehendak Allah, juga merupakan saksi atas amal perbuatan kita. Keluarga, harta kekayaan, pekerjaan, rumah tinggal, dan kendaraan yang kesemuanya tersebut aadalah anugerah karunia-Nya, adalah pula aparat (malaikat) Allah yang dapat mempermudah kehidupan diri kita, akan tetapi dapat pula menjadi musuh kita dan menjadi malaikat pembangkang (iblis) kita yang menjerumuskan kita kepada kesesatan dan kehinaan melalui godaan dan bujuk rayunya yang terlihat indah di pandangan.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Insya Allah, uraian ini dapat membuka kesadaran kita, sehingga akan lebih bermakna dalam setiap niat, ucap, dan perbuatan yang sesungguhnya ternyata diperintahkan oleh Dia yang Maha Tunggal. Dia yang Maha Suci dari kesalahan dan keburukan. Oleh sebab itu sucikanlah segala niat, ucap, dan perbuatan karena diri kita adalah milik-Nya.
MALAIKAT Min ‘Indillahi
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......  (QS 13:11)
Banyak hal yang disadari bahwa bukan diri kita yang memerintahkan, seperti halnya telinga bersama perangkatnya yang  dapat mendengar, mata bersama perangkatnya yang dapat melihat, mulut bersama perangkatnya yang dapat berbicara, kita hanya rasa ingin-nya, yang didasari pengaruh nafs (jiwa). Hanya Dia-lah yang memerintahkan kepada aparat-Nya agar bekerja sebagai penyampai perintah dan kehendak Allah. Aparat-aparat inilah yang merupakan malaikat min ‘indillahi yang wilayah kerjanya di dalam tubuh atau jasad manusia, termasuk organ-organnya.
“....dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”  (QS 16:78)
Dan kepada hal yang lebih halus lagi, dan kita sadari pula bahwa bukan perintah dari diri kita, seperti perintah kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari tangan dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga pada yang tak terlihat nyata oleh mata kita, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
“.... dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia).” (QS 79:5)
Yang kita sadari hanya tinggal sakit atau nikmat-nya saja. Bila sakit, maka bermohon ampun. Dan bila nikmat, bersyukur. Tetapi tidak menyadari peran keberadaan aparat-aparat Allah atau para malaikat yang berada di dalam tubuh atau jasad yang telah bekerja atas suatu perintah dari Dia yang Maha Halus lagi Maha Kuasa yang berada pada kalbu yang paling dalam.
Biasakanlah mengakrabkan hati dan jiwa-nya dengan mereka para malaikat (aparat Allah) yang telah berjasa bekerja di dalam jasad dengan menjadikan mereka sebagai sahabat, dan jangan biarkan jiwa kita sampai tak mengenal mereka yang sesungguhnya telah mempermudah kehidupan kita selama ini.
“Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat (manfaat kebaikan) melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.”  (QS 21:28)
Bila demikian, maka tentu sekarang kita telah menyadari seikhlasnya, bahwa tubuh atau jasad adalah bukanlah milik kita. Dan tentu dengan segala perangkat di dalam dan di permukaan tubuh yaitu organ-organ tubuh, baik jantung, paru-paru, hati, lambung, dan lainnya yang kelihatan seperti kuku-kuku, rambut-rambut, hingga kepada kulit. Yang sesungguhnya semua itu adalah milik-Nya atas kuasa dan perintah-Nya. Justru diri kita sendirilah yang hanya menerima sakit dan nikmatnya, yaitu neraka dan surganya. Karena itu sucikanlah dari kekotoran yang menyebabkan penyakit. Penyakit jasad dan jiwa. Kekotoran yang menyesatkan jiwa dari jalan lurus-Nya sebagai jalan kembali kepada-Nya, yaitu tujuan sejati dari segala tujuan.
Makna yang lebih dalam dan menjadi lebih berkembang dari uraian di atas adalah, atas rahmat Allah-lah timbul pula ilmu kedokteran untuk mengatasi penyakit pada tubuh, sehingga tercipta kehidupan yang lebih kompleks untuk berkembangnya struktur-struktur sosial kehidupan lainnya, yaitu profesi pendukungnya, seperti dokter, perawat, apoteker, farmasi, sampai kepada administrasinya maupun keuangannya. Begitupun industri-industri pendukungnya yang ikut bertumbuh.
Akan tetapi, bila kita lebih dalam lagi mengembalikan pemahaman berfikir kepada kuasa dan kehendak Allah, lebih ekstrim, semua itu tidak perlu, toh, dokternya pun selalu mengatakan bahwa kesembuhan ada di tangan Allah. Dengan begitu, maka timbullah pemahaman atau kesadaran ruhani yang religius, bahwa sesungguhnya rasa sakit adalah suatu pembersihan diri dari dosa-dosa akibat perbuatan sebelumnya. Jika harus berobat dan mengeluarkan uang demi kesembuhan, maka itulah pembersihannya. Dan bila memang sembuh, berarti karena ‘uang’ itulah maka dosa harus dibersihkan. Itulah nyatanya keseimbangan atau keadilan di alam, hisab.
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan) supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (QS 33:43)
Ternyata diri bersama wujud kita pun terdiri dari aparat-aparat (malaikat-malaikat) Allah, utusan yang menjadikan setiap segala sesuatu menjadi manfaat (rahmat-Nya pula), baik yang di luar jasad maupun yang berada di dalam jasad akan menjadi bermanfaat, menjadi rahmat yang banyak untuk kepada yang banyak. Itulah rupa nikmat yang sesungguhnya. Bahkan secara tak disadari, ternyata diri kita pun ikut berperan sebagai aparat Allah terhadap pihak lain, yang tetap dalam naungan kehendak Allah. Dan ternyata menjadi bagian dari seluruh aparat-Nya dalam suatu sistem semesta yang telah menjadi ketetapan (sunathullah) dalam kehendak-Nya. Sempurna.
MALAIKAT  Tandziilal ‘Adziizir-rahiim
Bermakana aparat yang naik dan turun (bergerak vertikal) untuk suatu urusan yang atas perintah dan kehendak Allah. Merekalah yang bekerja sebagai penyampai cahaya-cahaya yang berada di langit agar sampai di bumi. Bintang-bintang, matahari, dan bulan adalah sumber-sumber cahaya bagi keseimbangan semesta dan amat dibutuhkan oleh kehidupan di bumi.
“.....Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar......” [QS 30:8]
Betapa pentingnya urusan itu, bagi kehidupan di bumi, sampai-sampai para malaikat harus turun naik antara langit dan bumi, silih berganti setiap saatnya, yang harus ditempuh dengan kecepatan yang amat tinggi, teramat cepat. Bila cahaya matahari saja yang paling dekat dengan bumi harus menempuh perjalanan selama 8 menit (asumsi sains, kecepatan cahaya adalah 300 ribu Km per detik) untuk sampai di permukaan bumi, tidak bisa dibayangkan bintang-bintang yang jaraknya jutaan kali lipat dari jarak bumi ke matahari (± 150 juta Km).
“Demi (malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat) yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)
“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
Perkembangan ciptaan-Nya bertahap, diawali dengan pancaran cahaya-Nya, kemudian menciptakan Alam, dengan memisahkan bumi dan langit yang sebelumnya satu kesatuan (QS 21:30), dan membagi langit menjadi tujuh lapisan, dan mengisi langit yang terdekat dengan bintang-bintang (QS 41:12). Kemudian pada penciptaan kehidupan di bumi yang sebelumnya mati, gunung-gunung yang dipancangkan, ditumbuhkan-Nya dengan air segala jenis tumbuh-tumbuhan, sebagai bumi yang telah dihamparkan. Kemudian diciptakan-Nya pula hewan-hewan. Sehingga layaklah kemudian untuk kehidupan manusia, dan akhirnya diciptakanlah manusia setelah semua persyaratan kehidupan manusia telah ada (QS 15:19-20).
Pikirkanlah, betapa teratur dan terencananya proses penciptaan antara yang satu dengan yang lainnya, penciptaan alam (tempat), bintang-bintang dan bumi sebagai tempat tumbuhnya tumbuh-tumbuhan, kemudian hewan-hewan yang membutuhkan tumbuhan untuk kehidupannya, kemudian hewan-hewan carnivora, barulah kemudian diciptakan-Nya manusia yang telah tersediakan segala kebutuhan untuk keberlangsungan hidupnya.
Lihat dan pikirkanlah, seluruh ciptaan-Nya, alam yang tumbuh berkembang, bintang-bintang yang juga tumbuh berkembang, bumi yang tidak lepas dari pertumbuhan dan perkembangannya, sekalipun kita sebut mereka itu adalah benda mati ternyata hidup dan berkembang, mengalami perubahan bentuk, tidak diam, mati ataupun musnah. Mereka tetaplah ada sekalipun pada suatu (waktu yang telah ditetapkan-Nya) terurai tetapi akan kembali lagi ke bentuk semula, begitu terus berulang sebagai siklus ketetapan dari-Nya (sunathullah).
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” [QS 3:190-191]
Dan Dia-lah yang memerintahkan dalam setiap urusan-Nya kepada para aparat-Nya, termasuk urusan dari langit ke bumi kepada para Malaikat Tandziilal ‘Adziizir-rahiim. Yang dalam setiap pekerjaannya melibatkan gelombang cahaya yang merupakan energi, sebagai unsur dasar penciptaan-nya. Energi cahaya yang dipancarkan membanjiri bumi baik siang maupun malam adalah energi yang baru untuk menggantikan energi lama yang telah berubah bentuk karena pemakaian oleh makhluk-makhluk di bumi. Begitulah rahmat Allah kepada penduduk bumi disetiap detiknya, tanpa pernah berhenti semenjak diciptakannya semesta alam sampai saat ini, bahkan hingga akhir zaman.
Sungguh telah lupa mereka yang mengatakan, bahwa rezeki tidak turun dari langit. Padahal segala sesuatu yang menunjang kehidupan mereka adalah karena limpahan energi cahaya yang turun dari langit ke bumi sebagai rahmat-Nya. Paling tidak adalah hujan yang turun dari langit, dan dengan hujan tersebut Allah tumbuhkan segala sesuatu yang dibutuhkan mereka. Apa jadinya bumi bila tidak turun hujan? Apakah uang menjadi berharga?
Wujudnya dalam bentuk energi cahaya yang sesungguhnya adalah malaikat, yaitu aparat Allah, yang telah memakmurkan kehidupan di bumi. Cahaya sebagai energi yang memberi kekuatan, dan cahaya sebagai petunjuk kepada ilmu dan pengetahuan, yang keduanya adalah merupakan rahmat Allah Yang Maha Pemurah. Dengan cahaya sebagai energi maka kehidupannya menjadi hidup dan berkembang semakin menyempurnakan. Dan dengan cahaya sebagai petunjuk kepada ilmu dan pengetahuan, nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, serta membawa kepada kemudahan dan keselamatan.
Sifat wujudnya itulah yang dimanfaatkan manusia dalam bentuk energi sebagai sarana dan fasilitas bagi kemudahan dalam setiap kehidupannya. Limpahan energi cahaya, baik siang maupun malam, yang sampai ke bumi adalah sebagai rahmat selain termasuk kepada makhluk-makhluk lainnya yang demi keperluan manusia. Limpahan energi-energi yang tiada pernah berhenti tersebutlah, yang sesungguhnya, menjadikan segala sesuatu dapat terus melangsungkan gerak kehidupannya.
Juga dimanfaatkan lebih jauh oleh manusia dengan mengubahnya menjadi energi-energi yang lain, seperti gelombang elektro magnetik untuk telekomunikasi yang menggunakan satelit, seperti radio, televisi, telephone, hingga jaringan internet yang telah dapat mencakup dunia dalam waktu yang sangat singkat. Perkembangan tekhnologi yang ‘menggunakan’ para malaikat tandziilal ‘adziizir-rahiim ini begitu pesat, sayang tak disadari wujud sesungguh-nya. Yang dengan menyadari itulah, betapa besar peran-nya (malikat) sebagai wujud bukti kekuasaan Allah terhadap manusia. Maka, Dia dalam setiap firman-Nya selalu menggunakan kata Kami yang menyatakan peran aparat-aparat Allah untuk menjalankan kehendak-Nya.
Itulah sesungguhnya malaikat, sebagai aparat-aparat yang diperintah Allah untuk tunduk kepada kemanusiaan, menjaga, membawa petunjuk dan memudahkan. Itu pulalah yang atas rahmat Allah, yang sesungguhnya dikehendaki Allah agar setiap diri kemanusiaan pun beriman terhadap keberadaan para malaikat-Nya, bukan malah menjadikannya pembangkang akibat dari kesesatan jiwanya sendiri.
Menjadi teguh imannya karena tahu dan mengenal wujud-nya, sifat-nya, dan pekerjaan-nya, yang selalu tidak lepas mengiringi demi kemudahan kita. Agar kita selalu tidak lepas dari rasa bersyukur atas setiap nikmat dari rahmat Allah yang tiada henti-hentinya disetiap mili-detiknya kehidupan. Subhanallahu walhamdulillahu la ilaha ilallahu akbar, wa laa hawlaa wa laa quwwata illa billahil alliiyyul azhiim.
Diri yang ber-Kemalaikatan
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah. Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS 41:30)
Tentunya adalah juga manusia yang telah berketuhanan. Tidaklah sulit mengimani keberadaan malaikat dan kemudian ikut termasuk menjadi aparat Allah seperti malaikat, bila telah mengenal Tuhannya. Karena keterkaitan hubungan antara yang mengabdi dan yang diabdi, yang diperintah dan yang memerintah, serta yang dipelihara dan yang memelihara. Maka kemudian ternyata telah dapat mengenali diri-nya sendiri.
Menyadari keberadaaan dan wujud malaikat yang ternyata telah akrab menyertai kehidupan manusia dalam setiap pikir, niat, ucap, serta langkah perbuatannya, baik yang berada di dalam tubuh jasadnya maupun yang di luar dan jauh nun di sana. Ternyata semua dalam sistem kekuasaan semesta milik Allahu rabbul ‘aalamiyin.
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......  (QS 13:11)
Ya, Allah yang sesungguhnya memerintah, menguasai, melindungi, serta memelihara segala sesuatu, termasuk diri dan jasadnya, melalui para malaikat-Nya sebagai penyampai setiap perintah dan kehendak-Nya kepada setiap organ tubuh kemanusiaan-nya, sebagai satu kesatuan sistem komunikasi individu untuk berinteraksi dengan inter individu  lainnya dalam komunitas yang lebih global lagi. Sistem Semesta milik yang Maha Tunggal.
Kecenderungan diri kemanusiaan adalah pada hawa nafs-nya yang lebih banyak membawanya terjerumus pada kekotoran dan kehinaan, dan pada dasarnya pula diri-nya telah dianugerahi keilahian (ketuhanan), sebagai hawa illahi, yang disertai para aparat-Nya (malaikat) sebagai penyeimbang ambisi dari hawa nafs-nya, agar setiap amal perbuatannya terjaga pada jalan lurus, yaitu jalan yang menuju keselamatan dan kenikmatan sejati.
Mengambil makna dari kisah penciptaan Adam As, yang terjerumus oleh bujuk rayu iblis yang menyesatkan sehingga menimbulkan penyesalan pada diri-nya. Padahal sesungguhnya iblis tidak akan ada bila telah ditundukkan (bersujud) seperti malaikat bersujud, yang merupakan asal ras-nya, tunduk dan bersujud.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Akan tetapi karena timbulnya pengakuan (ego) yang mendominasi jiwa, maka iblis pun akan hadir, karena dia menyukai sifat sombong tersebut. Disaat itulah iblis lebih mendapat kemudahan dalam usahanya untuk menjerumuskan setiap diri kemanusiaan. Dengan demikian, sesungguhnya, dirinya sendirilah yang menciptakan iblis-nya. Tetaplah menjaga malaikat agar tetap sebagai malaikat yang menjaga, membantu dan menunjukkan diri kita seperti kehendak-Nya, jangan biarkan mereka berubah menjadi malaikat pembangkang yang disebut iblis (QS 2:34), yang justru sifatnya yang ingin menjerumuskan diri kemanusiaan kepada kesesatan dan kehinaan.
Dan Allah pun, sesungguhnya pula, telah menunjuki kepada kemanusiaan cara jitu agar iblis tunduk pada diri kemanusiaan. Yaitu, keikhlasan dalam setiap gerak amal perbuatan yang semata karena dan kepada Allah.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Berangkat dari pemahaman itulah, manusia yang telah berada di dalam ‘istana sadar’, memahami bahwa sesungguhnya dirinya hampa, bagaikan hanya setitik pasir diantara pasir-pasir yang terdapat di gurun sahara, yang dapat saja hilang terbang terbawa angin. Diri yang telah hilang aku-nya (ego) dan lebih menghidupkan Aku-nya (Allah) di dalam hatinya serta mengeluarkannya kepada segala bentuk amal perbuatan yang terpuji.
Dirinya yang telah menyadari, bahwa dirinya tak memeiliki peran sedikitpun atas apa-apa yang terjadi pada diri dan jasadnya, juga terhadap apa yang terjadi di luar dirinya. Segala sesuatunya adalah berkat peran para aparat (malaikat) Allah yang bekerja dibawah kehendak dan kuasa-Nya. Sedikit saja, bila dirinya merasa memiliki peran atas apa yang terjadi, maka bersiaplah menanggung konsekuensi atas hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya tersebut. Kepada orangtua yang merasa memiliki anak-anak yang amat dicintainya, maka rasakanlah ketika anaknya mulai menjadi pembantah. Kepada yang merasa memiliki harta yang amat dicintainya, maka rasakanlah ketika harta itu pergi dan hilang darinya. Juga yang merasa memiliki jabatan yang membanggakan, maka rasakanlah ketika jabatan tersebut lepas atau telah habis masanya.
Seperti seorang yang telah bekerja keras siang dan malam demi keluarga, tiba-tiba merasa kecewa setelah mengetahui anaknya ternyata kecanduan narkoba. Itulah konsekuensi yang harus ditanggungnya, karena sibuk dengan bekerja keras maka menjadi lupa pada hal-hal penting lainnya. Dirinya telah disesatkan pandangan indah iblis akan kebutuhan kehidupan dunia, sehingga menjadi terhalanglah pandangan-pandangan lainnya yang juga sebagai yang tak bisa dilalaikan. Karena merasa perannya dibutuhkan untuk lebih keras lagi dalam bekerja supaya kebutuhan-kebutuhan materi keluarganya dapat terpenuhi, dengan demikian, maka diharapkannya-lah agar keluarganya dapat memahami dan membantu meringankan urusan-urusan lainnya selain mencari nafkah, atau menyerahkan kepada istrinya sendirian dalam hal urusan pendidikan anak-anaknya.
Segala sesuatu, untuk mendapatkan hasil yang besar, tentu memerlukan pengorbanan yang besar pula. Begitulah keseimbangan yang telah ditetapkan Allah sebagai hukum mutlak yang berlaku di alam. “..... dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9). Dan berlebihan dari keseimbangan yang telah ditetapkan-Nya pun dapat merupakan ancaman yang kelak akan menyulikan dirinya sendiri.
Keseimbangan atau keadilan harus tegak di alam ini, agar tidak kembali sebagai yang merugikan dirinya sendiri. Dan menjadilah diri-diri yang terpuji (muhammad) di alam, sebagai perwujudan dari Dia Yang Maha Terpuji.




