BAGIAN 1
MENEGUHKAN KEYAKINAN (IMAN)
Kembali meneguhkan
keimanan menuju agama yang diridhai-Nya sebagai upaya perbaikan kehidupan yang
lurus dan menuju pada keselamatan sejati.
“Katakanlah,
ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang
yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri
(kepada Allah).”
(QS
16:102)
A
|
dalah naif, bila diri yang belum memahami jati dirinya tetapi kemudian
serta merta dihadapkan pada tuntutan akan kokohnya rasa keimanan, dimana
pokok bahasannya adalah keyakinan. Sedangkan keimanan merupakan rasa
bathin yang amat kuat mengikat pada ‘sesuatu’ yang tak tampak dan terasa
oleh indera, yaitu masih ghaib, sehingga mempengaruhi pola hidupnya. Perjalanan
kehidupannya yang panjang dan mengalami banyak hal sebagai pelajaran, kelak
sebagai yang akan membuka akal dan kesadaran pada hatinya. Hanya dengan
kehendak dan izin Allah sajalah, sesungguhnya, maka segala yang gaib tersebut
dapat dipahami dan jelas terlihat oleh hati yang telah dibersihkan-Nya dari selimut
tabir-tabir yang menutupi.
Tidaklah pas
kata “tuntutan” bila disandingkan dengan rasa, apalagi rasa tentang
keimanan atau keyakinan. Adalah fitrah kemanusiaan memiliki kebebasan
dalam keyakinannya, dan tidak ada paksaan dan keterpaksaan dalam agama dan
beragama. Begitulah seharusnya. Kebebasan segalanya, termasuk dengan kebebasan
berpikir, menggunakan akal logikanya sampai menemukan sendiri, bahwa ada tabir-tabir
gelap yang sesungguhnya membatasi diri-nya dalam segala hal. Dan
pada akhirnya, diri-nya sendiri pun menyadari keterbatasan-nya sebagai makhluk
ciptaan yang, ternyata, segalanya amat bergantung pada kekuasaan mutlak
yang sesungguhnya berkuasa atas segala sesuatu, termasuk membuka
kegelapan-kegelapan yang meliputi dirinya, dan mengeluarkannya kepada cahaya
terang yang menunjukkan.
Kekuasaan apa dan siapa yang
sesungguhnya tersebut tentu telah kita ketahui bersama, akan tetapi makna-makna
yang lebih dalam semoga akan menggugah lebih jauh akan kesadaran jiwa
kita sebagai yang terikat melekat kepada kekuasaan tersebut.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Karena
sesungguhnya, keterikatan tersebut telah ada sejak diri belumlah berwujud atau
terlahir ke dunia bersama jasad. Kehidupan di dunia, yaitu pada pemenuhan
kebutuhan jasad, sedikit demi sedikit, telah mengkontaminasi atau mempengaruhi
ikatan-ikatan bathin tersebut. Hingga semakin besarnya pula keinginan kehidupan
dunia maka semakin besar pula kekuatan melepaskan ikatan-ikatan bathin atau
keimanan tersebut. Hal inilah yang membuat jiwa menjadi tersesat, semakin
menjauhi ‘asal’ keberadaannya. Jangankan menyadari kepada yang gaib, kepada
yang nyata saja telah tertutupi oleh hawa nafsu kehidupan dunia dan dorongan
kebutuhan jasad. Ambil satu contoh, narkoba dan minuman keras, betapa itu telah
merusak jiwa dan jasad pemakai yang sejumlah besarnya adalah generasi muda yang
menjadi tulang punggung harapan para orang tua.
Dalam sejarah kehidupan
kemanusiaannya, adalah nurani-nya (cahaya asal) yang menyadarkan dirinya
untuk kembali merajut ikatan-ikatan yang telah lepas. Seperti orang yang
tersesat dan hendak kembali pulang serta banyak bertanya untuk mendapat
petunjuk arah pulangnya. Sungguh telah terbuang dengan percuma waktu selama
itu.
“Demi waktu. Sungguh, insan kemanusiaan berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS
103:1-3)
Akan tetapi,
Allahu rahmanur-rahiim, Dia yang maha Pengasih dan Penyayang, sangat menyukai
orang-orang yang hendak kembali, serta dengan kasih dan sayang-Nya maka
Dia akan menunjuki jalan kembali yang terang-benderang, lurus, dan lagi
menyelamatkan.
Tersesat
adalah tak tahunya arah kemana tujuan seharusnya diambil. Atau disebabkan oleh
telah terlalu jauhnya kesesatan menyimpangkan dari arah yang seharusnya. Dan
mungkin masih banyak hal lainnya sebagai penyebab sesat dari tujuan, sehingga
membuat kesulitan untuk dapat segera keluar dan beralih dari kesesatannya.
Betapa kehidupan dunia ini
telah melengahkan diri kita dari pemahaman-pemahaman yang hakiki yang
sebenarnya perlu bagi kehidupan yang lebih baik dan sehat lagi dari sebelumnya.
Tidak hanya lebih baiknya kehidupan kita sendiri, melainkan juga kehidupan
bersama secara umum. Kehidupan dunia memang yang telah melalaikan jiwa
kita dari kebenaran yang haqq, dan melalaikan jiwa kita pula akan keberadaan kekuatan
aparat-aparat yang diutus Tuhan untuk membantu kehidupan setiap diri
kemanusiaan.
“Dan tidak
ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS
10:100)
Kehidupan dunia pula yang telah
melalaikan setiap diri kemanusiaan dari kesadaran-kesadaran yang seharusnya
bergerak dan berkembang lebih tinggi lagi dari sebelumnya, yang dapat
mengkokohkan kembali keimanannya. Karena begitu erat hubungan antara keyakinan
yang didasari oleh kesadaran-kesadaran pemahaman yang merupakan kebenaran dari
Tuhannya. Kebenaran-Nya sebagai ketetapan atau kehendak-Nya yang sesungguhnya
mengikat kuat setiap diri kemanusiaan, baik disadari ataupun tidak disadari,
baik sukarela ataupun terpaksa. Segala sesuatu, termasuk diri-nya adalah yang
diliputi oleh kuasa, kehendak, serta rahmat pemeliharaan-Nya.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Tetapi, karena Dia Yang Maha
pengasih dan Penyayang tak menginginkan kemanusiaan terus dalam kesesatan, maka
bagi mereka yang mau membuka hati dan akalnya, telah begitu banyak Allah
tebarkan petunjuk di alam ini, dan orang-orang yang saling menasehati sebagai
penyampai petunjuk kebaikan dan kebenaran, serta juga yang telah ada dalam
kitab suci sebagai pedoman hidup kemanusiaan. Dan dengan akal kesadaran
jiwa-nyalah maka segala apa yang dilihat, dirasa, dan yang sampai kepadanya
adalah merupakan rahmat dari-Nya. Juga adalah sifat kemanusiaan yang hendak
mengetahui segala sesuatu, maka sungguh diri-nya amatlah membutuhkan petunjuk
sebagai cahaya yang menerangi gerak kehidupannnya.
PETUNJUK
Begitu
banyak petunjuk Allah yang bertebaran di langit dan di bumi dan yang berada di
antara keduanya. Seluruhnya bertebaran dihadapan mata baik yang berada di
langit dan di bumi akan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang membutuhkan,
yang mencari, yang berilmu, yang berfikir, dan juga bagi orang-orang yang
beriman. Inilah yang disebut Kitabul
Ardhi.
Kedua,
petunjuk yang disampaikan langsung ditanamkan kedalam kalbu tanpa proses olah
pikir, tanpa pengamatan dan penelitian. Inilah yang disebut di dalam dada,
yaitu Lauhul Mahfudz.
Dan ketiga,
petunjuk dari Allah yang berupa Kitab Suci, yang didalamnya berisi
firman-firman Tuhan yang disampaikan melalui malaikat-Nya kepada salah seorang
insan kemanusiaan yang telah diimankan, diislamkan, dan diihsankan
oleh Dia sebagai nabi dan rasul-Nya, dan untuk disebarkan kepada umat atau
kaumnya agar selamat dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Ini disebut Kitab
Samawi atau merupakan kitab yang ‘turun dari langit’, yaitu kitab
yang berisi firman-firman Tuhan yang merupakan petunjuk kepada keselamatan
hidup di dunia dan kelak di akhirat, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al
Qur’an.
Ketiganya, sebagai penyampai
atau pembawa petunjuk yang mengarahkan kepada adanya hari akhir dan kadar
baik-buruk, yang juga merupakan sebagai yang gaib, yang baru akan dapat
dihadapi di waktu kemudian. Juga merupakan dua hal utama yang perlu dijadikan
acuan sebagai petunjuk keselamatan yang harus diyakini. Berikut pula para
malaikat, para rasul dan seluruh kitab suci adalah merupakan alat
atau aparat Allah yang bertugas sebagai penyampai petunjuk keselamatan
tersebut. Keduanya ini harus diterima dan dicapai dengan baik pada ‘akhir’-nya
(khusnul khatimah) agar dapat kembali pulang kepada Allah.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta
yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan
zakat, dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa.” (QS 2:177)
Iman-nya
tersebutlah yang sesungguhnya lebih menghidupkan jiwanya dan mengarahkan
kehidupannya menjadi jauh lebih baik lagi. Dengan iman-nya itu pula, setiap
diri hidup berada diatas landasan yang kokoh sehingga mampu melalui masa-masa
tersulitnya terus hendak mencapai kesempurnaannya. Bersama iman-lah setiap diri
merasa memiliki harapan dan asa-nya ke depan, yaitu hari kemudian-nya.
Dan telah
sejak awal kehidupannya, diri kemanusiaan, dari setelah kelahirannya, telah
dibentangkann kitab di alam (kitabul ardhi) tersebut sebagai petunjuk
yang seiring dengan dibukakan kitab di dalam dada-nya (lauhul mahfudz) untuk dapat menerima
pemahaman yang kelak akan datang masuk, kemudian berharmonisasi dengan
petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam kitab-kitab suci (kitab samawi)
dan kitabul ardhi sebagai peringatan,
yang datang melalui seseorang yang terpercaya (rasul Allah).
Akan tetapi
tanpa iman, kesemuanya tersebut tidak akan memiliki arti apa-apa. Tidak akan
membawa pada keselamatan di dunia dan akhirat. Padahal untuk hal sekecil apapun
saja diperlukan iman atau rasa percaya, keyakinan. Ambil contoh, bila
seseorang hendak pergi ke suatu tempat dengan menggunakan angkutan umum, bila
ia tak percaya kepada supirnya, maka apa yang terjadi? Pasti terhambat. Dan
bila ia telah percaya, maka masih dibutuhkan keberserah dirian-nya.
Bila terhadap rasa percaya yang
sepele saja membutuhkan sebuah keberanian, apalagi kepada rasa percaya terhadap
sesuatu yang besar, yaitu
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat, tentulah dibutuhkan hal yang lebih
besar dari sekedar keberanian. Apakah itu? Mencari sesuatu yang tidak sepele,
yang sesungguhnya benara-benar menguasai keselamatan itu sendiri, yang
ternyata adalah ada tapi tak kelihatan oleh mata-nya, dan yang berkuasa
tapi tak disadari-nya. Dan akan menjadi nyata wujud dengan segala sifat-Nya
bagi orang-orang sungguh-sunguh berusaha menuju kepada-Nya. Maka iman
itu diklasifikasikan (Rukun Iman) kepada, yaitu :
1.
Allah
(Pencipta segala sesutu)
Sebagai nama tunggal bagi pencipta segala
sesuatu baik yang nyata kelihatan, maupun yang nyata tidak kelihatan.
2.
Para Malaikat (Makhluk yang merupakan
ciptaan-Nya)
3.
Para Rasul
(Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
4.
Kitab-Kitab Suci (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
Ketiganya merupakan alat atau aparat Allah yang
menyampaikan petunjuk kepada keselamatan.
5.
Hari Akhir
(Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
6.
Kadar Baik-Buruk (Makhluk yang merupakan ciptaan-Nya)
Keduanya, yaitu Hari Akhir dan
Kadar Baik-Buruk, merupakan Petunjuk menuju keselamatan agar mencapai akhir
yang baik dan sempurna, khusnul khatimah. Beriman kepada Hari Akhir atau
hari kemudian, maksudnya agar manusia percaya pada hari penghakiman,
dimana segala amal perbuatan sekecil apapun akan diperhitungkan. Dan beriman
kepada kadar baik dan buruk, maksudnya agar manusia dalam
kehidupannya pun dapat menerima bukan hanya nikmat kebaikan, akan tetapi
nikmat keburukan pun harus dapat diterimanya.
Seperti halnya telah menganggap
lumrah dalam menerima malam setelah siang, dan telah pula menganggap lumrah,
maaf, saat harus buang air (besar maupun kecil) setelah menerima nikmat makanan
dan minuman dari Tuhan-Nya. Karena Allah menciptakan segala sesuatu selalu
pasti bersama pasangannya, betapa Tuhannya selalu memberikan rahmat-Nya yang
hanya berupa rahmat kebaikan, sekalipun diri kemanusiaan menganggapnya adapula
keburukan yang diterimanya, namun keburukan tersebut, sesungguhnya adalah agar
dirinya mencapai kesempurnaan fitrah-nya.
Sesungguhnya,
rahmat-Nya tidaklah berkekurangan dan tidak pula berlebihan, keterbatasan
diri-nya lah yang menjadikannya kurang ataupun lebih. Menjadi kurang ataupun
lebih, adalah disebabkan karena diri-nya sendiri yang tak mempersiapkan
dalam menerima semua rahmat-Nya. Begitulah keterbatasan pada kemanusiaan dalam
menilai segala sesuatu selalu dengan pasangannya, sebagai yang baik atau buruk,
kurang atau lebih, benar atau salah dan lain sebagainya, yang padahal semuanya
tersebut adalah rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan rahmat Allah adalah tunggal,
yaitu kebaikan, dan tidak ada yang lainnya, hanya kebaikan. Hanya karena tak
sesuai keinginannya, maka dirinya menilai sebagai yang buruk. Padahal dirinya
memiliki keterbatasan dalam memandang dan memahami, yang kelak akan disadarinya
bahwa apa yang semula dikiranya keburukan, ternyata adalah membuat kebaikan
bagi dirinya. Dia-lah Allah Yang Maha Sempurna, dan Dia menghendaki setiap
makhluk-Nya pun menjalani kesempurnaan sebagai ciptaan-Nya.
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawaban.” (QS 17:36)
Keenam Rukun Iman tersebut
diatas wajib diimani secara nyata dan tidak hanya sekedar percaya tanpa
pengetahuan, agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Mengimani petunjuk
yang merupakan jalan lurus yang terang sebagai kebenaran yang datang
dari yang Maha Benar, dan disampaikan melalui penyampai yang benar dan
terpercaya, serta berakhlak mulia, lagipula tidak sedikitpun mereka mengharap
upah ataupun imbalan, adalah kerugian apabila diri ini mengingkarinya.
Bila
diingkari, yaitu amal perbuatan yang tidak didasari oleh keimanan, maka
tunggulah saat bencana dan musibah datang yang merupakan akibat dari
perbuatannya sendiri, dimana dada terasa sesak, sempit, dan menghimpit. Maka
rasa iman itu baru muncul, dimana penyesalan tiada lagi berguna karena dosa dan
balasan kini di hadapan mata dan siap dituai. Karena amal perbuatan seberat
biji sawi pun memiliki balasan.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.
Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat
(balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Padahal tidak usahlah maut di
hadapan mata, perbuatan seperti, mencuri, menipu, korupsi, dan pidana lainnya
akibat tidak adanya rasa iman, maka penjaralah ganjarannya. Itulah kehinaan
disebabkan menuruti hawa nafsunya. Itu pula karena belum terlihat oleh hatinya
segala yang gaib, termasuk akibat atau balasan dari
perbuatan. Bagaimana mungkin, bila sedang haus, kita bisa mengimani (meyakini)
bahwa dengan minum maka hauspun akan terobati, tetapi tidak dapat mengimani
atau meyakini perbuatan buruk yang kelak akan mengakibatkan keburukan pula bagi
dirinya sendiri? Bukan hati yang buta, akan tetapi hawa nafsu (diri) yang
membabi-buta, tiada perduli kepada hari kemudian yaitu penjara akibatnya, dan kadar
baik-buruk nya
yaitu apa yang dipandang baik hari ini maka kelak pasti akan datang
pasangannya. Seperti datangnya cahaya yang selalu bersamaan diiringi oleh
bayangan gelap-nya.
Betapa
setiap diri kemanusiaan cenderung mengikuti hawa nafsunya, akan tetapi nurani-nya
pun, kelak ketika menghadapi musibah dan bencana, akan mengharapkan petunjuk
dan lindungan dari apa yang dianggapnya sungguh-sungguh berkuasa
termasuk kepada dirinya.
Bab I
Meyakini
ALLAH
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami
lakukan yang demikian itu) Agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
(QS 7:172)
K
|
emanakah seharusnya seluruh keyakinan
mengarah, dan harapan serta daya kekuatan bertumpu, bila selain
kepada Dia yang sesungguhnya mencipta, menguasai, dan kemudian memelihara?
Yaitu yang mencipta segala sesuatu dengan sempurna rancangan dan kejadiannya
yang tanpa cacat, menguasai segala sesuatu dengan sempurna adil dan
bijaksana-Nya, serta memelihara segala sesuatu dengan sempurna kasih dan
sayang-Nya. Dia-lah Cahaya diatas cahaya, yang mencipta segala sesuatu dengan
cahaya-Nya, menetapkan pada kehendak-Nya dan meneranginya dengan petunjuk-Nya,
kemudian memelihara dengan kemurahan dan kasih sayang-Nya yang Maha Adil lagi
Bijaksana. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari-Nya.
Bukan mata yang tak melihat dan
bukan pula hati yang buta, akan tetapi cahaya sejati yang seharusnya
menerangi segala sesuatu tersebut yang belum menyentuh jiwanya. Sehingga
kesempurnaan segala sesuatu tersebut, baik ciptaan-Nya, kuasa-Nya, dan
pemeliharaan-Nya menjadi tak nyata oleh mata dan hatinya terhalang oleh kekotoran-kekotoran
akibat kecintaan yang berlebihan kepada selain-Nya, bukan mata yang tak
melihat, melainkan hatinya yang buta. Jadilah jiwa-nya kehilangan keyakinan.
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Bila cahaya sejati telah
menyentuh jiwa-nya, maka dia telah berada di dalam naungan istana sadar.
Seperti layaknya berada di dalam ruangan yang diterangi cahaya lampu setelah
gelapnya, maka hati dan jiwanya telah memiliki keyakinan, ketenangan, dan
ketentraman, setelah sebelumnya merasa sempit, resah, gundah, serta takut dan
tersesat. Cahaya sejati itulah yang menerangi jiwa-nya hingga mengetahui dan
memahami dengan kesadaran-nya, tentang mana yang baik dan buruk, benar dan
salah, serta menyelamatkan dan menjerumuskan.
Bukan pula hati tak mengetahui
atau menyadari keberadaan dan kuasa mutlak-Nya, akan tetapi kepentingan pengakuan
(ego) dan hawa nafsu-nya jauh lebih kuat mempengaruhi jiwa, menyesatkan
dari petunjuk-Nya dari jalan lurus sesuai kehendak-Nya. Pengakuan (ego) dan
hawa nafsu-nya menjadi lebih kuat yang didorong oleh keinginan dan kebutuhan
yang telah membelenggu kehidupannya. Hal tersebutlah yang semakin menjauhi
dirinya dari cahaya petunjuk Tuhannya, yang seharusnya dapat melihat segala
kebenaran hakiki menuju keselamatan dirinya.
Keadaan seperti itu membuat
pengenalan terhadap Tuhannya menjadi semakin terkikis, semakin tersesatlah
dirinya dari jalan kembali kepada Tuhannya. Padahal kembali kepada
Tuhannya adalah hal yang utama dari setiap tujuan, karena segala sesuatu di
semesta alam ini, termasuk dengan dirinya, adalah berasal dari-Nya dan akan
kembali kepada-Nya. Jangankan menyadari keberadaan Tuhannya, menyadari
keberadaan para aparat (malaikat)-Nya, yang sesungguhnya bersinggungan
langsung dengannya dan sebagai penyampai segala kehendak dan ketetapan-Nya pun tak
pernah terasa apalagi diketahui dan dikenalnya. Ya, aparat Allah yang
sesungguhnya menjaga, membantu, dan membawa petunjuk atas perintah Tuhannya,
inipun menjadi semakin tak dirasa keberadaannya. Lama-kelamaan terkikis dan
hilanglah keyakinan peran mereka terhadap kehidupan kemanusiaan.
Karena di alam, maka diri
kemanusiaan tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena tak terjangkaunya
pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan sedangkan Dia yang
Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin, yang diberi
pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui sebagai Yang Maha Pemberi
(Pemurah), kecuali bila telah diberi pengetahuan yang atas kehendak-Nya?
Sedangkan Dia mutlak meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak
terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar, Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia
menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenal segala
sesuatu, bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang
Maha Tunggal (Allaahu Ahad), agar
setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus menyekutukan kepada selain Dia.
Dia
Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau
wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal
dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang
Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah
diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
tempat keberadaan-Nya.
Dzat atau Wujud Tunggal
Ar Rahman adalah sebutan
Dia untuk dzat atau wujud tunggal-Nya. Wujud-Nya adalah Maha Pemurah
kepada segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dalam pemeliharaan-Nya yang
maha sempurna. Dan segala sesuatu tidak ada yang lepas dari rahmat-Nya.
Dia merahmati seluruhnya
apa-apa yang berada di langit maupun yang berada di bumi dan apa-apa yang
berada diantara keduanya, setiap saat, mengatur dan memeliharanya dengan sangat
sempurna. Begitulah kesibukan-Nya yang sama-sekali tidak tersentuh oleh
kelelahan maupun rasa kantuk untuk merahmati seluruh makhluk (QS 2:255).
Melalui cahaya-Nya (nur Allah)
penciptaan diawali dengan penciptaan para aparat atau malaikat-Nya (nur Cahya),
kemudian semesta alam dengan segala sesuatu isinya, termasuk insan kemanusiaan
(nur Muhammad sebagai perwujudan Dia Yang Maha Terpuji). Dengan demikian
Dia-lah sumber asal segala sesuatu, tetapi segala sesuatu bukanlah Dia. Segala
sesuatu tersebut yang tak terhitung jumlahnya dan bertebaran di semesta alam
ini adalah perwujudan Dia. Akbar di dalam Tunggal-Nya.
Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah) segala
sesuatu secara saling berketerkaitan atau berinteraksi hingga tercapai keseimbangan
yang sempurna yang sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan-Nya
(sunathullah). Itulah mengapa kemurahan-Nya menjadi berhubungan sekali dengan
keadilan-Nya, yaitu menjaga keseimbangan pada setiap rahmat-Nya, baik
itu menjaga keseimbangan dalam mencari rizki, kehidupan sosial, dan pula
menjaga keseimbangan alam sebagai tempat kehidupan.
Begitu pula kemurahan-Nya
berkaitan dengan kekuasaan-Nya, agar dengan kuasanya rahmat-Nya sampai kepada
seluruh ciptaan-Nya. Dan begitu pula keterkaitan dengan ilmu-Nya, tentu
pengetahuan-Nya haruslah meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya. Begitulah
keterkaitan segala sifat dari Maha Pemurah-Nya, maka Dia adalah Maha
Segala-galanya di dalam ketunggalan-Nya.
Masih begitu banyaknya segala
sesuatu wujud, baik yang nyata terlihat (lahir) maupun yang tak terlihat
(bathin), yang belum diri-diri kemanusiaan ketahui, dan setelah semakin
diketahui maka telah menunggu lagi berikutnya untuk pula diketahui. Jangankan
menentukan berapa banyak jumlah wujud yang belum diketahui, menentukan jumlah
yang sudah diketahui saja pun takkan pernah selesai.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Begitulah
Dia, wujud Sang Maha Pemurah. Segala sesuatu wujud yang berada dan tersebar di
semesta alam ini adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Pemurah, ar
raahman, dan Dia bukan-lah segala sesuatu tersebut. Keterbatasan
diri kemanusiaan-lah yang sesungguhnya menjadi tabir yang menutupi
penglihatan kepada-Nya, sedangkan Dia mengetahui segala sesuatu tanpa batas.
Bagaimana mungkin diri kemanusiaan dapat melihat dan mengetahui Dia yang
sesungguhnya memberi penglihatan dan pengetahuan kepadanya? Kecuali Dia
berkehendak lain kepadanya. Dia-lah yang zhahir dan yang
bathin. Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh
makhluk ciptaan-Nya, dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk
memahami, apalagi dalam hal mendefinisikan Dzat-Nya.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa
yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 2:269)
Allah memang kuasa berkehendak
memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, seperti
diterangkan diawal ayat di atas. Akan tetapi Dia pun menyatakan, hanya kepada
mereka yang mau menggunakan akal-nya itulah maka Allah berkehendak
menganugerahkan hikmah-Nya. Sehingga kehendak-Nya adalah bagi mereka yang
menggunakan akalnya untuk mengambil pelajaran dan menerapkan apa-apa yang
didapat melalui akalnya.
Sekalipun akal kemanusiaan pun
sebagai yang memiliki keterbatasannnya, namun sesungguhnya, akal dan kesadaran
tersebut adalah merupakan yang sedang berkembang menuju kesempurnaannya. Dan
sungguh, keterbatasan pada diri-diri kemanusiaan pun mengalami tingkatan-tingkatan
yang lebih karena berdasarkan sejauh mana penggunaan akal-nya yang terbatas,
apalagi dalam hal mengenal-Nya. Selama dia tak berhenti pada
suatu tingkatan, dan menjadi taqlid tak lagi hendak menggunakan
akal-nya, maka akal-nya akan terus
berkembang kepada tingkatan-tingkatan yang membawa kesadaran-nya kepada
yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Seluruhnya tersebut, yang
sampai kepada diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya adalah karena karunia
kemurahan-Nya untuk seluruh umat kemanusiaan. Lihat dan renungkanlah, segala
sesuatu yang Allah ciptakan, kemudian segala sesuatu tersebut memiliki gerak
atau kehidupannya, sesungguhnya demi kemudahan kehidupan kita, diri-diri
kemanusiaan. Bila rahmat-Nya tersebut ada yang terasa buruk bagi kita,
sesungguhnya adalah karena keterbatasan dan menjadikan karena ulah perbuatan
kita sendiri. Maka, kelak setelah mendekati puncak kesadaran, kita akan
memahaminya bahwa, sesungguhnya hal-hal itupun demi mencapai kebersihan
diri kita sendiri juga. Demi menyucikan kekotoran atas dosa-dosa yang
meliputi jiwa, agar mencapai kesempurnaan akhir pada saat hendak kembali pulang
kepada-Nya, ilayhi raji’un. Subhanallah, sungguh Dia Yang Maha Kasih
Sayang lagi Maha Bijaksana yang bahkan dengan azab-Nya. ternyata adalah karena
Cinta Kasih-Nya hendak menyucikan segala kekotoran dosa makhluk-Nya.
Kita,
sebagai diri-diri kemanusiaan yang merupakan ciptaan-Nya, hanya dapat mengenal
wujud-Nya melalui segala rahmat-Nya. Bila hanya satu atau dua rahmat-Nya,
belumlah tentu cukup untuk dapat mengenal-Nya. Itulah sebabnya Dia selalu
mengingatkan kita agar selalu menggunakan akal dan hati dalam setiap interaksi
dengan sesama makhluk-Nya di alam ini.
Nama Tunggal
“Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar
Rahman (Yang
Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna
(nama-nam terbaik).......” (QS 17:110)
Begitu
banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap penyebutan kepada-Nya, seperti,
ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti allah, dan lain-lainnya
berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian nama-nama terbaik-Nya,
seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain sebagainya. Allah adalah
nama tunggal Tuhan, berasal dari al-ilah (dua suku kata al
dan ilah yang dilebur pengucapannya menjadi Allah).
Kata al yang menunjuk kemutlakkan kata berikutnya, yaitu ilah
(tuhan), sehingga bermakna tuhan yang mutlak. Mutlak sebagai yang
Maha Kuasa, mutlak sebagai Maha Pengasih dan Penyayang, dan Dia sendirilah yang
memberitahukan melalui firman-Nya,
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku,........” (QS 18:14)
Akan tetapi setiap ‘nama’ dan
‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk,
yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara,
mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama
adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti
tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi
membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang sesungguhnya
beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk memudahkan dalam
penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
Di dalam al Qur’an pun begitu
banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya, yang merupakan
nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan sebutan-sebutan kepada
sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung. Maka itulah Dia
menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya, sehingga lebih mudah
dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang merupakan petunjuk-Nya.
Sebuah
nama menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah
karena pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya
sebagai predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya
predikat-nya, maka semakin besar dan agung pula nama-nya.
Predikat Tunggal
Pekerjaan-Nya
yang selalu sibuk mencipta segala sesuatu disetiap waktu, tiada pernah
berhenti dan tiada tersentuh kelelahan, dan tiada pula tersentuh rasa kantuk
(QS 2:255), maka sebutan
Khaliq atau Maha Pencipta adalah sebagai predikat tunggal Tuhan. Dia-lah
pencipta segala sesuatu dari ketiadaan menjadi ada. Dan segala sesuatu selain
Dia adalah ciptaan-Nya, yaitu semesta alam, langit dan bumi serta apa-apa yang
berada diantara keduanya, kemudian menyempurnakan dengan menentukan
kadar-kadarnya (sunathullah) dalam kuasa serta pemeliharaan-Nya.
Segala
sesuatu Allah ciptakan dari cahaya-Nya (nur Allah), dan dengan
cahaya-Nya tersebut yang sebagai bahan baku penciptaan para aparat-Nya yang
disebut malaikat (nur Cahya). Sampai disitulah, Dia yang Maha Tunggal,
kini hanya tinggal memerintah para aparat-Nya untuk mengerjakan apa-apa yang
dikehendaki-Nya (itulah mengapa terkadang pada firman-Nya menggunakan kata “Kami”
yang berarti memerintahkan kepada
para aparat-Nya, yakni para malaikat, untuk mengerjakan apapun kehendak-Nya).
Dan kemudian, dengan memerintahkan para malaikat-Nya, kemudian dibentuk dan
dibangunlah semesta alam beserta segala isinya, yaitu yang memenuhi langit dan
bumi, termasuk diri-diri kemanusiaan sebagai perwujudan yang Maha Terpuji (nur
Muhammad).
Nur atau
cahaya tersebutlah yang sesungguhnya sebagai energi, yang dengan ketetapan dari
setiap kehendak-Nya, yang menggerakkan atau menghidupkan segala
sesuatu (materi) bekerja dalam satu (ke-Tunggal-an) sistem semesta secara
keseluruhan yang begitu akbar, tak terhitung jumlah materi beserta sifatnya
yang tercipta, bahkan termasuk rizki yang berupa makanan-nya demi
kelangsungan kehidupan sistem tersebut.
Semesta alam
ini, bumi dengan jumlah populasi tumbuhan yang mencapai milyaran, populasi
hewan yang mencapai milyaran, dan populasi manusia pun mencapai milyaran. Di
langit pun begitu, bintang yang bertebaran di dalam satu galaksi saja,
populasinya pun mencapai milyaran, sedangkan di langit terdapat milyaran
galaksi. Bayangkanlah betapa luas dan tak terhitungnya isi semesta alam ini.
Suatu predikat Yang Maha Agung-lah penciptanya.
Allah yang menciptakan,
memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam.
Itulah nama atau sebutan predikat tunggal-Nya sebagai Khaliq. Dan
Dia-lah pencipta segala sesuatu yang memenuhi langit dan bumi, termasuk langit
dan bumi itu sendiri sebagai tempat atau alam yang amat teramat luas (semesta
alam).
Af’al Tunggal
Af’al
tunggal-Nya adalah Semesta Alam, sebagai karya
cipta-Nya yang tunggal (QS 21:30), yang merupakan suatu sistem
makro semesta yang saling terkait satu sama lainnya dari setiap keseluruhan
isinya secara sempurna dalam suatu hukum Tuhan, yang disebut sunathullah.
Sehingga tidak sedikitpun sesuatu yang terlihat cacat pada setiap bagiannya,
sekecil apapun itu (QS 67:3).
Tentu pula,
semesta alam ini dipenuhi oleh nur Allah, nur Cahya, dan nur Muhammad sebagai
unsur dasar pembentukan segala sesuatu yang menjadi makhluk-Nya. Bahkan,
makanan berikut sumber-sumber makanan-nya pula, yang dalam ilmu biologi
disebut dengan ‘siklus rantai makanan’, yang merupakan rizki dari Dia
yang Maha Pemurah dan Penyayang. Suatu makhluk yang merupakan rizki makanan
bagi makhluk lainnya, menjadi saling berketergantungan kepada manfaat satu sama
lainnya.
Nur atau
cahaya inilah yang sesungguhnya merupakan energi yang membentuk wujud
atau struktur setiap materi, kemudian menghidupkan-nya, yaitu tumbuh dan
berkembang, bahkan ikut serta membentuk wujud-wujud atau struktur-struktur yang
jauh lebih kompleks dan rumit yaitu makhluk hidup, seperti manusia.
Energi-energi yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai
materi, tetap masih memerlukan cahaya untuk keberlangsungan gerak hidup-nya,
termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Kesemuanya tersebut
adalah merupakan kehendak-Nya dalam sebuah ketetapan (sunathullah). Kelak, di
bab-bab selanjutnya, tentang energi ini akan diuraikan secara bertahap
dan lebih luas lagi.
Segalanya dicipta, dibentuk, kemudian dihidupkan dan menerima
pula segala sesuatunya dalam sistem lindungan dan pemeliharaan-Nya. Tiada yang
luput sedikitpun dari setiap kehendak dan ketetapan Dia yang Maha Kuasa. Adalah
sifat makhluk sebagai yang menerima, sedangkan Dia adalah sebagai
pemberi, yang Maha Pemurah (ar Rahman) dan Maha Adil. Keadilan-Nya lah yang
menciptakan keseimbangan yang sempurna di alam ini.
“...dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan
merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan
adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”. (QS 55:7-9)
Sifat Tunggal
Segala
sesuatu dinamakan berdasarkan sifatnya. Begitupun kepada Dia, akan tetapi
dikarenakan Allah memiliki sifat-sifat yang tak terhitung banyaknya (Akbar),
maka tak ada nama yang sesuai dan layak diberikan untuk segala sifat-Nya.
Sehingga disebut Akbar
sebagai sifat tunggal-Nya agar mencakup keseluruhan sifat-Nya
yang tak terhitung.
Penafsiran
dari beriman kepada Allah adalah lebih untuk mengenal-Nya melalui sifat-sifat
Allah yang mewujud di alam, serta kemudian membuat diri ini tergugah
untuk menggunakan sifat-sifat tersebut kepada setiap amal perbuatannya.
Sehingga terciptalah manusia-manusia ber-ketuhanan yang maha esa, yang berakhlak mulia serta berbudi pekerti
luhur lagi mulia, yaitu perwujudan Allah di bumi sebagai penebar
rahmat-Nya kepada semesta alam, khalifah yang rahmatan lil alamiin.
Pengertian ketuhanan
disini bukan berarti yang ber-tuhan itu adalah tuhan, melainkan perwujudan
dari sifat-sifat Tuhan pada dirinya. Seperti pada pengertian kita kehujanan,
maka bukti-bukti keberadaan hujan ada pada kita, yaitu basah-nya
sebagai salah satu sifat hujan yang membasahi. Dengan demikian, pemahamannya
adalah mewujudkan sifat-sifat Tuhan pada setiap gerak amal perbuatannya yang
jelas bersentuhan dengan apapun selain pula dirinya, sehingga menjadi rahmat
bagi bagi diri dan sesama makhluk Tuhan. Rahmatan
lil ‘aalamiyn.
Akbar-nya sifat-sifat Allah yang tak
terjangkau dengan hitungan dan bilangan-Nya oleh kemanusiaan, dikarenakan
hitungan dan bilangan-Nya pun adalah merupakan makhluk ciptaan-Nya (segala
sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan, pun termasuk nama-nama
dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya adalah makhluk), adalah sebagai
yang menunjukkan bukti keakbaran rahmat dan nikmat Allah yang sesungguhnya,
keseluruhannya dianugerahkan bagi kehidupan kemanusiaan.
Lihatlah dalam kehidupan dunia sehari-hari
disekitar kita, sekalipun dikatakan, orang-orang beriman telah langka, tetapi
norma masihlah hidup diantara mereka, terbukti masih ada kepedulian dan kasih
sayang antar sesama, sekalipun yang sebaliknya pun tetap merajalela. Artinya,
sifa-sifat Allah tetap mewujud di bumi melalui manusia-manusia yang
ber-keimanan berdasarkan tinggi-rendahnya kadar keimanannya.
Dalam teologi
dan metafisika Islam, para ulama membedakan antara Dzat Tuhan dan Sifat
Tuhan yang dinyatakan-Nya melalui wahyu. Di dalam Al Qur’an, Dia
menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha
Pengasih, Yang Maha Pemurah,
Yang Hidup, Yang Maha Kuasa, dan lain-lainnya. Dari
sebutan-sebutan itulah kemanusiaan memahami sifat-sifat Allah yang akbar
(banyak dan tak terhitung), namun Dzat-Nya diluar jangkauan pengetahuan kemanusiaan.
Oleh sebab
itulah, maka para ulama memisahkan antara Dzat Tuhan di satu sisi dengan
Sifat-Sifat Tuhan di sisi yang lain. Dimana Dzat Tuhan sebagai yang bathin (tak
terlihat atau ghaib), dan Sifat-Sifat Tuhan sebagai yang zhahir
(nyata atau lahir) bagi pengetahuan kemanusiaan. Tidak seperti kemanusiaan
memahami yang selain Tuhan, malah kebalikannya. Segala sesuatu selain Tuhan,
dapat dipahaminya melalui wujud dan bentuknya sebagai yang zhahir (nyata atau
lahir)-nya, dan sifat-nya sebagai yang bathin bathin (tak terlihat atau
ghaib). Karena itulah Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang
Bathin.
Secara
ekstensial, tidak ada perbedaan yang dapat memisahkan antara Dzat dan Sifat.
Sekalipun demikian, kemanusiaan memandang adanya perbedaan antara pengampunan
Tuhan dengan siksa-Nya, seolah ada sisi baik dan kejam dari
kuasa-Nya. Padahal pengampunan Tuhan adalah bagi mereka makhluk-Nya yang
berusaha keras memperbaiki kesalahan tanpa mengulanginya kembali, sedangkan siksa-Nya
adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri yang terus hanyut dengan kesalahan
yang berlarut-larut. Seperti itulah hukum atau ketetapan (sunathullah)-Nya yang takkan pernah
berubah.
Marilah kita tinjau dan resapi
dalam-dalam, serta coba memahami makna-makna dari sifat dua puluh Allah
yang telah dianugerahkan kepada seluruh kemanusiaan, sehingga
menyadarkan kita kembali akan keagungan dan kemuliaan Dia, yaitu betapa
hampanya kita bila tanpa anugerah-Nya, serta memanfatkan anugerah tersebut
sebaik-baiknya, juga siap menerima bila anugerah yang telah diberikan dicabut
kembali oleh-Nya.
1.
Sifat Wujud
Dia bersifat Wujud, yaitu ada. Sedangkan ciptaan-Nya,
termasuk manusia ternyata tidak ada. Wujud manusia adalah perwujudan
Allah. Maka, segala sesuatu yang merupakan makhluk-Nya ternyata adalah
perwujudan Allah. Perwujudan Allah adalah wujud semesta alam ini termasuk isi
di dalamnya baik yang nyata terlihat dan yang nyata tak terlihat, tetapi Dia
bukanlah alam itu sendiri.
Bingung?
Tidak usah bingung. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah
pastilah ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah
penulis itu sendiri, tentunya. Perwujudan-Nya yang begitu Akbar meliputi langit
dan bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, menunjukkan ke-tak berhinggaan
termasuk wujud-Nya sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya.
Allah
meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak
terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia,
sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang
yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan
kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang
dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan
sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya
saja. Maka Dia-lah yang Akbar.
Sifat wujud-Nya ini
dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yaitu wujud yang
sesempurna-sempurnanya (muhammad), sebagai perwujudan Dia Yang Maha
Sempurna lagi Maha Terpuji.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang
sesempurna-sempurnanya.” (QS 95:4)
Perwujudan-Nya pada setiap
ciptaan atau makhluk-Nya, merupakan petunjuk, bahwa segala sesuatu ada
setelah Dia adakan atau wujudkan. Sehingga, mengarahkan kepada pemahaman, bahwa
sesungguhnya Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu.
2.
Sifat Qidam
Allah bersifat Qidam, yaitu pendahulu.
Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu.
Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist).
Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia
sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang
ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki
awal dan juga memiliki akhir. Sungguh tak terhitung awal
segala sesuatu, maupun akhir dari segala sesuatu, baik yang nyata
terlihat maupun yang nyata tak terlihat, maka Dia pulalah yang Akbar.
Dia mendahului
segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu
yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala
sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir.
Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya,
bagaimana mungkin ada dari segala sesuatu tersebut yang mengetahui kapan
Dia berakhir. Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dan sifat
sebagai pendahulu inipun dianugerahkan pula kepada setiap diri
kemanusiaan. Ya, sifat inilah yang mendasari diri kemanusiaan selalu
mendahului dengan menganalisa, memahami, kemudian merencanakan segala sesuatu
sebelum melaksanakan niat kehendak-nya untuk mencapai kesempurnaan hasil
yang akan didapatnya. Dengan anugerah sifat inilah manusia menjadi memiliki
peradaban yang selalu berkembang semakin sempurna dari waktu ke waktu.
Segala sesuatu selalu didahului
oleh kehendak serta ketetapan dari setiap perencanaan-Nya. Tiada sesuatupun
yang luput dari pengetahuan-Nya dan berada di dalam kesempurnaan kuasa serta
pemeliharaan-Nya. Dan Dia sebagai pendahulu segala sesuatu, maka menunjukkan
sifat-Nya yang kekal abadi sebagai bukti bahwa segala sesuatu, baik yang
telah ada sebelum ini dan telah tidak ada sebelum ini, maupun kelak yang akan
ada dan kelak akan tiada, adalah didahului oleh keberadaan dan
kehendak-Nya. Dan dengan demikian, maka jelaslah, bahwa Dia-lah yang Kekal
Abadi.
3.
Sifat Baqa
Allah bersifat Baqa, yaitu kekal
abadi. Sedangkan segala sesuatu selain-Nya bersifat fana atau berubah-ubah,
tidak kekal dan sementara atau mengalami kematian (berakhir).
Dia abadi bersama segala sifat-Nya, dan tidak ada yang berubah dari apa-apa
yang telah ditetapkan-Nya.
Kekekalan dan keabadian-Nya mengkerdilkan
segala sesuatu selain Dia. Kerdil dalam segala hal, karena segala hal
tersebut pun ternyata adalah ciptaan-Nya. Kerdil pada setiap makhluk-Nya adalah
bentuk keterbatasan dalam segala hal tersebut. Hidup yang terbatas, kekuasaan
yang terbatas, keadilan yang terbatas, kesabaran yang terbatas, kekuatan yang
terbatas, ilmu yang terbatas, penglihatan dan pendengaran yang terbatas, serta
dalam segala hal makhluk memiliki keterbatasan yang mutlak.
Anugerah-Nya kepada manusia
dari sifat-Nya ini, ialah pada kekalnya jiwa yang dengan amal perbuatan-nya
yang melekat terus di diri kemanusiaan, yang terus terbawa di
kehidupan-kehidupan selanjutnya, baik itu adalah amal perbuatan baik ataupun
amal perbuatan buruk. Kekal sebagai yang mendapat balasan nikmat ataupun
balasan siksa selama adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), yang sesungguhnya
merupakan sarana pemurnian (kesucian) jiwa agar dapat kembali kepada
Tuhannya. Kembali kepada-Nya dalam keadaan bersih dari noda kekotoran selama
bersinggungan dengan kehidupan dunia, karena yang dapat kembali kepada-Nya
hanyalah mereka yang telah suci.
Segala
perwujudan-Nya yang dalam bentuk ciptaan atau makhluk memiliki kekekalan
berdasarkan waktu yang telah ditetapkan-Nya untuk suatu urusan dalam setiap
rancangan semesta-Nya yang Akbar. Sifat Abadi-Nya mengukuhkan
sifat-sifat sebelumnya yaitu sebagai yang wujud dan yang pendahulu. Juga yang
mewujudkan segala bentuk dan sifat kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga Dia berbeda
dengan selain-Nya, yaitu seluruh ciptaan atau makhluk-Nya, termasuk manusia
yang ternyata sesungguhnya fana ternyata tidak ada atau hampa,
karena selalu mengalami perubahan (hadits).
4.
Sifat Mukhalafathul Lil Hawaditsi
Bermakna, Allah berbeda
dengan makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Maka segala sesuatu yang
selain Dia tidak akan dapat menyamai sifat Allah. Dia-lah yang Maha
Tunggal. Tidak ada definisi yang tepat yang dapat ditujukan kepada-Nya, kecuali
apa-apa yang telah diterangkan oleh-Nya sendiri melalui firman-Nya.
Jadi jelaslah bahwa segala
sesuatu selain Dia adalah tidak ada, kosong atau hampa, dan
amat bergantung terhadap semua hal kepada-Nya. Ada karena diwujudkan oleh-Nya,
jangankan hidupnya, matinya saja karena dimatikan oleh-Nya. Tidak sesuatu pun
yang menyamai-Nya, dan segala sesuatu adalah merupakan perwujudan-Nya, yang
juga merupakan ciptaan atau makhluk-Nya tentu amat bergantung kepada-Nya.
Dan sifat berbeda inipun
dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan yang memiliki jiwa dengan
karakteristik yang saling berbeda satu sama lainnya. Sehingga dengan demikian,
timbullah saling berketergantungan dan saling melengkapi satu sama lainnya
dalam keselarasan ekosistem semesta, seperti yang telah ditetapkan dari
kehendak-Nya (sunathullah), Tuhan seluruh alam.
Perbedaan ini memang ada efek
di sisi negatif-nya, namun efek di sisi yang positif-nya jauh lebih besar dan
lebih bermanfaat. Lihatlah seluruh perbedaan yang telah Allah ciptakan dan
tersebar di alam ini. Bila segala sesuatu yang Dia ciptakan dalam bentuk,
ukuran, sifat, gerak, dan warna yang seluruhnya memiliki persamaan, maka apa
yang terjadi. Semua akan terlihat dan terasa monoton dan membosankan.
Dan
Dia yang dengan rahmat-Nya memelihara seluruh segala sesuatu di semesta alam
ini menjadi bergantung dan berharap akan kuasa perlindungan dan
pemeliharaan-Nya disetiap waktu. Juga Dia yang tak pernah lelah dan tidur
memelihara seluruh makhluk-Nya. Dengan demikian, hal tersebut membuktikan Dia
sebagai yang berdiri sendiri atau bersifat mandiri.
5.
Sifat Qiyamuhul Binafsihi
Sifat-Nya yang berdiri
sendiri atau mandiri, dan segala sesuatu selain Dia
bergantung kepada-Nya, yaitu hidup dalam pemeliharaan-Nya yang sangat sempurna.
Dia tidak membutuhkan sesuatu
sekecil atau sebesar apapun, justru kepada Dia-lah segala sesuatu berharap akan
rahmat serta karunia-Nya. Segala sesuatu-lah yang sesungguhnya bergantung
kepada-Nya. Adanya keberadaan segala sesuatu adalah karena kehendak-Nya,
sehingga hanya Dia-lah yang memberikan rahmat pemeliharaan dan perlindungan.
Maka, bagaimana mungkin Dia membutuhkan dari selain-nya, sedangkan selain-Nya
amat berharap atas segala rahmat-Nya.
Dan sifat berbeda inipun
dianugerahkan pula kepada setiap diri kemanusiaan di dalam kehidupannya agar
dapat mandiri berusaha dalam menggapai dan mensyukuri setiap rahmat-Nya
dengan tidak bergantung atau berharap kepada selain Dia, Tuhannya Yang Maha
Pemurah lagi Maha Mandiri sebagai Yang Maha Tunggal.
Tentunya Allah menganugerahkan
sifat inipun dengan menganugerah segala rahmat-Nya yang lain agar
kemandiriannya dapat terwujud, seperti fisik dan kekuatan, akal dan pikiran,
serta kesadaran dan rasa. Yang kesemuanya tersebut merupakan dasar pendukung
bagi fitrah kehidupan setiap diri kemanusiaan agar menjadi khalifah di
bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan
demikian anugerah-Nya itulah yang menjadi petunjuk sebagai bukti, bahwa segala
sesuatu mengarah tertuju hanya kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal sebagai
tempat kembali segala sesuatu.
6.
Sifat Wahdaniyat
Dia-lah yang
bersifat esa atau tunggal, sedangkan yang selain
Dia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia, adalah berbilang
atau jamak, bahkan tak terhitung. Bila dibandingkan, diri-nya bagaikan
setetes dari jumlah tetesan air yang memenuhi lautan di atas permukaan bumi.
Apalagi keberadaannya bila dibandingkan dengan semesta alam raya ini, bagai
titik kecil yang tak terlihat. Dan segala sesuatu di semesta alam raya yang tak
terhitung itu, bersumber atau berawal dari-Nya, serta akan mengarah
kembali pulang kepada-Nya.
Karena di
alam, kemurahan-Nya yang berupa rahmat kebaikan sebagai yang tunggal,
menjadi tak terhitung dan berpasang-pasangan dipahami oleh diri-diri
kemanusiaan. Dipahami sebagai kebaikan dan keburukan, kemudahan dan kesulitan,
terang dan gelap, dan lain sebagainya yang merupakan segala sesuatu yang banyak
tak terhitung dan berpasangan.
Akan tetapi,
janganlah lupa, bahwa sebenarnya, diri ini yang dengan jasadnya meliputi
milyaran sel bersama milyaran kehendak yang berada di bawah pengaruh
dirinya. Adalah yang tunggal pula bersama keakbaran-nya. Sadarilah,
sesungguhnya inipun adalah anugerah ketunggalan yang diberikan kepada setiap
diri kemanusiaan sebagai perwujudan Dia Yang Maha Tunggal di alam dunia.
Tidak hanya
ketunggalan pada wujudnya, tetapi juga dengan ketunggalan kehendak pada
diri-nya, ketunggalan kehendak pada keluarga-nya, ketunggalan kehendak pada
lingkungan atau kelompok-nya, terus kepada yang lebih luas lagi cakupannya sesuai
dengan kapasitas kemampuan dirinya. Kesemuanya untuk mencapai kesempurnaan.
Ketetapan-Nya (sunathullah)
yang menghendaki segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya memiliki kecenderungan
mendapatkan pasangan-nya, untuk menentramkan rasa kebergantungan yang
merupakan fitrah ciptaan atau makhluk kepada penguasa yang menguasainya.
7.
Sifat Qudrat
Sifat-Nya yang berkuasa,
sedangkan bagi makhluk-Nya adalah yang dikuasakan, atau dapat pula diartikan
sebagai yang diberi kuasa oleh-Nya. Dialah Penguasa Sejati, segala sesuatu
selain Dia adalah yang dikuasai-Nya. Kekuasaann-Nya meliputi langit dan bumi,
serta apa-apa yang terdapat diantara keduanya. Dan Dia tiada pernah lengah
terhadap sesuatu, sekecil atau sebesar apapun itu.
Kekuasaan-Nya diiringi keadilan
dan kebijaksanaan sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang serta Maha
Memelihara. Dengan itulah terjaga keseimbangan berdasar ketetapan-Nya
(sunathullah), sebuah keseimbangan semesta ciptaan-Nya.
Dan pada diri kemanusiaan pun
dianugerahkan pula sifat kuasa ini kepadanya sebagai bukti gelar khalifah
di bumi yang diberikan saat hendak mencipta kemanusiaan pertama, yaitu Adam AS.
Tentu sifat kuasa yang dianugerahkan-Nya tidak untuk dipergunakan sebagai yang
merusak dan saling menumpahkan darah (QS 2:30), seperti yang dikhawatirkan para
malaikat.
Sayangnya pula kekhawatiran
para malaikat terhadap dua hal tersebutlah yang justru benar-benar terjadi
selama ini dalam sejarah peradaban kemanusiaan. Keserakahan akibat hawa nafsu
yang mendasari dua perbuatan buruk tersebut adalah, seperti tidak bertanggung
jawabnya pada kerusakan alam akibat dieksploitasi habis-habisan kemudian
ditinggalkan. Tidak bertanggung jawabnya atas kerusakan kehidupan sosial
kemasyarakatan akibat mengejar kebutuhan materi, seperti tumbuh dan berkembangnya
prostitusi, judi, hiburan malam, dan narkoba yang merusak moral kehidupan
kemanusiaan itu sendiri. Juga pada ego diri ataupun kelompok golongan yang demi
kepentingannya, maka menafikan nilai-nilai kemanusiaan, kebaikan dan
kebenaran, yang bahkan dapat berujung kepada saling menumpahkan darah.
Kembali
kepada kesadaran bahwa sifat qudrat (kuasa)-nya sebagai yang
dianugerahkan Tuhannya kepada diri-nya adalah sebagai amanat yang kelak
harus dipertanggung jawabkan, merupakan hal mutlak agar menyadari fitrah-nya
sebagai wakil Tuhan di bumi sebagai khalifah yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
8.