Bab III
MEYAKINI PARA RASUL
Asyhaadu’allaa ilaaha illallaahu, wa asyhadu annaa muhammadur-rasulallahu.
“Allah memilih para utusan (rasul) dari malaikat dan manusia.........
 (QS 22:75)
B
egitu banyak tak terhitung rasul-rasul yang telah Allah utus di kehidupan dunia ini, dan mereka percaya serta sadar dirinya adalah sebagai utusan Allah di dunia. Namun hampir seluruh kemanusiaan tidak menyadari dan percaya bahwa dirinya sebagai rasul (utusan) Allah yang diutus ke dunia sebagai wakil atau khalifah-Nya yang saling membawa dan menyampaikan rahmat Tuhan-Nya kepada sesama makhluk.
“Dan ada beberaqpa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada pula beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu.....”  (QS 9:24)
Mereka, yang menyadari dan percaya maupun yang tidak, sebenarnya selalu atau telah menyampaikan kebenaran dan menyuruh meninggalkan keburukan, paling tidak kepada sanak keluarganya, sekecil apapun ruang lingkupnya, bahkan hanya untuk dirinya sendiri. Dan saling menasehati kepada kebaikan, juga selalu berharap kebaikan. Serta menganggap kesalahan atau dosa adalah hal kecil yang dapat dimaafkan, kemudian pasti berharap dapat memperbaikinya dengan tanpa mengulanginya kembali. Itulah kebaikan yang sedari dulu terjaga hingga sekarang sebagai norma hidup.
Sayangnya, kebanyakan tidak menyadari diri-nya adalah bagian dari para rasul yang diutus Allah, padahal pada kesadaran itulah Allah berkehendak pada kemanusiaan yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Khalifah di bumi, sebagaimana bapak mereka Adam diutus pertama kali sebagai peng-awal dari kemanusian yang bermanusiawi dan ber-kerasulan. Dan beliaulah sebagai yang pertama terjerumus kelalaian akibat bujuk rayu setan, sebagai utusan iblis yang bertugas di wilayah dada, di permukaan luar dari hati atau kalbu kemanusiaan.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi peringatan.”  (QS 26:192-194)
Sayangnya, kemanusiaan lebih menyukai menjaga jarak antara dirinya dengan Tuhannya, yang dengan kehati-hatiannya cenderung melepaskan apa yang telah menjadi kehendak-Nya agar sebagai yang saling menyampaikan kebenaran, kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.  Hal tersebutlah yang semakin menjauhkan dirinya dari menyadari fitrah-nya yang juga merupakan menjadi tugas-tugasnya di kehidupan dunia ini. Jika Allah saja menaruh keyakinan (sebagai Al Mu’min) yang amat tinggi kepada penciptaan kemanusiaan sebagai khalifah bagi kesempurnaan dari seluruh penciptaan-Nya, yaitu semesta alam, sekalipun para malaikat sempat meragukan-Nya (QS 2:30), tetapi kemanusiaan malah, terjebak dengan kehati-hatiannya, menjaga jarak dari fitrah dan tugas yang diberikan Allah kepadanya. Padahal, kemanusiaan telah berani memikul amanat tersebut. Namun, memang, dalam setiap anugerah yang diberikan kepadanya, kemanusiaan hendaknya tidak menjadi berlebihan dalam menyikapinya, sehingga tidak menjadikannya sombong dan takabur dengan tugas kerasulan tersebut. Akan tetapi, menyadari fitrah dan tugas-nya sebagai amanat yang harus ditunaikannya adalah hal yang utama.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”  (QS 33:72)
Sekedar mengingatkan, dalam rukun iman yang ke tiga ini, ulasannya hanya mengenai kerasulan, dan sekilas saja tentang kenabian hanya sebagai perbandingan. Jika sebelumnya, pada uraian keimanan kepada malaikat, kita telah mengkaji beberapa sifat kemalaikatan yang meliputi diri manusia, maka begitu pula dengan sifat kerasulan pada manusia sebagai suatu tugas dari Allah yang sangat perlu disadari dan dipercayai (diimani), sebagai salah satu syarat berkeimanan. Sehingga semakin mengukuhkan kembali rasa keimanan yang sebelumnya mempercayai hanya kepada rasul-rasul yang telah dikubur sejak lama. Dan dianggap telah tiada lagi rasul-rasul penerus, padahal setiap hari kita sering mendengar para penyampai kebaikan di sekitar kita yang selalu mengingatkan kebaikan, itu pulalah sesungguhnya rasul Allah. Itu akibat kita hanya terpaku hanya kepada rasul-rasul yang terkemuka saja, dan tidak menggunakan kerasulan kita lebih maksimal lagi seperti mereka yang mendapatkan kemuliaan karena kesabaran dan kesungguhannya.
Mereka yang terkemuka dan banyak namanya disebut di dalam al Qur’an, dengan kesabaran dan kesungguhannya sebagai teladan serta contoh baik dari kerasulan mereka. Bila dengan kenabian-nya mereka selain menyampaikan wahyu yang diterimanya, juga lebih terfokus memperbaiki dan membangun kehidupan sosial umat. Hanya saja perbedaan ketugasannya seorang rasul lebih terbatas, maka seorang nabi sudah pasti seorang rasul, keduanya adalah karena kemanusiaan-nya yang memiliki fitrah sebagaimana kemanusiaan lainnya menerima fitrah yang sama, sebagai yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Sehingga jangan sampai terkecoh oleh jabatan rasul yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dimuliakan-Nya saja. Dekatilah kemuliaan itu, dan jika Allah menghendaki, terimalah sebagai anugerah yang perlu disyukuri.
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seseorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui esgala sesuatu.”  (QS 33:40)
Berakhirnya kenabian pada diri Muhammad SAW (bin Abdullah) bukanlah berarti berakhirnya pula kerasulan pada kemanusiaan di muka bumi, melainkan kerasulan pada diri-diri kemanusiaan selalu akan terus berlangsung secara berkisanambungan sebagai yang saling menyampaikan rahmat petunjuk Allah. Rahmat petunjuk Allah tidaklah berhenti setelah beliau wafat, melainkan terus berlanjut melalui diri-diri yang berlaku lurus, yang selalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, yang saling mengingatkan atau saling nasehat-menasehati, kesemuanya dilakukan secara ikhlas tanpa mengharap upah atau mencari kelebihan. Maka adalah tak masuk akal bagi mereka yang mempercayai kerasulan pun ikut berhenti setelah wafatnya beliau, bila demikian, maka berhenti pulalah cahaya Allah kepada diri-diri kemanusiaan sebagai yang saling memberikan petunjuk diantara mereka.
Kerasulan, sesungguhnya telah dianugerahkan kepada setiap diri kemanusiaan yang bermanusiawi sebagai wujud yang terpuji dari perwujudan Dia yang Maha Terpuji, yaitu setiap diri yang telah beriman dan mengkokohkan kembali keimanannya, sehingga menyadari dan bersaksi dengan menjaga amal perbuatannya sebagai amal perbuatan seorang utusan yang diamanatkan oleh Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan .... wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu, sebagai persaksian diri ini untuk menerima dan menjalankan amanat Allah tersebut.
Kata muhammad pada bunyi syahadat adalah tidak hanya tertuju kepada nama “Muhammad bin Abdullah” saja, nabi dan rasul kita, melainkan merupakan salah satu sifat Allah sebagai Yang Maha Terpuji yang dianugerahkan pula kepada diri-diri kemanusiaan. Memang benar, kemanusiaan yang pertama mendapat anugerah gelar ke-muhammad-an tersebut dari Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), kemudian nama Muhammad jadi lebih melekat kepada beliau.
“.... yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad SAW) ....”  (QS 61:6)

Gelar kenabian memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab kerasulan. Kita dapat membandingkannya setelah memahami makna kisah nabi Yunus yang mendapat azab dari Allah karena meninggalkan (dari tugas kenabiannya) umatnya yang masih dalam kesesatan (QS 21:87, 37:139-148, 10:98).
Kemudian kisah tiga orang rasul (tidak disebutkan nama-namanya) di suatu negri yang mendapat tugas mengingatkan dan memperingatkan kaumnya (36:13-29). Ketiga orang rasul tersebut tidak mengalami hukuman dari Allah, sekalipun tidak diceritakan lagi bagaimana kelanjutan tentang mereka (ketiga rasul). Hanya kisah seorang rajul yang membantu ketiga orang rasul tersebut yang kemudian dikisahkan sebagai kelanjutannya.
Bila telah memahami kisah-kisah tersebut serta makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan, maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yaitu sebagai yang menyadari fitrah dan tugas yang diamanatkan kepada dirinya.
Sehingga makna yang dapat dipahami, sebenarnya ke-muhammad-an adalah gelar bagi diri-diri kemanusiaan sebagai wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji. Kemanusiaan yang menjadi wakil-Nya di bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Begitulah sebagai fitrah bagi setiap diri kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya agar mewujudkan segala sifat-Nya di muka bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  (QS 2:30)
Kita tentu mengagumi seseorang yang menghiaasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, sebagai yang memiliki keindahan dan menentramkan hati bila bersamanya. Dan seperti itulah yang dikatakan nabi Muhammad rasulullah SAW, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dan Allah tidak hanya menurunkan firman-firman berupa petunjuk agar dapat mencapai akhlak yang terpuji pada diri-diri kemanusiaan, melainkan pula Dia berikan seorang nabi Muhammad (Ahmad bin Abdullah) untuk sebagai contoh teladan bagi umat manusia. Begitulah makna wujud yang terpuji (muhammad) sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan agar diri kemanusiaan mengambil contoh keteladanan beliau sebagai yang terpuji dengan berakhlak sifat-sifat Allah, yang merupakan wakil Tuhan di bumi yang mewujudkan sifat-sifat Allah sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan menjadi jauh lebih terasa di dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya selalu bersamanya setiap saat dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan selalu menjaga dan menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan sifat-sifat yang memiliki akhlak terpuji.
Dengan tidak mengurangi nama besar beliau, yang dimuliakan oleh Allah (dan tidaklah siapapun yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki Allah), dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada mengembalikan arti dan makna asalnya. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan.
Tentulah syahadat bukan sekedar perjanjian atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada sosok bersifat mulia, yang wujudnya seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihatnya, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisahnya. Melainkan dapat meresapi makna sejati dari syahadat atau persaksian itu, yang adalah suatu ikrar pengikatan diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui atau persaksian bahwa dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasulullaah atau utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah diteladankan nabi kita Muhammad SAW.
Bila disadur atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyinya adalah, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan wujud yang terpuji (perwujudan dari yang Maha Terpuji) ini adalah utusan Allah, maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensi dari fitrah dan tugas yang diembannya akan menjadi beban amanat bagi diri pengucapnya. Dan bila makna ini telah meresap disadari, melekat dalam setiap shalat diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri, dan kepada siapa diri ini bergantung.
Itulah makna kerasulan pada setiap diri kemanusiaan yang di dalam syahadat (persaksian)-nya diharapkan dapat membawa diri kepada saling menjaga keadilan dan keberadaban, serta saling berbagi rahmat kepada semesta alam. Bila makna syahadat telah dapat diterima secara lapang  (legowo) oleh dada, maka rukun iman yang ke tiga ini, yaitu menyadari tugas kerasulan yang disandangnya sebagai salah satu keimanan yang wajib diimani, akan menjadi ruh dalam setiap gerak amal perbuatannya sebagai manusia yang terpuji perwujudan dari Dia Yang Maha Tepuji arah segala pujian tertuju.
Mari kita melangkah lagi kepada uraian wujud yang terpuji ini yang merupakan utusan-Nya, untuk lebih mengenal diri dan mengukuhkan kembali keimanan yang sebelumnya tercerai-berai oleh makna-makna yang sebelumnya ghaib dan dapat pula mengecohkan pemahaman, semoga Allah mengembalikan kita kepada pemahaman yang haqq, yang datang dari sisi-Nya yang Maha Haqq.
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul dari kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, mensucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu kitab dan hikmah, serta mengajarkan apa-apa yang belum kamu ketahui.”  (QS 2:151)
Uraian selanjutnya tentang kerasulan sangat berhubungan erat dengan uraian sebelumnya yaitu keimanan kepada malaikat. Kerasulan pada diri manusia dengan jasad perwujudannya yang terdiri dari para malaikat sebagai aparat yang menjalankan segala perintah Allah. Perintah atau kehendak Allah tersebut, dikerjakan para aparat-Nya dengan tugas sebagai utusan pembawa perintah atau kehendak-Nya inilah yang disebut rasul. Jadi rasul adalah aparat Allah (malaikat) yang menyentuh diri kemanusiaan yang bertugas sebagai utusan yang menyampaikan perintah dan kehendak Allah. Yang menyentuh di sini bermaksud diberikan, bahwa kerasulan tersebut selain untuk dirinya juga untuk disampaikan keluar kepada selain dirinya sebagai yang bermanfaat dari rahmat Tuhannya.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ...... (QS 22:75)
“Dan setiap umat (memiliki) rasul...... (QS 10:47)
Sedangkan segala sesuatunya tidaklah terlepas dari setiap kehendak-Nya, maka menjadi jelaslah, bahwa segala sesuatu pun merupakan utusan Allah sebagai aparat yang menjalankan kehendak-Nya yang berupa petunjuk bagi makhluk lainnya. Sehingga pada diri kemanusiaan yang telah menyadari dengan bersyahadat, maka keterikatan janji tersebut bukan hanya pada bathin-nya saja, melainkan termasuk dengan segala apa yang berada di dalam tubuh jasadnya pun ikut bersaksi untuk menjadi utusan-Nya.
Segala sesuatu yang tersebar di alam ini merupakan para aparat (malaikat) dan rasul-Nya. Adakah dari segala sesuatu tersebut yang tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan kemanusiaan? Seluruhnya adalah pembawa dan penyampai kuasa dan kehendak Allah kepada setiap segala sesuatu tersebut itu sendiri, termasuk pada diri-diri kemanusiaan.
Para Rasul Minallaahu
Utusan (rasul) yang ada di dalam diri-diri setiap kemanusiaan dan diperintah langsung dari Allaahu ala arsyitawaa (Ar Raahman), yang disebut  rasul minallaahu, membawa berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq) dan ditanamkan di dalam hatinya, untuk meneguhkan kembali hatinya yang yang telah beriman, dan sebagai petunjuk serta berita gembira bagi mereka yang telah berserah diri.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).”  (QS 16:102)
Inilah sosok yang berpengaruh di dalam dada diri kemanusiaannya sendiri yang diliputi oleh ruhul kudus (malaikat Jibril), yang keberadaanya karena diperintah langsung dan sebagai penghubung langsungnya dengan Allaahu ala arsyitawaa (tempat tunggal-Nya), yang merupakan ruh suci membawa pesan atau berita suci (petunjuk) dari yang Maha Suci kepada diri (jiwa) dan tubuh yang telah disucikan. Karena di alam, diri-nya, merupakan perwujudan dari Allaahu Akbar, dan sedangkan jasad-nya sebagai baithullah. Maka niat dan amal perbuatannya adalah suci dari kesalahan, keburukan, dan mudharat.
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kejendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”  (QS 42:51)
Energi penuh kesucian inilah yang hadir dan menguatkan hati mereka yang telah beriman dengan membawa petunjuk-petunjuk dari Tuhannya, sehingga membuat jiwa-nya tenang dan penuh kedamaian, serta keluar kepada bentuk amal perbuatan yang penuh ketenangan dan kedamaian pula. Petunjuk-petunjuk yang selalu datang adalah sebagai ilham, ide, ataupun solusi dari setiap permasalahan kehidupan-nya. Rasul ini selalu berada bersamanya selama diri-nya menjaga dan memelihara kesucian atau kebersihan dari setiap segala sesuatu (energi-energi) yang masuk maupun yang keluar dari diri dan jasad-nya.
Kesuciannya itulah yang sebagai energi makanan pula bagi setiap aparat di dalam jasad yang menggerakkan setiap organ fungsi tubuh, sehingga secara keseluruhan, energi-energi yang menggerakkan seluruh fungsi tubuhpun adalah energi yang bersih dan suci. Ilmiahnya, maka tubuh menjadi sehat, pikiran pun jernih, maka jiwanya pun kuat. Karena makanan yang masuk dan didistribusikan kepada seluruh bagian sel-sel tubuh akan menjadi energi penggerak kehidupan mikro di dalam tubuh yang makro, yaitu terdiri dari milyaran sel tubuh. Kehidupan di dalam kehidupan. Kesucian di dalam, amat menentukan kesucian yang akan dikeluarkan sebagai bentuk amal perbuatan.
Peran rasul ini akan terasa besar pengaruhnya dan dapat dipahami, karena keterkaitan dengan uraian rasul lainnya. Keterkaitan (keharmonisan)-nya kepada rasul-rasul lainnya yang menjadikan semua yang berupa perintah dan petunjuk dapat terwujud menjadi nikmat yang  dirasakan setiap diri kemanusiaan. Sayangnya, kebanyakan lupa atau bahkan tidak bersyukur. Perannya pula sangat besar terhadap kecerdasan akal diri-diri kemanusiaan, karena apa yang disampaikannya adalah petunjuk-petunjuk yang mengandung kebenaran dari Tuhannya.
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan, yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan ......” (QS 53:4-6)
Rasul inilah yang berhubungan langsung dengan rasul-rasul lainnya baik yang wilayah tugasnya berada di dalam jasad kemanusiaan maupun yang di luar. Sehingga tak perlu bingung atau heran lagi, siapakah sesungguhnya yang mengatur mekanisme kerja seluruh organ tubuh yang berada di dalam jasad kita, bila ternyata bukanlah kita sendiri yang memerintahkannya, bahkan kehendak kita pun bukan. Serta yang menjadikan kesadaran kita bekerja setelah masuknya informasi sebagai petunjuk yang disampaikan rasul ini kepada hati dan akal dari interaksi antara indera-indera kita (yaitu seperti, penglihatan, pendengaran, dan lainnya) dengan alam sekitar. Yang ternyata sebagai pembawa pesan atau petunjuk pula kepada kita, sehingga terjadilah keharmonisan fungsi masing-masingnya. Demikianlah sehingga kita akan semakin memahami setelah terbukanya kesadaran demi kesadaran yang mengarahkan diri kita terhadap wujud tunggal Yang Maha Sempurna dan Maha Tunggal.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka ini akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiyqiiyn, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”  (QS 4:58)
Pada uraian pengokohan keimanan inilah, sesungguhnya yang dapat membuka dada dan hati setiap diri untuk memahami serta menyadari arti peran para aparat Allah ini lebih terasa dan semakin bermanfaat bagi kehidupan, serta kemudian memahami pentingnya makna bersyukur. Bersyukur karena diberi kesempatan hidup kembali sebagai sarana pembersihan kesalahan dari kehidupan sebelumnya, dan masih dipercaya sebagai sarana perwujudan Tuhan-Nya di alam untuk berbagi rahmat-Nya kepada sesama. Pahamilah ini, sebagai karunia dari Maha Kebijaksanaan Dia Yang Maha Pemurah. Ar Raahman.