Sifat Iradat
Dia-Lah yang
sesungguhnya memiliki sifat kehendak tehadap segala sesuatu,
sedangkan makhluk-Nya adalah yang diberi kehendak oleh-Nya.
Kehendak-Nya
merupakan suatu ketetapan yang mutlak bagi maupun dengan melalui
makhluk atau ciptaan-Nya. Melalui makhluk-nya, siapapun atau apapun dia, yang
pada saat itu dijadikan alat atau aparat-Nya dalam menyampaikan
kehendak-Nya, baik itu merupakan rahmat sebagai suatu kebaikan, ataupun
azab sebagai suatu keburukan.
Sifat kehendak
ini yang juga dianugerahkan kepada diri-diri kemanusiaan sebagai yang harus
dimurnikan atau disucikan dari kekotoran ego dan hawa nafsunya agar kelak dalam
mewujudkannya tetap berada pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan, sebagai
amanat yang kelak akan dipertanggung jawabkannya.
Sifat kehendak
ini pula ternyata sebagai yang membawa kepada anugerah kepada sifat-sifat
lainnya yang mendukungnya dari mulai penglihatan, pendengaran, hingga petunjuk
ilmu dan rasa (hati) yang membuat kehendak-nya ini menjadi bermanfaat
dan dapat menetapkan dirinya pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Yaitu kehendak-nya
yang merupakan perwujudan dari kehendak Dia Yang Maha Tunggal yang
sesungguhnya merahmati segala sesuatu yang ada pada dirinya maupun yang datang
kepadanya. Bahkan segala sesuatu yang di luar dirinya, baik yang diketahui
maupun yang belum atau tidak diketahuinya, seluruhnya sebagai yang berada di
dalam kehendak-Nya.
Dan segala sesuatu yang
merupakan makhluk-Nya yang berada dalam naungan pemeliharaan-Nya dan berada di
dalam kehendak dengan kuasa dan hukum-Nya (sunathullah), akan saling
menciptakan keseimbangan kehidupan, yaitu kesetimbangan semesta sebagai
ketetapan-Nya yang mutlak. Sehingga segala sesuatu di alam tiada yang lepas
dari pengetahuan dan ilmu-Nya.
9.
Sifat Ilmu
Dia-lah yang
bersifat ilmu, yaitu yang sejatinya pemilik ilmu. Sedangkan
segala sesuatu selain Dia makhluk adalah yang diberi ilmu, atau dapat disebut
pula sebagai keilmuan oleh-Nya. Dan yang selain Dia itu pulalah, yang
jangankan memiliki kepintaran, kebodohan pun tidak akan dimiliki-nya
bila tidak diberikan oleh Tuhannya.
Dan pada
setiap diri kemanusiaan yang diciptakan-Nya dengan kesempurnaan melalui ilmu
yang dianugerahkan-Nya yang membedakan dirinya dengan makhluk lainnya, yaitu
gelar ke-khalifahan kepadanya. Jadi, ilmu tersebut merupakan anugerah berupa
amanat yang kelak harus pula dipertanggung jawabkannya. Ilmu-nya adalah
merupakan ilmu-Nya, yang kelak akan kembali kepada pemilik sejati-Nya tetap
dalam kemurnian dan kesuciannya, tidak terkotori atau terkontaminasi oleh ego
dan hawa nafsunya.
Anugerah inilah yang diberikan
kepada Adam, bapak dari setiap diri kemanusiaan, yang justru menimbulkan
kedengkian sebagian malikat-Nya. Kemudian disebutlah dia iblis, yaitu malaikat
yang membangkang dari perintah Tuhannya (QS 2:30-34). Kedengkiannya itu menjadi
dendam abadi sepanjang masa, sampai hari akhir (kiamat), yang berusaha hendak
menjerumuskan setiap diri kemanusiaan kedalam kesesatan. Namun, dengan rahmat
ilmu inilah manusia, yang bila memanfaatkannya secara maksimal agar tetap dalam
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dapat menghindarkan dirinya dari penyesatan
iblis, dan dapat pula mencapai kesempurnaan-kesempurnaan lainnya dalam
kehidupannya. Yaitu ilmu yang bermanfaat, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
10.
Sifat Hayyat
Allah
bersifat hidup, sehingga hanya Dia-lah yang sejatinya hidup,
sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang menerima atau diberi hidup atau
kehidupan. Dan yang selain Dia pasti mengalami kematian kemudian terurai di
alam. Dan yang selain Dia pula, jangankan kehidupan, kematiannya pun merupakan
atas kehendak dan izin-Nya. Hidup-Nya lah yang menghidupkan segala
sesuatu ciptaan-Nya.
Begitupun pada diri-diri kemanusiaan yang dianugerahi hidup-Nya
bagi kehidupan-nya. Anugerah inipun adalah amanat kepada kemanusiaan sebagai
yang harus dipertanggung jawabkannya kelak. Kehidupan kemanusiaan yang membawa
tugas amanat sebagai wakil Tuhan di muka bumi agar menjadi rahmat bagi sesama
makhluk-Nya di alam. Dengan demikian kematiannya pun tetap melalui
kehendak-Nya, tidak seenaknya mengakhirinya sendiri.
Kehidupannya adalah karena diutusnya aparat-aparat (malaikat)
Allah pembawa hidup kepada seluruh apa-apa yang berada pada tubuh atau
jasad-nya. Mata dapat melihat, telinga dapat mendengar, dan mulut dapat
mengucap. Bahkan kepada hidup-hidup yang lebih halus yang tidak terasa
telah bekerja di dalam jasad, seperti jantung yang berdetak untuk memompa
darah, paru-paru yang mengatur pernafasan dan suplay oksigen, usus yang
mencerna, sampai kepada metabolisme sel-sel yang jumlahnya milyaran, yang
kesemuanya bekerja dalam keseimbangan dalam suatu sisitem kehidupan. Kesemuanya
bukanlah diri kita yang mengatur dan memerintahkan-nya.
Bila disadari, sistem kehidupan yang bekerja di dalam satu tubuh diri
kemanusiaan, seperti dijelaskan di atas, seharusnya dapat berharmonisasi dengan
kehidupan di luar tubuh atau jasad-nya, sehingga terjadi keseimbangannya.
Yaitu, kehidupan yang membawa dan menciptakan kehidupan kepada yang lainnya,
yang tidak merusak kehidupan atau bahkan saling menumpahkan darah. Kehidupan
sebagai khalifah yang merupakan fitrah yang telah ditetapkan oleh-Nya,
yang paling tidak adalah sebagai yang memimpin dirinya tetap berada pada
nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Begitulah kehidupan kemanusiaan sebagai
yang menerima anugerah hidup dari Dia Yang Maha Hidup lagi Yang Maha Pemurah.
Kehidupan
diri-diri kemanusiaan adalah merupakan perwujudan hidup-Nya, karena kemanusiaan
adalah wakil-Nya di alam dunia. Yang mewakili sifat-sifat Dia sebagai Ar
Raahman. Kehidupannya akan menjadi bernilai bila pula memanfaatkan anugerah
lainnya seperti dengan anugerah pendengaran, penglihatan, dan pengucapan.
Dan sungguh
kebanyakan diri-diri kita lalai dari mensyukuri betapa berharganya nilai
kehidupan ini, terutama dengan telah diterimanya pendengaran, penglihatan, dan
pengucapan. Dan baru akan disadarinya kelak dengan penyesalan yang dalam, bila
salah satunya hilang dari dirinya. Apa rasanya mengetahui ada yang perlu
dilihat tetapi matanya buta, atau mengetahui ada yang perlu didengar
tetapi telinganya tuli, dan ada yang perlu diucapkan tetapi mulutnya bisu?
Ingatlah,
sesungguhnya setiap diri kemanusiaan adalah hanya menerima nikmat-Nya,
sama sekali tidak ada yang dimilikinya. Hidup-nya saja karena kehidupan yang
sesungguhnya dianugerahkan Tuhannya. Menghendaki hidup pun tidak. Pernahkah
diri-nya minta dihidupkan? Tentu tidak. Bila demikian mengapa menjadi ada rasa
takut mati? Sedangkan meminta hidup saja pun tak mampu, bila tak digerakkan
oleh Tuhannya.
Apakah juga
pernah meminta nafas, atau meminta udara untuk bernafas? Tentu juga tidak.
Ingatlah kembali ketika terserang sakit flu, saat dada sesak dan hidung
tersumbat. Maka kelegaan bernafas menjadi terasa mahal baginya saat itu.
Renungkanlah, bila melihat orang yang sedang sakit, untuk bernafasnya saja dia
harus membeli oksigen. Begiitulah sesungguhnya nikmat yang telah
dianugerahkan-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Dan kita sebagai diri-diri
kemanusiaan hanya menerima nikmat dari segala rahmat-Nya.
Semua telah Dia berikan, dan
bila pemberian-Nya tersebut dapat hilang dari kita, tentulah itu
disebabkan ulah diri kita sendiri. Bukan Dia yang mencabut pemberian-Nya.
Segala apa yang diberikan Allah kepada diri kemanusiaan adalah hanya rahmat
dari Dia Yang Maha Pemurah (ar raahman), dan rahmat-Nya tersebut
menjadi keburukan adalah karena ulah dirinya sendiri. Sesungguhnya bukanlah
Tuhan yang memberi keburukan, melainkan dirinya sendiri yang telah mengkufuri
nikmat Tuhannya.
11.
Sifat Sama’
Dia bersifat
mendengar, maka segala sesuatu selain Dia dapat mendengar bila
telah diberikan pendengaran oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul
lil hawaditsi), maka Dia mendengar tidak menggunakan telinga, tidak
memerlukan organ-organ pendengaran. Dia mendengar segala sesuatu dengan
cara-Nya sendiri, akan tetapi pendengaran-Nya tiada terbatas dan tidaklah
dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat
mendengar karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha
Mengetahui, dalam hal ini Dia mengetahui melalui dengar-Nya. Dia
mendengar segala sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin
di dalam hati. Dia mendengar pula segala suara apa-apa yang berada di kejauhan
langit dan yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Segala
sesuatu termasuk dengan diri-diri kemanusiaan dapat mendengar adalah karena
anugerah pemberian dari Dia Yang Maha Pemurah. Pendengaran yang diberikan
kepada manusia adalah memiliki keterbatasan, dikarenakan sifat-sifat lainnya
yang terbatas pula. Dan segala keterbatasan menjadi ada karena di alam, karena
organ-organ pada jasadnya yang membatasi. Dan karena keterbatasannya itupun
maka menjadi rahmat yang perlu disyukurinya. Bayangkanlah seandainya dirinya
yang serba terbatas dapat mendengar segala macam suara. Juga segala macam alat
atau organ, termasuk organ-organ pendengaran yang melekat pada jasad kemanusiaan
adalah merupakan aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang ditugaskan sebagai
penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi terhadap
tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan
Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Harmonisasi
terhadap yang lainnya, maksudnya adalah, daun telinga yang menerima informasi
suara yang sebagai gelombang energi yang menggetarkan gendang
telinganya, kemudian getaran-getaran tersebut disalurkan melalui sistem
saraf untuk dibawa ke otak untuk diolah sebagai data-data informasi.
Sementara, reaksi balik otaknya menunggu perintah dari hati-nya yang
mengelola dan mengatur berdasarkan data-data informasi yang tertanam di
otaknya.
Hati yang
sedang gelisah takkan dapat mengelola segala informasi yang masuk tersebut dengan
baik. Begitupula hati yang amat dipengaruhi hawa nafsu (keburukan), maka akan
meresponnya dengan keburukan pula. Begitupun hati yang telah dipenuhi oleh
kesibukan dunia, maka tiada akan merespon yang asing dari dunia-nya,
seperti informasi tentang akhirat. Dengan berjalan kehidupan-nya, tanpa
disadari, sebenarnya adalah usaha melatih keharmonisan organ-organ
tersebut melalui pengalaman-pengalamannya.
Mensyukuri anugerah pendengaran
ini dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi lebih
peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara
maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah
tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
12.
Sifat Bashar
Dia bersifat
melihat, maka segala sesuatu selain Dia, dapat melihat bila telah
diberikan anugerah penglihatan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul
lil hawaditsi), maka Dia melihat tidak menggunakan mata, tidak memerlukan
organ-organ penglihatan. Dia melihat segala sesuatu dengan cara-Nya sendiri,
akan tetapi penglihatan-Nya tiada terbatas dan tidaklah dibatasi oleh apapun.
Dia bersifat
melihat karena memiliki sifat ilmu, sehingga Dia Maha Mengetahui,
dalam hal ini Dia mengetahui melalui lihat-Nya. Dia melihat segala
sesuatu suara baik yang lahir maupun yang bathin di dalam hati.
Dia melihat pula segala kejadian apa-apa yang berada di kejauhan langit dan
yang berada di dalam dasar kegelapan bumi serta lautan.
Dan segala
macam alat atau organ-organ penglihatan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat
ciptaan-Nya pula. Makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya yang
ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya agar terjadi harmonisasi
terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan
Allah pada diri-diri kemanusiaan.
Bila pada
pendengaran, data informasi yang diterimanya adalah suara, getaran-getaran yang
dihantarkan sistem sarafnya membawa energi gelombang bunyi ke otak, maka pada
penglihatan informasi yang diterimanya adalah bentuk dan warna yang kemudian
disalurkan sarafnya ke otak. Dan tetap dipengaruhi oleh hati untuk mengelola
informasi tersebut.
Sehingga
hati-lah yang sesungguhnya dominan merasakannya yang mempengaruhi pengelolaan
setiap informasi yang masuk tersebut. Seluruh informasi tersebut dirasakan dan
dinilai menjadi baik atau buruk, sehingga yang akan keluar pun tentunya dalam
bentuk kebaikan atau keburukan.
Juga dalam mensyukuri anugerah
inipun, dengan menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya akan membuat hati menjadi
lebih peka dalam menerima setiap data informasi yang untuk dikelolanya secara
maksimal pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, karena menyadari anugerah
tersebut merupakan amanat yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
13.
Sifat Kalaam
Dia bersifat
berbicara, maka segala sesuatu selain Dia, dapat berbicara bila
telah diberikan oleh-Nya. Karena Dia berbeda dengan makhluk (mukhalafathul
lil hawaditsi), maka Dia berbicara
tidak menggunakan mulut, tidak memerlukan organ-organ pengucapan. Dia berbicara
dengan cara-Nya sendiri, akan tetapi pengucapan-Nya tiada terbatas dan tidaklah
dibatasi oleh apapun. Dan Dia-pun tak terbatas hanya kepada mendengar apa-apa
yang diucapkan di dalam hati, sekalipun baru hanya niat, maka telah
diketahui-Nya.
Anugerah ini
adalah salah satu jenis respon yang keluar dari hati-nya melalui
alat-alat atau organ-oragan pengucapan. Dari mulai apa yang telah dikelola
hatinya berdasarkan informasi-informasi
yang telah tertanam di otaknya, yang kemudian disalurkan melalui sistem
sarafnya kepada organ pita suara yang berada dikerongkongan bergerak kepada
lidah dan langit-langit, kemudian keluar dari mulut dengan bibirnya.
Karena
itulah segala ucapan yang keluar dari mulutnya, sesungguhnya, adalah cerminan
apa yang ada di dalam hati. Begitulah pengaruh hati yang amat dominan dalam
setiap gerak kehidupan diri-diri kemanusiaan, yang hendaknya selalu terjaga
dalam kesucian dan kemurniannya. Ucapan bagaikan mata pedang yang siap
mencelakakan orang lain dan juga dirinya sendiri.
Dan segala macam alat
pembicaraan adalah makhluk-makhluk atau aparat-aparat ciptaan-Nya pula, yang
ditugaskan sebagai penyampai perintah-Nya, agar terjadi harmonisasi
terhadap tugas-tugas aparat lainnya, sehingga mewujudlah kesempurnaan ciptaan
Allah pada diri-diri kemanusiaan.
S
|
elamilah urutan makna-makna ketiga-belas dari dua puluh sifat Allah
tersebut, dari mulai wujud yang masih mengandung makna yang sangat luas
pengertiannya, semakin dipersempit atau diperjelas sampai dengan iradat.
Kemudian semakin diperjelas kembali oleh sifat ilmu sampai dengan kalaam.
Sungguh maha sempurna Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya, sekalipun itu
hanyalah penyampaian.
Kemudian
pada ketujuh sifat Allah pada uraian selanjutnya memiliki keunikan, disebabkan,
ternyata adalah pengulangan beberapa sifat-sifat yang diurai sebelumnya, hanya
ditambahkan kata ‘Maha’, sehingga lebih bermakna mutlak dalam
penafsirannya.
Segala macam
sifat-sifat Tuhan tersebut, bahkan yang tak tersebutkan sesungguhnya telah dianugerahkan-Nya
kepada seluruh makhluk ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak dan ketetapan-Nya.
Dan kepada seluruh makhluk-Nya, Allah menganugerahkan sifat-sifat tersebut
sebagai petunjuk atau ilmu dan pengetahuan yang berupa
perintah dan larangan yang suci dari kesalahan,
kekurangan, maupun kecacatan dengan
memerintahkan dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya (yudabiruu
fil ‘amr). Suci dari kesalahan-nya akan ternodai bila diri manusia lebih
memilih hawa nafsu-nya sebagai yang lebih mendominasi dibanding dengan
petunjuk Tuhan-nya, sehingga tatanan atau kadar yang telah ditetapkan Tuhan-nya
dilanggarnya dengan membabi-buta.
Pada
diri-diri kemanusiaan, diperintahkan dari tempat tunggal-Nya, yaitu dari
kalbu atau lubuk hati yang paling dalam, sebagai tempat
yang Maha Halus lagi Maha Pengasih dan Penyayang ter-rasa berada.
Diperintahkan kepada aparat-aparat Allah yang berada pada jasad tubuh manusia,
seperti, akal untuk berfikir, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
hidung untuk mencium bebauan dan bernafas, mulut untuk berbicara atau makan dan
minum, sampai kepada organ-organ tubuh maupun sel-sel pembentuk jaringan,
seperti, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh
jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, dan memberi perintah kepada
paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang
diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi
tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan, maupun perintah-perintah
lainnya yang ternyata bukanlah diri sendiri yang memerintahkan,
melainkan Dia-lah yang Maha Halus dan Bathin-lah yang sesungguhnya tanpa
terasa yang menetapkan kadarnya, memerintahkan, mengatur, kemudian memelihara
setiap urusan pada makhluk ciptaan-Nya.
Bayangkanlah,
bila satu urusan saja Dia perintahkan kepada aparat-Nya untuk ‘libur’,
tak bekerja, maka apa yang terjadi pada tubuh? Bisa dibayangkan apa yang
terjadi pada jasad-nya. Sakit. Sungguh Dia Maha Meliputi segala sesuatu, baik
itu kuasa-Nya, kehendak-Nya, rahmat-Nya, ilmu-Nya, pendengaran-Nya,
penglihatan-Nya, bahkan sampai kepada wujud-Nya.
Mari kembali kepada uraian
sifat-sifat Tuhan selanjutnya, setelah barusan sempat terhenti demi penjelasan
yang terasa begitu penting, agar maknanya dapat menjadi hikmah untuk uraian
selanjutnya yang menjelaskan sifat-sifat yang merupakan hak mutlak Allah
memerintahkan langsung melalui aparat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan yang
telah dipilih-Nya.
14.
Sifat Qadiraan
Sifat Allah yang Maha Kuasa, yaitu sifat kuasa-Nya yang
mutlak yang tiada segala sesuatupun yang dapat menggugat atau bahkan melemahkan
kuasa-Nya. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, makhluk ciptaan-Nya, memiliki kekuasaan
karena diberikan oleh-Nya, yang merupakan perwujudan kekuasaan-Nya di alam. Dia
memiliki kekuasaan mutlak yang tidak terbatas, tidak dibatasi oleh
ruang, tidak pula dibatasi oleh waktu, tidak oleh apa dan siapapun.
Makhluk-Nya
diberikan pula kekuasaan sebagai anugerah atau karunia dari-Nya, akan tetapi
karena di alam, maka kekuasaan yang diterimanya pun amatlah terbatas oleh ruang
dan waktu, serta oleh apa dan siapa. Dia Maha Berkuasa terhadap segala sesuatu,
dan segala kuasa-Nya adalah kebijaksanaan sebagai Yang Maha Memelihara segala
sesuatu makhluk-Nya sebagai keseimbangan semesta yang mutlak di alam.
Dan segala kuasa-Nya mutlak pula didahului oleh kehendak-Nya.
Keterbatasan
kekuasaan yang diberikan secara umum kepada kebanyakan diri-diri
kemanusiaan, akan tetapi secara khusus, ada pula sebagiannya yang diberi kelebihan
kekuasaan dibanding yang lainnya. Kadar atau tingkat kuasanya, dari hanya
menguasai dirinya sendiri, sampai kepada menguasai yang jauh lebih luas,
seperti keluarga, lingkungan, suku, daerah aatu wilayah, sampai bangsa atau
negara. Begitulah Maha Kuasa-Nya Dia
mengatur kehidupan ini agar tercipta keharmonisan dari saling kebergantungan
satu sama lainnya secara sempurna.
Tidaklah
diri-diri kemanusiaan dapat memaksakan secara berlebihan dalam
pengelolaan kekuasaannya menurut sekehendak hatinya. Bila itu terjadi, maka
tunggulah kejatuhannya. Karena begitulah sistem aturan kehidupan
(sunathullah) yang telah ditetapkan-Nya kepada seluruh ciptaan-Nya sebagai
sistem semesta pula, kebanyakan menyebutnya sebagai hukum alam.
Kuasa sebagai wujud sifat
khalifah adalah tetap dalam koridor fitrah kemanusiaan sebagai
perwujudan Dia Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang membawa rahmat Tuhannya
kepada seluruh makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
15.
Sifat Muridhaan
Yaitu sifat Allah yang Maha Kehendak, sedangkan ada pula
diri-diri kemanusiaan diberi kehendak oleh-Nya lebih dibanding yang lainnya.
Pada makhluk pun memiliki kehendak, namun Allah Maha Mengetahui siapa yang
pantas dilebihkan, karena Dia lebih mengetahui yang terbaik bagi
makhluk-Nya berdasarkan keadilan, kebijaksanaan, serta ilmu-Nya.
Diri-diri
kemanusiaan pun memiliki kehendak atau keinginan sebagai anugerah-Nya pula,
namun tidak semua diri kemanusiaan diberi lebih. Ada beberapa yang diberi lebih
dibanding yang lainnya. Sebenarnya hal ini dikarenakan kehendak atau
keinginan-nya tersebut amat dipengaruhi hawa diri-nya atau nafs-nya,
mereka yang dilebihkan adalah mereka yang kehendaknya tidak terkontaminasi oleh
ego dan hawa nafsunya akibat terhanyut oleh megahnya perhiasan dunia.
Bila telah tidak begitu, maka kehendak-nya merupakan kehendak-Nya, yaitu
Dia Yang Maha Berkehendak.
Dilebihkan-Nya kehendak kepada
mereka, sekalipun terkadang diperjalanannya, diri kemanusiaan, dapat pula
terkontaminasi oleh penyesatan iblis sehingga memiliki kesalahan-kesalahan,
akan tetapi hal tersebut merupakan pelatihan sebagai penyaring kesempurnaan
jiwa mereka pula. Ibarat seorang anak yang sedang belajar berjalan mengalami
jatuh bangun, serta kesakitan akibat benturan. Tetapi spirit hendak
menyempurnakan segala geraknya menjadikannya lebih bernilai, sebagai harapan
yang pasti akan terwujud.
“......
Tuhan berfirman,
sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Dia Maha Berkehendak,
dan tidak ada kecacatan ataupun kesalahan sedikitpun dari setiap kehendak-Nya,
karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, dan tidak sesuatupun yang dapat
luput dari pengetahuan-Nya.
Dia Maha Kuasa, maka Dia pun
berkehendak, dan kehendak-Nya pasti selalu diiringi oleh pengetahuan-Nya,
karena itulah setiap kehendak-Nya tersebut menjadi sempurna terwujudnya.
16.
Sifat Alimaan
Segala
sesuatu selain Dia tidak ada yang luput dan selalu berada dalam kuasa
kehendak-Nya, dalam kuasa cipta-Nya, serta dalam kuasa pemeliharaan-Nya. Oleh
sebab itulah Dia bersifat Maha Mengetahui. Yang segala macam
pengetahuan berada dalam ilmu-Nya. Pengetahuan-Nya meliputi segala
sesuatu, baik yang tersebar dilangit dan dibumi tanpa ada yang luput dari
pengetahuan-Nya.
Diri-diri
kemanusiaan, pada dasarnya, selain telah diberi pengetahuan berupa kitab
yang telah tertanam di dalam dada (kitab mubiyn), ternyata masih menerima
juga ilmu yang ditambahkan (dilebihkan dari orang-orang kebanyakan) dengan cara
bertahap melalui petunjuk-Nya sesuai respon kesadaran jiwanya. Beberapa
diberi lebih dibanding kebanyakan karena hatinya telah mengalami kepekaan. Hal
yang mempengaruhi kepekaan hati adalah kekotoran yang melekat dan
menutupi masuknya petunjuk ilmu dari-Nya, semakin banyak kekotoran yang
melekat dan menutupi maka hatinya akan semakin buta, karena kesadarannya
tak dapat merespon akalnya untuk berpikir. Kekotoran hati banyak penyebabnya,
diantaranya adalah pengakuan (ego), hawa nafsu yang tak terkontrol, kebencian,
iri dan dengki, munafik, kejam, taklid buta, dan masih banyak lagi yang lainnya
sebagai hal-hal keburukan.
Sebaliknya,
menjaga hati agar selalu bersih dari kekotoran adalah seperti kaca yang selalu terjaga
kejernihannya, dimana segala macam cahaya yang menerangi sebagai
petunjuk dapat masuk ke dalamnya, sedangkan debu-debu kekotoran yang hendak
ikut masuk terhalang oleh kaca tersebut yang terjaga terus kejernihannya.
Begitulah ilmu yang sebagai petunjuk dapat masuk ke dalam hati yang bersih,
sehingga kesadarannya dapat merespon akalnya untuk berpikir lebih jauh lagi
kepada pemahaman dan hikmah.
Kehidupan dunia (material) yang
menghanyutkan setiap jiwa kemanusiaan juga membawa debu-debu kotoran yang jelas
dapat melekat di hati, sehingga bila hati tak sering dibersihkan maka debu-debu
tersebut akan terus menumpuk dan semakin sulit serta membuat rasa malas untuk
membersihkannya. Dan hatinya pun menjadi terhalang untuk mengetahui segala wujud
bathin yang tak dapat dilihat mata lahirnya.
“.......
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Sungguh banyak ayat yang
mengingatkan kembali betapa pentingnya menjaga kebersihan hati untuk dapat
menerima petunjuk dari-Nya yang berupa ilmu dan pemahaman yang akan terus
datang sebagai rahmat-Nya tanpa pernah habis-habisnya sampai akhir zaman.