Para Rasul Min Indi'anfusihim
Utusan (rasul) yang bisa dalam wujud apapun, yang datang dari sekitar membawa berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq), sebagai petunjuk bagi dirinya dalam mendapatkan kemudahan dari setiap rahmat-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan.......... (QS 49:7)
Wujudnya bisa apa saja, orang-orang di sekitar yang membantu kemudahan bagi dirinya, maupun petunjuk yang di dapatkan dari alam sekitarnya. Yang sesungguhnya adalah atas perintah atau kehendak Dia. Hingga pada akhirnya dirinya pun ikut serta menjadi rahmat untuk alam sekitarnya kembali. Bahkan banyak yang mendendangkannya dalam sebuah lagu atau doa-doa yang mencurahkan isi di hati-nya, entah mengerti-tidaknya, atau sekedar hanya berharap, seperti lirik-lirik dalam lagu dan syair, burung yang menyampaikan berita dari yang nun jauh disana, salam yang disampaikan oleh angin malam kepada kekasihnya. Dan tentunya masih banyak lagi lainnya, yang jelas, bahkan (entah) dalam khayalannya saat menciptakan lirik-lirik tersebut, maka Allah pun menyusupkan petunjuk-Nya sebagai ilham ataupun ide.
Banyak tanda-tanda yang tersebar di alam ini yang merupakan petunjuk sebagai pengetahuan yang sangat berguna di kehidupan. Seperti bintang-bintang sebagai petunjuk arah. Arah angin dan pergerakan awan sebagai petunjuk iklim yang akan datang ke suatu wilayah untuk dapat diketahui suhu, curah hujan, bahkan terjadi badai atau tidaknya. Guru-guru yang mendidik para murid, para orangtua yang selalu menasehati, dan teman yang mengingatkan. Buku-buku sebagai kitab yang menjelaskan, jam tangan yang menunjukkan waktu, serta tidak ketinggalan, sampai kepada kokok ayam jantan di kala fajar menyingsing. Sehingga segala sesuatunya sebagai yang ikut memudahkan kehidupan kemanusiaan, dan dapat diambil manfaatnya. Mereka itulah, sebagai rasul-rasul min di’anfusihim, pembawa kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq). Kebenaran yang merupakan petunjuk bagi diri-diri yang telah siap menerima petunjuk tersebut. Maka kemanapun kita arahkan penglihatan, rasa, pikiran, serta ilmu dan pengetahuan, maka yang akan kita temui sebagai ujungnya adalah Allah Yang Maha Tunggal.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. .....” (QS 49:7)
Inilah wujud interaksi antar rasul yang datang dari luar jasad membawa petunjuk, dengan rasul yang berada di dalam sebagai yang menerima petunjuk. Energi-nya akan tersambung sinkron dan berharmonisasi bila dalam satu kesatuan, petunjuk kesucian atau maupun berupa petunjuk kekotoran.
Bila petunjuk yang akan hadir adalah petunjuk kesucian yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sementara yang di dalam masih dipenuhi kekotoran, maka kehadirannya takkan memiliki arti atau makna sebagai petunjuk, sekalipun dipaksakan. Inilah makna, ada dinding pembatas antara kebaikan dan keburukan.
Juga makna, hatinya telah tertutup, hatinya telah membatu, serta bukan mata tak melihat dan telinga tak mendengar. Demikian pula halnya dengan interaksi yang saling bersambung, maka jiwanya akan merasa puas dan senang, baik yang saling bersambung antara dua kesucian, ataupun yang bersambung antara dua kekotoran. Yang satu mendapat petunjuk kepada keselamatan, dan yang satunya lagi mendapat petunjuk kepada kesesatan yang semakin dalam dan mencelakakan dirinya sendiri.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Telah banyak disadari kebanyakan diri kemanusiaan, bahwa kerusakan alam yang disebabkan dari perbuatan mereka juga berakibat kembali kepada dirinya sebagai bencana. Akan tetapi, bila keinginan dan kebutuhan telah mendesak hawa nafsu mereka, maka hilanglah kesadarannya tersebut. Hatinya telah tertutup hawa nafsunya yang didominasi keinginan dan kebutuhannya, sehingga tidak lagi melihat akibat-akibat sebagai bayang-bayang bencana yang akan mendatanginya kelak di kemudian hari.
Banyak hal sepele yang kemudian bertumpuk dan menjadi masalah yang pada akhirnya memberatkan diri mereka sendiri, seperti membuang sampah sembarangan dan menebangi pohon di halaman rumah. Belum lagi bila sumber nafkahnya yang bergantung dari alam seperti pertambangan liar dan mencari kayu di hutan, maka kebutuhan hidupnya yang selalu kurang akan mendorong hawa nafsunya untuk lebih serakah dan berakibat rusaknya alam. Dan bencana adalah yang akan kembali kepada mereka, sebagai akibat ulah perbuatan mereka sendiri.
Menjaga kelestarian alam adalah menjalin persabahatan dengan para malaikat yang tersebar di alam, sehingga menjaga pula fungsi mereka sebagai penjaga, penolong, dan pemberi petunjuk yang membantu bagi kemudahan kehidupan kita. Nikmat Allah berupa alam bagi nafkah kehidupnnya akan menjadi bencana bagi diri mereka sendiri, bila tidak mengelolanya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Tak ada sesuatupun yang dapat mengingkari nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah. Hitunglah. Telah berapa kalikah mata melihat kebaikan dan keburukan? Telah berapa kalikah telinga mendengar suara-suara kebaikan dan keburukan? Telah berapa kalikah mulut mengucapkan kata-kata atau kalimat kebaikan keburukan? Dan masih banyak lagi yang takkan sanggup kita rinci satu per satu ketidak sanggupan kita tersebut.
Menghitungnya saja tak akan mampu, apalagi mendustakannya. Tidak usah dengan mendustakannya, melupakannya saja adalah kufur nikmat, maka akibatnya kembali kepada diri-nya sebagai musibah ataupun bencana yang merugikan dirinya sendiri. Satu saja malaikat atau rasul-Nya, yaitu yang bekerja di wilayah organ mata kita mogok, tidak mau bekerja. Atau pada organ pendengaran dan pengucapan, maka musibah besar bagi kita. Begitu banyak yang kita dengar melalui pendengaran yang diberikan-Nya, begitu banyak yang kita lihat melalui penglihatan yang diberikan-Nya, dan begitu banyak yang kita pahami melalui pemahaman yang diberikan-Nya.
Semuanya begitu banyak dan tak terhitung  sebagai yang dianugerahkan-Nya pada kehidupan diri-diri kemanusiaan yang sebenarnya hanya hidup menerima. Anugerah-anugerah tersebut sesungguhnya adalah membawa energi atau aparat-aparat (malaikat-malaikat) Allah yang bekerja atas perintah dan kehendak-Nya. Syukurilah nikmat-nikmat yang tak terhitung tersebut dengan menyebarkannya kembali kepada sesama sebagai mewujudkan apa-apa yang dikehendaki-Nya, yaitu diri-diri kemanusiaan yang sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Para Rasul Min 'Indillahi
“Dan, sungguh telah datang kepada mereka seorang rasul dari (kalangan) mereka sendiri......” (QS 16:113)
Bila disadari secara mendalam, sesungguhnya jasad sebagai wadah diri (jiwa) ini tersusun dari milyaran makhluk Allah (sebagai perwujudan Allaahu Akbar), yang kesemuanya pun tunduk pada kuasa serta pemeliharaan Allahu ‘ala ‘arsyis tawaa, maka makhluk-makhluk Allah yang ber-alam di jasad kita inipun memerlukan aturan (agama) sebagai sistem dasar penggerak kehidupannya. Maka, selain Allah mengutus malaikat sebagai aparat yang menjalankan ketetapan-Nya, melainkan diperintahkan-Nya pula rasul-rasul sebagai utusan khusus-Nya sebagai pembawa petunjuk kepada diri-diri kemalaikatan yang bekerja membantu kemanusiaan di dalam jasadnya. Yaitu dengan saling berbagi rahmat, saling menyampaikan perintah dari kehendak-Nya kepada milyaran makhluk yang ber-alam pada jasad-nya.
Utusan inilah yang membuat kemudahan dalam penyampaian petunjuk, seperti pada organ-organ jaringan sistem penglihatan mata, sistem pendengaran pada telinga, dan sistem pengucapan kita untuk melihat dan menyampaikan informasi dari penglihatannya sebagai suatu petunjuk kebenaran dan kebaikan tanpa dikotori oleh yang menyesatkan setelah informasi ini sampai kepada hati atau kalbu.
Dan pada saat itu pulalah, terkadang terasa bisikan-bisikan setan yang berada di permukaan kalbu, membujuk dan berusaha mengotori informasi tersebut. Secara ilmiah, dalam ilmu kedokteran pun, ketiganya tersebut, penglihatan, pendengaran, tenggorokan dan pernafasan adalah satu kesatuan sistem yang saling mempengaruhi bila salah satunya mengalami disfungsi atau gangguan-nya. Betapa rumitnya struktur yang menyusun jasad ini yang terdiri dari milyaran sel sebagai makhluk-makhluk pula dengan bentuk kehidupannya masing-masing, sebagai satu kesatuan sistem (kehendak) atas perintah-Nya kepada utusan (rasul)-Nya untuk disampaikan kepada seluruh aparat-Nya.
Tidak usah jauh membayangkan pada milyaran sel-sel tubuh yang demikian rumit dan butuh penjelasan dengan bahasa-bahasa intelek, maka dengan keberadaan cacing di dalam tubuh, kutu pada rambut, atau jamur pada kulit, serta kuman-kuman di mulut, cukuplah mewakili keberadaan makhluk-makhluk yang menggunakan tubuh atau jasad kita sebagai alam-nya. Bila mereka telah berubah menjadi pembangkang, maka akan menjadi parasit yang mengganggu dan beralih dari fungsi sebelumnya. Maka makna, menjaga kebersihan adalah bagian dari iman, menjadi lebih masuk akal kita. Menjaga kebersihan adalah juga menjaga kesehatan tubuh, ikut memberi kemudahan aparat Allah dalam melaksanakan tugasnya, yang ternyata pun kembali kepada diri sebagai kebaikan.
Juga pada sel-sel darah di dalam tubuh, bila terjadi kesalahan fungsi, yaitu malaikatnya telah menjadi malaikat pembangkang (iblis), sel-sel darah putihnya menggerogoti sel-sel darah merahnya, sehingga sel darah putih yang semula fungsinya sebagai melawan bibit penyakit di dalam darah (sistem kekebalan), kini berbalik dan malah menjadi sumber penyakit yang menyikat habis sel-sel darah merah, seperti telah terjadi perang saudara diantara mereka. Maka diri dan jasad kita yang menerima akibatnya pula. Ya, terjadi pembangkangan atau pemberontakan di dalam tubuh jasad kemanusiaan, sebagai alam kehidupan mereka, makhluk-makhluk Allah yang merupakan aparat-aparat (malaikat)-Nya.
Mereka yang tak menjaga kehidupannya dalam kelurusan dan keseimbangan, termasuk kebersihan, maka akan menciptakan iblis bagi dirinya sendiri, yaitu para malaikat-nya tidak lagi tunduk patuh membantunya. Malah menjadi pembangkang yang merusak dan menjadi penyakit pada jasadnya. Dengan demikian, maka rasul-rasul ini yang bertugas menyampaikan agar mereka (para pembangkang) dapat kembali kepada jalan lurus seperti yang dikehendaki Tuhannya. Begitulah sesungguhnya diri (jiwa) ini ternyata ikut berperan aktif menundukkan (dalam artian positif, mengendalikan), tidak hanya kepada segala sesuatu yang berada di luar, melainkan juga yang berada di dalam jasadnya agar tetap berada pada jalan lurus-Nya, sebagai ketetapan dari kehendak-Nya.
Pada diri yang masih belumlah kokoh imannya, maka rasul-rasul ini tiada berguna, sehingga setiap informasi yang diterima kalbu telah dikotori oleh bujuk rayu iblis, yaitu hawa nafsu-nya sendiri, sehingga timbullah niat amal perbuatan yang dikotori pula oleh kezhaliman, kehasadan, kefasikan, kemunafikan, kejahilan, hingga kepada kemusyrikan. Begitu pula pada indera-indera lainnya, yang dapat menimbulkan ketidak sucian pada hasrat dan keinginan pada setiap diri kemanusiaan. Kekotoran telah menutupi hati atau kalbu-nya.
Dan bagi orang-orang yang telah menjadikan jasadnya sebagai baithullah (rumah Allah), yaitu dengan jalan mensucikan jasadnya dari segala macam pengakuan (nafs atau ego-nya), maka akan jauh lebih mempermudah pekerjaan para aparat Allah, yaitu malaikat dan rasul-Nya dalam menyampaikan segala perintah dan kehendak Dia, Allahu ala arsyis tawaa, yang juga ternyata membawa kebaikan kepada dirinya pula sebagai rahmat dari-Nya. Sebagai wadah atau perwujudan dari Yang Maha Terpuji, maka jiwanya harus dapat menyelaraskan antara jasad sebagai wadah dan energi (malaikat atau aparat Allah) yang menggerakkan untuk hidup kehidupan sebagai yang tunduk sujud yang sesuai kehendak-Nya, begitulah fitrah kemanusiaannya.
Para Rasul Tandzilal Adzizir-rahiim
“(yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh Kamilah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu.......”. (QS 44:5-6)
Bumi yang dibanjiri dari segala penjuru semesta oleh cahaya benda-benda langit, seperti matahari, milyaran bintang, bulan, serta benda langit lainnya, merupakan karunia bagi penghuni bumi. Dan sesungguhnya, merupakan petunjuk besar dari Allah, yang seharusnya disadari oleh diri kemanusiaan, bahwa Dia mengutamakan hidup kemanusiaan, dan menghendaki setiap diri menemukan kesejatian manusia-nya. Yaitu sebagai fitarh yang telah ditetapkan Tuhannya, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling menyebarkan rahmat Allah kepada sesama di semesta alam. Rahmatan lil ‘alamiin.
Hanya karena hendak menciptakan kemanusiaan, maka Dia ciptakan semesta alam ini berikut isinya, kemudian menyempurnakan kejadiannya agar layak ditempati manusia yang telah tebarkan-Nya segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Dia-lah Allaahu Rahmaanur-rahiiym. Pelindung dan Pemelihara. Dia ciptakan semesta alam ini, langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya hanya untuk menciptakan kemanusiaan yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan rahmat-Nya di alam.
Kembali kepada cahaya-cahaya yang ‘membanjiri’ bumi, yang merupakan rahmat Allah. Sesungguhnya cahaya-cahaya atau dapat disebut pula sebagai energi, yang setiap saat turun ke bumi membawa karunia dan anugerah dari Tuhannya untuk penghuni bumi dan manusia pada akhirnya, sekalipun tak disadarinya. Cahaya-cahaya tersebut yang sesungguhnya merupakan aparat Allah atau malaikat, sebagai aparat pengganti aparat sebelumnya yang telah selesai masa tugasnya sebagai salah satu unsur dasar atau unsur utama kehidupan, dan biasa disebut dengan energi, karena energi-energi sebelumnya tersebut telah berubah bentuknya menjadi rahmat-rahmat Dia yang lain, sementara kesinambungan kehidupan semesta alam ini haruslah terus berlangsung hingga waktu yang telah ditetapkan-Nya.
Dengan energi itulah maka aparat-aparat lainnya yang bertebaran di bumi tercipta pula, sebagai keberlangsungan kehidupan di bumi. Yaitu, sebagai pembawa dan penyampai rahmat dan kehendak Tuhannya kepada seluruh makhluk-Nya yang tak pernah benhenti sampai pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Maka hidup dan kehidupan dapat berlangsung selama cahaya-cahaya tersebut terpancar ke bumi. Adapula ketetapan-ketetapan Dia yang lain, yang manusia melihatnya sebagai bencana, tetapi Dia lebih mengetahui dalam menciptakan keseimbangan bagi kehidupan semesta alam secara keseluruhan di alam raya ini, sedangkan diri-diri kemanusiaan dengan keterbatasannya, maka hanya menilainya berdasarkan baik-buruknya saja apa-apa yang sampai dan diterimanya.
Konon, pada sekitar abad 14, sejarah mencatat, saat setelah meletusnya gunung Tambora di Nusa Tenggara Timur meletus, debu letusannya yang terbawa oleh angin menutupi langit atmosfeer di atas benua Eropa sampai beberapa waktu, akibatnya ratusan ribu jiwa mati kedinginan (belum termasuk hewan ternak), karena suhu menurun drastis akibat tidak sampainya cahaya matahari menembus awan debu yang disebabkan letusan gunung tersebut. Itulah kehendak Allah. Subhanallah.
Belumlah lama berselang, badai di matahari pada satu dekade lalu, dan membuat lidah api raksasa yang panjangnya dapat mencapai jutaan kilometer, menciptakan gelombang kejut elektromagnetik yang sampai ke bumi, dan mengakibatkan kerusakan jaringan komunikasi dan listrik di beberapa negara seperti Taiwan dan Hongkong serta Kanada. Dapat pula melelehkan satelit yang berada di luar atmosfeer bumi.
Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Itu adalah dua contoh terganggunya ‘pekerjaan’ malaikat tandzilal adzizir-rahiim sebagai pembawa petunjuk yang berupa rahmat Allah bagi kehidupan di bumi, dan bencanalah jadinya. Dan itupun adalah kehendak-Nya. Serta kedua contoh itu pula, merupakan terganggunya tugas kerasulan pada malaikat tandzilal adzizir-rahiim di bumi. Betapa ketergantungannya manusia kepada alam ini sebagai perwujudan Allah yang Akbar, bahkan kejadian yang jauhnya ribuan kilometer atau ratusan juta kilometer dapat mempengaruhi kehidupannya.
Bersahabatlah bersama alam yang dalam bentuk lahir atau nyata kelihatan, juga kenalilah yang bathin-nya pula sebagai yang membawa energi didalamnya. Alam ini membawa energinya yang amat dahsyat. Bersahabat dengannya juga akan mengenal pula sifat-nya, bukan malah merusaknya yang justru akan kembali kepada diri-diri kita sendiri sebagai bencana dan musibah. Dan itulah maksud atau kehendak Allah dengan, “sebagai khalifah di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Allah kepada sesama makhluk-Nya di semesta alam. Rahmatan lil ‘alamiiyn”.
Diri yang ber-Kerasulan
“Dia mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya. Agar Dia mengetahui bahwa “rasul-rasulitu sungguh telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedang (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu.”  (QS 9:24)
Diri yang telah didasari pemahaman sifat kerasulannya, dari ikrar persaksiannya dalam syahadat disetiap shalatnya, akan membawa jiwa (nafs)-nya kepada ketenangan dan ketentraman, serta berdampak lebih jauh kepada amal perbuatan yang bertanggung jawab pada kebenaran dan kebaikan. Segala macam yang belum diketahuinya dan dipahaminya, kelak akan dibuka satu persatu oleh Allaahu ‘alaarsyis tawaa, sesuai kadar dan ketetapan, serta kehendak-Nya, sebagai bekal sifat kerasulannya yang disandangnya. Juga sebagai petunjuk serta pemuas dahaganya akan rasa ingin semakin memahami makna-makna sejati jalan hidup dalam menuju Dia yang Maha Tunggal. Yang sesungguhnya segala sesuatu bersumber dari dan mengarah kepada-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta pada keimanan, dan menjadikannya indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci pada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS 49:7)
Dan makna ayat tersebut diatas, sesungguhnya menegaskan kembali bahwa kerasulan meliputi setiap diri kemanusiaan, hadir dan mempengaruhi kehidupannya. Karena tujuan utama sesungguhnya Allah menurunkan al Qur’an bukanlah untuk nabi Muhammad SAW karena beliau telah terbukti memiliki akhlak terpuji dari semenjak sebelum kenabiannya, melainkan untuk seluruh diri-diri kemanusiaan, maka segala firman yang berada di dalamnya pun agar dapat menjadi petunjuk dan pelajaran bagi seluruh umat kemanusiaan. Bukan hanya kerasulan yang telah terhenti sejak Muhammad bin Abdullah telah tiada, dan bukan hanya pula rasul-rasul yang hadir di luar dirinya, akan tetapi rasul-rasul yang berada di dalam diri-nya, kerasulan pada diri-diri kemanusiaannya sendiri.
“Sungguh, engkau adalah seorang dari rasul-rasul, (QS 36:3)
Setelah insan kemanusiaan dapat menerima dan menyadari dirinya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji (muhammad), maka arah kehidupannya telah tentu atau jelas, dan lurus mengarah kepada amal perbuatan yang terpuji. Dan memeliharanya sebagai bentuk pengabdian hamba kepada sesama hamba (perwujudan Allahu Akbar), serta pengabdian yang terpuji kepada Yang Maha Terpuji (perwujudan Allahu Akbar kepada Allahu Arsys Tawaa) Yang Maha Memerintah dari tempat tunggal-Nya. Yaitu pengabdian seorang utusan kepada Yang Mengutus, sebagai tugas mulia bagi wujud-wujud yang terpuji.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang memberi peringatan.”  (QS 26:192-194)
Kadar atau tingkat kerasulan pada setiap kemanusiaan adalah tergantung diri masing-masingnya dalam memahami makna anugerah kerasulan-nya dan mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatan. Dan demikianlah keadilan-Nya, bahkan setiap diripun tidak merasa diberatkan oleh penugasan-Nya tersebut. Bila merasa, maka diri-nya akan rela dan ikhlas dalam menjalaninya. Bila tidak merasa akan tugas-nya tersebut, tiada akan menjadi beban baginya, seolah-olah itu hanya ditugaskan kepada orang-orang pilihan-Nya saja, bukan kepada diri-nya.
Pilihan tetap ada pada diri masing-masingnya, kebaikan atau keburukan, maupun yang berada diantara keduanya. Maka kelak, yang dituainya pun surga atau nerakanya, ataupun yang berada diantara keduanya. (Kelak, pada bab di belakang, kita akan mencapai pula kesadaran bahwa sesungguhnya tiadanya pilihan dalam jalan Allah. Ya, jalan lurus yang hanya satu)
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Diantaranya ada yang (langsung) Allah berfirman kepadanya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat....... (QS 2:253)
Dia lebihkan sebagian dari sebagian yang lain, karena mereka pun berbuat lebih dari perbuatan mereka yang lainnya. Termasuk kerasulan pada diri-diri setiap kemanusiaan, dari mulai menyadari kerasulan-nya hingga melakukan tugasnya tersebut dengan kadarnya masing-masing, sehingga membawa kepada derajat yang berbeda satu sama lainnya. Karena Dia-lah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Dan setelah ketiga keimanan ini telah kokoh dipahami dan disadari, maka sekarang, tidaklah gaib lagi. Bahkan nyata, dekat sekali dan ada bersama-sama diri kita ikut mempengaruhi dan mengarahkan kehidupan kita. Maka akan lebih mudah untuk menguraikan keimanan selanjutnya yang memang lebih nyata terasa, atau teraba, atau bahkan terlihat telah ada bersama kita sejak lama, yaitu Al Qur’an. Akan tetapi, jangan hanya terpaku hanya kepada yang nyata terlihat saja, melainkan penting pula memahami makna-maknanya yang lain, yaitu yang nyata terasa tapi tak terlihat maupun teraba sebagai yang masih ghaib, karena masih perlu dipahami melalui petunjuk-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati.”
 (QS 2:159)



Bab IV
MEYAKINI KITAB KITAB ALLAH
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”
(QS 2:136)
S
egala puja dan puji bagi Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya, maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan, bukannya petunjuk.
Berlindunglah kepada Allah, saat hendak membuka dan membaca al Qur’an yang berisi firman-firmannya. Bila hendak membaca al Qur’an saja harus berlindung kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak melakukan hal-hal lain yang lebih duniawi sifatnya. Renungkanlah, semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka. Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan manusia menuju atau bahkan dekat dengan Tuhannya.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”.  (QS 15:39)
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Kita adalah anak keturunan Adam, yang menjadi sasaran serta tujuan dendam iblis. Tentang iblis sebenarnya telah diulas pada uraian tentang keimanan kepada malaikat, dan di uraian ini sedikit diulang untuk sekedar mengingatkan kembali bahayanya terjerumus pada bujuk rayunya yang membawa pada kehinaan di akhirnya.
“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Ingat, pada uraian keimanan kepada malaikat, bahwa iblis sebenarnya ‘dapat ditundukkan’ (sujud seperti yang dikehendaki Allah), karena sesungguhnya Allah yang memerintahkan, akan tetapi, jangan pulalah jiwa menjadi menyerupai-nya (iblis) yang congkak serta sombong dengan aku (ego)-nya, yang tidak patuh kepada perintah Tuhannya. Dan dia (iblis) mengutus setan-setan sebagai aparat-nya yang membisik-bisikkan segala bujuk rayu di dalam dada setiap diri kemanusiaan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintahnya, maka sang iblispun akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat pembawa dan penyampai kehendak Tuhan yang berupa rahamat bagi semesta alam. Jadilah sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.”  (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’ yang datang membanjiri bumi, serta peliharalah sebagai teman sejawat yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar dari kebodohan menuju pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata. Begitu pulalah makna bunyi ayat, “.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.” (QS 13:22). Segala macam petunjuk yang datang adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi menjadi lebih bermanfaat bagi ‘sesama’. Atau bahkan menjadikannya sebagai keburukan dan kesalahan, yang sesungguhnya , kelak, akan kembali kepada dirinya sebagai yang dituai.
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi, yaitu al Qur’an, Injil, Zabur, Taurat. Juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, tidaklah akan menjadi petunjuk kepada kebaikan, kebenaran, maupun kesucian apabila setiap diri tidak pula menyiapkan diri dan jiwanya tetap dalam kebaikan, kebenaran, maupun kesucian agar terjadi harmonisasi antara petunjuk dan yang diberi petunjuk. Seperti baut dan mur-nya yang harus sesuai.
Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal).
Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada, dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan. Maka siasat iblispun menuju kepada diri-diri yang begitu memegang teguh ego-nya ketimbang naluri ketuhanan-nya, seperti tersebut diatas, apalagi bila diri-nya memegang kekuasaan yang besar, yaitu seperti diterangkan dalam firmannya, ”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al Hijr 39), maka atas nama syi’ar, atas nama kebenaran, atas nama agama, serta atas nama Tuhan, mereka berani menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah yang mengorbankan banyak jiwa kemanusiaan.
......... Mereka (para malaikat) berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (muka bumi) sedangkan kami bertasbih dan menyucikan nama-Mu? (QS 2:30)
Kepada manusia yang telah mengenal jati diri-nya, maka kitab-kitab tersebut, kesemuanya, dapat diterima sebagai yang wajib diimani seperti perintah-Nya. Tetapi, kebanyakan diri kemanusian, lebih mementingkan ego, serta eksklusifitas golongan-nya, ras-nya, umat-nya, sehingga terbentuklah pemahaman turun temurun, bahwa kitabnya lah yang paling benar dan yang paling suci dari kitab-kitab lainnya. Kemudian menafikan kitab selain kitabnya. Kitabnya hanya untuk agamanya.
Jadilah agamanya adalah agama yang diciptakannya sendiri, bukan lagi agama serta kitab Tuhan yang seharusnya untuk seluruh diri kemanusiaan yang dapat diterima sebagai kebenaran dan kesucian. Sehingga tanpa sadar, semakin tergelincir bersama kefanatikan-nya dengan menjadikan agama-nya sebagai Tuhannya.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Dan Allah sebagai Tuhan yang Maha Sempurna pun telah menyempurnakan setiap diri kemanusiaan dengan telah memberikan kitab yang ditempatkan-Nya di dalam dada di setiap diri kemanusiaan, sehingga setiap anugerah, perintah, atau kehendak-Nya yang datang sebagai petunjuk, dan akan berharmonisasi dengan kitab yang ada di dadanya, sehingga keluar dalam bentuk amal perbuatan yang lurus, penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kesucian secara ikhlas. Juga terhadap tanda-tanda yang tersebar di alam, yang merupakan ayat-ayatNya adalah kitab yang akan berguna serta bermanfaat setelah berinteraksi dengan kitab yang ada di dalam dadanya, sehingga keduanya merupakan petunjuk kebenaran dari Dia Yang Maha Benar (Al Haqq).
Kitabul Ardhi
Setiap diri kemanusiaan bersama tubuh atau jasad-nya, serta interaksinya kepada semesta alam yang tak terhitung jumlah makhluk atau materi yang tersebar di dalamnya, yang telah ditanamkan kepada seluruhnya tersebut berupa ketetapan (sunathullah) dan petunjuk sebagai kehendak-Nya, Dia yang Maha Hidup dan Berkehendak.
Dan segala sesuatu yang berada dan tersebar di alam raya adalah anugerah yang untuk diketahui, tetapi hanya hak-Nya lah kepada siapa Dia berkehendak memberikan petunjuk-Nya. Semesta alam raya ini merupakan kitab besar atau akbar, yang berisi segala macam bentuk makhluk  ciptaan, maupun benda ataupun materi sebagai sebutan, baik wujud, dan sifat, serta kehidupannya untuk dikenal dan diketahui serta dieksploitasi juga dieksplorasi dalam arti positif bertanggung jawab demi kemaslahatan bersama sebagai rahmat dari Allah kepada sesama di semesta alam.
Sungguh tak terhitung penemuan tekhnologi mutakhir yang ‘dihasilkan’ dari kajian dan penelitian terhadap alam sebagai petunjuk. Seperti pada sistem sonar kelelawar yang mendapatkan pantulan dari suara yang dikeluarkannya sebagai petunjuk arah terbangnya dikarenakan matanya yang lemah. Sistem ini kemudian dipakai sebagai sistem sonar untuk tekhnologi radar, dan kapal selam yang bergerak di kedalaman laut.
Banyak negara maju, terutama negara-negara barat, yang berani melakukan riset-riset penelitian yang berbiaya fantastis untuk mendapatkan data-data yang tersebar di alam sebagai kitab yang nyata. Seperti riset ke angkasa luar yang sekali pejalanan pulang perginya saja menghabiskan dana hingga milyaran dollar hanya untuk mendapatkan data-data, belum sampai kepada penelitian di laboratoriumnya. Bahkan sejak tahun 1970-an mereka telah membangun stasiun ruang angkasa hingga proyek perang bintang (star wars), sebagai skenario di masa perang dingin antara blok barat dan timur. Sekarang mereka lebih mengarahkan mencari planet lain yang terdapat kehidupan seperti bumi, sebagai bumi cadangan bila bumi ini telah habis mereka eksploitasi sehingga tidak layak lagi mereka huni. Serta memindahkan mereka ke planet lain atau ‘bumi baru’ tersebut, yang tentunya lebih utama mereka yang berduit. Bisnis baru kaum kapitalis. Sebuah semangat gila dengan pemikiran gila!! Mustahil !!
Merekalah yang ternyata lebih memahami makna kitab min indi’anfusihiim ini, kemudian melaksanakannya sebagai suatu proyek pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sehingga negara bahkan menyokongnya. Kemudian merekalah pula yang jauh lebih agresif dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi alam ini untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya.
Akan tetapi bila alam ini dieksplorasi serta dieksploitasi secara habis-habisan dan tak bertanggung jawab, maka akibatnya adalah kembali kepadanya sebagai bencana yang besarnya pun sebanding dengan kerusakan yang dibuat mereka.
Bencana-bencana yang akan dan yang telah terjadi sebenarnya adalah usaha penstabilan kembali bumi dari kerusakannya akibat ulah kemanusiaan yang tak bertanggung jawab. Oleh karena itu sungguh berbahaya dengan adanya kebijakan investasi asing di bidang pertambangan, perkebunan, dan hutan industri, serta investasi kelautan. Sebab ini akan berdampak langsung dengan alam sebagai tempat tinggal pribumi yang menanngung bencana akibat kerusakan alamnya. Seharusnya, investasi ini dikuasai negara sebagai pengelolanya, sehingga pengawasannya jauh lebih dapat dipertanggung jawabkan ketimbang diserahkan kepada investor asing yang lebih mengedapankan laba perusahaannya ketimbang kelestarian lingkungan yang bukan sebagai tempat tinggalnya menetap.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Sehingga tidak ada bedanya pada masa penjajahan dahulu dengan sekarang. Bila dahulu mereka mereka mengeksplorasi kesuburan tanah nusantara serta mengeksploitasi tenaga bangsa kita di perkebunan, kemudian membawa hasilnya ke negaranya sebagai kekayaan mereka sehingga makmur hinngga kini, maka sekarang merekapun masih seperti itu, kembali menjajah dengan kekuatan ekonomi mereka dengan tema globalisasi perdagangan dan investasi padahal dibalik kedoknya adalah buruh murah dan laba besar, ditambah dengan warisan bencana akibat kerusakan alam yang mereka tinggalkan setelah mengeruk habis isi perut bumi kita.
Maka bertanggung jawablah wahai pemegang dan penentu kebijakan, sebagai khalifah dan wakil Tuhan di bumi. Jadilah perwujudan Tuhan di muka bumi yang menjadi rahmat bagi sesama di semesta alam.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS an 30:41)
Alam ini, selain sebagai tempat hidup, juga merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) petunjuk dari Allah, dimana dengan petunjuk-Nya tersebut dapat membawa kita kepada kemudahan-kemudahan dalam kehidupan, dan bukanlah malah mendapatkan kesulitan ataupun bencana di kemudiannya. Bila petunjuk yang membawa kepada kemudahan tersebut tidak dapat direalisasikan secara baik, justru timbul keserakahan setelah mendapatkan petunjuk, maka bencanalah yang siap menunggu, atau diri-nya sendirilah yang membangun neraka-nya pada hari kemudian-nya.
Maka kita kembali sekilas kebelakang, pada uraian keimanan kepada malaikat dan rasul yang ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini, yang sesungguhnya untuk disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim.
Sebagai contoh, segala sesuatu yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang dikiranya  bekerja dengan sendirinya, yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen, usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya. Dan bagi orang-orang yang bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan, apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri. Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
Gerak langkah, gerak melihat, gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya. Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya sehingga tak ada waktu untuk memikirkan dan menyadari hal-hal tersebut.
Bila kita melangkah lebih jauh kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan di dalam dada” pada setiap  diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan (kitab yang terjaga).  Atau pada jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama lainnya.
Sifat bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri. Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis, ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
pada tubuh atau jasad setiap diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah, melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata, catatan-catatan tersebut merupakan sebagai catatan amal diri kemanusiaannya yang pula akan dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya kelak.
Semesta alam beserta keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
Kitab Tandzilal Adzizir-rahiim
“Dia  menurunkan al Kitab kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, juga menurunkan Taurat dan Injil, sebelum-(nya), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqan.”  (QS 3:3-4)
“... sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan, mereka membawa mu’jizat-mu’jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang benar.”  (QS 3:184)
Ada pula kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah kepada orang-orang pilihan-Nya melalui ruhul kudus (jibril), yang dikenal dengan sebutan Kitab Samawi. Secara jelas Allah menyebutkan nama 4 kitab suci-Nya, yaitu Al Qur’an, Injil, Zabur dan Taurat. Serta Dia menurunkan Al Furqan (Pembeda), yaitu Dia yang memberikan pemahaman untuk membedakan antara yang benar (haqq) dan yang salah (bathil).
“.........Bagi setiap masa ada Kitab (tertentu).”  (QS 13:38)
Seperti diantaranya adalah, kitab al Qur’an, diturunkan kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 23 tahun semenjak kenabian beliau di usianya ke 40 tahun. Kitab ini pula yang di dalamnya membenarkan kitab-kitab yang datang sebelumnya, bahkan pula menceritakan kehidupan para nabi penerima kitab-kitab tersebut beserta umatnya, dan sebagai pelajaran bagi umat kemudian.
Yang unik pada al Qur’an adalah sebagai kitab yang diturunkan kepada seluruh umat kemanusiaan, tidak terbatas hanya kaum muslimin, atau hanya untuk bangsa Arab saja, atau khusus bagi anak keturunan Ismail saja. Lain halnya dengan kitab-kitab sebelumnya yang lebih bersifat lokal atau eksklusif. Hal ini dijelaskan di dalam kitab-kitab tersebut. Sekalipun demikian, sekali lagi, al Qur’an membenarkan dan mengakui kitab-kitab tersebut datang dan diturunkan oleh Allah pada masa-masa sebelum al Qur’an. Sehingga kaum muslimin pun sebagai yang harus percaya kepada kitab-kitab tersebut sebagai bentuk keimanannya.
Bila dikaji lebih dalam, maka dapat disimpulkan setiap kitab yang diturunkan adalah selain merupakan usaha perbaikan umat, juga sebagai penyempurna dan mengakui kitab sebelumnya yang berisi ajaran sebagai agama atau petunjuk jalan hidup menuju keselamatan di dunia dan di akhirat. Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah wajib hukumnya, dengan makna bahwa Allah menurunkan seluruh kitab tersebut pada masa, kaum, tempat, serta bahasa yang saling berbeda, dengan maksud dan kehendak yang sama atau satu tujuan, yaitu memberikan petunjuk keselamatan kepada setiap diri kemanusiaan.
Berarti, segala ajaran-ajaran atau agama-agama yang ada sekarang ini, adalah hanya anggapan atau buatan dari ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan saja. Karena sesungguhnya, yang ditetapkan dan dikehendaki, serta akhirnya diturunkan Allah adalah satu kesatuan ajaran (Ajaran Tunggal), sekalipun berbeda waktu, tempat, umat, dan bahasa, akan tetapi, ternyata, merupakan ajaran atau agama yang berkesinambungan, tidak terpisahkan.
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)
Bila kenyataannya terpisah-pisah, seperti ada jurang yang amat dalam disetiap antaranya, seperti kenyataannya saat ini, tentu hal tersebut dikarenakan ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan yang lebih menginginkan adanya perbedaan. Renungkanlah ayat di bawah ini.
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Dan al Qur’an sebagai kitab yang terakhir, diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah yang menjadi sumber pijakan setiap uraian dan ulasan kita semenjak awal hingga akhir dalam buku ini, karena ke–universalannya, al Qur’an selain merangkum kitab-kitab yang datang sebelumnya, juga layak sebagai sumber karena selain berisi problematika di masa lalu, masa sekarang, juga sebagai petunjuk keselamatan untuk masa yang akan datang.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS 31:27)
Petunjuk keselamatan dalam arti luas, yang berarti pula mengandung petunjuk ilmu dan pengetahuan baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, serta yang telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Dan takkan pernah habis digali untuk diambil hikmah-nya, sekalipun telah berulang-ulang kali sejak 1500 tahun yang lalu. Tidak ada kitab yang begitu lengkap menyajikan petunjuk ilmu, berita hari kemudian (akhirat), sejarah masa lalu, hukum-hukum keadilan, perniagaan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, yaitu bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.”  (QS 81:27-28)
Belum lagi hukum-hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah apabila si-korban hendak memaafkan. Dan Allah memuliakannya dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Selanjutnya, kandungan al Qur’an yang di dalamnya berisi firman-firman Tuhan yang menyeluruh atas segala sesuatu, adalah kitab panduan bagi setiap diri kemanusiaan yang menginginkan keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Inilah kitab yang nyatanya penuh dengan hikmah kebijaksanaan. Kandungannya meliputi 30 juz, dengan juz pertama sebagai intisari keseluruhan kitab, dan 29 juz sebagai penjelasannya.