“....... Kalau
sekiranya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh keringlah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan
sebanyak itu (lagi).” (QS 18:109)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena, dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS 31:27)
17.
Sifat Hayyaan
Dia-lah Allah yang Maha Hidup.
Segala sesuatu selain Dia diberi kehidupan oleh-Nya. Maka segala sesuatu selain
Dia akan mengalami kematian, yaitu berakhir, kemudian terurai menjadi sesuatu
yang lain, mengalami alam (kehidupan) yang lain. Dan bila tiba saatnya,
maka sesuatu yang lain tersebut berkumpul kembali, siap untuk dibangkitkan
oleh-Nya. Begitulah yang terjadi pada seluruh makhluk atau ciptaan-Nya. Seperti
siklus terjadinya hujan.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali.
Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Pada hal keberadaan kehidupan insan kemanusiaan,
kebanyakan tidak mau mempercayai dan
menganggap tabu hal ini dikarenakan sama saja dengan membenarkan
atau mengakui proses reinkarnasi yang ada pada ajaran Hindu dan Budha.
Padahal banyak dijelaskan didalam firman-Nya yang menyebutkan kebangkitan setelah kematian, tetapi ini dipahami hanya
pada setelah kejadian hari akhir, yang justru membelenggu kedinamisan
pemahaman. Padahal reinkarnasi (siklus kebangkitan) adalah proses siklus
tidur dan bangun dalam skala besar (tidur sama dengan mati, dan bangun sama
dengan hidup). Kelak kita akan mengulas tuntas di keimanan terhadap hari
akhir, dibelakang.
Jangankan hidupnya, bernafas-nya
sajapun karena anugerah yang diberikan-Nya. Dari paru-paru, hidung, mulut,
serta saluran-saluran pernafasannya. Adakah kehendaknya yang memerintahkan
organ-organ tersebut untuk menerima udara bagi pernafasannya? Udaranya saja,
Dia yang menyediakan. Disinilah peran para aparat Allah (malaikat) dalam
menjalankanfungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu
kehidupan kemanusiaan.
Akan menjadi
lebih bernilai lebih lagi bila telah dapat merasakan pendengaran tidak hanya
melalui telinga, merasakan penglihatan tidak hanya melalui mata, dan merasakan
ucap tidak hanya melalui mulut. Begitulah hidup yang telah mencapai tingkat rasa.
Yaitu hati-nya pun telah hidup, hatinya yang melihat, hatinya
yang mendengar, dan hatinya yang mengucap.
Bukan hanya
jasadnya yang hidup, akan tetapi dirinya telah menghidupkan hati-nya
menjadi lebih peka terhadap segala sesuatu. Mereka inilah yang mendapat karunia
dari Tuhannya, sebagai termasuk orang-orang yang dilebihkan dari kebanyakan
diri-diri kemanusiaan pada umumnya. Semakin bersih hatinya maka semakin tinggi
pula kualitas hidupnya.
Bukan lagi
diri-nya yang melihat, mendengar, dan berucap. Melainkan dia melihat melalui
penglihatan-Nya, dia mendengar melalui pendengaran-Nya, dan dia mengucap dengan
pengucapan-Nya. Hatinya yang memberitahukannya, bahwa dirinya diberi kekuatan
untuk dapat melihat, mendengar, dan mengucap oleh kekuatan dan kekuasaan Allah
Yang Maha Pemurah, ar raahman. Tiadalah kekuatan selain dari
kekuatan-Nya, bahkan dalalm berkehendak pun tiadalah dirinya memiliki kekuatan.
Karena Dia-lah yang sesungguhnya berkehendak, bukanlah dirinya sendiri
yang berkehendak melihat, berkehendak mendengar, ataupun berkehendak
mengucap.
Tetapi pengakuan
(ego) begitu kuat menyesatkan, seolah-olah atas kehendaknya sendirilah dia
dapat melihat, mendengar dan mengucap, padahal segala sesuatunya amat
bergantung kepada Tuhannya. Tarikan dan hembusan nafasnya pun dirinya tak
memiliki kuasa atasnya. Dan terhadap fungsi organ di dalam jasad, seperti
jantung yang berdetak dan memompa darah, paru-paru yang menghisap oksigen, usus
yang mencerna, dan lain-lainya bahkan hingga kepada gerak hidup (metabolisme)
sel-sel tubuhnya, yang kesemuanya adalah bukan dia yang menguasai dan
memerintahkan mereka untuk bekerja. Hidupnya adalah karena kehidupan yang
diberikan Tuhannya, sehingga yang dirasakan olehnya adalah dirinya menjadi
dapat melihat, mendengar, dan mengucap yang merupakan nikmat yang belumlah disyukurinya.
Begitulah
Dia Yang Maha Pemurah memberikan nikmat hidup, yang baru hanya apa yang
ada didalam jasadnya. sudah begitu tak terhitung kuasa Dia atas jasad kita,
bahkan diri pun tak sadar atas kekuasaannya tersebut. Setelah sakit datang, dan
terbaring di tempat tidurnya, barulah menyebut nama Tuhannya, merintih dan
meminta pertolongan-Nya.
Kita, diri-diri kemanusiaan,
diberi pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat berharmonisasi
dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya dapat meraskan nikmat-nikmat
lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di langit. Yang dengan pendengaran, penglihatan dan ucap
tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya dalam bentuk rahmatan
lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhan kepada
sesama makhluk-Nya.
18.
Sifat Sami’aan
Tiada
sesuatu bunyi pun yang dapat luput dari
pendengaran Allah, sekalipun yang berada di dalam kedalaman bumi atau lautan
dengan suara pelan atau bahkan berbisik-bisik. Dia-lah yang Maha
Mendengar. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi
pendengaran bila dikehendaki-Nya.
Seperti yang
telah diulas di atas, Dia-lah yang sesungguhnya memiliki pendengaran, sedangkan
makhluk-Nya adalah diberi alat-alat pendengaran yang merupakan aparat-aparat
Allah jua dalam suatu ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah sistem kehidupan di
alam yang dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi
rahmat Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuata-nya untuk dapat
mendengarpun karena diberi kekuatan oleh-Nya.
Adakah diri-nya yang berkuasa
dan yang sesungguhnya memerintahkan organ-organ pendengarannya untuk
bekerja, dari mulai menerima bunyi yang masuk ke telinga sebagai gelombang dan
menyentuh serta menggetarkan gendang telinga kemudian getaran-getaran sebagi
informasi tersebut disalurkan saraf-sarafnya menuju otak, dan
seterus-seterusnya? Begitulah
yang dimaksud dengan peran para aparat Allah (malaikat) dalam
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai yang tunduk bersujud untuk membantu kehidupan
kemanusiaan.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (para malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
“Kemudia
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS 32:9)
Bahkan diri
kita saja tak sanggup memahami bagaimana organ-organ tersebut dapat ada dan
terbentuk. Dari apa dan bagaimana proses pembentukannya saja kita tak
memahaminya, apalagi dapat menguasai atau memerintahkannya. Yang kita punya,
hanya merasakan nikmat-Nya saja tidak lebih.
Terganggunya saja pendengaran
kita, seperti masuknya air ke dalam telinga, maka nikmatnya berkurang dan
membuat resah. Apalagi bila pendengaran tersebut dapat hilang.
19.
Sifat Bashiraan
Tiada
sesuatu kejadian pun yang dapat luput dari penglihatan Allah, sekalipun yang
terjadi di dalam kedalaman bumi atau lautan. Dia-lah yang Maha Melihat.
Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah yang diberi penglihatan bila
dikehendaki-Nya. Dan dikarunikan-Nya kepada beberapa orang yang telah
dikehendaki-Nya berupa kelebihan diantara yang lainnya. Sesungguhnya Dia
Maha Adil lagi Maha Bijaksana dengan kehendak-Nya tersebut.
Begiu pula dalam penglihatan,
Dia-lah yang sesungguhnya memiliki penglihatan, sedangkan makhluk-Nya adalah
diberi alat-alat penglihatan yang merupakan aparat-aparat Allah jua dalam suatu
ketetapan dari kuasa-Nya demi sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang
dapat saling terkait dan berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat
Allah yang luasnya tak terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat melihatpun
karena diberi kekuatan oleh-Nya.
“.......
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Ya, seluruh
indera dan fungsi jasad kita haruslah dalam keseimbangan yang harmonis dengan
hati yang sesungguhnya amat berperan dalam setiap amal perbuatan. Amal
perbuatan adalah cerminan apa yang berada di dalam hati, maka hati yang bersih
dari kotoran yang melekat, akan membuka kesadaran dan akal kita untuk tetapa
berada dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, serta mengeluarkannya dalam
bentuk amal perbuatan yang juga berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran
pula.
“....
Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang
berakal.” (QS 30:28)
Hati yang
jernih, akan membuat akalnya tidak tersesat kepada pemikiran-pemikiran yang
dapat merugikan dirinya sendiri dibelakang hari. Bahkan hatinya dapat lebih
jauh lagi melihat pada hal-hal yang masih tersembunyi (ghaib) yang orang-orang
lain belum melihatnya. Begitulah Allah melebihkan penglihatan beberapa orang
diantara yang lainnya, yaitu kepada mereka yang membersihkan hatinya sehingga
dapat menerima sebanyak-banyak petunjuk dari-Nya. Adakah yang lebih bijaksana
dan adil dari selain-Nya?
20.
Sifat Mutakalimaan
Dia-lah yang Maha Berbicara,
sedangkan segala sesuatu ciptaan atau makhluk-Nya dapat berbicara bila diberi
atau dikaruniakan oleh-Nya. Dia berbicara melalui wujud karya ciptaan-Nya,
ilmu-Nya, kuasa-Nya, dan melalui kehendak-Nya, pemurah-Nya, serta kasih dan
sayang-Nya.
Bahkan, Dia dapat langsung
berbicara kepada makhluk-Nya, siapapun, jika Dia sendiri menghendaki. Apakah
melalui ilham, ide, ataupun melalui sebuah mimpi. Yang juga merupakan demi
sebuah kesempurnaan sistem kehidupan di alam yang dapat saling terkait dan
berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagi rahmat Allah yang luasnya tak
terkira dan terukur. Kekuatanya untuk dapat berbicarapun karena diberi kekuatan
oleh-Nya.
Dia
memberikan karunia pertunjuk kepada mereka, diri-diri kemanusian, yang telah
menyiapkan dirinya untuk menerima petunjuk-Nya. Yaitu mereka yang membersihkan
hatinya dari kekotoran yang menghalangi masuknya cahaya (petunjuk) Allah
serta karunia-karunia Dia yang lainnya.
“Sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat”. (QS 76:2)
Mereka inilah yang dilebihkan
diantara yang lainnya. Begitu banyaknya contoh mereka yang dilebihkan dalam
ucapnya oleh Allah, seperti presiden pertama RI Sukarno sebagai orator ulung,
yang pidato-pidatonya dapat menghinoptis mereka yang mendengarnya, dan
menggugah jutaan rakyatnya bersatu dan berjuang melawan penjajah, padahal
mereka terpisah-terpisah oleh pulau, terpisah-pisah oleh adat istiadat, bahkan
oleh komunikasi yang amat sulit tidak seperti sekarang.
Juga seperti yang lainnya,
mereka yang penyanyi, yang suara alunan lagunya dapat menggugah emosi
pendengarnya bergolak, menangis, atau bahkan berjingkrak-jingkrak tak perduli
lagi telah menghilangkan kesadaran normalnya.
Kurang apalagi Allah
mengkaruniakan segala sifat-Nya kepada diri-diri kemanusiaan. Adakah yang dapat
diingkari? Atau adakah kecacatan dari segala yang diberikan-Nya? Jika diri kita
hendak mencari, dan bila menemukannya, maka kekurangan atau kecacatan tersebut
akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai akibat dari ulahnya sendiri.
Dia-lah
Allah Yang Maha Tunggal, ar raahman, Yang Maha Pemurah, yang
memerintah dari tempat tunggal-Nya kepada seluruh aparat-Nya untuk
menjalankan apa-apa yang menjadi kehendak-Nya.
Tempat Tunggal
Dimanakah
Allah berada? Begitu banyak pula jawaban, tetapi tak pernah dapat memuaskan
hati. Diantaranya adalah, kemana pun menghadap disitulah wajah Allah,
Allah lebih dekat dari urat leher sendiri, Allah bersemayam di arsy,
dan bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Allah berada di langit, tak heran
bila selalu mengadahkan wajahnya ke atas saat berdoa memohon kepada-Nya.
Allah meliputi seluruh
makhluk yang merupakan ciptaan-Nya. Seluruhnya, yaitu segala sesuatu baik nyata
terlihat maupun yang nyata tak terlihat. Betapa luasnya jangkauan pemahaman ini
sehingga seluruh jawaban diatas adalah nyata benarnya. Maka dapat disimpulkan,
bahwa segala sesuatu tersebut, seluruh tempat (alam), sesungguhnya justru yang berada
dalam jangkauan-Nya, bukanlah Allah yang berada di mana, melainkan
segala sesuatu itulah yang berada pada-Nya, ada dalam lindungan, kuasa, dan
pemeliharaan-Nya. Maka ‘Arsy, yang paling tepat sebagai sebutan untuk tempat
tunggal-Nya.
“..... yang bersemayam di atas ‘arsy. Milik-Nya lah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada diantara
keduanya, dan apa yang ada
dibawah tanah.” (QS 20:2-6)
Sekalipun
demikian, sesungguhnya, hanya kepada makhluk-lah seharusnya ditujukan
pertanyaan mengenai dimana keberadaan tempatnya, karena justru makhluk atau
ciptaanlah yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidaklah layak kepada pencipta
dibatasi oleh tempat atau ruang ataupun alam, sejatinya Dia sama sekali tidak
membutuhkan tempat atau ruang sebagai letak-Nya berada. Dia tidak serupa
dengan segala sesuatu. Dikarenakan seluruh makhluk-Nya disebut sebagai semesta
alam, sedangkan Dia meliputi seluruh makhluk, maka jelas segala tempat berada
di dalam Dia. Kelirulah yang mengatakan bahwa Dia berada di dalam
tempat ataupun alam.
Dia yang meliputi segala
sesuatu, maka tempat-tempat yang dinisbatkan kepada-Nya adalah diambil
berdasarkan makna sebutan-sebutan maupun sifat-sifat Allah, seperti Allahu
rabbul alamiin (Allah yang menguasai seluruh ruang atau alam),
Allahu maliikiyawmid-diiyn (Allah yang menguasai seluruh waktu atau
masa), dan Allahu rahmaanur-rahiim (Allah yang menguasai seluruh
rasa). Maka, jelaslah ‘tempat keberadaan’ Allah pun meliputi
segala sesuatu. Padahal Dia tak terbatas oleh ruang, waktu, dan rasa. Lebih
tepatnya, segala sesuatu bertempat pada (arsy)-Nya. Segala tempat adalah
singgasana (dalam kuasa)-Nya.
“Adakah
orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 13:19)
1.
Allaahu Rahmaanur-Rahiim
Dia-lah
Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Rasa kasih dan sayang-Nya
berada di dalam bathin setiap segala sesuatu, makhluk ciptaan-Nya. Kasih
dan sayang-Nya tersebut diwujudkan secara nyata (dzahir) di dunia dan
kelak nanti di akhirat. Itulah mengapa timbul penafsiran bahwa Allah berada
dan bertempat di dalam bathin, yaitu Allaahu arsyis tawaa.
Sesungguhnya, Dia-lah penguasa alam rasa (bathin).
Apakah mata
yang sesungguh-nya melihat, ataukah yang berada di dalam kalbu yang
melihat? Apakah pula telinga yang mendengar, ataukah yang berada di dalam
kalbu yang sesungguhnya mendengar? Juga, apakah sesungguhnya mulut yang
berbicara, ataukah yang berada di dalam kalbu yang berbicara? Kemudian
gabungkanlah, seolah-olah sedang mengobrol bersama teman sambil minum teh,
merokok, dan sesekali menerima sms, kemanakah arah semua itu menuju, baik
pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan? Maka, sesungguhnya yang berada di
dalam kalbulah yang memerintahkan semuanya. Yaitu Dia, Allaahu arsyis
tawaa.
Kalbu atau
bathin yang paling dalam sebagai tempat Dia yang Maha Tunggal secara
halus-lembut bersemayam, adalah tempat yang suci dan bersih, serta yang
memancarkan cahaya kebenaran-Nya yang sebagai pengiring bagi niat, ucap,
dan perbuatan. Akan tetapi, jika, diri telah terbiasa mengikuti hawa-hawa diri
(nafs), maka kepekatannya akan meliputi kalbunya, sehingga cahaya kebenaran-Nya
tidak dapat menembus keluar mengiringi setiap niat, ucap, perbuatannya.
Kalbu berada
di kedalaman hati yang paling dalam, itulah mengapa secara tak sadar kebanyakan
kita mengatakan bahwa, apa yang disuarakan dari hatinya yang paling dalam
adalah sebuah kebenaran paling benar (haqq). Disitulah ar
rahmaanur-rahiim sebagai Yang Maha Pemurah (Kasih) lagi Maha Penyayang
(Sayang) memerintah, akan tetapi terkadang perintahnya dibiaskan oleh hati yang
dipenuhi kekotoran.
Tentu kita
sering mengalami, begitu tersentuhnya hati kita melihat seorang yang sedang
dalam kesusahan (peminta-minta, misalnya) , dan itulah yang pertama timbul di
benak kita sebagai wujud kasih dan sayang dari perwujudan Dia ar
rahmaanur-rahiim, akan tetapi hal tersebut dibiaskan oleh kekotoran
yang melekat di hati kita, maka akal dan pikiran kita menjadi tersesat dan
timbullah was-was (sebagai yang dibisikkan setan), seperti “bila kuberikan,
maka akan berkurang uangku, sedangkan kebutuhanku masih banyak”. Atau juga “ah,
tubuhnya masih kuat untuk bekerja, biarkan saja dia”. Akhirnya, timbullah
keragu-raguan sebagai yang menghasut hati dan menyesatkannya.
Padahal
Allah menganugerahkan penglihatan, pendengaran dan hatinya untuk hal-hal
tersebut, dimana kepekaannya yang pertama timbul, saat hatinya tersentuh
itulah kebenaran yang seharusnya direalisasikannya. Dan realisasi kepekaannya
lah yang menjadikan dirinya sebagai rahmat bagi sesamanya.
Jika diri
ini menyadari dengan mendalam, seharusnya bersyukur telah melihat hal
tersebut, dan menjadikannya sebuah kesempatan untuk melakukan amal perbuatan
baik. Bila uang yang tinggal hanya selembar-selembarnya di saku celana atau
bajunya, maka berkacalah kepada Ibrahim yang hanya memiliki satu-satunya anak
yang baru dikarunikan Tuhannya setelah di masa tuanya kemudian diminta Allah
untuk di-qurbankan kepada-Nya. Kita memang bukan sekelas dengan para nabi,
namun jelas sekali Allah mengisahkan segala kisah para nabi di dalam Al Qur’an
sebagi petunjuk bagi kemanusiaan untuk mengetahui dan mengambil pelajaran agar
memperoleh keselamatan hidup di dalam setiap jalan lurus-Nya. Begitulah
hikmah kisah Ibrahim yang merupakan sebagai pelajaran bagi orang-orang
yang datang kemudian.
Sesungguhnya,
justru yang tinggal satu-satunya itulah yang disebut sebagai sejatinya ber-qurban.
Ya sebuah pengorbanan di dalam ber-qurban kepada Allah dengan mewujudkan kebajikan
kepada sesama makhluk-Nya, sebagai wujud rasa berserah diri (islam)-nya
semata-mata hanya kepada Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Begitulah
Dia Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang yang karena kepekaan hati, maka
keberadaan-Nya begitu terasa di dalam kalbu kita yang paling dalam.
Dekat sekali. Itulah mengapa surga dan neraka kita berada pada rasa yang
amat mempengaruhi jalannya kehidupan kita. Rasa tentram dan damai, senang dan
bahagia, serta kemudahan dan kelapangan adalah surga yang dinikmati rasa
dan tak perlu menunggu semesta alam ini hancur dulu baru merasakannya. Tetapi
di kehidupan ini, sekarang ini pun dapat dirasakan.
Begitupun
panasnya neraka, tidak perlu menunggu kematian dan kemudian menunggu di
alam kubur hingga dibangkitkan di hari kiamat, tetapi dapat dirasakan ketika
dada terasa sempit dan sesak, sedih dan takut, kekurangan dan kesulitan, serta
sakit dan menderita.
Akan tetapi semua itu hanyalah
sebagai perjalanan dalam penyucian dan pemurnian jiwa setiap diri
kemanusiaan yang pada akhirnya menuju kepada-Nya, setelah tercapai kemurnian
dan kesucian jiwanya. Selama masih ada kekotoran yang melekat pada jiwanya,
maka perjalanan tersebut akan terus berulang-ulang, selama langit dan
bumi ini masih ada, atau belum kiamat (QS 11:106-108).
2.
Allaahu Rabbul Alamiin
Dia-lah
Allah semesta alam, yang menciptakan, menguasai, hingga memelihara langit dan
bumi serta segala sesuatu yang terdapat diantara keduanya dengan maha sempurna.
Ini berdasarkan firman-Nya (QS 2:115, kearah manapun menghadap, disitulah wajah Allah). Sehingga timbullah
penafsiran bahwa Allah berada dan meliputi keseluruhan alam.
Tempat-Nya
adalah perwujudan segala macam sifat-Nya di alam, dan sungguh nyata, dan
terasa keberadaan-Nya. Seperti bila kita hadir di baithullah Mekkah, di
masjid-masjid, atau ketika melakukan shalat di rumah. Akan tetapi selamilah,
berdasarkan urutan keterangan tempat di atas yang berdasarkan tingkat
kesakralannya, maka begitu pulalah kita menjaga tingkat kesucian diri kita yang
berdasarkan kesakralan tempat tersebut.
Itulah
keteledoran diri kita yang menganggap Tuhan hanya berada di tempat-tempat yang
memiliki kesucian tingkat tinggi, sehingga bila sedang berada di pasar atau di
pusat perbelanjaan, maka merasa Tuhan pun lengah dari kuasa pengawasan-Nya.
Ataupun di tempat-tempat lainnya yang tidak terasa kehadiran-Nya disitu,
seperti di kantor, di terminal, di tempat-tempat hiburan, dan lain-lainnya.
Kemanakah
Allah beserta aparat-Nya? Allah bukan tidak ada, atau menjauh serta sirna
menghilang. Akan tetapi, tentunya, cahaya kebaikan-Nya akan tertutupi,
menjadi tidak terlihat nyata lagi, bila gelapnya keburukan telah begitu
pekat bertumpuk dan bersatu padu. Maka akibatnya bisa kita tebak, kemungkaran
semakin merajalela dan sulit untuk diperbaiki. Sehingga segala yang haqq
(kebenaran sejati) tertupi oleh banyak dan bersatu padunya kebathilan
(kesesatan). Maka iblis dan bala tentaranya pun tidak perlu lagi berlama-lama
disitu, segeralah dia meninggalkan pasar menuju tempat-tempat yang lebih
dianggap sakral, agar dia memiliki kesibukan yang lebih menantang.
Dan merupakan keteledoran kita
pula bila memahami, bahwa setelah alam dunia ini (kiamat), yaitu alam akhirat,
adalah hanya alam keabadian dan kenikmatan saja bagi mereka yang menerima
nikmat surganya, atau hanya alam keabadian dan azab bagi mereka yang menerima
nerakanya. Alam kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat adalah alam bagian
dari semesta alam, dimana Allah tetap menguasai dan merahmati-nya, tetap dalam
aturan dan sistem kehendak-Nya. Surga dan neraka adalah hari pembalasan dari
amal perbuatan sebelumnya ketika kehidupan sebelum kematiannya, dan jelas-jelas
berada di alam dunia ini juga.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan
seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap
diri yang baik (di dalam surga) akan terancam nerakanya pula dari
keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan
setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan surganya dari
kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak
lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Dari
penjelasan ayat tersebut di atas, para malaikat berdoa agar para penghuni surga
dapat terhindar dari kejahatan. Maka penafsirannya, bahwa di surga pun
masih ada kejahatan yang dapat pula menjerumuskan mereka penghuninya masuk ke
dalam neraka pula. Jadi kehidupan di akhirat setelah kehidupan di dunia adalah
tetap merupakan kehidupan dalam naungan agama. Yaitu kehidupan yang
tidak lepas juga dari amal perbuatan penghuninya dalam hukum agama
(aturan)-Nya, Allaahu Maliikiyawmid-diin.
Jadikanlah dimanapun
keberadaan, adalah sesungguhnya tempat Allah. Yang perlu disucikan
melalui setiap niat dan perbuatan, karena sesungguhnya Dia tidak terbatasi
oleh ruang dan waktu. Dimulailah dari masing-masing diri yang hendak
menyucikan hati dan langkahnya demi suatu tujuan akhir, yaitu keselamatan
hidup di dunia dan di akhirat. Kemudian orang yang dekat akan
mengambil sebagai contoh untuk kebaikan dirinya pula. Demikian seterusnya
kepada yang didekatnya pula, contoh itu tertular, lama kelamaan semakin meluas
sebagai kebaikan semesta. Amin, yaa Rabbal Alaamiiyn.
3.
Allaahu Maliikiyawmid-diiyn
Dia-lah
Allah yang menguasai hari-hari agama yaitu hari-hari yang
diliputi oleh sistem yang mengatur jalannya kehidupan di hari-hari tersebut.
Adalah sifat Allah yang mencipta segala sesuatu, maka mutlak pula Dia menguasai
hari-hari agama, karena sesungguhnya Dia-lah penguasa Ruang dan Waktu
juga Rasa, baik di alam dunia dan alam akhirat sebagai Allaahu rabbul
alamiin (Tuhan pemilik semesta atau seluruh alam). Baik alam dunia,
alam rasa dan alam akhirat yang meliputi kematian, alam kubur (barzhak) atau
hari-hari penantian, hari-hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan.
Kesemuanya tersebut, baik di hari-hari dunia, hari kematian,
hari-hari penantian, hari kebangkitan, dan hari-hari pembalasan
adalah terangkum dalam hari-hari agama, dan Dia pulalah sebagai Penguasa-nya
(maliikiyawmid-diin).
Segala
sesuatu selain Dia, pasti mengalami hari akhir maupun hari kemudian (waktu
setelah hari akhir), yang sering dianggap sepele dikarenakan kebutuhan jasad
yang mendesak. Padahal, yang kemudian itu sangatlah dipengaruhi oleh
yang sebelumnya maupun oleh yang sekarang ini. Sayangnya, bisikan
dan godaan setan ikut berperan untuk semakin mendesakkan kebutuhan-kebutuhan
jasad manusia semakin intens, melupakan dan menutupi gambaran akibat-akibat
yang akan dituainya kelak di kemudian hari. Disamarkan dengan pemandangan indah
yang dibuat iblis agar diri-diri terjerumus oleh segala macam bujuk rayunya.