A.       Kitab-Kitab sebelum Al Qur’an
Di dalam kisah-kisah yang disebutkan dalam Al Qur’an, Taurat diturunkan Allah kepada nabi Musa AS, sehingga berdasarkan urutan masa-masa kenabian, maka Taurat adalah sebagai kitab suci yang pertama diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan kemanusiaan.
1.       Taurat
Jauh kebelakang, pada masa nabi Musa As, yaitu kitab Taurat sebagai ajaran hidup dan dengan perjanjian keras dari Tuhannya kepada bani Israil yang telah dibebaskan oleh Musa As dari perbudakan Fir’aun di bumi Mesir sejak kematian nabi Yusuf As telah lama berlalu. Pada masa keemasan Yusuf As, wilayah kediaman bani Israil (saat itu masih sebuah keluarga besar nabi Yaqub As, ayah Yusuf) sedang dilanda kekeringan hebat menyebabkan bencana kelaparan, saat itulah Yusuf As memboyong ayah serta keluarga besarnya ke Mesir karena mendapatkan jaminan Raja Mesir saat itu (al Qur’an Surat Yusuf).
Akan tetapi, setelah kematian Yusuf, dan terjadi kemudian adalah, pergantian dinasti tampuk pemerintahan kerajaan Mesir, berubah pula kebijakan rajanya, yang sebelumnya bani Isra’il sebagai warga kelas dua dengan kehidupan yang makmur, kemudian berubah 180 derajat menjadi warga budak, karena dianggap sebagai bagian dari rezim pemerintahan sebelumnya. Selama ratusan tahun kemudian, bani Isra’il yang telah berkali-kali lipat jumlah populasinya, sampai kepada masa nabi Musa As yang dalam pelariannya di negri Madyan mendapatkan perintah dari Tuhan agar mengeluarkan bani Isra’il dari penderitaan di bumi Mesir, itulah sebagai wahyu pertama kepadanya.
Kemudian akibat keingkaran-keingkaran sebagian umatnya maka mereka terkatung-katung di luar wilayah Palestina (QS 5:22-26), bahkan sampai lama setelah kematian nabi Musa As. Dan sungguh sejarah kehidupan mereka, yaitu keingkaran-keingkaran kepada Tuhannya yang tak berhenti hanya sampai di situ, telah membentuk watak tabiat mereka yang amat menentukan kehidupan keagamaan mereka. Seharusnya agama yang membentuk watak tabiat mereka, tetapi apa yang mereka alami adalah sebaliknya. Justru watak tabiat mereka yang telah membentuk agama mereka.
Hal ini disebabkan oleh 2 hal yang menjadi obsesi perjuangan mereka semenjak exodus dari bumi Mesir oleh Musa, yaitu firman Tuhan yang menyebutkan, bahwa mereka adalah umat (bangsa) yang terpilih dan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka.
Begitulah akhirnya mereka pun terseret kepada pengubahan kitab-kitab untuk keperluan mendukung kedua obsesi yang menjadi tujuan utama kehidupan bangsa mereka yang merasa tak pernah memiliki tanah air. Sejarah kehidupan mereka hingga terbentuknya pola kehidupan keagamaan mereka, akan diulas mendetail pada Bagian 3 Kembali kepada Agama Allah, kemudian.
Bani Isra’il tidak hanya memakai Taurat sebagai kitab sucinya, masih banyak lagi sumber-sumber lainnya yang lebih mirip dengan ide-ide pemikiran, dan mereka wajibkan kepada kaumnya untuk mensucikannya. Diantaranya adalah Talmud (riwayat-riwayat atau mitos) dan Protokol-Protokol Pendeta Zionis (ini yang paling belakangan datang, sekitar pada masa akhir abad ke 19). Kelak kita akan mengurai dan mengulasnya dalam bab kehidupan keagamaan mereka.
Taurat pun mereka masukkan pula kedalamnya kitab Zabur dari masa nabi Daud. Tidak hanya itu, Misal-Misal dari nabi Sulaiman dan  kisah Ayub pun masuk kedalamnya. Padahal masa nabi-nabi tersebut adalah setelah masa kenabian Musa. Tetapi hal itu adalah wajar, karena mereka adalah nabi-nabi bani Isra’il juga, sehingga kitabnya pun sebagai yang harus diimani pula. Namun ketika masa nabi Isa, mengapa Injil tak mereka masukkan sebagai kitab yang mereka imani pula? Sehingga terbukalah, bahwa mereka hanya mau menerima yang sesuai dengan keinginan dan cita-cita, serta obsesi mereka.
Taurat atau Perjanjian Lama (The Old Testament) adalah nama ilmiah bagi sifir-sifir Yahudi, dan tidak lain Taurat itu adalah hanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama saja. Hanya karena Musa yang mereka lebihkan dari nabi-nabi lainnya, selain pula Daud sebagai yang pernah berhasil mencetuskan obsesi mereka membentuk negara di tanah Palestina. Dan Taurat dalam pengertiannya sebagai syariat ajaran-ajaran bagi bani Isra’il yang lebih terutama bagi agama Yahudi, atau sebagai wasiat petuah-petuah Musa dari Tuhannya bagi kehidupan bani Isra’il.
Perjanjian Lama dipandang suci oleh agama Yahudi dan oleh agama Masehi (Nasrani), akan tetapi sifir-sifir di dalamnya tak semuanya sama. Sebagian pendeta atau rahib ada yang menambah-nambahkan sifir-sifirnya, dan sebagian lagi ada yang menolaknya. Demikian dibawah ini rincian sifir-sifir di dalam Perjanjian Lama atau yang umat Yahudi anggap sebagai Taurat ;
a.    Bagian Pertama, Taurat sebagai sifir-sifir Musa, yaitu :
Sifir Takwin atau Kejadian (Genesis), Sifir Khuruj, Sifir Lawiyyun (Pendeta-Pendeta), Sifir Ada (Bilangan), dan Sifir Tatsniah (Pengecualian).
b.    Bagian Kedua, sebagai sifir nabi-nabi :
·      Sifir nabi-nabi terdahulu,
Sifir Yasyu’ (Yusya’ bin Nun), Sifir Qudlah, Sifir Samuel I dan II, serta Sifir al Muluk I dan II.
·      Sifir nabi-nabi yang terkemudian,
Sifir Asya’ya, Sifir Irmiya, Sifir Hazkiyal, Sifir Husya’, Sifir Yuil, Sifir Amos, Sifir Ubadya, Sifir Yunan (Yunus), Sifir Mikha, Sifir Nahum, Sifir Habakkuk, Sifir Hajjal, Sifir Zakaria, dan Sifir Malakha
c.     Bagian Ketiga, sebagai al Kitabat :
·      Kitab-Kitab Besar,
Sifir al Mazamir (Mazmur atau Zabur), Sifir Misal-Misal (al Amtsal, dari nabi Sulaiman), dan Sifir Ayub.
·      Kitab-Kitab Majalah,
Sifir Lagu-Lagu, Sifir Ra’uts (Ruth), Sifir Rintihan (dari Irmiya), Sifir al Jami’ah, dan Sifir Astir.
·      Kitab-Kitab lainnya,
Sifir Daniel, Sufur Azra, Sifir Nahmiya, Sifir Berita Hari-Hari I, dan Sifir Berita Hari-Hari II.
Sifir-sifir inilah kesemuanya yang juga dipakai sebagai kitab oleh umat Yahudi dan juga umat Nasrani hanya ada sebagian yang ditambahkan sifir-sifirnya ada pula sebagian yang ditolaknya. Umat Samiri tidak mau menerima dan tidak menganggap sebagai kitab suci sifir-sifir lainnya, kecuali hanya lima sifir Musa saja.
2.       Zabur (Mazmur atau Mazamir)
Kemudian, adalah kitab Zabur, yang diturunkan kepada nabi Daud As, juga fokus kepada umat atau bani Israil. Kitab ini diyakini bani Isra’il sebagai bagian dari sifir sifir Taurat atau Perjanjian Lama, yang mengandung sekumpulan lagu-lagu yang diiringi seruling, itulah sebabnya kitab ini dinamakan Mazamir. Dan banyak dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan dan pada saat perayaan hari-hari keagaaman bani Isra’il. Kebanyakan lagu-lagunya berasal dari masa Daud (sekitar 73 lagu), dan lagu-lagu dari masa Sulaiman dan Asaf, serta sebagian lagi dari masa nabi Musa yang jauh ke belakang.
Pada masa Daud inilah, akhirnya anak keturunan Yaqub (Israil) yang terkatung-katung di luar wilayah Palestina setelah kematian nabi Musa As, dapat dipersatukan olehnya  dan dapat memasuki serta menduduki Palestina sebagai wilayah pembentukan negara atau kerajaannya, sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Musa As (QS 5:21).
Pada kitab inilah bani Isra’il mengagung-agungkan dan menyanjung dengan puji-pujian kepada Tuhan dan Daud, dan bagi masa keemasan mereka yang telah memiliki kedaulatan sebagai bangsa yang telah memiliki tanah air-nya.

3.       Injil
Kitab Injil, adalah kitab sebelum al Qur’an, yang diturunkan kepada nabi Isa al Masih As, tujuan diturunkannya kitab dan nabi ini sebagai menyempurnakan serta memperbaiki kembali kaum atau bani Israil (keturunan Yaqub), yang pada masa-masa kemudian menjadi umat yang besar dan tersebar sebagai umat Nasrani, tidak lagi hanya kepada keturunan (bani) Isra’il saja, malah anak keturunan Isra’il tetap pada agama atau ajaran sebelumnya (agama Yahudi), dan membiarkan ajaran (agama) ini dianut oleh bangsa-bangsa lain.
Selain umat Yahudi yang memakai sifir-sifir di dalam Taurat atau Perjanjian Lama (seperti yang telah diurai sebelumnya), juga dipakai oleh umat Nasrani (Protestan), selain tambahan Perjanjian Baru yang mengandung 4 Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yahya) juga Surat-Surat Paulus dan Wahyu dalam kitab suci mereka. Dan ada beberapa sifir tambahan bagi umat Nasrani (Katholik), yaitu :
Sifir Tuwiya, Sifir Yahudit, Sifir al Hikmah (Kebijaksanaan), Sifir Yasu’ bin Sirakh, Sifir Barukh, Sifir Makkabi I dan Sifir Makkabi II.
Kita tak akan menilai kebenaran dan kesucian kitab-kitab mereka dari perubahan, tambahan ataupun pengurangan pada ulasan kitab pada bab ini, juga nanti akan terungkap dengan sendirinya setelah kita mengulas sejarah kehidupan keagamaan bani Isra’il pada bab-bab berikutnya. Cukuplah pada saat ini, dua firman Allah di dalam Al Qur’an di bawah ini sebagai pijakan berpikir kita.
“..... Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah diperingatkan dengannya.....” (QS 5:13)
“Perumapmaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim itu.” (QS 62:5)
B.       Al Qur’an
Al Qur’an ini berisi 30 (tiga puluh) juz dan 114. Di dalamnya, lebih menitik beratkan kepada petunjuk tentang keimanan sebagai dasar aqidah bagi pembentukan akhlak insan kemanusiaan yang telah diberi kitab (ahli kitab), petunjuk hukum-hukum syariah, petunjuk tentang alam dan penciptaan segala sesuatu, petunjuk tentang hubungan sosial kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama.
Juga disertai penggalan-penggalan kisah umat terdahulu sebagai contoh-contoh kasus yang ternyata masih relevan di kehidupan saat ini, bahkan sepanjang masa. Yang diharapkan adalah dapat memahami kisah-kisah tersebut dan mengambil kebaikan dan keburukannya sebagai hikmah, sehingga menjadikannya sebagai dasar setiap amal perbuatan yang keluar sebagai kebaikan dari setiap perintah-Nya dan meninggalkan setiap keburukan yang merupakan larangan-Nya.
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS 75:19)
Juz pertama ini berisi surah al Fatihah yang ketujuh ayatnya diturunkan di Mekkah, dan sebagian surah al Baqarah yang paling banyak jumlah ayatnya dan sebagian besar dari keseluruhan ayatnya diturunkan di Madinah. Di dalam juz ini, penekanannya lebih kepada keimanan sebagai pondasi dasar kehidupan kemanusiaan, disertai juga kisah-kisah masa lalu (nabi Musa bersama umatnya bani isra’il) sebelum kenabian Muhammad SAW yang dapat dimbil sebagai pelajaran.
A.  Al Fatihah
Ada beberapa sebutan yang diberikan kepada surah ini, diantaranya adalah,
1.    Surathul Fatihah
Surah pertama al Qur’an ini berisi 7 (tujuh) ayat sebagai surah pembuka dan inti sari kitab Al Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah. Surah ini juga merupakan surah yang dipakai dalam shalat dan diulang-ulang membacanya di setiap raka’atnya.
Di dalam Surah ini disebutkan, bahwa, dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian segala puja-pujian kepada-Nya sebagai pencipta dan pemilik semesta alam, termasuk diri ini yang dimiliki dan dikuasai-Nya. Serta dalam lindungan pemeliharaan Dia sebagai Maha Pemurah dan Penyayang. Kekuasaan-Nya pun meliputi hari-hari agama, yaitu selain hari-hari di dunia maka juga termasuk dengan hari-hari di hari kemudian, sebagai balasan dari kehidupan sebelumnya. Keikhlasan segala ibadah atau amal perbuatan ditujukan hanya kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya berharap pertolongan, yaitu berupa rahmat petunjuk kepada jalan yang lurus menuju kepadaNya, yaitu jalan orang-orang terdahulu yang telah diberi nikmat, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat yang menyiksa dirinya sendiri.
2.    Ummul Kitab
Ummul Kitab atau induk dari kitab al Qur’an sebagai inti dari intisari keseluruhan  firman-Nya, yang bila ditafsirkan amat begitu luas dan akbarnya yang takkan dapat terhitung. Andaikan seluruh pohon di daratan sebagai bahan baku pembuat pena dan seluruh air di lautan menjadi tintanya, maka tak kan habis tertulis kalimat (firman) Tuhan, sekalipun ditambah lagi sebanyak itu pula. Dapat pula bermakna sebagai miniatur keseluruhan isi kitab yang terangkum dalam tujuh ayat pada surah ini. Miniatur yang merangkum isi keseluruhan al Qur’an, yaitu dengan Allah sebagai Maha Pemurah dan Penyayang (Rahmaanur-rahiiym), Allah yang menciptakan, memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam dan isi, berikut apa-apa yang berada diantara keduanya (Rabbul ‘aalamiiyn).
Juga Allah yang menguasai hari-hari agama atau hari kemudian (Maalikiyaw mid-diiyn) dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Maka Dia-pun menyempurnakan kehendak dan ketetapan-Nya dengan petunjuk, berupa jalan yang lurus (Diynul qayyimah atau sirathal mustaqiiym) untuk mencapai keselamatan hidup baik di dunia dan akhirat, dalam bentuk nikmat-Nya, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai Allah, juga bukan jalan orang-orang yang berlaku zhalim dan ingkar kepada-Nya.
3.    Ayatul Mukammah
Adalah sebagai ayat-ayat pembuka keseluruhan isi kitab, serta merupakan makna akhir dari kesimpulan penafsiran keseluruhan isi kitab. Keutamaannya adalah  menyebut nama Tuhan, yakni Allah sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang, puji-pujian kepadaNya sebagai pencipta, pemilik, serta pemelihara semesta alam beserta isinya, juga penguasa pada hari-hari ‘agama’ (dibahas panjang lebar di keimanan kepada hari akhir), keikhlasan ibadah atau amal perbuatan, Petunjuk kepada nikmat-Nya dan menghindari kemurkaan-Nya dengan tidak berbuat zhalim (menyiksa) yang ternyata perbuatan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam),.....” (QS 6:125)
Tidak hanya sekedar sebagai ayat-ayat yang membuka keseluruhan kitab Al Qur’an, akan tetapi juga merupakan pembuka dada setiap diri pembacanya untuk menerima kebenaran dari Tuhannya.
4.    Kitab Baqa
Ada dua pengertian makna Kitab Baqa ini. Yang pertama, adalah kitab (tujuh ayat al Fatihah) yang abadi dari semenjak adanya hingga akhir jaman, sebagai yang dipakai secara terus menerus tiada pernah berhenti di alam ini. Di dalam shalat saja, di suatu zona waktu (berdasarkan gerak matahari) tertentu yang berbeda dengan zona lainnya telah dikumandangkan ketujuh ayat ini di dalam raka’at shalatnya, kemudian pada daerah didekatnya dengan zona waktu yang berikutnya, masuk waktu shalat yang juga mengumandangkan ketujuh ayat ini pula, begitu seterusnya hingga kembali kepada zona waktunya lagi setelah satu hari. Begitu setiap harinya, sehingga bumi ini dipenuhi jejak-jejak kumandang ketujuh ayat ini, dan menembus lapisan atmosfeer ke luar angkasa menuju langit, sehingga semesta alam ini menjadi hard disk penyimpan jejak kumandang ketujuh ayat ini.
Yang kedua, adalah makna kitab diri-diri setiap kemanusiaan yang telah dianugerahkan Tuhannya, yang juga sebagai bawaan kepada menentukan hari kemudian-nya, kelak.
Tidaklah suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  (QS 57:22)
Dengan kitab inilah setiap diri kemanusiaan telah ditentukan sifat atau karakternya, yang dalam ilmu biologi dalam rantai DNA-RNA yang didalamnya terdapat kromosom sebagai pembawa sifat (karakter) diri-nya. Sifat atau karakter inilah sebagai penentu kehidupan-nya di kemudian hari. Dan inipun sebagai yang abadi sesuai kemakhlukan-nya, sekalipun dia mengalami kematian, kebangkitan, dan hidup kembali di kehidupan yang baru, maka tetap membawa sifat bawaan tersebut sebagai cetak biru karakter diri-nya.
Hubungannya dengan ketujuh ayat surah al Fatihah sebagai kitab baqa adalah kepada makna-makna yang terkandung di setiap ayatnya, yang merangkum hidup dan kehidupan setiap diri kemanusiaan ke arah satu tujuan sejati, yaitu nikmat-Nya.
Sekalipun setiap diri memiliki sifat dan karakter yang saling berbeda satu sama lainnya, maka juga akan mempengaruhi pola hidup dalam kehidupannya, sehingga jelas akan mempengaruhi pula nikmat yang akan diterimanya. Dengan demikian, diperlukan petunjuk dan pertolongan Dia sebagai yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, serta yang menguasai semesta alam sebagai tempat hidup dan kehidupannya. Dimana di alam ini, segala sesuatu berpasang-pasangan, maka segala sesuatu akan ditemuinya dalam bentuk kebaikan dan keburukan, sehingga diperlukan petunjuk kepada kebaikan (nikmat-Nya) agar tidak tersesat kepada keburukan.