Segala
sesuatu pada akhirnya adalah kembali kepada-Nya, melalui penghakiman atau
hisab, seperti yang telah dijanjikan dan ditetapkan oleh-Nya. Dan
Dia-lah sebagai Hakim yang Adil, segala sesuatu, sekecil apapun itu, telah
tercatat di dalam catatan-Nya. Penghakiman dan hisab, adalah peristiwa
pada masa transisi sebagai penentu pada kehidupan berikutnya
yaitu dengan mengalami atau merasakan surganya ataukah nerakanya,
yang merupakan akibat dari perbuatan dari masa kehidupan sebelumnya.
Kehidupan berikutnya, atau hari
kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya
sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di
dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang
berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya, disebutkan seperti dalam
firmannya (QS 11:106-108),
bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan
di dunia dengan di akhirat. Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun
berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau lebih
bersifat sebagai yang sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa
juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi.
Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini,
mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya sebagai
pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas.
Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.” (QS 21:104)
Jika
demikian, maka akan timbul pertanyaan, telah berapa kalikah diri ini mengalami siklus
hidup-mati (kebangkitkan)? Seperti layaknya tidur dan bangun di dalam skala
kehidupan sehari-hari.Hal ini akan lebih luas diuraikan pada keimanan terhadap
hari akhir di belakang.
Dan hanya bathin yang telah kosong
dari segala macam hawa nafsu pengakuan (ego), dan memenuhi hati
aatu bathin-nya dengan rasa mengakui
yang akan dapat merasakan Kasih Sayang Allah melalui segala kemurahan-Nya.
Inilah upaya membersihkan kembali hati atau kalbu yang telah dipekati
oleh kotoran-kotoran hawa diri (nafs) yang telah lama melekat, agar cahaya
kebenaran-Nya dapat menembus keluar bersama niat-ucap-perbuatan.
D
|
ari ketiga keterangan diatas yang sedikit mengulas keberadaan ‘tempat’
Allah, maka membuktikan secara logika yang dapat diterima akal pikiran dan
hati, bahwa keberadaan Allah tidaklah dibatasi oleh ruang dan
waktu serta rasa, atau tidak dibatasi dimensi apapun
dalam anggapan makhluk, melainkan di setiap tempat atau alam, di setiap waktu,
dan di setiap rasa. Dia sempurnakan setiap kejadian melalui sifat-Nya sebagai
Pencipta, dan Dia sempurna adil dan bijaksana melalui sifat Kuasa-Nya, serta
sempurna kasih dan sayang melalui sifat-Nya sebagai Pemelihara.
Karena itu, tidaklah mungkin Dia berada hanya pada satu tempat saja,
seperti di langit ke tujuh, atau kemana mata menghadap disitulah wajah Allah,
ataupun di dalam dada orang yang beriman, sehingga hal ini dapat membuat
kesalah pahaman bahwa Dia terbatas hanya di tempat-Nya menetap. Dan Maha Suci
Allah dari segala prasangka makhluk-Nya.
Arsy
tempat Allah bersemayam, mengandung makna yang bathin atau tersembunyi. Bila
Allah sendiri-pun mengatakan bahwa Dia meliputi segala sesuatu, maka penafsiran
tempat keberadaan-Nya, mengisyaratkan bahwa Arsy juga berada di setiap
segala sesuatu. Secara lebih spesifik lagi adalah, tempat atau Arasy-Nya
berada di dalam bathin setiap segala sesuatu makhluk-Nya, yang tentunya juga
paling halus dan bathin yang paling dalam. Pada diri manusia adalah di lubuk
hati yang paling dalam atau biasa disebut kalbu.
Tetapi hal
ini tak memuaskan jiwa, karena kalbu pun tak pernah tepat di ketahui letak
pasnya dimana. Hanya berada di dalam dada sebagai yang bathin. Semua pasti akan
menunjuk ke dalam dada, bila ditanya dimana letak kalbu. Keberadaan-Nya haruslah ada sebagai yang
bathin, juga ada sebagai yang nyata. Karena Dia, sesungguhnya adalah
Yang Dzahir selain juga Yang Bathin.
Keterbatasan
diri kemanusiaan dalam memandang dengan inderanya, mendefinisikan dengan ilmu
atau akalnya, serta merasakan dengan hati dan kalbunya adalah hal yang takkan
pernah terwujud atau kesampaian bila tanpa petunjuk dari-Nya sendiri. Dia hanya
bisa dicapai hanya oleh kesucian yang murni.
Bagaimana
hendak mengetahui dan mengenal-Nya dengan menggunakan indera, ilmu dan akal,
serta hati dan kalbu, sedangkan sesungguhnya semua itu adalah pemberian-Nya?
Bagaimana hendak mengetahui Dia Yang Maha Mengetahui, sedangkan segala
pengetahuan adalah karena pemberian-Nya? Hanya apabila Dia telah berkehendak
kepada siapa yang dikehendakinya mendapatkan petunjuk dari-Nya, maka
tabir-tabir yang menyelimuti pandangan hati dan kalbunya terbuka sedikit demi
sedikit sesuai dengan kemurnian dan kesucian hati atau kalbunya. Kelak kita
akan sampai pula dengan menyadari nyatanya Dia adalah pada ketunggalan wujud-wujud
ciptaan-Nya, sebagai perwujudan Dia Yang Bathin.
Bila diri
hendak memaksakan juga, resapilah, segala usaha sejauh mata memandang, sekeras
apapun akal pikir bekerja, dan sedalam-dalamnya dengan kepekaan kesadaran yang
tajam masuk ke dalam hati atau kalbu, maka akan berujung kepada Dia Yang Maha
Tunggal. Kelak, Allah akan menambahkan petunjuk-Nya secara bertahap untuk
menghilangkan rasa dahaga kita, dan dengan izin-Nya kita akan mengulas keimanan
terhadap yang lainnya, yang semoga dengan itu maka terbukalah sedikit-demi
sedikit hijab yang menutupi hati dan jiwa kita dari memandang Dia.
Semoga ulasan terbatas dari
yang serba terbatas ini, cukup membuka kesadaran kita sebagai makhluk
ciptaan-Nya untuk meneguhkan kembali keimanan atau rasa keyakinan kepada Allah
SWT sebagai Khaliq segala sesuatu, dan menggugah jiwa kita lagi kepada
petunjuk-Nya yang banyak tersebar di semesta alam raya ini sebagai kebenaran
yang hakiki, termasuk apa-apa yang berada di dalam diri-diri kita masing-masing.
Dan sesungguhnya Allah-lah yang membuka dada dan menerangi jiwa dengan
cahaya-Nya agar bertambah teguh hati orang-orang yang telah beriman.
Diri yang ber-Ketuhanan
Kembali kepada uraian
sifat-sifat Allah yang telah diulas. Ketiga belas sifat dari wujud
hingga kalaam, sesungguhnya adalah ‘menunjukkan’ akan ketiadaan diri
kemanusiaan-nya, baik wujudnya hingga sifat-sifat, yang sesungguhnya semua
adalah karunia dari Allah.
Itulah kesadaran awal
dari keimanan. Sadar bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada atau gaib,
bahwa segala sesuatu adalah atas rahmat karunia-Nya, dan tiada satupun yang
sesungguhnya sebagai yang dimiliki-nya, bahkan seluruh apa-apa yang terdapat di
dalam tubuh-jasadnya yang ternyata adalah milik-Nya yang dianugerahkan
kepada-Nya. Bila demikian, mengapa Dia tak terlihat, justru yang terlihat
(wujud) adalah makhluknya?
Apakah sama yang mencipta
dengan yang dicipta? Siapa yang memiliki pengetahuan, yang dicipta
atau yang mencipta? Yang dicipta hanya dapat melihat yang mencipta
melalui perwujudan-Nya. Perwujudan-Nya yaitu ciptaan-Nya sendiri. Itulah makna,
ke arah manapun engkau menghadap disitulah wajah Allah. Karena semua,
seluruh apa-apa yang berada di langit dan di bumi maupun yang berada diantara
keduanya adalah ciptaan-Nya, makhluk-Nya, yaitu perwujudan segala
sifat-Nya. Tidaklah mungkin sesuatu dapat melihat yang mewujudkan-nya.
Bagaimana mungkin Dzat-Nya
dapat dilihat, didefinisikan, dan dibuktikan oleh wujud-wujud yang segala
sesuatunya amat teramat bergantung justru kepada-Nya. Penglihatan-nya,
adalah karena diberi penglihatan oleh-Nya. Pikir dan akal-nya pun karena diberi petunjuk
oleh-Nya. Segala sesuatu yang dirasa sebelumnya adalah sebagai yang
dimilikinya, ternyata adalah anugerah dari-Nya, dan atas kehendak-Nya maka
dirinya pun dapat menerima anugerah tersebut.
Dan cahaya hanya terlihat bila
dalam kegelapan, seperti terlihatnya bintang-bintang di malam hari, tak perlu
dicari lagi, hanya tinggal mendongakkan kepala ke langit yang jernih. Demikian
pun Dia, keberadaan-Nya tak terasa bila jiwa sedang dalam kesenangan akan
kemewahan dunia, tetapi akan terasa dan dibutuhkan bila jiwa sedang dalam
kesempitan. Tetapi yang Allah kehendaki, adalah kepada mereka yang sedang dalam
kesenangan akan kemewahan dunia agar berbagi kepada mereka yang sedang dalam
kesempitan. Berbagi cahaya rahmat-Nya kepada sesama-nya sebagai makhluk.
Dzat Tuhan yang tak terlihat,
bukan sekedar hanya pemahaman bahwa, bila Dia dapat terlihat, maka kehidupan
akan menjadi berbeda. Bila seperti itu, tiada lagi unsur ujian dalam
kehidupan ini. Bagaimana hendak melakukan kesalahan, bila ada polisi
yang siap menjeratnya. Bukan sekedar seperti itu. Perwujudan Tuhan pada
kemanusiaan, intinya, adalah memahami diri-nya pun telah dianugerahkan
sifat-sifat keilahi-an (ketuhanan). Artinya, polisi-nya pun ada
di dalam diri-nya, makna-makna hukum ada di dalam dada-nya, sebagai kitab
yang di dalam dada.
Karena di alam, cahaya pun
selalu hadir bersama bayangannya sebagai kegelapan, dan dengan ke-Maha
Adilan-Nya pun, Dia menyerahkan kepada setiap jiwa untuk dapat memilih
dengan kesadaran yang murni (keikhlasan) segala sesuatu arah tujuan-nya.
Sekalipun tiada lepas Dia menunjuki dengan memberikan rambu-rambu sebagai tanda
yang terang arah keselamatan dari setiap tujuan. Padahal, jiwa hanya dapat
berkeinginan, sedang kekuatannya tetap adalah kekuatan dari-Nya. Kemurnian
(keikhlasan) atau tidaknya lah yang menentukan sesat atau tidaknya
arah tujuan-nya.
Tidaklah salah mereka yang
mencari Dzat Tuhan, karena dengan usaha-nya mereka akan menemui wujud-wujud Dia
di alam sebagai Allahu Akbar, yaitu perwujudan Dia, Allah Yang Maha
Tunggal yang Maha Pemurah, Maha Pencipta, Maha Kuasa, dan yang memerintah
segala kehendak dari tempat tunggal-Nya.
Apakah engkau yang memerintahkan
jantung memompa darah dan kemudian mengalirkannya keseluruh tubuh, ataukah Dia
yang memerintahkan?
Apakah engkau yang memerintahkan
paru-paru menghisap udara, kemudian memisahkan oksigen dari gas lainnya bagi
keperluan pernafasan, ataukah Dia yang memerintahkan?
Dan apakah sesungguhnya engkau
yang mendatangkan pembeli untuk menguntungkan setiap perniagaanmu?
Atau siapakah yang sesungguhnya
menumbuhkan dengan subur tanam-tanaman di ladangmu?
Siapakah pula yang sesungguhnya
melindungimu ketika kamu keluar dari rumah kediamanmu? Ketika berjalan,
bekerja, berkendara, atau bahkan ketika tidur?
Dia-lah Allah yang berkehendak,
mengatur, serta memelihara setiap diri kemanusiaan ataupun makhluk lainnya.
Diri kemanusiaan adalah bentuk wadah kosong sebagai jasadnya yang
telah siap menerima sifat-sifat Allah yang dianugerahkan kepadanya agar saling
berbagi rahmat-Nya kepada sesamanya. Itulah keutamaan menyadari bahwa ‘aku’
(ego) sesungguhnya adalah tiada, dan yang ada hanyalah ‘Aku’
(Dia atau Allah).
Makna laa hawla walaa quwwata illa billahi menyadarkan-nya,
bahwa diri-nya adalah wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji, yang
kekuatan-nya adalah karena kekuatan-Nya. Dengan demikian segala ucap-nya adalah
ucap-Nya, segala niat dan pikir-nya adalah niat dan pikr-Nya, segala gerak
perbuatan-nya adalah gerak-Nya.
Disadari sepenuhnya, bahwa
hidup kehidupan-nya adalah karena dia menerima karunia hidup kehidupan dari Dia
Yang Maha Hidup. Bukanlah karena kesanggupan-nya, maka dia dapat melakukan
shalat, dapat berpuasa, dapat pergi hajji, dapat ber-qurban (berkorban), dapat
bersedekah, dapat berzakat, serta dapat berbagi rezeki atau rahmat.
“Dan tidak
ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS
10:100)
Bukan pula karena kemampuan-nya, maka dia dapat memiliki jabatan
terhormat atau kekuasaan, dapat memiliki harta kekayaan, dapat memiliki
anak-anak yang menyenangkan hati, serta dapat memiliki istri yang cantik.
Bahkan sekalipun semua tersebut dengan rasa ikhlasnya, bukanlah karena
diri-nya, melainkan seluruhnya tersebut adalah hanya karena kemurahan
Tuhannya mengkaruniakan kepada diri-nya. Hanya karena kehendak Tuhannya, hanya
karena kekuasaan Tuhannya, dan hanya karena ketetapan Tuhannya.
Jika rahmat dari setiap
sifat-Nya dicabut oleh Allah dari manusia itu, maka matilah dia. Atau
sebagian kecilnya saja dari nikmat-nikmat tersebut yang dicabut-Nya,
mungkin manusia itu dalam keadaan ‘koma’, tidak dapat berinteraksi
layaknya manusia normal. Atau juga, satu saja rahmat penglihatan-Nya yang
dicabut oleh-Nya, memiliki bola mata tetapi tak dapat melihat. Lebih menyempit
lagi, ditumbuhkannya jamur di lensa hitam matanya, maka itulah penyakit katarak
yang akan mengganggu penglihatan, sehingga pandangannya menjadi buram.
Persempit lagi dengan, saat mencari sesuatu benda yang tidak bisa ditemukan,
bila tidak diberi tahu oleh yang lain bahwa ternyata benda itu berada
didekatnya. Subhanallaahu.
Itulah tahap kesadaran awal
dalam usahanya kembali mengkokohkan iman dan keyakinan-nya dengan memahami
makna ketiga belas sifat Allah di dalam sifat tunggal-Nya.
Kemudian melangkah kepada ketujuh sifat terakhir yang membawa diri
kepada tahap kesadaran berikutnya, yaitu yang justru membangunkan diri dari
kehampaan sebelumnya, agar lebih mengenal diri karena ‘merasa’ selalu disertai
atau bersama Dia yang berkehendak, baik itu dalam ucap, tekad,
perbuatan, janji, diri, ahli, daya, cipta, dan karsa-nya. Bahwa ucap,
adalah ucap Allah, tekad adalah tekad Allah, dan selanjutnya yang tiada lepas
dari kuasa sifat Allah yang mewujud kepada dirinya untuk berbagi rahmat kepada
sekitarnya, yang pula harus dijaga kemurniannya.
Dalam perwujudan-Nya, seorang
diri kemanusiaan yang diberi kepercayaan, atau anugerah, atau derajat
yang sedikit lebih tinggi dari beberapa yang lainnnya, adalah diri kemanusiaan
yang diberi beban amanat sesuai kadar yang telah diamanatkan (kadar ketetapan
Allah). Ia mendapatkan dan merasakan nikmat darinya (derajat tersebut), maka
akibatnya pun membayangi nikmat tersebut. Diperjalanannya, setan-setan
pun membisikkan, iblis pun menggoda, serta hawa diri (nafs)-nya coba-coba ikut
bermain. Maka bayang-bayang nikmatnya pun mewujud sebagai sesuatu yag
dipandang indah memukau.
Hanya
dua hal yang mungkin terjadi (ketetapan Allah), yaitu kehinaan
bila ia justru terhanyut oleh godaan., atau berwujud kemuliaan
bila ia dapat tak tergoda dan malah akan menaiki tangga derajat
berikutnya. Dan bagi mereka yang keteguhannya disebabkan ia tak ingin dijauhi
oleh Dia, maka, cukuplah Allah yang akan melindungi serta memelihara-nya.
Diri seperti itulah orang yang takwa, mengerjakan apa yang diperintah dan
meninggalkan apa yang dilarang Tuhan-nya. Inilah kesadaran jiwa yang telah dan
selalu diiringi cahaya yang menunjukkan perbedaan antara yang terang dan yang
gelap, sehingga tahu arah tujuan. Akan tetapi, janganlah lengah, karena bila
ada cahaya maka disitu pun pasti ada bayangannya, yaitu kegelapan. Tahap ini
adalah masih berada dalam taraf berharap atau bergantung kepada lindungan serta
pemeliharaan-Nya. Berharap rahmat-rahmat terbaik dari setiap karunia-Nya.
“Sungguh, (ayat-ayat) ini adalah peringatan, maka barang siapa menghendaki
tentu dia mengambil
jalan menuju kepada
Tuhannya.
Tetapi kamu tidak mampu, kecuali apabila dikehendaki Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS 76:29-30)
Tahap selanjutnya, dan
merupakan tahap yang terakhir, adalah tahap telah berada dalam taman
nikmat-Nya. Yaitu, ilaihi raji’un,
kembali pulang kepada-Nya, tinggal bersama-Nya. Dimana, ada segala
sesuatu secara bersamaan manunggal
dalam satu keaadaan dan dalam satu wujud, karena Dia-lah, maka segala sesuatu
itu ada bersama dalam wujud Tunggal-Nya.
Segala
yang berpasangan seperti susah-senang, sedih-bahagia, gelap-terang, dan seluruh
pasangan lainnya, tidak akan dapat ikut masuk, sehingga tidak ada kebutuhan
lagi akan semua itu. Bagaimana ada, sedangkan diri-nya pun telah tiada,
sirna menyatu, di tempat itu hanya ada yang Maha Tunggal. Sayangnya,
dikarenakan keterbatasan diri ini untuk dapat menguraikan secara panjang lebar
dan lebih detail, maka menghambat penguraiannya. Jadi biarkanlah setiap
masing-masing diri mengalaminya sendiri secara langsung setelah melalui tahapan
pengokohan keimanan, pemurnian berserah diri, kemudian memelihara
keduanya sebagai ketakwaan yang abadi dalam hidupnya. Insya Allah.
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada rasul
Allah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah
kamu akan mendapatkan kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan
iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.”
(QS 49:7)
Bab II
MEYAKINI PARA MALAIKAT
“Demi
(malikat-malaikat) yang diutus membawa kebaikan, dan yang terbang
dengan kencangnya, yang menyebarkan (rahmat Allah)
seluas-luasnya, dan yang membedakan sejelas-jelasnya (antara yang
benar dan yang salah), dan yang menyampaikan wahyu, untuk menolak alasan-alasan atau
membawa peringatan, sungguh apa yang dijanjikan kepadamu pasti akan
terjadi.”
(QS 77:1-7)
B
|
eriman kepada para malaikat adalah termasuk dalam iman kepada yang ghaib,
yang nyata tidak terlihat. Tetapi, bila telah dada dibuka oleh yang maha
pemberi petunjuk, maka menjadi nyata dan terlihat. Dan mempercayai adanya para
malaikat yang juga merupakan aparat Allah, adalah mempercayai pula
kepada adanya Iblis dan Jin, yang merupakan termasuk kedalam ras
malaikat, juga merupakan bagian dari mengimani kepada segala sesuatu yang ghaib,
yaitu yang tidak dapat diketahui keberadaannya oleh indera kemanusiaan.
Namun bila Allah telah
menghendaki, maka tentulah kemanusiaan akan dapat memahami dan melihat dengan
pandangan mata hatinya yang telah bersih dari segala penyakit hati yang
mengotori dan menghalangi pandangannya terhadap segala hakikat kebenaran.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : sujudlah kamu kepada Adam! Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pada ayat di atas, penafsirannya, malaikat
yang membangkang dari sujud kepada Adam itulah yang disebut iblis. Karena
pada ayat di atas, diterangkan bahwa Allah memerintahkan hanya kepada para
malaikat, namun mengapa iblis sebagai yang enggan? Hal ini menunjukkan, bahwa iblis adalah
bagian dari ras malaikat (para aparat Allah). Jadi, keberadaan iblis
adalah setelah adanya Adam. Sebab sebelum adanya Adam, mereka, para malaikat
adalah makhluk Allah yang paling patuh dan selalu mensucikan nama-Nya (seperti
yang disebutkan penggalan ayat 30 surah al Baqarah “.....
Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.”). Dan semenjak itulah akhirnya iblis berprofesi sebagai penghasut
setiap diri kemanusiaan kepada jalan yang sesat.
Dari penafsiran ayat tersebut, maka
timbullah pemahaman, bahwa tidak patuh-nya iblis terhadap perintah Tuhannya
adalah refleksi dari sifat ketidak patuhan kemanusiaan terhadap
perintah Tuhannya untuk selalu berada di dalam jalan lurus-Nya. Sekalipun
iblis menjadi yang tidak patuh terhadap Tuhannya, tetapi Allah sebagai
Yang Maha Kuasa pun menghendaki hal tersebut terjadi. Sebab Dia mengetahui apa
yang makhluk-Nya tidak ketahui, sebab dengan begitu Allah ingin membuktikan
bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu, termasuk kemanusiaan sebagai
ciptaan-Nya yang amat sempurna.
Juga ditegaskan lagi di QS al Baqarah ayat 102, tentang
setan-setan, yaitu malaikat Harut dan Marut, yang mengajarkan ilmu sihir di
Babilonia.
“..... Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua malaikat di negri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan kepada seorangpun sebelum mengatakan, seungguhnya kami hanya
cobaan
(bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua
malaikat
itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami)
dengan istrinya ...... ” (QS 2:102)
Dalam penciptaan, cahaya-Nya adalah
sebagai unsur dasar segala macam ciptaan setiap makhluk Allah,
termasuk tentunya pada penciptaan malaikat, cahaya selain bersifat menerangkan,
ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang bersifat panas inilah malaikat
pembangkang menjadi ada, dan disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti
kita tahu, malaikat tercipta dari cahaya, sedangkan iblis dan jin dari api.
Cahaya yang berubah menjadi api begitu
banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah
menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar, dan bukan benda
yang terbakar itulah api-nya, bukan pula terang-nya, tetapi nyala-nya.
Jelas kita dapat membedakan antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu
cahaya yang menjadikan terang yang kemanusiaan dapat mengambil manfaat
dengannya sebagai petunjuk, juga cahaya yang menjadikan nyala api
yang membakar sebagai hawa nafsu. Begitulah sifat yang berpasangan dari
cahaya.
Dan keduanya cenderung amat membutuhkan
benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui sehingga bermanfaat keberadaannya.
Semua benda menjadi terlihat ada, karena ada cahaya yang menyentuhnya.
Terangnya pun ada pada benda itu. Akan tetapi, berhati-hati pulalah terhadap panas-nya
cahaya, yang dapat berubah menjadi cahaya yang membakar. Ulasan tentang
malaikat sebagai yang diciptakan dari cahaya melalui pancaran cahaya-Nya, atau
energi dasar bagi penciptaan segala sesuatu akan juga diulas pada Kitab II Bagian
ke-4, Lahir & Bathin secara lebih logis lagi, yang insya Allah, akan
menambah keyakinan kita akan keberadaan dan pengaruh-nya sebagai
aparat Allah yang bertugas membantu kemudahan terhadap kehidupan setiap diri
kemanausiaan.
Keduanya pun dapat bertempat pada
setiap diri kemanusiaan yang sebagai ‘benda’ agar fungsinya lebih
berarti. Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi
menghasut. Yang satunya memberi petunjuk dengan terang-nya, sedangkan
yang satunya lagi menghasut dan membakar dengan panas-nya. Akan tetapi,
ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat bagi setiap diri kemanusiaan. (Lihat
kembali penjelasan sifat Hayyat pada Dua Puluh sifat Tuhan di awal bab
keimanan)
Mengapa iblis membangkang
dan menjadi musuh bagi setiap diri kemanusiaan?
Itulah ketetapan Allah. Dan pada diri
kemanusiaan akan timbul dan bertambah kesempurnaannya dengan adanya iblis yang
membangkang dan menjadi musuh, atau ujian bagi setiap diri kemanusiaan.
Kesempurnaan adalah juga menyerupai kemenangan. Diperlukan suasana
pertandingan (penyaringan) untuk sebuah kemenangan, penonton sebagai suporter
yang membakar semangat dan pelatih sebagai pemberi
petunjuk, serta wasit sebagai hakim yang memiliki hukum pertandingan.
Itulah suasana sportivitas kehidupan dunia sebagai pembentukan insan-insan
berkualitas yang diharapkan Allah sebagai pemilik dan penguasa Hukum yang Maha
Sportif (fair play atau bersih dan adil).
Sebenarnya iblis akan hilang dari
setiap diri kemanusiaan bila jiwa dapat menundukkan dan membuatnya
bersujud, dengan tidak melayani segala bisikkannya dan bila selalu berada di
wilayah yang diterangi cahaya-Nya (lebih dominan pengaruh malaikat-Nya). Allah
menyebut jiwa ini sebagai jiwa yang tenang (nafs al muthma’inah), yang
dapat mengatur atau mengelola hawa nafsu-nya kepada nafsu kebaikan.
Jadi sebenarnya, iblis adalah malaikat juga, dia akan tunduk
patuh dan menjadi cahaya penerang atau petunjuk bagi jiwa, dan dapat pula
membangkang menjadi api yang panas membakar hati, serta bujuk rayunya kepada
api neraka yang menghinakan. Iblis seperti berada dan terbawa dalam aliran
darah, mendorong hawa nafsu amarah maupun hawa nafsu keburukan lainnya,
maka tensi darah pun melonjak naik, jantung berdetak cepat, maka hal tersebut
akan mempengaruhi organ tubuh lainnya tanpa terkendali oleh yang secara halus
Maha Mengendalikan dalam Pemeliharaan-Nya, akibat dari jiwa yang
menjauhi cahaya-Nya. Maka ingatkan-lah terus jiwa dengan selalu menyebut
nama-Nya (dzikr), agar hati menjadi damai, tenang dan tentram.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS 7:27)
Betapa banyak jalan dan cara iblis
membisikkan hasutan-hasutannya agar diri (jiwa) terjerumus pada kehinaan.