Belum lagi di setiap mengawali atau mengakhiri doa-doa, yang juga sering menggunakan ketujuh ayat ini, sebagai pelengkap permohonannya kepada Tuhannya. Keabadiannya di semesta alam ini membawa rahmat-Nya mengalir terus menggerakkan kehidupan seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang takkan pernah berhenti hingga pada masa yang telah ditetapkan-Nya. Akhir Zaman.
5.    Kitabul Insan
Sebagai kitab pegangan bagi hidup kemanusiaan yang begitu rentan dari godaan bujuk rayu iblis yang dapat menjerumuskannya kedalam kehinaan. Tujuh ayat di dalamnya hanya dapat dipahami dengan uraian penjelasan dari keseluruhan ayat atau firman-Nya yang berada pada surah-surah lainnya, disitulah segala sesuatu terpapar, sekalipun masih memerlukan penafsiran yang atas petunjuk dan kehendak Dia pula.
Sekalipun secara ringkas dalam surah Al Fatihah ini menerangkan kemanusiaan, seperti ayat yang menyebutkan agar hanya kepada Allah saja tujuan peribadatan dan dalam meminta pertolongan, serta agar ditunjuki jalan lurus untuk memperoleh keselamatan. Dan penjelasan dari ayat-ayat tersebut berada pada surah-surah lainnya secara yang lebih luas dan terperinci, seperti hukum-hukum, sosial kemasyarakatan, dan lainnya hingga akhirat sebagai yang ghaib.
Kitab yang berisi kebenaran sejati kepada setiap insan kemanusiaan, yang diturunkan oleh yang Maha Benar, melalui ruhul kudus (ruh yang suci dari kesalahan), diterima pula oleh rasul (Muhammad bin Abdullah) yang penuh dengan kebenaraan dalam akhlaknya, dengan gelar al amiin. Untuk disampaikan kepada seluruh insan kemanusiaan yang ternyata pula sebagai cikal bakal (calon) rasul. Sehingga terjadi kesinambungan penyampaian kebenaran sejati yang tiada putus-putusnya sepanjang masa kehidupan insan kemanusiaan.
6.    Kitabul Mats-tsaniiy
Adalah sebagai 7 (tujuh) ayat yang diulang-ulang, dalam shalat wajib lima waktunya setiap harinya. Dalam setiap pembuka doa-doa yang dipanjatkan atau dimohonkan kepada-Nya, karena sebagai inti dari intisari kitab yang mengandung makna yang luas, meliputi keseluruhan petunjuk Dia yang Maha Rahman dan Rahim kepada insan kemanusiaan.
Sering digunakan secara berulang-berulang dalam setiap harinya, karena ketujuh ayat ini sangat begitu dihargai dan ditinggikan, bahkan dianggap sakral sebagai pembuka dan penutup pada setiap permohonan doa-doa oleh sebagian besar umat muslim.
7.    Kitabum-munir
Adalah Kitab yang Terang dan Nyata, yaitu yang menerangi jiwa dengan kebenaran sejati setiap insan kemanusiaan, kemudian diharapkan dapat membuka dadanya agar segala petunjuk, yang merupakan hikmah, dapat masuk dan mengeluarkannya kembali kepada bentuk amal perbuatan yang menerangi pula apa-apa yang berada di sekelilingnya.
...... lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”, (QS 35:32)
Terang dan nyata kebenaran ketujuh ayat ini adalah setelah dada dapat terbuka, hatinya melihat, dan akalnya berpikir bahwa segala apa yang telah diterimanya melalui petunjuk Tuhannya adalah seperti yang telah dijelaskan di dalam kitab ini. Sehingga kebenarannya dapat diterima indera-indera jasad dan diterima hatinya.
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)
Maka hatinya tak dapat mengingkari segala nikmat kebenaran firman-Nya di ketujuh ayat al Fatihah ini yang terpapar dan tersebar di semesta alam ini. Yang sesungguhnya ternyata, kedua mata adalah mata milik-Nya, kedua telinga adalah milik-Nya, dan berikut yang lain-lainnya adalah dianugerahkan kepadanya adalah milik-Nya, yang dirasakan oleh diri (nafs)-nya hanya nikmat. Yang kelak, segala anugerah tersebut, akan diminta pertanggung jawabannya, apakah pengelolaannya digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Baik buruk-nya pasti akan kembali kepada jiwa yang kelak akan merasakannya kembali sebagai buah dari yang ditanam sebelumnya.
B.  Tiga Ayat yang Utama
Utamanya ketiga ayat utama ini adalah kalimat yang bermakna perwujudan kemuliaan sifat Tuhan, yakni Allah yang sebagai pelindung karena Dia-lah Yang Maha Melindungi, pemelihara karena Dia-lah Yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan sebagai tujuan setiap puja dan pujian karena Dia-lah Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu (termasuk rasa apapun, juga rasa kagum) dengan amat sempurna, tanpa ada kecacatan ataupun kekurangan pada setiap bagian dari ciptan-Nya, yang merupakan perwujudan dari setiap kehendak-Nya di semesta alam ini. Sehingga hanya kepada-Nya lah yang pantas segala puja dan puji di tujukan.
·      Ta’awudz
Ta’awudz ini sebenarnya bukanlah termasuk salah satu ayat yang terdapat di dalam surathul Fatihah, melainkan di dalam (QS 16:98). Akan tetapi sebuah perintah. Perintah-Nya agar memohon perlindungan Tuhan setiap sebelum membaca ayat-ayat al Qur’an. Jadi, ta’awudz ini adalah memohon perlindungan dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari kesesatan dalam memahami makna-maknanya, sehingga terhindar dari kesalahan ataupun penyesatan yang dilakukan oleh iblis.
“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)
Bila dalam ibadah atau perbuatan hendak membaca al Qur’an. Yang sekalipun ayat-ayat tersebut adalah petunjuk dari-Nya, dan yang jelas-jelas adalah  Kitab Suci yang disucikan oleh-Nya saja, maka kita  diingatkan untuk selalu berlindung dahulu kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak mengawali setiap amal perbuatan yang lainnya. Maka sucikanlah setiap amal perbuatan tersebut dengan berlindung dahulu kepada Dia yang memiliki hari kemudian.
Kembali kepada yang telah diurai sebelumnya, yaitu bagaimana dendam yang abadi dari iblis kepada kemanusiaan yang dijelaskan pula di ayat berikut ini,
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
“...kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Sebab itulah bahayanya kesesatan yang dibisikkan iblis, sekalipun amal perbuatan kita adalah menuju kepada kebaikan, maka tetap tak lepas dari bahaya bujuk rayu penyesatannya. Kitab-Nya memanglah suci, akan tetapi yang sampai kepada kita, pembacanya, adalah pemahaman, yang dapat saja tersentuh atau terkontaminasi oleh kekotoran yang menyesatkan, sehingga yang keluar sebagai amal perbuatan pun berupa kekotoran atau keburukan. Itulah yang sesungguhnya diharapkan untuk dihindari.
·      Bismillaahir-rahmaanir-rahiiymi
“Dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah, sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang.”
Dengan pula menyebut nama Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang, selain memohon perlindungan-Nya, sebelum melakukan setiap amal perbuatan sebagai perwujudan mengakui bahwa segala sesuatu, termasuk pada amal perbuatan, adalah karena dan kepada-Nya ditujukan, serta merupakan kehendak-Nya yang suci dari segala hasrat, hawa, serta keinginan yang dapat menyesatkan diri (jiwa)-nya. Tidak hanya dengan menyebut nama Dia, melainkan pula mengakui segala rahmat dan nikmat-Nya sebagai wujud bersyukur, maka menghilangkan pengakuan (ego)-nya yang merasa karena kekuatan diri-nya lah yang berbuat, dan tidak melupakan sesungguhnya kekuatan untuk berbuat adalah karena kekuatan-Nya. Sehingga dia akan selalu berada dalam kesadaran akan kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada diri-nya.
Kesadaran itu pulalah yang membawa amal perbuatannya yang pemurah sebagai wujud rasa ikhlasnya, dan amal perbuatan yang didasari kasih sayang sebagai wujud rasa syukurnya. Adalah nama-nama atau sebutan-sebutan yang merupakan refleksi dari sifat-sifatnya yang terangkum di dalam Asma al Husna (nama-nama terbaik-Nya), sehingga menginspirasi (menggugah kesadaran)-nya, bahwa dirinya adalah sebagai perwujudan Tuhan di bumi. Itulah kehendak Tuhan yang disadarinya.
·      Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiiyn
Segala puja dan puji hanya ditujukan karena dan kepada Dia, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam,
Memuji Dia, yang hanya kepada-Nya segala pujian sesungguhnya dituju dan kembali pulang kepada-Nya. Tiada sesuatupun yang merupakan makhluk yang sesungguhnya tepat sebagai tempat tujuan pujian selain Dia. Karena segala sesuatu pun adalah menerima rahmat dan kekuatan hanya dari-Nya.
Bukan karena ego-Nya, maka Dia menyatakan hal itu di dalam firman-Nya tersebut, akan tetapi karena hawa setiap diri kemanusiaan yang sangat mudah terjerumus oleh godaan dan bujuk rayu iblis yang justru menyesatkan. Puji-pujian sungguh dapat menggoda dan menjerumuskan jiwa kemanusiaan, yang memang telah memiliki pula fitrah seperti itu, sebagai yang rapuh dan amat mudah terjerumus oleh penyesatan iblis yang menjerumuskan. Karena sesungguhnya segala sesuatu adalah kembali kepadanya sebagai tujuan dari segala tujuan.
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
C.  30 Juz sebagai Penjelasan
Al Qur’an yang terdiri dari 30 (tiga puluh) juz, pada juz pertama sebagai intisari kitab, dan 29 (dua puluh sembilan) juz sisanya merupakan uraian penjelasan juz pertama-nya secara lebih luas dan mendetail berikut tambahan-tambahan kisah-kisah nabi yang lainnya. Penjelasan secara meluas ini merupakan petunjuk keimanan yang mengarahkan kepada keselamatan hidup setiap diri insan kemanusiaan sepanjang zaman.
Dan Al Qur’an secara keseluruhannya juga disebut sebagai, kitab yang Terjaga, kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan), kitab Pembeda, kitab Perintah dan Larangan, kitab yang Membenarkan Kitab Kitab Sebelumnya, dan kitab yang Memberitakan Kabar Gembira.
1.    Kitab yang Terjaga
Sebagai kitab yang terjaga, al Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur, selain berisi perintah dan larangan, cerita-cerita umat terdahulu, penciptaan alam, juga diturunkannya ayat-ayat yg sebagai solusi problematika umat saat itu, sebagai bukti hubungan yang erat antara Allah sebagai Tuhan yang Maha Tahu dengan Muhammad sebagai rasul-Nya yang menerima wahyu sebagai petunjuk yang benar dari yang Maha Benar dan diwahyukan kepada orang yang penuh kebenaran serta terpuji akhlaknya (al amiin). Keterjagaan kitab-Nya ini dijamin oleh Allah melalui firman-Nya, seperti yang dikutip di bawah ini,
“Bahkan ialah al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (lauh mahfuz).”  (QS 7:16-17)
Diturunkan dengan menggunakan bahasa yang terdengar indah dan memukau melebihi karya sastra yang belum pernah ada hingga saat ini yang dapat menyamainya. Bahkan ditantang oleh Dia yang mewahyukannya bila ada yang hendak menyerupai firman-firmannya, sekalipun hanya satu surah. Dan Allah menjamin terjaga kebenaran serta keasliannya dari usaha-usaha kejahilan yang hendak menodainya hingga akhir zaman. Dan telah terbukti dengan berbagai peristiwa yang berusaha menodai-nya namun selalu saja gagal. Itulah jaminan dari Dia yang Maha Pemelihara.
“Dan jika kamu meragukan (al Qur”an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang yang benar. Jika kamu tak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka  yang bahan bakarnya dari manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.”  (QS 2:23-24)
Ditambah lagi dengan jutaan orang yang hafal di setiap masa, dan semakin bertambah banyak ke setiap masanya, karena budaya semenjak awal turunnya wahyu yang dianjurkan untuk dihafal dan dibiasakan oleh nabi Muhammad SAW. Maka jaminan dari Tuhan ini, menjaga keotentikan, kebenaran, dan kesuciannya hingga akhir zaman sebagai kitab panduan insan kemanusiaan, dan tak pernah lekang di setiap waktu baik dari sisi bahasa, sastra, ilmu dan pengetahuan, serta seni keindahan kaligrafi serta keindahan bunyi bacaannya.
“Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan). Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang memilah-milah (kitab Allah).”  (QS 3:3-4)
2.    Kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan)
“Demi al Qur’an yang penuh hikmah.”  (QS 36:2)
Al Qur’an merupakan kitab yang dalam arti luas, berisi petunjuk berupa hikmah kebijaksanaan yang dapat membawa mereka menuju kepada keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Terpapar beruraian sebagai petunjuk hidup, petunjuk ilmu dan pengetahuan tentang alam, petunjuk ilmu sosial kemasyarakatan, petunjuk hukum, petunjuk ketata negaraan, serta pula petunjuk kepada ilmu perdagangan. Kemudian tidak lepas sebagai petunjuk kepada hari akhir atau hari kemudian, sebagai suatu masa yang baik maupun buruknya adalah ditentukan oleh amal perbuatan masa sekarang.
Di dalamnya banyak petunjuk kepada berlaku adil serta bijaksana dalam setiap permasalahan, menyikapinya dengan tidak berlebihan, terutama pada menuruti hawa nafs-nya. Dan akibat tidak berlaku adil adalah kecelakan sebagai yang kembali kepada diri-nya. Memperjuangkan yang haqq dari kebathilan atau kezaliman, serta kemudian, setelah terselamatkan, kembali untuk menyelamatkan kezaliman itu sendiri, agar keluar dari kezalimannya. Demikianlah makna rahmat bagi semesta alam. Karena di alam, segala sesuatu selalu berpasangan.
Kitab yang menjunjung hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah apabila si-korban hendak memaafkannya. Dan Allah memuliakannya dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Sebagai kitab petunjuk, di dalamnya banyak ayat-ayat yang tersurat gamblang dan jelas sebagai petunjuk yang pasti, dan banyak pula yang tersirat atau memerlukan penafsiran sehingga mengandung makna yang luas yang tiada akan pernah habis untuk disimpulkan penafsirannya. Sebagai petunjuk, yaitu dari hal-hal yang masih belum diketahui (gaib). Hanya dengan kehendak Allah-lah maka petunjuk-petunjuk tersebut akan terbuka sebagai hikmah pengetahuan yang nyata menjelaskan (QS 2:105).
“Dan kunci-kunci segala yang gaib (belum diketahui) ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis di dalam kitab yang nyata.”  (QS 6:59)
3.    Kitab Pembeda
Adalah kitab yang menjelaskan perbedaan segala sesuatu, baik yang nyata kelihatan dan yang nyata tidak kelihatan, membedakan secara jelas sebagai pasangan segala sesuatu yang selalu hadir dan mempengaruhi setiap diri kemanusiaan. Membedakan antara yang terang dengan yang gelap, yang baik dengan yang buruk, serta jalan lurus dengan jalan yang menyesatkan. Karena segala sesuatu Allah ciptakan secara berpasang-pasangan.
Dibedakan bukan untuk ditolak, melainkan untuk diketahui dan dapat menerima baik-buruknya, sebagai fitrah hidup setiap diri kemanusiaan, yaitu menerima. Segala sesuatu yang ada pada diri-nya adalah karena dapat menerima (hidup), dan adalah karunia Tuhan-nya. Baik itu kekayaan harta benda, anak-istri, jabatan atau kedudukan, sekalipun kemiskinan dan kemelaratan serta kesengsaraan, semuanya adalah karena menerima. Adakah yang tidak diterimanya? Bahkan hidup dan matinya.
Tidaklah ada kekuatan dari sesuatu atau siapapun yang dapat menolak kekuatan dan kehendak Allah. Jika Dia telah menetapkan, sekalipun jiwanya menolak, tetapi tetap harus diterimanya sebagai keterpaksaan, akibatnya bathinnya menjadi resah, jiwanya gelisah, dan apapun geraknya menjadi serba salah. Padahal, siapapun mengetahui dengan benar dan sadar diakuinya, keikhlasan adalah kuncinya. Dan kita akan mengurainya pada bab tersendiri, di belakang.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan (agama), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Allah menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan. Dan dirinya sendiri-lah yang mengklasifikasikan segala sesuatu tersebut sebagai baik maupun buruk bagi dirinya. Apakah itu kebaikan dan keburukan, benar dan salah, siang dan malam, anugerah dan bencana, rahmat dan azab, surga dan neraka, maupun yang lain-lainnya sebagai pembanding sebelum memutuskan setiap amal perbuatan. Padahal segala sesuatunya tersebut pasti hadir secara beriringan pada kehidupan, sebagai ketetapan yang merupakan fitrah setiap makhluk ciptaan dari Allah. Seperti menerima sakit setelah sekian lama hidup sehat, atau pada umumnya profesi pedagang yang tidak dapat menerima bila mengalami kerugian.
4.    Kitab Perintah dan Larangan
Sebagai petunjuk kepada hikmah yang merupakan kebijaksanaan Dia yang Maha Adil, dan demi keselamatan hidup, maka tentunya petunjuk-petunjuk tersebut ibarat rambu-rambu yang berupa perintah dan larangan yang berkesan ‘keras’dan ‘tegas’, namun demikian banyak pula diri kemanusiaan yang membandel melanggarnya, yang padahal perintah dan larangan tersebut justru ternyata adalah demi kebaikan dan keselamatan mereka pula. Itulah luar biasanya iblis dalam usaha penyesatannya (QS al Hijr 39).
Inilah kitab yang patut sebagai dasar pijakan atau sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan sebagai pribadi, keluarga, lingkungan, hingga kepada kehidupan berbangsa dan bernegara, agar tidak terjerumus pada usaha penyesatan iblis. Seperti yang diperingatkan Allah di dalam firman-Nya,
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
5.    Kitab yang Membenarkan Kitab Sebelumnya
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
Al Qur’an, selain adalah kitab yang membenarkan kitab-kitab yang telah datang sebelumnya, juga merupakan kitab yang dibenarkan pula akan kedatangannya oleh kitab-kitab tersebut.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (disebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama bani Isra’il mengetahuinya.”  (QS 26:196-197)
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi lainnya, yaitu Injil, Zabur, Taurat, juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, merupakan kehendak Tuhan yang turun sebagai petunjuk kepada insan-insan kemanusiaan yang terpilih menjadi rasul (utusan)-Nya untuk disampaikan kepada masing-masing umat atau kaumnya.
Kehendak Dia-lah menurunkan kitab-kitab tersebut kepada siapa, dan kapan, serta tempat atau wilayah diturunkannya. Yang jelas, bahasa kitabnya memakai bahasa kaumnya, dan situasi atau suasana kehidupan yang telah rusak parah akan menjadi sebab diturunkannya sebagai peringatan dan usaha perbaikan kearah kehidupan yang dikehendaki Tuhannya.
 Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal). Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan.
......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ......”  (QS 5:48)
Dan tidaklah pantas, bagi insan kemanusiaan malah terjerumus pada perbedaan-perbedaan tersebut yang merupakan ketetapan Allah (sunathullah), Tuhan semuanya. Berbantah-bantahan, saling mengejek, atau bahkan saling menghina dan menghujat hingga malah saling menumpahkan darah, yang itu semuanya merupakan perbuatan perwujudan kehendak iblis yang menginginkan setiap insan kemanusiaan terjerumus pada kesesatan.