Iblis adalah sisi gelap, atau bisa disebut juga sisi negatif hati setiap diri
kemanusiaan. Kekuatannya sama dengan malaikat tetapi intensitas pengaruhnya
terhadap manusia amatlah sering disetiap waktu. Pada awalnya iblis adalah ras
malaikat, tetapi setelah pembangkangannya terhadap perintah Allah tidak mau
sujud (tunduk) kepada Adam as, maka Allah menamakannya iblis.
Tidaklah mungkin malaikat dapat melawan apa yang telah
menjadi kehendak Allah, dan menjadi malaikat pembangkang yang disebut iblis,
akan tetapi hal tersebut terjadi memang karena ketetapan-Nya pula.
Ketetapan-Nya yang berupa qudrat-iradat yang dianugerahkan kepada
kemanusiaan, yaitu memberikan dua pilihan jalan kefasikan atau ketakwaan.
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Jadi mereka yang mengambil jalan kefasikan
adalah mereka yang merubah para malaikat yang seharusnya tunduk sujud
sebagai menjaga dan membantu-nya, menjadi malaikat pembangkang yang
malah menyesatkan yang disebut iblis. Terkadang kemanusiaan tanpa sadar
menjadi terhanyut oleh hawa nafs-nya sendiri, sehingga diri-nya sendirilah yang
menciptakan iblis di dalam dadanya dari yang semula sebagai malaikat yang
tunduk patuh membantu kehidupannya. Kelak, jika hal tersebut dibiarkan,
sehingga dirinya hanyut oleh kesesatan, maka akan kembali kepada dirinya
sendiri sebagai bencana yang akan disesalinya.
Pada dasarnya jiwa cenderung kepada hawa nafsunya, dan juga
berketergantungan kepada petunjuk, tetapi bukan berarti semua nafsunya tidak
dapat diatur atau dikelola dengan benar. Ini dapat dianalogikan kepada bibit
penyakit atau bakteri atau virus yang ada didalam tubuh yang dapat dilemahkan
(imune) sehingga tidak membahayakan atau bahkan malah dibuat sebagai fungsi
kekebalan tubuh. Jiwa yang telah kebal atau imune terhadap godaan dan bujuk
rayu iblis, jin, maupun bisikan setan, bahkan malah menundukkan dan menyuruh-nya
untuk bersujud atau tunduk kepada diri-nya, bahkan menjadi sebagai yang
menjaga dan membantu.
“Allah
mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di
belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat (manfaat kebaikan) melainkan kepada
orang yang diridhai Allah, dan mereka
itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS 21:28)
Bila dicermati dan dipahami secara
mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri-nya
sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir, yaitu hadir
dengan sifat pembangkangan dan kesombongannya yang hendak menjerumuskan diri-nya
kepada kehinaan`. Hadir semakin kuat mencengkeram jiwa kita selalu dalam
pengaruhnya. Bila dirinya tak hendak menundukkan hawa nafsunya, maka iblis-nya
pun akan terus tetap menjadi malaikat pembangkang sebagai yang akan terus
selalu menyesatkan jiwa-nya.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri......” (QS 13:11)
Begitupun dengan merasakan keberadaan
malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada
cahaya-Nya maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi
jiwanya. Jiwa yang secara tak sadar terus menjauhkan diri dari cahaya Tuhannya,
maka justru kegelapannya yang menjadikan dirinya berada dalam kuasa
penyesatan bujuk rayu iblis. Keberadaan hatinya yang gelap tanpa cahaya
Tuhannya, membuat hatinya buta tak lagi dapat melihat kebenaran dari setiap
segala sesuatu.
Sudah pada dasarnya pula setiap diri
kemanusiaan menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi
tidak mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata
memandang. Tetapi sayangnya jiwa tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat
menerapkannya kedalam memahami akan tempat tujuan mana dia seharusnya
bergantung dan mendapatkan petunjuk, perlindungan, dan pemeliharaan yang baik
dan sempurna.
Bila telah dapat menerima dan memahami hal ini, maka bukan hanya
menerima kebaikan dengan senang hati dan bersyukur, akan tetapi (harus)
mau pula menerima keburukan dengan ikhlas berserah diri hanya
kepada-Nya. Layaknya seperti menyambut dengan tanpa beban akan datangnya
malam yang sepi dan membosankan, setelah siang yang melelahkan
tapi mengasyikkan bagai sebuah permainan. Itulah menyadari kebaikan dan
keburukan sebagai satu hal yang berpasangan, layaknya cahaya dan bayangannya.
Pasti ada sisi gelapnya, selain sisi terangnya.
“Allah
memilih para utusan (rasul) dari malaikat dan manusia.........” (QS 22:75)
Sekarang marilah kita sedikit lebih menajamkan pembahasan
tentang wujud malaikat yang sesungguhnya telah lama hadir dan ikut berperan
terhadap kehidupan kita, di dalam diri kita, di sekeliling kita, serta yang
bukan hanya sesekali hadir tanpa kita sadari sebelumnya, tetapi di setiap
denyut nadi serta tarikan dan helaan nafas sebagai gerak hidup atas perintah
dan kehendak Dia Yang Maha Tunggal. Makna aparat Allah, yaitu para
malaikat-Nya, bisa kita ketahui dari setelah menafsirkan setiap firman-Nya yang
berada di dalam al Qur’an, dan Dia selalu menggunakan kata “Kami” untuk
menunjukkan kekuasaan-Nya yang melalui perintah kepada setiap aparat-Nya
untuk membawa suatu urusan (kehendak) Tuhannya. Marilah kita ambil satu atau dua ayat sebagai contoh dalam penafsiran
tentang aparat Allah,
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah
yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar
gembira, mendahului
kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah
yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Makna ayat tersebut, adalah Dia yang
sesungguhnya memerintah kepada malaikat (wujud angin) yang sebagai
aparat-Nya untuk membawa (suatu perintah dari Dia) kabar gembira berupa
rahmat-Nya (hujan) dalam wujud awan mendung kepada daerah atau wilayah
dimana orang-orangnya telah mengharapkan kedatangan hujan itu. Setelah berada
diatas wilayah tersebut, segala wujud partikel-partikel gas (juga para
malaikat) yang berada disitu mengkondensasikan (suatu perintah dari Dia)
awan mendung tersebut agar mengubahnya menjadi titik-titik air yang memiliki
berat dan jatuh menjadi hujan.
Dan dengan hujan (air) itu, Allah
memerintahkan kepada semua aparat-Nya yang berwujud unsur-unsur pendukung
kehidupan di dalam permukaan bumi untuk menyuburkan (suatu perintah dari
Dia) tanah tersebut agar bermanfaat pula terhadap aparat-Nya yang lain seperti
tumbuh-tumbuhan yang juga sebagai penyampai rahmat Allah kepada seluruh
makhluk-Nya. Dan begitulah seterusnya, serta berulang-ulang, sehingga
rahmat-Nya tersebar merata kepada seluruh makhluk-Nya, yang ternyata adalah
aparat-Nya pula. Itulah qudrat dan iradat (kuasa dan kehendak)-Nya melalui para
aparat (malaikat)-Nya, yang pada akhirnya ternyata seluruh makhluknya adalah merupakan
para aparat-Nya sebagai penyampai rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil
‘aalamiiyn.
Sekarang, kita kembalikan pemahaman
tersebut kepada wujud halus malaikat yang berupa cahaya, sebagai penyampai
petunjuk, perintah, kuasa dan kehendak Allah. Segala sesuatu di alam ini pasti tersentuh
cahaya, karena sebelum Allah menciptakan segala sesuatu, Dia menciptakan cahaya
terlebih dahulu. Begitu pulalah yang dikatakan sains ilmu pengetahuan modern.
Cahaya juga adalah energi. Dan setiap energi dapat berubah bentuk menjadi
bentuk energi lainnya karena interaksinya dengan energi atau materi lainnya,
semisal menjadi energi gerak, energi listrik, energi panas, energi bunyi, dan
lainnya. Maka dengan cahaya itulah segala petunjuk, perintah dan kehendak Allah
disampaikan kepada segala sesuatu atau makhluk-Nya. Kelak pada
ulasan-ulasan pada bab-bab berikutnya dapat menambah lagi pemahaman kita
terhadap wujud nyata malaikat, karena ulasan di belakang akan lebih
terfokus pula keterkaitan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang lebih
logis. Memang begitulah penyajiannya secara bertahap agar tak membosankan.
Segala energi, daya atau
kekuatan yang tak terlihat di dalam alam inilah sesungguhnya yang bekerja dan
tunduk atas perintah serta kehendak Dia, Allahu rabbul ‘aalamiiyn, Tuhan
yang mencipta, menguasai, merahmati dan memelihara semesta alam. Kelak,
penjelasan ulasan mengenai energi, daya atau kekuatan aparat-aparat Allah ini,
yang insya Allah dapat membuka dada kita kepada pemahaman-pemahaman yang mengkokohkan
kembali keimanan kepada-Nya.
Itulah nyatanya malaikat yang sebelumnya kita rasa ghaib tak
terlihat oleh mata, dan nyata hanya berdasarkan keyakinan atau iman belaka.
Mungkin pekerjaannya yang tak terlihat, akan tetapi hasil kerjanya, dan makna
dari rentetan proses kejadian dalam pekerjaannya yang menjadi nyata terasa dan
terlihat sehingga menjadi lebih mudah dalam memahami keberadaannya, apalagi
oleh hati yang telah terbuka. Dan hanya Dia-lah sesungguhnya yang membuka dada
kita. Karena para aparat-Nya sangat menanti-nati tugas yang akan diberikan
kepadanya. Subhanallaah.
“Tiada seorangpun diantara kami (malaikat) melainkan
mempunyai kekdudukan tertentu, dan sesungguhnya kami
benar-benar bersaf-saf (antri bergiliran dalam menunaikan perintah Allah).” (QS 37:64-65)
Para malaikat, aparat-aparat
(malaikat) Allah, diklasifikasikan berdasarkan kelompok tempat tugasnya,
seperti minnallaahu yang berada di dalam kalbu atau hati, mii ‘indillahi
yang berada bersama jasad, min dii’anfusihiim yang berada di luar
jasad, dan tandziilal ‘adziizir-rahiim yang turun dan naik membawa
rahmat Tuhan terbaru. Klasifikasi ini adalah sekedar untuk memudahkan
dalam penguraiannya saja agar lebih terarah dari setiap yang dicoba untuk
dipaparkan demi mencapai pemahaman secara bertahap. Insya Allah.
MALAIKAT
Minallahu
“Dan kamu akan melihat malaikat-malaikat berlingkar
di sekeliling ‘Arsy bertasbih
sambil memuji Tuhannya, dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah
dengan adil.......” (QS 39:75)
Dari Allah (langsung di kalbu)
diperintahkan kepada aparat-Nya, yang wilayah kerjanya di dalam kalbu atau
sanubari manusia yang halus dan lembut. Itulah nyatanya yang di dalam sanubari
selalu bersih dan murni karena diperintahkan langsung oleh yang Maha Halus dan
Lembut, ar Rahman, melalui Jibril yang Qudus, kepada hati dan rasa
manusia yang juga pada dasarnya diciptakan halus dan lembut, serta penuh kasih
sayang. Maka semua perbuatan dipandang baik bila didasari maupun yang keluar
dari sanubari, dan disebutlah sebagai niat yang tulus, murni atau ikhlas
yang keluar dari sanubari yang paling dalam.
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
“..... Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa
mu’jizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus.....” (QS 2:253)
Begitulah peran malaikat
ini kepada nabi-nabi, seperti nabi Isa AS dan nabi Muhammad SAW sebagai yang diperkuat
olehnya. Kekuatan Jibril inilah yang menjaga segala ucap dan amal perbuatannya
tetap berada pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dari Tuhannya. Begitulah
contoh manusia-manusia yang sempurna. Maka lihatlah dan renungi pula mereka
yang menolak atau mengingkari, seperti yang diterangkan lanjutan
ayat tersebut di atas.
“.... Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah
berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada
mereka beberapa keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang
beriman
dan ada (pula) diantara mereka yang kafir.....” (QS 2:253)
Tentulah mereka yang saling
bertentangan adalah antara mereka yang beriman dan yang kafir. Mereka yang
beriman adalah mereka yang telah membuka hatinya dari petunjuk Tuhannya
yang dibawa malaikat suci penyampai petunjuk. Sedangkan mereka yang
kafir adalah mereka yang menutup hatinya dari petunjuk Allah, yaitu
mereka yang membiarkan hatinya penuh dengan kekotoran hawa nafsu serta
pengakuan (ego)-nya. Sehingga cahaya (malaikat suci) yang membawa petunjuk tak
dapat masuk menembus hati untuk menerangi akal sehatnya kepada nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran dari Tuhannya. Keduanya adalah pasangan yang saling
bertentangan, yang merasa kepentingannya akan terganggu.
“(Dia-lah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang memiliki ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan membawa perintah-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, supaya dia memeperingatkan tentang Hari
Pertemuan.” (QS 40:15)
Tidak hanya kepada nabi-nabi, begitupun dengan merasakan keberadaan
malaikat Jibril pada diri-diri kemanusiaan, yaitu pada diri-diri yang selalu
menjaga kesadarannya, selalu ingat kepada Tuhannya dalam setiap geraknya.
Keberadaan malikat kudus (suci) ini yang berada di dalam kalbu setiap
diri kemanusiaan ini adalah mutlak, hanya saja perannya sangat dipengaruhi oleh
tingkat kebersihan atau kesucian hati masing-masing diri kemanusiaannya.
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
Bila selalu mengingat Allah dan
bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya maka terangnya (malaikat)
akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya, dan sebagai yang memberi petunjuk pada
setiap gerak amal perbuatannya selalu berada dalam nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran. Jiwa yang secara tak sadar terus menjauhkan diri dari cahaya
Tuhannya, maka justru dia semakin mendekatkan dirinya kepada kesesatan bujuk
rayu iblis.
Akan tetapi, sekalipun kalbu
ini dipenuhi kemurnian, di permukaan luarnya dapat dipenuhi oleh debu-debu
kekotoran, yang membuat niatnya menjadi melenceng akibat hawa-hawa nafs
yang dibisikan setan yang menghasut hendak menjerumuskan, dan mengeluarkannya
menjadi amal perbuatan yang buruk dan tidak murni lagi terkontaminasi oleh hawa
nafsu keinginan serta kebutuhannya yang berlebihan.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu
dengan kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
Semakin
pekatnya kekotoran yang menyelimuti permukaan kalbu tersebut, maka
perintah-perintah dari yang Maha Tunggal yang berupa gelombang-gelombang cahaya
(wujud aparat minallahu, malaikat) tidak dapat menembus keluar membawa
kebenaran dari Tuhannya untuk disampaikan kepada setiap aparat-aparat lainnya
yang bertugas menyampaikan pula. Dan terjadilah ketidak harmonisan suatu urusan,
mal function pada sistem penyampaian. Akibatnya adalah, pola hidup yang
salah kaprah dari setiap pola pikir yang salah. Dan ini dapat terus menyebabkan
kesalahan kepada setiap niat dan perbuatan, seperti efek domino.
Kembali kepada yang Tunggal,
yang terasa berada pada sanubari yang paling dalam, adalah cara terbaik untuk
membenahinya, sambil membersihkan yang pekat menyelimuti kalbu atau hati,
menghindari setiap niat serta perbuatan buruk agar tidak menambah pekat lagi
kalbu kita. Krena kepekatannyalah yang akan menutupi kalbunya, sehingga cahaya
kebenaran-Nya tidak dapat menembus keluar mengiringi setiap niat, ucap, perbuatannya.
“Mereka itulah orang-orang yang hati,
pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang
lalai.” (QS 53:6)
Banyak-banyak mengingat-Nya, shalat, dan berpuasa adalah
cara-cara memperbaiki kembali rusaknya sistem komunikasi antara Allah,
malaikat-Nya, serta jiwa kita yang sangat membutuhkan setiap cahaya petunjuk
dari rahmat-Nya. Jangan biarkan karunia agung-Nya menjadi hal yang
sia-sia, apalagi berubah menjadi keburukan akibat disesatkan oleh iblis
dan pengakuan (ego)-nya. Tidaklah setiap jiwa diciptakan kecuali hanya
untuk sebagai perwujudan-Nya di alam, yaitu sebagai khalifah yang saling
menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama-nya. Itulah fitrah
kemanusiaan-nya.
MALAIKAT
Min Indi‘anfusihiim
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah
yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului
kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah
yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Inilah para malaikat yang
wilayah tugas-nya di bumi, yaitu aparat yang dari sisi luar atau di sekitar
diri kemanusiaan. Para aparat Allah yang tak terhingga jumlahnya tersebut,
sesungguhnya berada di mana-mana tak terhitung jumlahnya, dan secara tak
disadari, telah ikut berperan dan mempengaruhi kepada diri kita dalam ucap,
gerak, serta perbuatan setiap diri kemanusiaan bersama segenap makhluk Allah
lainnya.
“Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di
gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap
buah dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut
lebah tiu, keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang berpikir.” (QS 16:68-69)
Ternyata
tidak hanya pada kenabian di kemanusiaan yang menerima wahyu dari Allah,
melainkan hewan pun dapat menerima wahyu. Bahkan tidak hanya hewan, .... dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang .... (QS 41:12)
Seperti yang dijelaskan ayat
(QS 16:68-69) di atas, pada wujud-wujudnya yang nyata dan dapat kita lihat dan
rasakan dalam kehidupan sehari-hari dan sangat berperan serta mempengaruhi diri
kita. Dan segala wujud yang secara langsung berinteraksi dengan dengan kita,
seperti anak-istri dan orang tua, harta benda, perhiasan, rumah tinggal,
kendaraan, ladang pekerjaan, sesungguhnya adalah ‘aparat Allah’ yang juga
merupakan sebagai sarana dan fasilitas bagi kemudahan kita yang ternyata
bukanlah milik dan dibawah kuasa serta perintah kita,
melainkan hanyalah anugerah dari Dia yang Maha Pemurah untuk dikelola, layaknya
segala organ-organ yang berada di dalam tubuh atau jasad.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasulNya dan (dari) berjihad di
jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS 9:24)
Segalanya
yang tersebut pada ayat di atas, jelaslah atas anugerah Allah, akan tetapi
dapat pula menjadi godaan atau ujian bagi yang menerimanya, saat kecintaan
terhadap-nya melebihi kecintaan kepada-Nya. Makna ayat tersebut
adalah, jangan sampai diri terkecoh dari rasa memiliki yang
sesungguhnya ternyata bukanlah milik kita. Sehingga bila semua itu hilang atau
pergi, tidaklah menjadi penyakit bagi hati dan jiwa.
Dengan begitu,
kita sendirilah yang sesungguhnya ikut serta ‘menciptakan’ surga atau
neraka yang juga diperuntukkan bagi kita sendiri di alam masih dalam kehidupan.
Dalam kehidupannya, diri
kemanusiaan, jelas saling berinteraksi dengan sekitarnya, maka bila telah disadari,
bahwa sesungguhnya kita jelas berhadapan dengan ‘para malaikat’ yang selain
sebagai penyampai perintah dan kehendak Allah, juga merupakan saksi
atas amal perbuatan kita. Keluarga, harta kekayaan, pekerjaan, rumah tinggal,
dan kendaraan yang kesemuanya tersebut aadalah anugerah karunia-Nya, adalah
pula aparat (malaikat) Allah yang dapat mempermudah kehidupan diri kita, akan
tetapi dapat pula menjadi musuh kita dan menjadi malaikat pembangkang (iblis)
kita yang menjerumuskan kita kepada kesesatan dan kehinaan melalui godaan dan
bujuk rayunya yang terlihat indah di pandangan.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Insya Allah, uraian ini dapat
membuka kesadaran kita, sehingga akan lebih bermakna dalam setiap niat, ucap,
dan perbuatan yang sesungguhnya ternyata diperintahkan oleh Dia yang Maha
Tunggal. Dia yang Maha Suci dari kesalahan dan keburukan. Oleh sebab itu
sucikanlah segala niat, ucap, dan perbuatan karena diri kita adalah milik-Nya.
MALAIKAT Min ‘Indillahi
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......” (QS 13:11)
Banyak hal yang disadari bahwa
bukan diri kita yang memerintahkan, seperti halnya telinga bersama perangkatnya
yang dapat mendengar, mata bersama
perangkatnya yang dapat melihat, mulut bersama perangkatnya yang dapat berbicara,
kita hanya rasa ingin-nya, yang didasari pengaruh nafs (jiwa). Hanya
Dia-lah yang memerintahkan kepada aparat-Nya agar bekerja sebagai penyampai
perintah dan kehendak Allah. Aparat-aparat inilah yang merupakan malaikat min
‘indillahi yang wilayah kerjanya di dalam tubuh atau jasad manusia,
termasuk organ-organnya.
“....dan Dia memberi kamu
pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS 16:78)
Dan kepada hal yang lebih halus
lagi, dan kita sadari pula bahwa bukan perintah dari diri kita, seperti
perintah kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari tangan dan bertumbuh
panjangnya rambut. Dan juga pada yang tak terlihat nyata oleh mata kita,
perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan
untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru
untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan
untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses
pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel
tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan
pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh
atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
“.... dan
(malaikat) yang mengatur urusan (dunia).” (QS 79:5)
Yang kita
sadari hanya tinggal sakit atau nikmat-nya saja. Bila sakit, maka
bermohon ampun. Dan bila nikmat, bersyukur. Tetapi tidak menyadari peran
keberadaan aparat-aparat Allah atau para malaikat yang berada di dalam
tubuh atau jasad yang telah bekerja atas suatu perintah dari Dia yang Maha
Halus lagi Maha Kuasa yang berada pada kalbu yang paling dalam.
Biasakanlah mengakrabkan
hati dan jiwa-nya dengan mereka para malaikat (aparat Allah) yang telah
berjasa bekerja di dalam jasad dengan menjadikan mereka sebagai sahabat, dan
jangan biarkan jiwa kita sampai tak mengenal mereka yang sesungguhnya telah
mempermudah kehidupan kita selama ini.
“Allah
mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di
belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat (manfaat kebaikan) melainkan kepada
orang yang diridhai Allah, dan mereka
itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS 21:28)
Bila
demikian, maka tentu sekarang kita telah menyadari seikhlasnya, bahwa tubuh
atau jasad adalah bukanlah milik kita. Dan tentu dengan segala perangkat di dalam
dan di permukaan tubuh yaitu organ-organ tubuh, baik jantung, paru-paru,
hati, lambung, dan lainnya yang kelihatan seperti kuku-kuku, rambut-rambut,
hingga kepada kulit. Yang sesungguhnya semua itu adalah milik-Nya atas
kuasa dan perintah-Nya. Justru diri kita sendirilah yang hanya menerima sakit
dan nikmatnya, yaitu neraka dan surganya. Karena itu sucikanlah
dari kekotoran yang menyebabkan penyakit. Penyakit jasad dan jiwa. Kekotoran
yang menyesatkan jiwa dari jalan lurus-Nya sebagai jalan kembali
kepada-Nya, yaitu tujuan sejati dari segala tujuan.
Makna yang
lebih dalam dan menjadi lebih berkembang dari uraian di atas adalah, atas
rahmat Allah-lah timbul pula ilmu kedokteran untuk mengatasi penyakit pada
tubuh, sehingga tercipta kehidupan yang lebih kompleks untuk berkembangnya
struktur-struktur sosial kehidupan lainnya, yaitu profesi pendukungnya, seperti
dokter, perawat, apoteker, farmasi, sampai kepada administrasinya maupun
keuangannya. Begitupun industri-industri pendukungnya yang ikut bertumbuh.
Akan tetapi, bila kita lebih
dalam lagi mengembalikan pemahaman berfikir kepada kuasa dan kehendak Allah,
lebih ekstrim, semua itu tidak perlu, toh, dokternya pun selalu mengatakan
bahwa kesembuhan ada di tangan Allah. Dengan begitu, maka timbullah
pemahaman atau kesadaran ruhani yang religius, bahwa sesungguhnya rasa
sakit adalah suatu pembersihan diri dari dosa-dosa akibat perbuatan
sebelumnya. Jika harus berobat dan mengeluarkan uang demi kesembuhan, maka
itulah pembersihannya. Dan bila memang sembuh, berarti karena ‘uang’
itulah maka dosa harus dibersihkan. Itulah nyatanya keseimbangan atau
keadilan di alam, hisab.
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan) supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia
Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (QS 33:43)
Ternyata diri bersama wujud
kita pun terdiri dari aparat-aparat (malaikat-malaikat) Allah, utusan yang
menjadikan setiap segala sesuatu menjadi manfaat (rahmat-Nya pula), baik yang
di luar jasad maupun yang berada di dalam jasad akan menjadi bermanfaat,
menjadi rahmat yang banyak untuk kepada yang banyak. Itulah rupa
nikmat yang sesungguhnya. Bahkan secara tak disadari, ternyata diri kita pun ikut
berperan sebagai aparat Allah terhadap pihak lain, yang tetap dalam naungan
kehendak Allah. Dan ternyata menjadi bagian dari seluruh aparat-Nya
dalam suatu sistem semesta yang telah menjadi ketetapan (sunathullah)
dalam kehendak-Nya. Sempurna.
MALAIKAT Tandziilal ‘Adziizir-rahiim
Bermakana aparat yang naik
dan turun (bergerak vertikal) untuk suatu urusan yang atas
perintah dan kehendak Allah. Merekalah yang bekerja sebagai penyampai
cahaya-cahaya yang berada di langit agar sampai di bumi. Bintang-bintang,
matahari, dan bulan adalah sumber-sumber cahaya bagi keseimbangan semesta dan
amat dibutuhkan oleh kehidupan di bumi.
“.....Allah
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar......” [QS 30:8]
Betapa pentingnya urusan itu,
bagi kehidupan di bumi, sampai-sampai para malaikat harus turun naik antara
langit dan bumi, silih berganti setiap saatnya, yang harus ditempuh dengan
kecepatan yang amat tinggi, teramat cepat. Bila cahaya matahari saja yang
paling dekat dengan bumi harus menempuh perjalanan selama 8 menit (asumsi
sains, kecepatan cahaya adalah 300 ribu Km per detik) untuk sampai di permukaan
bumi, tidak bisa dibayangkan bintang-bintang yang jaraknya jutaan kali lipat
dari jarak bumi ke matahari (± 150 juta Km).
“Demi
(malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat)
yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)
“Para
malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam
sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
Perkembangan ciptaan-Nya
bertahap, diawali dengan pancaran cahaya-Nya, kemudian menciptakan Alam,
dengan memisahkan bumi dan langit yang sebelumnya satu kesatuan (QS 21:30), dan
membagi langit menjadi tujuh lapisan, dan mengisi langit yang terdekat dengan
bintang-bintang (QS 41:12). Kemudian
pada penciptaan kehidupan di bumi yang sebelumnya mati, gunung-gunung
yang dipancangkan, ditumbuhkan-Nya dengan air segala jenis tumbuh-tumbuhan,
sebagai bumi yang telah dihamparkan. Kemudian diciptakan-Nya pula hewan-hewan.
Sehingga layaklah kemudian untuk kehidupan manusia, dan akhirnya diciptakanlah
manusia setelah semua persyaratan kehidupan manusia telah ada (QS 15:19-20).
Pikirkanlah, betapa teratur dan
terencananya proses penciptaan antara yang satu dengan yang lainnya, penciptaan
alam (tempat), bintang-bintang dan bumi sebagai tempat tumbuhnya
tumbuh-tumbuhan, kemudian hewan-hewan yang membutuhkan tumbuhan untuk
kehidupannya, kemudian hewan-hewan carnivora, barulah kemudian diciptakan-Nya
manusia yang telah tersediakan segala kebutuhan untuk keberlangsungan hidupnya.
Lihat dan pikirkanlah, seluruh ciptaan-Nya, alam yang tumbuh
berkembang, bintang-bintang yang juga tumbuh berkembang, bumi yang tidak lepas
dari pertumbuhan dan perkembangannya, sekalipun kita sebut mereka itu adalah
benda mati ternyata hidup dan berkembang, mengalami perubahan bentuk, tidak
diam, mati ataupun musnah. Mereka tetaplah ada sekalipun pada suatu (waktu yang
telah ditetapkan-Nya) terurai tetapi akan kembali lagi ke bentuk semula, begitu
terus berulang sebagai siklus ketetapan dari-Nya (sunathullah).
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi serta silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” [QS 3:190-191]
Dan Dia-lah
yang memerintahkan dalam setiap urusan-Nya kepada para aparat-Nya, termasuk
urusan dari langit ke bumi kepada para Malaikat Tandziilal ‘Adziizir-rahiim.
Yang dalam setiap pekerjaannya melibatkan gelombang cahaya yang
merupakan energi, sebagai unsur dasar penciptaan-nya. Energi cahaya yang
dipancarkan membanjiri bumi baik siang maupun malam adalah energi yang baru
untuk menggantikan energi lama yang telah berubah bentuk karena
pemakaian oleh makhluk-makhluk di bumi. Begitulah rahmat Allah kepada penduduk
bumi disetiap detiknya, tanpa pernah berhenti semenjak diciptakannya semesta
alam sampai saat ini, bahkan hingga akhir zaman.
Sungguh
telah lupa mereka yang mengatakan, bahwa rezeki tidak turun dari langit.
Padahal segala sesuatu yang menunjang kehidupan mereka adalah karena limpahan energi
cahaya yang turun dari langit ke bumi sebagai rahmat-Nya. Paling tidak
adalah hujan yang turun dari langit, dan dengan hujan tersebut Allah tumbuhkan
segala sesuatu yang dibutuhkan mereka. Apa jadinya bumi bila tidak turun hujan?
Apakah uang menjadi berharga?
Wujudnya
dalam bentuk energi cahaya yang sesungguhnya adalah malaikat, yaitu
aparat Allah, yang telah memakmurkan kehidupan di bumi. Cahaya sebagai energi
yang memberi kekuatan, dan cahaya sebagai petunjuk kepada ilmu dan
pengetahuan, yang keduanya adalah merupakan rahmat Allah Yang Maha Pemurah.
Dengan cahaya sebagai energi maka kehidupannya menjadi hidup dan
berkembang semakin menyempurnakan. Dan dengan cahaya sebagai petunjuk kepada
ilmu dan pengetahuan, nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, serta membawa kepada
kemudahan dan keselamatan.
Sifat
wujudnya itulah yang dimanfaatkan manusia dalam bentuk energi sebagai sarana
dan fasilitas bagi kemudahan dalam setiap kehidupannya. Limpahan energi
cahaya, baik siang maupun malam, yang sampai ke bumi adalah sebagai rahmat
selain termasuk kepada makhluk-makhluk lainnya yang demi keperluan manusia.
Limpahan energi-energi yang tiada pernah berhenti tersebutlah, yang
sesungguhnya, menjadikan segala sesuatu dapat terus melangsungkan gerak
kehidupannya.
Juga
dimanfaatkan lebih jauh oleh manusia dengan mengubahnya menjadi energi-energi
yang lain, seperti gelombang elektro magnetik untuk telekomunikasi yang
menggunakan satelit, seperti radio, televisi, telephone, hingga jaringan
internet yang telah dapat mencakup dunia dalam waktu yang sangat singkat.
Perkembangan tekhnologi yang ‘menggunakan’ para malaikat tandziilal
‘adziizir-rahiim ini begitu pesat, sayang tak disadari wujud sesungguh-nya.
Yang dengan menyadari itulah, betapa besar peran-nya (malikat) sebagai
wujud bukti kekuasaan Allah terhadap manusia. Maka, Dia dalam setiap firman-Nya
selalu menggunakan kata Kami yang menyatakan peran aparat-aparat Allah untuk
menjalankan kehendak-Nya.
Itulah
sesungguhnya malaikat, sebagai aparat-aparat yang diperintah Allah untuk
tunduk kepada kemanusiaan, menjaga, membawa petunjuk dan memudahkan. Itu
pulalah yang atas rahmat Allah, yang sesungguhnya dikehendaki Allah agar setiap
diri kemanusiaan pun beriman terhadap keberadaan para malaikat-Nya, bukan malah
menjadikannya pembangkang akibat dari kesesatan jiwanya sendiri.
Menjadi teguh imannya karena
tahu dan mengenal wujud-nya, sifat-nya, dan pekerjaan-nya, yang
selalu tidak lepas mengiringi demi kemudahan kita. Agar kita selalu tidak lepas
dari rasa bersyukur atas setiap nikmat dari rahmat Allah yang tiada
henti-hentinya disetiap mili-detiknya kehidupan. Subhanallahu
walhamdulillahu la ilaha ilallahu akbar, wa laa hawlaa wa laa quwwata illa
billahil alliiyyul azhiim.
Diri yang ber-Kemalaikatan
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah. Kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): Janganlah
kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan surga
yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS 41:30)
Tentunya adalah juga manusia
yang telah berketuhanan. Tidaklah sulit mengimani keberadaan malaikat dan
kemudian ikut termasuk menjadi aparat Allah seperti malaikat, bila telah
mengenal Tuhannya. Karena keterkaitan hubungan antara yang mengabdi dan
yang diabdi, yang diperintah dan yang memerintah, serta
yang dipelihara dan yang memelihara. Maka kemudian ternyata telah
dapat mengenali diri-nya sendiri.
Menyadari
keberadaaan dan wujud malaikat yang ternyata telah akrab menyertai kehidupan
manusia dalam setiap pikir, niat, ucap, serta langkah perbuatannya, baik yang
berada di dalam tubuh jasadnya maupun yang di luar dan jauh nun di sana.
Ternyata semua dalam sistem kekuasaan semesta milik Allahu rabbul ‘aalamiyin.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......” (QS 13:11)
Ya, Allah yang sesungguhnya
memerintah, menguasai, melindungi, serta memelihara segala sesuatu, termasuk
diri dan jasadnya, melalui para malaikat-Nya sebagai penyampai setiap perintah
dan kehendak-Nya kepada setiap organ tubuh kemanusiaan-nya, sebagai satu
kesatuan sistem komunikasi individu untuk berinteraksi dengan inter
individu lainnya dalam komunitas yang
lebih global lagi. Sistem Semesta milik yang Maha Tunggal.
Kecenderungan diri kemanusiaan
adalah pada hawa nafs-nya yang lebih banyak membawanya terjerumus pada
kekotoran dan kehinaan, dan pada dasarnya pula diri-nya telah dianugerahi
keilahian (ketuhanan), sebagai hawa illahi, yang disertai para
aparat-Nya (malaikat) sebagai penyeimbang ambisi dari hawa
nafs-nya, agar setiap amal perbuatannya terjaga pada jalan lurus, yaitu
jalan yang menuju keselamatan dan kenikmatan sejati.
Mengambil makna dari kisah
penciptaan Adam As, yang terjerumus oleh bujuk rayu iblis yang menyesatkan
sehingga menimbulkan penyesalan pada diri-nya. Padahal sesungguhnya iblis tidak
akan ada bila telah ditundukkan (bersujud) seperti malaikat
bersujud, yang merupakan asal ras-nya, tunduk dan bersujud.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah
kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali
iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Akan tetapi
karena timbulnya pengakuan (ego) yang mendominasi jiwa, maka iblis pun
akan hadir, karena dia menyukai sifat sombong tersebut. Disaat itulah iblis
lebih mendapat kemudahan dalam usahanya untuk menjerumuskan setiap diri
kemanusiaan. Dengan demikian, sesungguhnya, dirinya sendirilah yang menciptakan
iblis-nya. Tetaplah menjaga malaikat agar tetap sebagai malaikat yang menjaga,
membantu dan menunjukkan diri kita seperti kehendak-Nya, jangan biarkan mereka
berubah menjadi malaikat pembangkang yang disebut iblis (QS
2:34), yang justru sifatnya yang ingin menjerumuskan diri kemanusiaan kepada
kesesatan dan kehinaan.
Dan Allah pun, sesungguhnya
pula, telah menunjuki kepada kemanusiaan cara jitu agar iblis tunduk pada diri
kemanusiaan. Yaitu, keikhlasan
dalam setiap gerak amal perbuatan yang semata karena dan kepada Allah.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Berangkat dari pemahaman
itulah, manusia yang telah berada di dalam ‘istana sadar’, memahami
bahwa sesungguhnya dirinya hampa, bagaikan hanya setitik pasir diantara
pasir-pasir yang terdapat di gurun sahara, yang dapat saja hilang terbang
terbawa angin. Diri yang telah hilang aku-nya (ego) dan lebih menghidupkan
Aku-nya (Allah) di dalam hatinya serta mengeluarkannya kepada segala
bentuk amal perbuatan yang terpuji.
Dirinya yang telah menyadari,
bahwa dirinya tak memeiliki peran sedikitpun atas apa-apa yang terjadi pada
diri dan jasadnya, juga terhadap apa yang terjadi di luar dirinya. Segala
sesuatunya adalah berkat peran para aparat (malaikat) Allah yang bekerja
dibawah kehendak dan kuasa-Nya. Sedikit saja, bila dirinya merasa memiliki
peran atas apa yang terjadi, maka bersiaplah menanggung konsekuensi atas hawa
nafsu dan pengakuan (ego)-nya tersebut. Kepada orangtua yang merasa memiliki
anak-anak yang amat dicintainya, maka rasakanlah ketika anaknya mulai menjadi
pembantah. Kepada yang merasa memiliki harta yang amat dicintainya, maka
rasakanlah ketika harta itu pergi dan hilang darinya. Juga yang merasa memiliki
jabatan yang membanggakan, maka rasakanlah ketika jabatan tersebut lepas atau
telah habis masanya.
Seperti seorang yang telah
bekerja keras siang dan malam demi keluarga, tiba-tiba merasa kecewa
setelah mengetahui anaknya ternyata kecanduan narkoba. Itulah konsekuensi yang
harus ditanggungnya, karena sibuk dengan bekerja keras maka menjadi lupa pada
hal-hal penting lainnya. Dirinya telah disesatkan pandangan indah iblis
akan kebutuhan kehidupan dunia, sehingga menjadi terhalanglah
pandangan-pandangan lainnya yang juga sebagai yang tak bisa dilalaikan. Karena
merasa perannya dibutuhkan untuk lebih keras lagi dalam bekerja supaya
kebutuhan-kebutuhan materi keluarganya dapat terpenuhi, dengan demikian, maka
diharapkannya-lah agar keluarganya dapat memahami dan membantu meringankan
urusan-urusan lainnya selain mencari nafkah, atau menyerahkan kepada istrinya
sendirian dalam hal urusan pendidikan anak-anaknya.
Segala sesuatu, untuk
mendapatkan hasil yang besar, tentu memerlukan pengorbanan yang
besar pula. Begitulah keseimbangan yang telah ditetapkan Allah sebagai hukum
mutlak yang berlaku di alam. “..... dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9). Dan berlebihan dari keseimbangan yang telah ditetapkan-Nya pun
dapat merupakan ancaman yang kelak akan menyulikan dirinya sendiri.
Keseimbangan
atau keadilan harus tegak di alam ini, agar tidak kembali sebagai yang
merugikan dirinya sendiri. Dan menjadilah diri-diri yang terpuji (muhammad)
di alam, sebagai perwujudan dari Dia Yang Maha Terpuji.
Bab III
MEYAKINI PARA RASUL
Asyhaadu’allaa ilaaha illallaahu,
wa asyhadu annaa muhammadur-rasulallahu.
“Allah memilih para utusan (rasul) dari malaikat dan manusia.........”
(QS 22:75)
B
|
egitu banyak
tak terhitung rasul-rasul yang telah Allah utus di kehidupan dunia ini, dan
mereka percaya serta sadar dirinya adalah sebagai utusan Allah di dunia. Namun
hampir seluruh kemanusiaan tidak menyadari dan percaya bahwa dirinya
sebagai rasul (utusan) Allah yang diutus ke dunia sebagai wakil atau
khalifah-Nya yang saling membawa dan menyampaikan rahmat Tuhan-Nya kepada
sesama makhluk.
“Dan ada
beberaqpa rasul yang telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan ada pula beberapa rasul (lain) yang tidak Kami kisahkan mereka
kepadamu.....” (QS 9:24)
Mereka, yang
menyadari dan percaya maupun yang tidak, sebenarnya selalu atau telah menyampaikan
kebenaran dan menyuruh meninggalkan keburukan, paling tidak kepada sanak
keluarganya, sekecil apapun ruang lingkupnya, bahkan hanya untuk dirinya
sendiri. Dan saling menasehati kepada kebaikan, juga selalu berharap kebaikan.
Serta menganggap kesalahan atau dosa adalah hal kecil yang dapat dimaafkan,
kemudian pasti berharap dapat memperbaikinya dengan tanpa mengulanginya
kembali. Itulah kebaikan yang sedari dulu terjaga hingga sekarang sebagai norma
hidup.
Sayangnya, kebanyakan tidak
menyadari diri-nya adalah bagian dari para rasul yang diutus Allah,
padahal pada kesadaran itulah Allah berkehendak pada kemanusiaan yang menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Khalifah di bumi, sebagaimana bapak mereka Adam
diutus pertama kali sebagai peng-awal dari kemanusian yang bermanusiawi dan
ber-kerasulan. Dan beliaulah sebagai yang pertama terjerumus kelalaian
akibat bujuk rayu setan, sebagai utusan iblis yang bertugas di wilayah
dada, di permukaan luar dari hati atau kalbu kemanusiaan.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam, dibawa
turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi salah seorang yang
memberi peringatan.” (QS 26:192-194)
Sayangnya, kemanusiaan lebih
menyukai menjaga jarak antara dirinya dengan Tuhannya, yang dengan
kehati-hatiannya cenderung melepaskan apa yang telah menjadi kehendak-Nya agar
sebagai yang saling menyampaikan kebenaran, kebaikan dan saling menasehati dalam
kesabaran. Hal tersebutlah yang semakin
menjauhkan dirinya dari menyadari fitrah-nya yang juga merupakan menjadi
tugas-tugasnya di kehidupan dunia ini. Jika Allah saja menaruh keyakinan
(sebagai Al Mu’min) yang amat
tinggi kepada penciptaan kemanusiaan sebagai khalifah bagi kesempurnaan dari
seluruh penciptaan-Nya, yaitu semesta alam, sekalipun para malaikat sempat
meragukan-Nya (QS 2:30), tetapi kemanusiaan malah, terjebak dengan
kehati-hatiannya, menjaga jarak dari fitrah dan tugas yang
diberikan Allah kepadanya. Padahal, kemanusiaan telah berani memikul amanat
tersebut. Namun, memang, dalam setiap anugerah yang diberikan kepadanya,
kemanusiaan hendaknya tidak menjadi berlebihan dalam menyikapinya, sehingga
tidak menjadikannya sombong dan takabur dengan tugas kerasulan tersebut. Akan
tetapi, menyadari fitrah dan tugas-nya sebagai amanat yang harus
ditunaikannya adalah hal yang utama.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan
gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan
dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)
Sekedar
mengingatkan, dalam rukun iman yang ke tiga ini, ulasannya hanya mengenai kerasulan,
dan sekilas saja tentang kenabian hanya sebagai perbandingan. Jika
sebelumnya, pada uraian keimanan kepada malaikat, kita telah mengkaji beberapa
sifat kemalaikatan yang meliputi diri manusia, maka begitu pula dengan sifat
kerasulan pada manusia sebagai suatu tugas dari Allah yang sangat perlu
disadari dan dipercayai (diimani), sebagai salah satu syarat berkeimanan.
Sehingga semakin mengukuhkan kembali rasa keimanan yang sebelumnya mempercayai
hanya kepada rasul-rasul yang telah dikubur sejak lama. Dan dianggap telah
tiada lagi rasul-rasul penerus, padahal setiap hari kita sering
mendengar para penyampai kebaikan di sekitar kita yang selalu
mengingatkan kebaikan, itu pulalah sesungguhnya rasul Allah. Itu akibat
kita hanya terpaku hanya kepada rasul-rasul yang terkemuka saja, dan tidak
menggunakan kerasulan kita lebih maksimal lagi seperti mereka yang
mendapatkan kemuliaan karena kesabaran dan kesungguhannya.
Mereka yang
terkemuka dan banyak namanya disebut di dalam al Qur’an, dengan kesabaran dan
kesungguhannya sebagai teladan serta contoh baik dari kerasulan mereka. Bila
dengan kenabian-nya mereka selain menyampaikan wahyu yang diterimanya,
juga lebih terfokus memperbaiki dan membangun kehidupan sosial umat. Hanya saja
perbedaan ketugasannya seorang rasul lebih terbatas, maka seorang nabi
sudah pasti seorang rasul, keduanya adalah karena kemanusiaan-nya
yang memiliki fitrah sebagaimana kemanusiaan lainnya menerima fitrah yang sama,
sebagai yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Sehingga jangan sampai terkecoh
oleh jabatan rasul yang hanya diberikan kepada orang-orang yang
dimuliakan-Nya saja. Dekatilah kemuliaan itu, dan jika Allah menghendaki,
terimalah sebagai anugerah yang perlu disyukuri.
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seseorang
laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
esgala sesuatu.” (QS 33:40)
Berakhirnya kenabian
pada diri Muhammad SAW (bin Abdullah) bukanlah berarti berakhirnya pula kerasulan
pada kemanusiaan di muka bumi, melainkan kerasulan pada diri-diri kemanusiaan
selalu akan terus berlangsung secara berkisanambungan sebagai yang saling
menyampaikan rahmat petunjuk Allah. Rahmat petunjuk Allah tidaklah berhenti
setelah beliau wafat, melainkan terus berlanjut melalui diri-diri yang berlaku
lurus, yang selalu menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, yang saling
mengingatkan atau saling nasehat-menasehati, kesemuanya dilakukan secara ikhlas
tanpa mengharap upah atau mencari kelebihan. Maka adalah tak masuk akal bagi
mereka yang mempercayai kerasulan pun ikut berhenti setelah wafatnya beliau,
bila demikian, maka berhenti pulalah cahaya Allah kepada diri-diri
kemanusiaan sebagai yang saling memberikan petunjuk diantara mereka.
Kerasulan,
sesungguhnya telah dianugerahkan kepada setiap diri kemanusiaan yang
bermanusiawi sebagai wujud yang terpuji dari perwujudan Dia yang
Maha Terpuji, yaitu setiap diri yang telah beriman dan mengkokohkan kembali
keimanannya, sehingga menyadari dan bersaksi dengan menjaga amal
perbuatannya sebagai amal perbuatan seorang utusan yang diamanatkan oleh
Tuhannya. Inilah yang dimaksud dengan .... wa asyhadu anna muhammadur-rasulallahu, sebagai persaksian diri ini untuk menerima dan
menjalankan amanat Allah tersebut.
Kata muhammad
pada bunyi syahadat adalah tidak hanya tertuju kepada nama “Muhammad bin
Abdullah” saja, nabi dan rasul kita, melainkan merupakan salah satu sifat
Allah sebagai Yang Maha Terpuji yang dianugerahkan pula kepada diri-diri
kemanusiaan. Memang benar, kemanusiaan yang pertama mendapat anugerah gelar
ke-muhammad-an tersebut dari
Allah adalah Ahmad bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul
Muthalib), kemudian nama Muhammad jadi lebih melekat kepada beliau.
“.... yaitu
Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad SAW) ....” (QS 61:6)
Gelar kenabian
memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari tanggung jawab kerasulan.
Kita dapat membandingkannya setelah memahami makna kisah nabi Yunus yang
mendapat azab dari Allah karena meninggalkan (dari tugas
kenabiannya) umatnya yang masih dalam kesesatan (QS 21:87, 37:139-148, 10:98).
Kemudian
kisah tiga orang rasul (tidak disebutkan nama-namanya) di suatu negri
yang mendapat tugas mengingatkan dan memperingatkan kaumnya (36:13-29). Ketiga
orang rasul tersebut tidak mengalami hukuman dari Allah, sekalipun tidak
diceritakan lagi bagaimana kelanjutan tentang mereka (ketiga rasul). Hanya
kisah seorang rajul yang membantu ketiga orang rasul tersebut yang
kemudian dikisahkan sebagai kelanjutannya.
Bila telah
memahami kisah-kisah tersebut serta makna kerasulan pada setiap diri
kemanusiaan, maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab
bersama segala konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yaitu sebagai
yang menyadari fitrah dan tugas yang diamanatkan kepada dirinya.
Sehingga makna yang dapat dipahami,
sebenarnya ke-muhammad-an adalah gelar bagi diri-diri kemanusiaan
sebagai wujud dari perwujudan Dia Yang Maha Terpuji. Kemanusiaan yang
menjadi wakil-Nya di bumi sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Begitulah
sebagai fitrah bagi setiap diri kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya
agar mewujudkan segala sifat-Nya di muka bumi.
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para
malaikat) berkata, mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan
padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan
berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Kita tentu
mengagumi seseorang yang menghiaasi dirinya dengan sifat-sifat terpuji,
sebagai yang memiliki keindahan dan menentramkan hati bila bersamanya. Dan
seperti itulah yang dikatakan nabi Muhammad rasulullah SAW, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dan
Allah tidak hanya menurunkan firman-firman berupa petunjuk agar dapat mencapai
akhlak yang terpuji pada diri-diri kemanusiaan, melainkan pula Dia berikan
seorang nabi Muhammad (Ahmad bin Abdullah) untuk sebagai contoh teladan bagi
umat manusia. Begitulah makna wujud yang terpuji (muhammad) sebagai perwujudan Dia Yang
Maha Terpuji (Muhammad). Dan agar
diri kemanusiaan mengambil contoh keteladanan beliau sebagai yang terpuji
dengan berakhlak sifat-sifat Allah, yang merupakan wakil Tuhan di bumi yang mewujudkan
sifat-sifat Allah sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dengan
demikian, kehadiran Tuhan akan menjadi jauh lebih terasa di dalam dada pada
diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah memahami bahwa Tuhannya
selalu bersamanya setiap saat dalam setiap amal perbuatannya. Maka dirinya akan
selalu menjaga dan menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan
sifat-sifat yang memiliki akhlak terpuji.
Dengan tidak
mengurangi nama besar beliau, yang dimuliakan oleh Allah (dan tidaklah siapapun
yang sanggup mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan
dikehendaki Allah), dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada
mengembalikan arti dan makna asalnya. Bukan pula hendak melepaskan nama
beliau dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna
sesungguhnya berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan.
Tentulah
syahadat bukan sekedar perjanjian atau persaksian yang bermakna
kiasan, kita bersaksi kepada sosok bersifat mulia, yang wujudnya seperti kita
(kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihatnya, telah lama tidak ada, dan
hanya tertinggal kisahnya. Melainkan dapat meresapi makna sejati dari syahadat
atau persaksian itu, yang adalah suatu ikrar pengikatan diri sebagai
pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui atau persaksian bahwa
dirinya yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai
rasulullaah atau utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya
kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah diteladankan
nabi kita Muhammad SAW.
Bila disadur
atau diterjemahkan kedalam bahasa kita, maka bunyinya adalah, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan
wujud yang terpuji (perwujudan dari yang Maha Terpuji) ini adalah utusan
Allah”, maka segala
tanggung jawab serta segala macam konsekuensi dari fitrah dan tugas
yang diembannya akan menjadi beban amanat bagi diri pengucapnya.
Dan bila makna ini telah meresap disadari, melekat dalam setiap shalat
diucapkan pada setiap tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya
diri sendiri, dan kepada siapa diri ini bergantung.
Itulah makna
kerasulan pada setiap diri kemanusiaan yang di dalam syahadat (persaksian)-nya
diharapkan dapat membawa diri kepada saling menjaga keadilan dan keberadaban,
serta saling berbagi rahmat kepada semesta alam. Bila makna syahadat telah
dapat diterima secara lapang (legowo)
oleh dada, maka rukun iman yang ke tiga ini, yaitu menyadari tugas kerasulan
yang disandangnya sebagai salah satu keimanan yang wajib diimani, akan menjadi ruh
dalam setiap gerak amal perbuatannya sebagai manusia yang terpuji perwujudan
dari Dia Yang Maha Tepuji arah segala pujian tertuju.
Mari
kita melangkah lagi kepada uraian wujud yang terpuji ini yang merupakan
utusan-Nya, untuk lebih mengenal diri dan mengukuhkan kembali keimanan yang
sebelumnya tercerai-berai oleh makna-makna yang sebelumnya ghaib dan dapat pula
mengecohkan pemahaman, semoga Allah mengembalikan kita kepada pemahaman yang
haqq, yang datang dari sisi-Nya yang Maha Haqq.
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang
rasul dari kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, mensucikan kamu, dan mengajarkan
kepadamu kitab dan
hikmah, serta mengajarkan
apa-apa yang belum kamu ketahui.” (QS 2:151)
Uraian
selanjutnya tentang kerasulan sangat berhubungan erat dengan uraian
sebelumnya yaitu keimanan kepada malaikat. Kerasulan pada diri manusia dengan
jasad perwujudannya yang terdiri dari para malaikat sebagai aparat yang
menjalankan segala perintah Allah. Perintah atau kehendak Allah tersebut,
dikerjakan para aparat-Nya dengan tugas sebagai utusan pembawa perintah
atau kehendak-Nya inilah yang disebut rasul. Jadi rasul adalah
aparat Allah (malaikat) yang menyentuh diri kemanusiaan yang bertugas
sebagai utusan yang menyampaikan perintah dan kehendak Allah. Yang
menyentuh di sini bermaksud diberikan, bahwa kerasulan tersebut selain
untuk dirinya juga untuk disampaikan keluar kepada selain dirinya sebagai yang
bermanfaat dari rahmat Tuhannya.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ......” (QS 22:75)
“Dan setiap umat (memiliki) rasul......” (QS 10:47)
Sedangkan
segala sesuatunya tidaklah terlepas dari setiap kehendak-Nya, maka menjadi
jelaslah, bahwa segala sesuatu pun merupakan utusan Allah sebagai aparat
yang menjalankan kehendak-Nya yang berupa petunjuk bagi makhluk lainnya.