6.    Kitab yang Memberitakan Kabar Gembira
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok, sebagai petunjuk yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang amat pedih dari sisi-Nya dan memberitakan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik.” (QS 18:1-2)
Sebagai petunjuk yang lurus, al Qur’an mengandung kebenaran sejati dari Dia yang Maha Benar, selain memperingatkan kepada setiap diri kemanusiaan akan amal perbuatan yang berlawanan dengan apa-apa yang telah ditunjuki Dia, dan akibat-akibat yang akan dituainya kelak, sebagai yang akan menyiksa dirinya sendiri. Begitupun kepada amal perbuatan yang searah dan sesuai dengan kebenaran sejati tersebut, maka akibat-akibatnya pun akan dituainya sebagai kebaikan pula yang kembali kepada dirinya, sebagai berita gembira yang datang terlebih dahulu sebagai firman-Nya di dalam al Qur’an.
Sesungguhnya, bukanlah Dia yang menghukum, akan tetapi segala pengakuan-nya sendirilah yang menghukum dirinya sendiri. Disebabkan setiap amal perbuatannya adalah perwujudan dari setiap pengakuan yang menyesatkan jiwanya karena mengaku-ngaku ‘aku’-nyalah yang berperan, sehingga diri atau jiwa-nya pulalah yang harus mempertanggung jawabkannnya.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Diri yang ber-Kekitaban (Ahli Kitab)
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS 35:32)
Kebanyakan kita kaum muslimin beranggapan, bahwa ahli kitab dipersepsikan kepada mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Padahal dari segi bahasa, ahli kitab bermakna kepada mereka atau siapa saja yang telah menerima kitab dari Allah. Adalah mereka, insan kemanusiaan, yang telah diberi kitab dan petunjuk dari Tuhannya, yang seharusnya terefleksikan pada kesempurnaan akhlak sebagai perwujudan keimanan-nya yang keluar membentuk pola kehidupannya yang terpuji. Begitulah sebutan ahli kitab,  yang bermakna sebagai yang pantas menyandang sebutan ahli, yaitu sebagai pewaris haqq yang seharusnya mengelola dengan baik dan sempurna dari segala yang diberikan atau yang dianugerahkan kepadanya, yaitu berupa kitab sebagai petunjuk kepada hikmah.
“Dan sungguh telah Kami anugerahkan Kitab (Taurat) kepada Musa, maka janganlah engkau ragu-ragu menerimanya dan Kami jadikan kitab itu petunjuk bagi bani Israil.”  (QS 4:171)
Tidak sedikit pula mereka yang berpaling setelah mendapatkan petunjuk, akibat terjerumus dan terlenanya jiwa pada hawa kehidupan dunia yang menggoda dan terlihat indah. Bahkan dengan kekejiannya, iblis mengemas kesesatan tersebut dengan sedemikian rupa agar terlihat sebagai suatu “kebaikan” yang indah bagi pandangan mereka (QS al Hijr 39).
Kebanyakan kita, umat muslim, menerjemahkan ahli kitab kepada mereka umat Nasrani dan Yahudi, tidak termasuk diri-nya. Padahal diri-nya pun sebagai yang menerima kitab. Dan tuduhan kepada mereka, sebagai yang merubah kitab. Sekalipun disebutkan di dalam firman-Nya di dalam al Qur’an, tidaklah pantas kita sebagai kemanusiaan ikut menuduh. Karena akan semakin memperlebar jurang perbedaan yang dapat mengarah kepada pertikaian. Cukuplah dengan saling berbuat kebaikan dan saling menghargai sebagai makhluk Allah. Dan cukuplah memahami makna ayat tersebut sebagai ancaman larangan dari Tuhan kepada mereka, siapapun yang mencoba-coba hendak mengubah isi kitab-Nya, yang merupakan firman yang mutlak kebenaran-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu ......” (QS 4:171)
Jika demikian apakah atau dimanakah batas-nya itu? Maka kembalikanlah kesadaran jiwa dengan mengakui segala sesuatunya sebagai rahmat karunia dari Dia dan bersyukur, Allah ar Rahman yang Maha Pemurah. Dan hindari segala macam pengakuan bahwa hanya dirinyalah yang memiliki apa-apa yang telah dianugerahkan (yang sebenarnya hanyalah titipan atau amanah) kepadanya, apapun itu. Intinya adalah, hanya Dia-lah pemilik segala sesuatu, tanpa terkecuali. Ternyata bukanlah anugerah dalam arti, hibah kepemilikan yang diberikan kepadanya, melainkan hanyalah titipan atau amanah yang wajib dikelola dengan baik dan benar, apapun itu, istri dan anak-anak, harta benda, rumah tingggal, kendaraan, dan ladang pekerjaan, serta seluruhnya yang merupakan apa-apa yang diterimanya, sekalipun petunjuk atau hikmah.
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang di dalam) dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS 10:57)
Jangan biarkan jiwa kita terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya. Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad, padahal ternyata dibelokkan dengan malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme. Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka. Sesungguhnya, bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Menghalangi mereka (umat lain) beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri. Dan merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri. Sadarilah, bagaimana perbedaan pada masa, tempat atau wilayah, umat, bahasa atau sebutan-sebutan, kala ajaran atau agama diturunkan Allah, adalah suatu yang lumrah. Dan hal tersebut juga merupakan kehendak Allah. Bagaimana bila Allah membiarkan setiap diri kemanusiaan, dalam naungan umat, serta atas nama agama, saling balas membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Dan Allah “me-monumen-kan” wilayah atau negri Palestina selama ribuan tahun sebagai contoh buruk pergolakan perebutan ‘ego’ umat agama-agama samawi, sejak setelah kematian nabi Musa As. Semua mengaku atas nama keturunan Ibrahim, atas nama agama dan atas nama Tuhannya. Semua mengaku Ibrahim sebagai bapaknya, padahal semua memang keturunan Ibrahim, bangsa arab berbapak Ismail yang adalah anak Ibrahim dari Siti Hajjar (istri kedua), dan bangsa israel berbapak Yaqub (Israel) yang adalah cucu Ibrahim dari anaknya Ishak dari Siti Sarah (istri pertama). Sekalipun semuanya merasa “benar” menurut anggapan mereka, tetapi mereka semuanya salah menurut Allah dikarenakan ego-nya yang menyesatkannya kedalam bentuk perbuatan saling merusak dan saling menumpahkan darah. Maka yang puas adalah iblis. Dan dia-pun telah lama meninggalkan wilayah tersebut, mencari wilayah-wilayah lain demi kesibukannya untuk menghasut dan menjerumuskan diri-diri kemanusiaan lainnya. Telah sampaikah iblis di wilayah atau negri kita, disini dan saat ini? Bagaimana dengan yang pernah terjadi di Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Sampang, dan sekarang yang mengkhawatirkan adalah Papua.
Adalah Allah, Dia-lah Tuhan yang Mutlak di semesta alam ini, baik sebagai Tuhan umat muslim, nasrani, yahudi (bani israil), budha, hindu, khong hu chu, shinto, maupun umat-umat lainnya, yang ternyata bukanlah merupakan umat agama. Agama atau ajaran tetaplah satu, yaitu Agama Allah (diynul qayyimah, QS 98:5). Sementara yang kita sadari, adalah hanya pada kesamaan inti ajarannya, akan tetapi tetap merasa dan menganggap hanya ajaran atau agama milik kitalah yang benar, sementara yang lain adalah dalam kesesatan. Padahal rasa seperti itulah yang justru dapat menyesatkan diri kita, seperti layaknya tersesatnya iblis dengan kesombongannya saat diperintah Tuhannya untuk sujud (tunduk) kepada Adam (QS 2:34).
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Memang secara nyata, al Qur’an sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, akan tetapi, juga membenarkan keberadaan kitab-kitab sebelumnya, maka tidaklah layak hal itu malah menjerumuskan diri kita kepada kesombongan seperti sombongnya iblis. Resapi dan akuilah, bila kita melihat seseorang yang jauh lebih hebat, pintar, dan cerdas daripada kita, tetapi bersikap angkuh dan sombong. Maka hilanglah segala kelebihannya tersebut di mata kita, seakan-akan menginginkan dia tidak ada. Berhati-hatilah dan selalu waspada pula terhadap segala sesuatu yang berlebihan dalam menghadapi atau menjalankannya. Karena sesungguhnya, segala sesuatu tersebut adalah merupakan anugerah Dia Tuhan yang Maha Pemurah kepada dirinya, sekalipun itu anugerah berupa petunjuk atau hikmah.
Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,




Bab V
MEYAKINI HARI AKHIR
(HARI KEMUDIAN)
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
 (QS 53:24-25)
A
llahu maalikiyaw mid-diiyn, Dia, Allah Pemilik dan Penguasa ‘hari-hari agama’, adalah merupakan pijakan uraian mengenai rukun iman yang ke lima ini. Literatur umum, menafsirkan ‘yaw mid-diiyn sebagai hari pembalasan, akhirat, serta surga dan neraka. Dalam terjemahannya yang jelas, maksudnya lebih menekankan peran agama sebagai ‘diyn’, yaitu petunjuk ajaran atau aturan hidup menuju keselamatan. Makna luasnya adalah kehidupan yang diisi hari-hari yang tidak pernah lepas dari aturan hidup sebagai petunjuk dari Allahu rahmanur-rahiiym dan Allahu raabal ‘aalamiiyn, sebagai Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Tuhan semesta (seluruh) alam. Apakah itu kehidupan di dunia ataupun di akhirat, maupun diantara keduanya seperti hidup menanti di alam kubur.
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki, merahmati dan menguasai-nya. Sehingga tidak tepatlah, anggapan sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,  bahwa telah terputus-nya segala amalan. Sebagaimana kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun pada kehidupan di hari kemudian.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Pada ayat diatas dijelaskan, bahwa para penghuni surga pun masih memerlukan keselamatan dari kejahatan yang ada pada hari itu. Karena ketetapan Allah adalah mutlak untuk di segala ruang (alam) dan waktu (yang lalu, sekarang, maupun kemudian). Dan Allah pun menegaskan, bahwa alam surga dan neraka pun adalah berada di alam dunia ini, dan sedang berlangsung sekarang ini.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Dengan demikian, apakah sekarang ini, kita sedang berhadapan dengan orang-orang yang sedang mengalami surga dan neraka-nya? Berarti, diri kita ini pun sedang mengalaminya? Hal ini akan semakin jelas, setelah kita masuk pada uraian tentang kematian dan kebangkitan. Bersabarlah dalam memahami makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an, dan mohonlah perlindungan-Nya, agar kita tidak mudah tersesat.
“Apabila kamu membaca Al Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari (penyesatan) syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)
“..... dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”  (QS 20:114)
Pada hari akhir, kata ‘akhir’ adalah lawan kata ‘awal’, bermakna ujung dari sesuatu, yang lebih menekankan waktu atau saat kejadian berujung. Hari Akhir dapat berarti, akhir dari suatu urusan dalam kehidupan dunia, dan dapat pula merupakan berakhirnya hidup di dunia (kematian), serta bermakna yang jauh lebih luas lagi, yaitu akhirnya dunia atau semesta (kiamat). Akan tetapi hari akhir hanyalah masa transisi atau peralihan atau pula penantian, yang berisi masa pengadilan atau penilaian, perhitungan, maupun hisab, untuk menentukan kemana kemudian kehidupan selanjutnya tertuju, yaitu hari kemudian.
Seperti adanya esok setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, dan adanya memetik setelah menanam. Seperti pula, naik atau tidak naik kelas, lulus atau tidak lulus sekolah, dan naik atau turun jabatan, yang membuat seseorang melanjutkan kehidupan pada suasana baru sebagai  alam lain-nya, yang tentunya amat dipengaruhi oleh kehidupan sebelumnya. Akan tetapi tetap dalam suasana yang sama, yaitu dalam suasana berlatih (belajar) untuk menuju suatu kesempurnaan, serta kesucian jiwa (diri)-nya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Ilayhi raji’un. Hanya diri-diri yang telah bersih dari kontaminasi kekotoran yang dapat kembali kepada-Nya, yaitu jiwa-jiwa yang tak lagi membawa keinginan dan kebutuhan, apalagi jiwa yang tersesat. Itulah tauhid murni.
Pada suatu urusan, masih didunia, malu dan terpojok ataupun rasa sakit sebagai balasan langsung adalah sebagai neraka dunia-nya (neraka wayl), dan rasa puas dan nikmat sebagai surga dunia-nya (surga firdaus). Dan di akhirat (setelah kematian), semua rasa yang sangat tidak enak dan sangat menyakitkan terwujud sebagai neraka akhiratnya (neraka safiil), serta semua rasa kenikmatan terwujud sebagai surga akhiratnya (surga adniin). Serta di tempat tunggal-Nya, yaitu di kalbu yang paling dalam, yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu baik di dunia maupun nanti di akhirat, hati yang sempit terhimpit akibat rasa bersalah, apapun menjadi serba salah, adalah nerakanya (neraka jahanam), serta damai dan tentram serta sejahtera sebagai surganya (surga na’im).
Dari ketiga uraian tersebut, adalah rasa yang merupakan unsur dominan sebagai objek yang menerima balasan dari setiap amal perbuatan sebelumnya. Sementara wujud diri dan alam sebagai tempat diri berada, tidaklah menjadi hal penting, sekalipun suasana tempat ikut mempengaruhi, akan tetapi tetap rasa-lah sebagai yang merasakan nikmat atau tidaknya. Dalam kehidupan sekarang pun rasa-lah yang dicari dan dihindari. Yaitu rasa nikmat sebagai yang dicari, dan rasa tidak nikmat sebagai yang dihindari. Berapapun harga kenikmatan itu akan dibayar untuk mendapatkannya, begitupun sebaliknya, berapapun harga yang dikeluarkan akan dibayar untuk menghindari ketidak nikmatan.
Kematian
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)
Kematian adalah hari akhir-nya kehidupan di dunia bagi diri kemanusiaan. Dalam kehidupannya selama di dunia, yang dalam satu harinya, disibukkan oleh kegiatannya dari pagi hingga sore, dan setelah lelahnya, dia merasakan kantuk yang luar biasa saat malam tiba, kemudian tertidur untuk beristirahat. Nah, begitu pulalah kehidupan dan kematian. Mati dan hidup adalah proses tidur dan bangun yang dalam skala panjang waktunya. Kematian merupakan pula hari akhir  kehidupan, dimana terpisahnya antara ruh, jiwa, serta jasad (tubuh) untuk beristirahat, dan menunggu dibangunkan (dibangkitkan) lagi. Masing-masing berada pada alam yang berbeda atau terpisah, tetapi dalam satu sebutan tempat tunggal, yaitu alam penantian (barzakh), tempatnya di alam kita ini juga.
Kematian pun merupakan akhir satu fase kehidupan yang diisi dengan beristirahat atau menanti di alam kubur untuk dibangkitkan melanjutkan kehidupan selanjutnya, untuk mengalami balasan sebagai tuai-an amal perbuatan kehidupan sebelumnya. Seperti kita bangun dari tidur dan melanjutkan atau mempertanggung jawabkan kembali kesibukan yang kita perbuat kemarin yang belum selesai. Bila pertanggung jawaban yang belum terselesaikan adalah hal yang besar, mungkin akan terbawa sebagai mimpi yang menyusahkan di dalam tidurnya semalam, maka seperti itu pulalah azab kubur.
Jiwa akan disimpan oleh Allah di tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal, dan kelak akan ditiupkan-Nya saat dibangkitkannya kembali bersama jasad-nya. Karena jiwa manusia adalah ‘bagian’ dari Ruh Allah  yang dianugerahkan pada kehidupan sebelumnya, maka harus kembali lagi kepada-Nya.
...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)
Setelah kematian, maka kehidupan selanjutnya adalah penantian di alam kubur (barzhak), yaitu menunggu untuk dibangkitkannya kembali bersama jasad dan ruh-Nya. Lamanya penantian adalah relatif waktunya. Tentunya, bagi jiwa yang tersesat, adalah biasa baginya tidak pernah bersabar di kehidupan sebelumnya, maka pada masa penantian inipun akan terasa lama sekali dan amat menyiksa bagi jiwa-jiwa seperti ini dalam menunggu.
Sedangkan jiwa, ada dua kemungkinan kemana dia bertempat tinggal. Yang pertama, adalah bagi jiwa-jiwa yang di kehidupan di dunianya telah bersama Tuhan-nya, yaitu bagi jiwa-jiwa yang damai, tenang tentram dan terkendali (mutma’innah), maka dia akan mengikuti karena telah terbiasa manunggal, mengikuti bersama ruh-nya menuju tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”  (QS 39:42)
Yang berikutnya adalah, bagi jiwa-jiwa yang tersesat kala di kehidupan dunianya, terpukau dan hanyut oleh kemegahan serta kemewahan dunia, maka setelah kematiannya pun, setelah terpisah dengan ruh dan jasad, tinggallah jiwa tertambat di alam dunia meratapi jasadnya yang lama kelamaan hancur, kemudian tersesat bergentayangan di tempat-tempat dahulu disenangi dan sering disinggahinya. Dia tersesat, dan tersiksa oleh rasa ketertarikan pada kemegahan dan kemewahan kehidupan dunia yang tak dapat dinikmatinya lagi namun tetap menggodanya. Dia lebih memilih begitu, sekalipun sudah tak bersama jasadnya lagi, karena tak rela meninggalkannya,  terus tersiksa menunggu hingga waktu dibangkitkannya sebagai jiwa yang merana, untuk mengalami pembalasan pula di kehidupan selanjutnya.
Kematian, seharusnya adalah kesempurnaan. Karena itu di kehidupannya kemanusiaan selalu mencari jalan untuk mendapatkan kesempurnaan-kesempurnaan dalam segala hal. Dan dalam meniti jalan-jalan tersebut, tentu tidaklah mudah, selalu ada halangan ataupun godaan bujuk rayu dari hawa nafsu (iblis)-nya sendiri yang hendak menyesatkannya. Akan tetapi, setiap diri selalu hendak mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya, sekalipun harus mengalami berkali-kali jatuh dan bangun. Sekalipun harus mengalami hidup dan mati, serta dibangkitkan beberapa kali, namun dengan itulah jiwanya menjadi kuat, dan semakin dirinya mendekati pada kesempurnaan, maka segera pula hendak meraih kesempurnaan berikutnya yang lebih sempurna lagi dari sebelumnya. Begitu seterusnya hingga dirinya akhirnya menemukan kesempurnaan sejati, yaitu kesempurnaan jiwanya untuk dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Tidaklah sempurna uraian ini bila tidak mengulas pula kebangkitan sebagai awal kehidupan selanjutnya di hari kemudian. Banyak ayat al Qur’an yang berisi keterangan tentang kebangkitan, mengasumsikan seolah-olah bahwa sesungguhnya Allah meragukan keyakinan manusia akan kejadian kebangkitan diri-nya. Atau sekedar memperingatkan kepada manusia yang meragukan kekuasaan Allah dalam hal membangkitkan mereka. Karena begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebangkitan yang menggunakan perumpamaan kejadian-kejadian di alam, sehingga menafsirkan bahwa Allah meragukan keyakinan diri-diri kemanusiaan terhadap adanya kebangkitan.
Padahal sesungguhnya, kebangkitan adalah hal yang mutlak harus terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Sekalipun dunia ini belumlah kiamat. Dan itu merupakan ketetapan-Nya, sunathullah yang pasti terjadi pada setiap makhluk ciptaan-Nya. Tidak hanya pada diri kemanusiaan saja, melainkan seluruh alam raya ini berikut isinya. Seluruhnya mengalami peluruhan, kematian, kemudian terurai dan dibangkitkan kembali dengan wujud baru sebagai siklus gerak kehidupan dalam sistem semesta untuk mencapai kesempurnaan.
Siklus Kebangkitan
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau pada siklus proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai yang telah murni, suci dan bersih.
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih, sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”  (QS 30:19)
Bila kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan kita sebelumnya.
Kemudian timbul pertanyaan, sungguhkah kehidupan sekarang ini, di dunia ini, adalah kehidupan akhirat yang merupakan pembalasan dari kehidupan dunia sebelumnya? Jadi, telah berapa kalikah masing-masing kita mengalami kebangkitan?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Mungkin pertanyaan ini akan menjadi polemik, dikarenakan pemahaman sebelumnya, yang pada umumnya tidaklah demikian. Melainkan dikarenakan pemahaman sebelumnya yang secara umum mempercayai, bahwa kebangkitan tersebut di alam akhirat setelah alam dunia ini hancur atau kiamat. Dan menganggap tabu kebangkitan yang berulang-ulang, seperti reinkarnasi-nya ajaran umat lainnya. Apakah menjadikan penting dan merasa harus berbeda? Ataukah hanya sekedar agar tak dianggap mengikuti ajaran umat lain? Dan apakah dengan begiitu kita mau menutup mata terhadap kebenaran-Nya? Janganlah kita menjadi terjerumus kepada taqlid yang pada akhirnya kufur terhadap kebenaran yang seharusnya kita terima sebagai perwujudan ikhlasnya rasa  berserah diri (islam) kita terhadap apa-apa yang turun dari-Nya sebagai kebenaran yang hakiki.
Kembali lagi di sini, pengakuan (ego) yang merasa harus berbeda, atau merasa tidak mau disamakan dengan umat lainnya.  Perasaan congkak inilah yang sesunguhnya akan dapat menjerumuskan jiwa kita. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah, bila Dia kuasa membangkitkan, mengapa hanya sekali saja? Sedangkan ayat diatas tersebut tegas menyatakan kebangkitan yang berulang-ulang. Jiwa akan terus menanggung beban pensucian-nya selama kekotoran atau dosa masih melekat. Apakah kita mau memakan makanan yang akan masuk ke dalam tubuh kita yang ada penyakit, ada kotoran, dan najis yang melekat padanya? Tentu kita akan sabar menunggu dengan mencuci dan memasaknya terlebih dahulu.  Hanya pada jiwa yang telah suci dari kekotoran sesungguhnya yang dapat pulang kembali bersama ruh-Nya kepada Dia Yang Maha Tunggal, ila’ihi raji’un.
Betapa banyak ayat-ayat mengenai kebangkitan yang Allah gambarkan dengan mengambil kejadian-kejadian di alam ini sebagai contoh yang nyata. Dan sesungguhnya Allah menciptakan satu alam ini untuk semua alam, baik yang dimaksudkan dengan alam dunia maupun alam kubur dan juga alam akhirat. Karena jelas, bahwa alam kubur, dimana terpisahnya ruh dan jiwa dengan jasad yang dikuburpun memakai alam ini pula, sedangkan jiwa dan ruh yang merupakan gaib atau bathin tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Buktinya, banyak jiwa-jiwa penasaran (tersesat) sebagai energi yang masih dapat ditemui di alam ini juga, memakai alam ini pula. Dan setelah dibangkitkan, apakah perlu Allah menciptakan alam lain sebagai tempat pembalasan? Apakah untuk alam pembalasan tidak dapat memakai alam ini pula? Dia-lah Allahu rabbul ‘aalamiyn.
Bila surga dan nerakanya seperti yang dibayangkan pada umumnya, mungkin saja. Akan tetapi bila telah memahami surga dan neraka adalah rasa bathin, maka tidak diperlukan lagi alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Cukup di alam ini. Toh, begitu banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat  adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus sebagai tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan sekarang ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang kepada Tuhannya.
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup, terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci) jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak  agar dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal.
Alam semesta (langit dan bumi) inipun mengalami kematian sebagai hari akhirnya, yaitu kiamat. Kemudian dibangkitkan (dibangun) lagi sebagai kejadian yang berulang-ulang. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya di bawah ini.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Kemudian ditegaskan lagi oleh ayat diatas, bahwa kiamat, kejadian akhir dunia atau semesta alam, ternyata juga merupakan fase peralihan menuju pembentukan kembali awal semesta alam yang baru. Begitu seterusnya sebagai siklus semesta yang amat panjang dan tak terukur waktunya. Janji Allah adalah ketetapan mutlak, yang pasti akan terjadi. Tidak ada perubahan pada ketetapan Allah.
Akan lebih melengkapi ulasan tentang hari akhir ini bila didukung pula kejadian awalnya, sehingga akan membawa kita kepada pemahaman tentang proses siklus semesta yang dimaksud di atas.
“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Suatu keadaan “awal” diterangkan Allah dengan istilah suatu yang padu, dimana ini mengandung makna bahwa satu obyek yang dapat dipecah, dibelah, atau dipreteli hingga terpisah menjadi minimal dua bagian. Kata padu pun dalam ayat ini mengandung makna pula, sebagai suatu keadaan berkumpul menjadi satu (singularitas) dari sebelumnya yang terpisah atau berjarak. Karena Allah tidak memakai kata “awalnya” atau “dimulai” melainkan kata dahulunya. Sedang kata dahulunya lebih menunjukkan kepada suatu masa atau waktu sebelumnya, yang tidak hanya mengandung makna waktu awal dari segala sesuatu, maupun dimulainya segala sesuatu. Atau pula dapat bermakna, telah mengalami beberapa kali awal dan berapa kali akhir. Sehingga lebihlah tepat adalah suatu keadaan atau kondisi masa-masa awal penciptaan alam semesta, yaitu dengan memisahkan langit dan bumi. Yang bermakna unsur-unsur pembentuk langit dan bumi telah ada sebelum dipisahkan.
Setelah dipisahkannya langit dan bumi, kemudian diluaskanlah langit, dalam bahasa astrofisika, alam semesta yang terus mengalami mengembang atau memuai volume ruangnya. Sehingga kemudian dengan ketetapan-Nya, terciptalah bintang-bintang serta gugusan-gugusan yang mengelompokkannya.
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan, dan sungguh Kami benar-benar meluaskannya.”  (QS 51:47)
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya.”  (QS 15:16)
Alam semesta yang sebelumnya adalah suatu yang padu, kemudian dipisahkan oleh-Nya langit dan bumi, dan mengembangkan langit menjadi jauh lebih luas hingga terciptanya bintang-bintang (jumlahnya hingga milyaran). Hingga pada suatu waktu tertentu yang telah ditetapkan-Nya, Allah mengembalikan prosesnya seperti menggulung lembaran kertas, mempersatukan kembali (singularitas) langit dan bumi sehingga meleburlah milyaran bintang yang berada di langit, sebagai alam semesta yang menyusut. Begitulah proses kelahiran dan kematian alam semesta sebagai suatu siklus penciptaan yang akan diulangi-Nya kembali.
Tempatnya tetap satu, semesta alam ini, akan tetapi hidup-mati dan kebangkitan yang berulang-ulang sebagai siklus, sampai pada suatu waktu akhir, yang hanya Dia yang tahu kapan waktunya, yaitu hari akhir bagi alam semesta (kiamat kubra). Dimana segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi, serta yang berada diantara keduanya, kembali menyatu menjadi sebagai suatu yang padu kembali seperti diterangkan pada ayat QS 21:30 dan prosesnya seperti diterangkan pada ayat QS 21:104, manunggal kembali kepada Tuhannya, ila’ihi raji’un. Dan pada ayat itu pula diterangkan, sebagai yang akan diulangi-Nya kembali, sebagai siklus besar penciptaan alam semesta.
......... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Bila dalam masa kehidupan alam dunia, dari lahir hingga kematiannya, proses tidur dan bangun kita tak terhitung jumlahnya, maka jangan heran atau bingung, bila pda proses kematian dan dibangkitkan pun akan terjadi berulang kali karena amat panjangnya waktu berakhirnya alam semesta ini.
Dan sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah diberitakan turun temurun akan kejadian akhir itu sebagai suatu yang harus diyakini, dengan segala macam ‘mitos-mitos’ yang mengerikan dan menyenangkan untuk hari kemudiannya, sebagai wujud balasan atas kehidupan sebelumnya. Maka jelaslah hal tersebut ikut mempengaruhi pemahaman tentang surga dan neraka. Sehingga penggambarannya memiliki banyak ragam, tetapi tetap memiliki makna yang sama, yaitu agar setiap diri dapat mencapai akhlak yang baik dan terpuji dengan mengingat adanya balasan di hari kemudian. Itu karena petunjuk dari Allah juga kepada orang-orang terdahulu, hanya mungkin lebih bervariasi akibat penyampaian dari mulut ke mulut yang telah berlangsung lama, dari masa ke masa.
Surga dan Neraka
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Pemahaman sebelumnya, bahwa surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya, berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya, bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan begitu pula pada kesengsaraannya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun akan dibalas Tuhannya dengan adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana  pembersihan atau penyucian  jiwa. Selama masih mengalami kehidupan di alam ini, apakah itu alam kubur dan alam akhirat sebagai pembalasan, jelas merupakan masih mengalami suasana pembersihan dari segala kekotoran dan dosa-dosa yang ada dan melekat dari amal perbuatan sebelumnya.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Ayat di atas pun menjelaskan, bahwa di surga pun tak lepas dari ancaman kejahatan, dan makin menjelaskan pentingnya peran agama untuk mengatur kehidupan di alam tersebut. Itulah makna Allah sebagai penguasa hari-hari yang dinaungi agama (aturan hidup) dan rahmat-Nya. Karena kuasa-Nya pun meliputi segala sesuatu, termasuk semesta alam ini sebagai wadah kehidupan makhluk-Nya yang didalamnya pun terdapat alam pembalasan (surga dan neraka).
Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Itulah balasan dari yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya. Jadi surga dan neraka merupakan keaadaan atau suasana jiwa yang sedang mengalami hari-hari pembalasan dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Dan perlu diingat, pembalasan itu masih pula membawa kepada pembalasan pada kehidupan selanjutnya lagi, bila jiwa masih juga dalam kesesatannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)
Begitulah kehidupan ini, hidup dan mati kemudian dibangkitkan untuk mengalami pembalasannya sebagai yang berulang-ulang selama masih adanya langit dan bumi, sebagai pula penyucian jiwanya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Yaitu pada berakhirnya semesta alam ini (kiamat qubra), dimana segala sesuatu, tak terkecuali mengalami peluruhan dan kembali kepada asalnya Yang Maha Tunggal. ‘ilayhi raji’un.
Akan tetapi, bagi yang telah sadar diri atau jiwanya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan dirinya bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Entah bagaimana kesalah pahaman akibat kerancuan makna ini akan berlanjut sampai kapan, sehingga menyimpangkan makna dan pengertian yang seharusnya telah berkembang sejauh-jauhnya menuju kepada hikmah yang haq (sejati), akibat kerancuan makna yang berlarut-larut. Kerancuan tersebutlah yang menjadi penyumbat aliran pengembangan pikir para pencari yang takut kepada cap sesat bila hendak melancarkan alirannya kembali normal, maka yang ada, tetap yang terjadi adalah kebuntuan.
Nikmat Sejati
Inilah yang sebenarnya patut menjadi arah tujuan dari segala tujuan. Kejaran bagi orang-orang yang hendak merasakan nikmat yang sesungguhnya. Seperti yang selalu diminta dalam setiap membaca suratul Fatihah, yang paling tidak dalam setiap shalat-nya. Adalah, .... tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, dan bukan jalan mereka yang ingkar lagi berbuat kerusakan.
Tidak ada nilai yang pantas untuk dapat mencapai sebutan harga nikmat yang dimaksud. Sementara segala sesuatu selain itu adalah fana, hampa, dan kosong. Akan tetapi, jangan pula terkecoh dari setiap keinginan, sekalipun itu adalah kebaikan. Kemurnian Diri dari segala macam keinginanlah yang sesungguhnya menjadikan seseorang sempurna, karena hanya diri atau jiwa yang murni atau bersih dari keinginan dan peng-aku-an (ego) yang dapat menuju kepada-Nya yang Maha Tunggal. Yang berada dan sebagai penguasa arsy atau taman nikmat sejati.
Kita tidak akan pernah dapat merasakan nikmat sejati bila belum dapat mengenal diri kita sendiri yang akan mengarahkan pemahaman tentang realitas sejati (diulas kemudian secara ringkas pada Bagian-4 Lahir & Bathin). Pemahaman ini tidak mudah didapatkan, akan melalui proses yang panjang juga melelahkan, kecuali bila Allah menghendaki lain. Semoga kita akan dimudahkan untuk dapat menerima hikmah ini sebagai karunia yang besar dari-Nya.
 Segala macam nikmat adalah rasa, yang sesungguhnya ada dan bertempat di dalam hati atau kalbu. Hanya kalbulah yang dapat mengetahui kehadiran rasa, baik itu berupa kenikmatan ataupun sebaliknya. Akan tetapi, lebih jauh lagi ke dalam, pada kalbu yang paling dalam, maka tidak segala sesuatu pun dapat masuk, kecuali bila dengan kehendak Dia yang Maha Tunggal yang bersemayam di situ. Sehingga, kenikmatan sejati tersebut hanya bisa diraih bila telah dapat menghilangkan segala macam keinginan, maka diri menjadi jiwa yang murni dari pengakuan (ego).
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS al 15:39)
....... kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. (QS 7:16-17)
...... pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Bahayanya pengakuan, yang merupakan salah satu sasaran serangan iblis, salah satunya adalah kuatnya rasa memiliki apa-apa yang telah dianugerahi Allah kepadanya. Seperti, anak dan istri, harta benda berupa perhiasan,rumah tinggal, dan kendaraaan, juga ladang pekerjaan ataupun perniagaan, bahkan pengakuan kepemilikan tubuh atau jasadnya (lihat kembali uraian Malaikat Min ‘Indillahi).
Terjerumusnya diri kepada segala macam pengakuan tersebut, bahkan yang berada di jasadnya, seperti penglihatan dengan mata-ku, pendengaran dengan telinga-ku, kata-kata yang keluar dari mulut-ku, dan lain sebagainya, sungguh dapat menjerumuskan dirinya kepada perbuatan syirik. Akibatnya seperti, “coba kalau aku tidak melihat ...”, atau “coba kalau aku tidak dengar ...”, dan “kan aku sudah bilang ...”. Seolah-olah tiada peran Tuhan, dan yang ada hanya peran diri-nya saja.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Bila semua itu lebih dicintai daripada mencintai Allah, jelaslah itu adalah perbuatan syirik. Dosa besar yang tak terampuni, bila tak segera bertobat. Maka jelaslah, bahwa iblis telah menyeret kebanyakan setiap diri kemanusiaan sebegitu jauhnya dari jalan Tuhannya, kemudian menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Sungguh tidak disadari, ternyata diri ini begitu gampangnya terhanyut oleh pengakuan-pengakuan seperti itu, dan bila salah satu saja dari semua yang dimilikinya diambil atau hilang, maka goncanglah jiwa-nya, seakan-akan tidak terima. Itulah pengakuan yang ternyata sangat menjerumuskan.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
....... pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Keikhlasan pada setiap amal perbuatan yang disertai dengan melepaskan segala macam rasa keinginan atau harapan, dan menyerahkannya hanya kepada kehendak Dia, adalah cara terbaik menjaga kemurnian jiwa dari bisikan dan godaan iblis. Sehingga tanpa terasa dan mengharap, sesungguhnya kita sedang menuju Nikmat Sejati yang diridhai dan diberkati oleh Dia sebagai ar Rahman.
Maka sejatinya Nikmat Sejati adalah terbebas dari rasa keinginan, harapan, maupun cita-cita sekalipun nikmat sejati tersebut adalah terlihat dan terasa sebagai kebaikan. Nikmat Sejati yang sejati adalah ketenangan dan ketentraman bathin yang membawa jiwa dapat terkendali bahkan tanpa terganggu lagi oleh iming-iming nikmat sejati itu sendiri, kebaikan, ataupun surga. Jiwa-nya tidak lagi disibukkan oleh keinginan yang justru dapat meresahkannya sendiri.


Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
M
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya) tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa. Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru sia-sia pada akhirnya.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut, sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam, makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS 51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan. Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga, segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan, simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna, menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak, yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah, kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
 Kita telah dapat menerima lapar setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan yang datang yang ternyata  akibat dari perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena. Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya, maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino. Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya, sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih, setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari. Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran. Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima, bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
Tiada sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada dosa dan menanggung dosa?
Karena di alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat. Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri, menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan. Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum bekerja mengendarainya.
Segala sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai. Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Kenalilah diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari kuasa-Nya.
Maka keikhlasan adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”  (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi, serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja, apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian kepada Tuhannya.
Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk bekalnya di hari kemudian.




Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
 (QS 2:136)
B
er-keimanan mengandung makna luas, tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya, kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk sebagai dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak hanya sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir, ucap, serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan berlanjut dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya akan dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil menanam di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya, sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya, kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun nikmat-nikmat kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi, adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab, hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui. Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji (muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah), di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat, sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu apa sajakah itu?
Kelak, dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya (Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
Iman, dengan iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan.  Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS 6:162-163)
Ibadah shalat, sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad, pakaian, dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran yang lahir (nyata terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin, yaitu  pengakuan yang mengaku-ngaku sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat sah-nya shalat.
Jasadnya yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya. Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad, pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah kepadanya itu merupakan titipan atau amanah yang harus dipertanggung jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan (ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda, perhiasan, kendaraan,anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
Tersesatnya jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa, yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran, gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah sebagai kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian berupa pengakuan yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari peringatan Tuhannya agar tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya keluar dari surga sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka diberikan-Nya kunci tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya. Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia sungguh dalam kerugian.
Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”  (QS 103:1-3)
Kebaikan dan keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditananm sebelumnya, serta bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian, dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya. Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia, dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini. Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa bila jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat, tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian. Dan sebaik-baiknya pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Marilah kita, sebagai insan kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara. Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa kemudian.
Dengan begitu, kita secara bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli (pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan masyarakat kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin parah. Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa (nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan, bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti, untuk membeli bbm (bahan bakar minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek, bis kota, dan angkutan umum lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau harga-harga kebutuhan rumah tangga yang selalu naik. Maka masyarakat umum kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan menjadi tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan. Yang akhirnya balik kembali kepada diri masing-masing individu sebagai keluhan-keluhan, yang sesungguhnya, ternyata diri-diri kita sendirilah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya, melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi. Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih dari sebelumnya. Inilah akar masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap individu menyadari pentingnya merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih, tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah dapat mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional, malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas semua itu.
Sungguh ironis, parahnya keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya. (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah pemilik segala sesuatu.
Hidup dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat. Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul qayyimah. Saling berketerkaitan satu sama lainnya, tak perlu mencari yang mana lebih dulu untuk memulainya. Mulai saja sekarang salah satunya, ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya sangat berkaitan dan menentukan satu sama lainnya.
 ------------------------------