Sehingga pada diri kemanusiaan yang telah menyadari dengan bersyahadat, maka
keterikatan janji tersebut bukan hanya pada bathin-nya saja, melainkan termasuk
dengan segala apa yang berada di dalam tubuh jasadnya pun ikut bersaksi untuk
menjadi utusan-Nya.
Segala sesuatu yang tersebar di
alam ini merupakan para aparat (malaikat) dan rasul-Nya. Adakah dari segala
sesuatu tersebut yang tidak mendatangkan manfaat bagi kehidupan kemanusiaan?
Seluruhnya adalah pembawa dan penyampai kuasa dan kehendak Allah
kepada setiap segala sesuatu tersebut itu sendiri, termasuk pada diri-diri
kemanusiaan.
Para Rasul Minallaahu
Utusan
(rasul) yang ada di dalam diri-diri setiap kemanusiaan dan diperintah langsung
dari Allaahu ala arsyitawaa (Ar Raahman), yang disebut rasul minallaahu, membawa
berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq) dan ditanamkan di dalam
hatinya, untuk meneguhkan kembali hatinya yang yang telah beriman, dan
sebagai petunjuk serta berita gembira bagi mereka yang telah
berserah diri.
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan
kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
Inilah
sosok yang berpengaruh di dalam dada diri kemanusiaannya sendiri yang
diliputi oleh ruhul kudus (malaikat Jibril), yang keberadaanya karena
diperintah langsung dan sebagai penghubung langsungnya dengan Allaahu ala
arsyitawaa (tempat tunggal-Nya), yang merupakan ruh suci membawa
pesan atau berita suci (petunjuk) dari yang Maha Suci kepada diri (jiwa)
dan tubuh yang telah disucikan. Karena di alam, diri-nya, merupakan perwujudan
dari Allaahu Akbar, dan sedangkan jasad-nya sebagai baithullah. Maka
niat dan amal perbuatannya adalah suci dari kesalahan, keburukan, dan mudharat.
“Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah
berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang
tabir
atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kejendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana” (QS 42:51)
Energi penuh kesucian inilah
yang hadir dan menguatkan hati mereka yang telah beriman dengan membawa
petunjuk-petunjuk dari Tuhannya, sehingga membuat jiwa-nya tenang dan penuh
kedamaian, serta keluar kepada bentuk amal perbuatan yang penuh ketenangan dan kedamaian
pula. Petunjuk-petunjuk yang selalu datang adalah sebagai ilham, ide, ataupun
solusi dari setiap permasalahan kehidupan-nya. Rasul ini selalu berada
bersamanya selama diri-nya menjaga dan memelihara kesucian atau
kebersihan dari setiap segala sesuatu (energi-energi) yang masuk maupun yang
keluar dari diri dan jasad-nya.
Kesuciannya itulah yang sebagai
energi makanan pula bagi setiap aparat di dalam jasad yang
menggerakkan setiap organ fungsi tubuh, sehingga secara keseluruhan,
energi-energi yang menggerakkan seluruh fungsi tubuhpun adalah energi yang
bersih dan suci. Ilmiahnya, maka tubuh menjadi sehat, pikiran pun jernih, maka
jiwanya pun kuat. Karena makanan yang masuk dan didistribusikan kepada seluruh
bagian sel-sel tubuh akan menjadi energi penggerak kehidupan mikro di dalam
tubuh yang makro, yaitu terdiri dari milyaran sel tubuh. Kehidupan di dalam
kehidupan. Kesucian di dalam, amat menentukan kesucian yang akan dikeluarkan
sebagai bentuk amal perbuatan.
Peran
rasul ini akan terasa besar pengaruhnya dan dapat dipahami, karena keterkaitan
dengan uraian rasul lainnya. Keterkaitan (keharmonisan)-nya kepada rasul-rasul
lainnya yang menjadikan semua yang berupa perintah dan petunjuk dapat
terwujud menjadi nikmat yang
dirasakan setiap diri kemanusiaan. Sayangnya, kebanyakan lupa atau
bahkan tidak bersyukur. Perannya pula sangat besar terhadap kecerdasan akal
diri-diri kemanusiaan, karena apa yang disampaikannya adalah petunjuk-petunjuk
yang mengandung kebenaran dari Tuhannya.
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan, yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril)
yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan ......” (QS 53:4-6)
Rasul
inilah yang berhubungan langsung dengan rasul-rasul lainnya baik yang wilayah
tugasnya berada di dalam jasad kemanusiaan maupun yang di luar. Sehingga tak
perlu bingung atau heran lagi, siapakah sesungguhnya yang mengatur mekanisme
kerja seluruh organ tubuh yang berada di dalam jasad kita, bila ternyata
bukanlah kita sendiri yang memerintahkannya, bahkan kehendak kita pun bukan.
Serta yang menjadikan kesadaran kita bekerja setelah masuknya informasi sebagai
petunjuk yang disampaikan rasul ini kepada hati dan akal dari interaksi antara
indera-indera kita (yaitu seperti, penglihatan, pendengaran, dan lainnya)
dengan alam sekitar. Yang ternyata sebagai pembawa pesan atau petunjuk pula
kepada kita, sehingga terjadilah keharmonisan fungsi masing-masingnya.
Demikianlah sehingga kita akan semakin memahami setelah terbukanya kesadaran
demi kesadaran yang mengarahkan diri kita terhadap wujud tunggal Yang
Maha Sempurna dan Maha Tunggal.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka ini akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiiyqiiyn, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS 4:58)
Pada
uraian pengokohan keimanan inilah, sesungguhnya yang dapat membuka dada dan
hati setiap diri untuk memahami serta menyadari arti peran para aparat
Allah ini lebih terasa dan semakin bermanfaat bagi kehidupan, serta kemudian
memahami pentingnya makna bersyukur. Bersyukur karena diberi kesempatan hidup
kembali sebagai sarana pembersihan kesalahan dari kehidupan sebelumnya, dan
masih dipercaya sebagai sarana perwujudan Tuhan-Nya di alam untuk berbagi
rahmat-Nya kepada sesama. Pahamilah ini, sebagai karunia dari Maha Kebijaksanaan
Dia Yang Maha Pemurah. Ar Raahman.
Para Rasul Min Indi'anfusihim
Utusan
(rasul) yang bisa dalam wujud apapun, yang datang dari sekitar membawa
berita-berita kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq), sebagai petunjuk bagi
dirinya dalam mendapatkan kemudahan dari setiap rahmat-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti
kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan..........” (QS 49:7)
Wujudnya bisa apa saja,
orang-orang di sekitar yang membantu kemudahan bagi dirinya, maupun petunjuk
yang di dapatkan dari alam sekitarnya. Yang sesungguhnya adalah atas perintah
atau kehendak Dia. Hingga pada akhirnya dirinya pun ikut serta menjadi rahmat
untuk alam sekitarnya kembali. Bahkan banyak yang mendendangkannya dalam sebuah
lagu atau doa-doa yang mencurahkan isi di hati-nya, entah mengerti-tidaknya,
atau sekedar hanya berharap, seperti lirik-lirik dalam lagu dan syair, burung
yang menyampaikan berita dari yang nun jauh
disana, salam yang disampaikan oleh angin
malam kepada kekasihnya. Dan tentunya masih banyak lagi lainnya, yang
jelas, bahkan (entah) dalam khayalannya saat menciptakan lirik-lirik tersebut,
maka Allah pun menyusupkan petunjuk-Nya sebagai ilham ataupun ide.
Banyak
tanda-tanda yang tersebar di alam ini yang merupakan petunjuk sebagai
pengetahuan yang sangat berguna di kehidupan. Seperti bintang-bintang sebagai
petunjuk arah. Arah angin dan pergerakan awan sebagai petunjuk iklim yang akan
datang ke suatu wilayah untuk dapat diketahui suhu, curah hujan, bahkan terjadi
badai atau tidaknya. Guru-guru yang mendidik para murid, para orangtua yang
selalu menasehati, dan teman yang mengingatkan. Buku-buku sebagai kitab yang
menjelaskan, jam tangan yang menunjukkan waktu, serta tidak ketinggalan, sampai
kepada kokok ayam jantan di kala fajar menyingsing. Sehingga segala sesuatunya
sebagai yang ikut memudahkan kehidupan kemanusiaan, dan dapat diambil
manfaatnya. Mereka itulah, sebagai rasul-rasul min di’anfusihim, pembawa
kebenaran dari yang Maha Benar (al Haqq). Kebenaran yang merupakan petunjuk
bagi diri-diri yang telah siap menerima petunjuk tersebut. Maka
kemanapun kita arahkan penglihatan, rasa, pikiran, serta ilmu dan pengetahuan,
maka yang akan kita temui sebagai ujungnya adalah Allah Yang Maha Tunggal.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap disitulah wajah Allah. .....” (QS 49:7)
Inilah wujud
interaksi antar rasul yang datang dari luar jasad membawa petunjuk,
dengan rasul yang berada di dalam sebagai yang menerima petunjuk.
Energi-nya akan tersambung sinkron dan berharmonisasi bila dalam satu kesatuan,
petunjuk kesucian atau maupun berupa petunjuk kekotoran.
Bila
petunjuk yang akan hadir adalah petunjuk kesucian yang memiliki nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran, sementara yang di dalam masih dipenuhi
kekotoran, maka kehadirannya takkan memiliki arti atau makna sebagai petunjuk,
sekalipun dipaksakan. Inilah makna, ada dinding pembatas antara kebaikan
dan keburukan.
Juga makna, hatinya telah
tertutup, hatinya telah membatu, serta bukan mata tak melihat dan
telinga tak mendengar. Demikian pula halnya dengan interaksi yang saling bersambung,
maka jiwanya akan merasa puas dan senang, baik yang saling bersambung antara
dua kesucian, ataupun yang bersambung antara dua kekotoran. Yang satu mendapat
petunjuk kepada keselamatan, dan yang satunya lagi mendapat petunjuk kepada
kesesatan yang semakin dalam dan mencelakakan dirinya sendiri.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Telah banyak
disadari kebanyakan diri kemanusiaan, bahwa kerusakan alam yang disebabkan dari
perbuatan mereka juga berakibat kembali kepada dirinya sebagai bencana. Akan
tetapi, bila keinginan dan kebutuhan telah mendesak hawa nafsu mereka, maka
hilanglah kesadarannya tersebut. Hatinya telah tertutup hawa nafsunya yang
didominasi keinginan dan kebutuhannya, sehingga tidak lagi melihat
akibat-akibat sebagai bayang-bayang bencana yang akan mendatanginya kelak di
kemudian hari.
Banyak hal
sepele yang kemudian bertumpuk dan menjadi masalah yang pada akhirnya
memberatkan diri mereka sendiri, seperti membuang sampah sembarangan dan
menebangi pohon di halaman rumah. Belum lagi bila sumber nafkahnya yang bergantung
dari alam seperti pertambangan liar dan mencari kayu di hutan, maka kebutuhan
hidupnya yang selalu kurang akan mendorong hawa nafsunya untuk lebih serakah
dan berakibat rusaknya alam. Dan bencana adalah yang akan kembali kepada
mereka, sebagai akibat ulah perbuatan mereka sendiri.
Menjaga
kelestarian alam adalah menjalin persabahatan dengan para malaikat yang
tersebar di alam, sehingga menjaga pula fungsi mereka sebagai penjaga,
penolong, dan pemberi petunjuk yang membantu bagi kemudahan kehidupan kita.
Nikmat Allah berupa alam bagi nafkah kehidupnnya akan menjadi bencana bagi diri
mereka sendiri, bila tidak mengelolanya pada nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran.
Tak ada
sesuatupun yang dapat mengingkari nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah.
Hitunglah. Telah berapa kalikah mata melihat kebaikan dan keburukan? Telah
berapa kalikah telinga mendengar suara-suara kebaikan dan keburukan? Telah
berapa kalikah mulut mengucapkan kata-kata atau kalimat kebaikan keburukan? Dan
masih banyak lagi yang takkan sanggup kita rinci satu per satu ketidak
sanggupan kita tersebut.
Menghitungnya
saja tak akan mampu, apalagi mendustakannya. Tidak usah dengan mendustakannya,
melupakannya saja adalah kufur nikmat, maka akibatnya kembali kepada
diri-nya sebagai musibah ataupun bencana yang merugikan dirinya sendiri. Satu
saja malaikat atau rasul-Nya, yaitu yang bekerja di wilayah organ mata kita mogok,
tidak mau bekerja. Atau pada organ pendengaran dan pengucapan, maka musibah
besar bagi kita. Begitu banyak yang kita dengar melalui pendengaran yang
diberikan-Nya, begitu banyak yang kita lihat melalui penglihatan yang
diberikan-Nya, dan begitu banyak yang kita pahami melalui pemahaman yang
diberikan-Nya.
Semuanya begitu banyak dan tak
terhitung sebagai yang dianugerahkan-Nya
pada kehidupan diri-diri kemanusiaan yang sebenarnya hanya hidup menerima.
Anugerah-anugerah tersebut sesungguhnya adalah membawa energi atau
aparat-aparat (malaikat-malaikat) Allah yang bekerja atas perintah dan
kehendak-Nya. Syukurilah nikmat-nikmat yang tak terhitung tersebut dengan
menyebarkannya kembali kepada sesama sebagai mewujudkan apa-apa yang
dikehendaki-Nya, yaitu diri-diri kemanusiaan yang sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Para Rasul Min 'Indillahi
“Dan, sungguh telah datang kepada mereka seorang
rasul dari (kalangan) mereka
sendiri......” (QS 16:113)
Bila disadari secara mendalam, sesungguhnya jasad sebagai wadah
diri (jiwa) ini tersusun dari milyaran makhluk Allah (sebagai perwujudan
Allaahu Akbar), yang kesemuanya pun tunduk pada kuasa serta pemeliharaan Allahu
‘ala ‘arsyis tawaa, maka makhluk-makhluk Allah yang ber-alam di
jasad kita inipun memerlukan aturan (agama) sebagai sistem dasar penggerak
kehidupannya. Maka, selain Allah mengutus malaikat sebagai aparat yang
menjalankan ketetapan-Nya, melainkan diperintahkan-Nya pula rasul-rasul sebagai
utusan khusus-Nya sebagai pembawa petunjuk kepada diri-diri
kemalaikatan yang bekerja membantu kemanusiaan di dalam jasadnya. Yaitu dengan
saling berbagi rahmat, saling menyampaikan perintah dari kehendak-Nya kepada
milyaran makhluk yang ber-alam pada jasad-nya.
Utusan inilah yang membuat kemudahan dalam penyampaian petunjuk,
seperti pada organ-organ jaringan sistem penglihatan mata, sistem pendengaran
pada telinga, dan sistem pengucapan kita untuk melihat dan menyampaikan
informasi dari penglihatannya sebagai suatu petunjuk kebenaran dan kebaikan
tanpa dikotori oleh yang menyesatkan setelah informasi ini sampai kepada hati
atau kalbu.
Dan pada saat itu pulalah, terkadang terasa bisikan-bisikan setan yang
berada di permukaan kalbu, membujuk dan berusaha mengotori informasi
tersebut. Secara ilmiah, dalam ilmu kedokteran pun, ketiganya tersebut,
penglihatan, pendengaran, tenggorokan dan pernafasan adalah satu kesatuan
sistem yang saling mempengaruhi bila salah satunya mengalami disfungsi atau
gangguan-nya. Betapa rumitnya struktur yang menyusun jasad ini yang terdiri
dari milyaran sel sebagai makhluk-makhluk pula dengan bentuk kehidupannya
masing-masing, sebagai satu kesatuan sistem (kehendak) atas perintah-Nya kepada
utusan (rasul)-Nya untuk disampaikan kepada seluruh aparat-Nya.
Tidak usah jauh membayangkan pada milyaran sel-sel tubuh yang demikian
rumit dan butuh penjelasan dengan bahasa-bahasa intelek, maka dengan
keberadaan cacing di dalam tubuh, kutu pada rambut, atau jamur pada kulit,
serta kuman-kuman di mulut, cukuplah mewakili keberadaan makhluk-makhluk yang
menggunakan tubuh atau jasad kita sebagai alam-nya. Bila mereka telah
berubah menjadi pembangkang, maka akan menjadi parasit yang
mengganggu dan beralih dari fungsi sebelumnya. Maka makna, menjaga kebersihan
adalah bagian dari iman, menjadi lebih masuk akal kita. Menjaga kebersihan
adalah juga menjaga kesehatan tubuh, ikut memberi kemudahan aparat Allah dalam
melaksanakan tugasnya, yang ternyata pun kembali kepada diri sebagai kebaikan.
Juga pada sel-sel darah di dalam tubuh, bila terjadi kesalahan fungsi,
yaitu malaikatnya telah menjadi malaikat pembangkang (iblis), sel-sel darah
putihnya menggerogoti sel-sel darah merahnya, sehingga sel darah putih yang
semula fungsinya sebagai melawan bibit penyakit di dalam darah (sistem
kekebalan), kini berbalik dan malah menjadi sumber penyakit yang menyikat habis
sel-sel darah merah, seperti telah terjadi perang saudara diantara
mereka. Maka diri dan jasad kita yang menerima akibatnya pula. Ya, terjadi
pembangkangan atau pemberontakan di dalam tubuh jasad kemanusiaan, sebagai alam
kehidupan mereka, makhluk-makhluk Allah yang merupakan aparat-aparat
(malaikat)-Nya.
Mereka yang tak menjaga kehidupannya dalam kelurusan dan
keseimbangan, termasuk kebersihan, maka akan menciptakan iblis bagi
dirinya sendiri, yaitu para malaikat-nya tidak lagi tunduk patuh membantunya.
Malah menjadi pembangkang yang merusak dan menjadi penyakit pada jasadnya.
Dengan demikian, maka rasul-rasul ini yang bertugas menyampaikan agar mereka
(para pembangkang) dapat kembali kepada jalan lurus seperti yang
dikehendaki Tuhannya. Begitulah sesungguhnya diri (jiwa) ini ternyata ikut
berperan aktif menundukkan (dalam artian positif, mengendalikan),
tidak hanya kepada segala sesuatu yang berada di luar, melainkan juga yang
berada di dalam jasadnya agar tetap berada pada jalan lurus-Nya, sebagai
ketetapan dari kehendak-Nya.
Pada diri
yang masih belumlah kokoh imannya, maka rasul-rasul ini tiada berguna, sehingga
setiap informasi yang diterima kalbu telah dikotori oleh bujuk rayu iblis,
yaitu hawa nafsu-nya sendiri, sehingga timbullah niat amal perbuatan
yang dikotori pula oleh kezhaliman, kehasadan, kefasikan, kemunafikan,
kejahilan, hingga kepada kemusyrikan. Begitu pula pada indera-indera lainnya,
yang dapat menimbulkan ketidak sucian pada hasrat dan keinginan
pada setiap diri kemanusiaan. Kekotoran telah menutupi hati atau kalbu-nya.
Dan bagi orang-orang yang telah
menjadikan jasadnya sebagai baithullah (rumah Allah), yaitu dengan jalan
mensucikan jasadnya dari segala macam pengakuan (nafs atau ego-nya),
maka akan jauh lebih mempermudah pekerjaan para aparat Allah, yaitu malaikat
dan rasul-Nya dalam menyampaikan segala perintah dan kehendak Dia, Allahu ala
arsyis tawaa, yang juga ternyata membawa kebaikan kepada dirinya
pula sebagai rahmat dari-Nya. Sebagai wadah atau perwujudan dari Yang Maha
Terpuji, maka jiwanya harus dapat menyelaraskan antara jasad sebagai wadah dan
energi (malaikat atau aparat Allah) yang menggerakkan untuk hidup kehidupan sebagai
yang tunduk sujud yang sesuai kehendak-Nya, begitulah fitrah
kemanusiaannya.
Para Rasul Tandzilal Adzizir-rahiim
“(yaitu) urusan dari sisi Kami. Sungguh Kamilah
yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu.......”. (QS 44:5-6)
Bumi yang
dibanjiri dari segala penjuru semesta oleh cahaya benda-benda langit,
seperti matahari, milyaran bintang, bulan, serta benda langit lainnya,
merupakan karunia bagi penghuni bumi. Dan sesungguhnya, merupakan petunjuk
besar dari Allah, yang seharusnya disadari oleh diri kemanusiaan, bahwa
Dia mengutamakan hidup kemanusiaan, dan menghendaki setiap diri
menemukan kesejatian manusia-nya. Yaitu sebagai fitarh yang telah
ditetapkan Tuhannya, dengan menjadikan kemanusiaan sebagai khalifah di
muka bumi yang saling menyebarkan rahmat Allah kepada sesama di semesta alam. Rahmatan lil ‘alamiin.
Hanya karena
hendak menciptakan kemanusiaan, maka Dia ciptakan semesta alam ini berikut
isinya, kemudian menyempurnakan kejadiannya agar layak ditempati manusia yang
telah tebarkan-Nya segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Dia-lah Allaahu Rahmaanur-rahiiym. Pelindung
dan Pemelihara. Dia ciptakan semesta alam ini, langit dan bumi serta apa-apa
yang berada diantara keduanya hanya untuk menciptakan kemanusiaan yang
merupakan perwujudan dari sifat-sifat dan rahmat-Nya di alam.
Kembali
kepada cahaya-cahaya yang ‘membanjiri’ bumi, yang merupakan rahmat
Allah. Sesungguhnya cahaya-cahaya atau dapat disebut pula sebagai energi,
yang setiap saat turun ke bumi membawa karunia dan anugerah dari Tuhannya untuk
penghuni bumi dan manusia pada akhirnya, sekalipun tak disadarinya.
Cahaya-cahaya tersebut yang sesungguhnya merupakan aparat Allah atau malaikat,
sebagai aparat pengganti aparat sebelumnya yang telah selesai masa
tugasnya sebagai salah satu unsur dasar atau unsur utama kehidupan,
dan biasa disebut dengan energi, karena energi-energi sebelumnya tersebut
telah berubah bentuknya menjadi rahmat-rahmat Dia yang lain, sementara
kesinambungan kehidupan semesta alam ini haruslah terus berlangsung hingga
waktu yang telah ditetapkan-Nya.
Dengan
energi itulah maka aparat-aparat lainnya yang bertebaran di bumi tercipta pula,
sebagai keberlangsungan kehidupan di bumi. Yaitu, sebagai pembawa dan penyampai
rahmat dan kehendak Tuhannya kepada seluruh makhluk-Nya yang tak pernah
benhenti sampai pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Maka hidup dan kehidupan
dapat berlangsung selama cahaya-cahaya tersebut terpancar ke bumi. Adapula
ketetapan-ketetapan Dia yang lain, yang manusia melihatnya sebagai bencana,
tetapi Dia lebih mengetahui dalam menciptakan keseimbangan bagi
kehidupan semesta alam secara keseluruhan di alam raya ini, sedangkan diri-diri
kemanusiaan dengan keterbatasannya, maka hanya menilainya berdasarkan
baik-buruknya saja apa-apa yang sampai dan diterimanya.
Konon, pada
sekitar abad 14, sejarah mencatat, saat setelah meletusnya gunung Tambora di
Nusa Tenggara Timur meletus, debu letusannya yang terbawa oleh angin menutupi
langit atmosfeer di atas benua Eropa sampai beberapa waktu, akibatnya ratusan
ribu jiwa mati kedinginan (belum termasuk hewan ternak), karena suhu menurun
drastis akibat tidak sampainya cahaya matahari menembus awan debu yang
disebabkan letusan gunung tersebut. Itulah kehendak Allah. Subhanallah.
Belumlah lama berselang, badai
di matahari pada satu dekade lalu, dan membuat lidah api raksasa yang panjangnya
dapat mencapai jutaan kilometer, menciptakan gelombang kejut elektromagnetik
yang sampai ke bumi, dan mengakibatkan kerusakan jaringan komunikasi dan
listrik di beberapa negara seperti Taiwan dan Hongkong serta Kanada. Dapat pula
melelehkan satelit yang berada di luar atmosfeer bumi.
“Dan langit
telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Itu adalah
dua contoh terganggunya ‘pekerjaan’ malaikat tandzilal adzizir-rahiim
sebagai pembawa petunjuk yang berupa rahmat Allah bagi kehidupan di bumi, dan
bencanalah jadinya. Dan itupun adalah kehendak-Nya. Serta kedua contoh itu
pula, merupakan terganggunya tugas kerasulan pada malaikat tandzilal
adzizir-rahiim di bumi. Betapa ketergantungannya manusia kepada alam ini
sebagai perwujudan Allah yang Akbar, bahkan kejadian yang jauhnya ribuan
kilometer atau ratusan juta kilometer dapat mempengaruhi kehidupannya.
Bersahabatlah bersama alam yang
dalam bentuk lahir atau nyata kelihatan, juga kenalilah yang bathin-nya
pula sebagai yang membawa energi didalamnya. Alam ini membawa energinya yang
amat dahsyat. Bersahabat dengannya juga akan mengenal pula sifat-nya,
bukan malah merusaknya yang justru akan kembali kepada diri-diri kita sendiri
sebagai bencana dan musibah. Dan itulah maksud atau kehendak Allah dengan,
“sebagai khalifah di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Allah
kepada sesama makhluk-Nya di semesta alam. Rahmatan
lil ‘alamiiyn”.
Diri yang ber-Kerasulan
“Dia
mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun yang gaib itu. Kecuali
kepada rasul yang diridhai-Nya, maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di
belakangnya. Agar Dia
mengetahui bahwa “rasul-rasul” itu sungguh telah
menyampaikan risalah Tuhannya, sedang
(ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu.” (QS 9:24)
Diri
yang telah didasari pemahaman sifat kerasulannya, dari ikrar persaksiannya
dalam syahadat disetiap shalatnya, akan membawa jiwa (nafs)-nya kepada
ketenangan dan ketentraman, serta berdampak lebih jauh kepada amal perbuatan
yang bertanggung jawab pada kebenaran dan kebaikan. Segala macam yang belum
diketahuinya dan dipahaminya, kelak akan dibuka satu persatu oleh Allaahu ‘ala
‘arsyis tawaa, sesuai kadar dan ketetapan, serta kehendak-Nya, sebagai
bekal sifat kerasulannya yang disandangnya. Juga sebagai petunjuk serta pemuas
dahaganya akan rasa ingin semakin memahami makna-makna sejati jalan hidup dalam
menuju Dia yang Maha Tunggal. Yang sesungguhnya segala sesuatu bersumber dari
dan mengarah kepada-Nya.
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kamu ada rasul Allah. Kalau dia menuruti
kamu dalam banyak hal, pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah
menjadikan kamu cinta pada keimanan, dan menjadikannya indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu
benci pada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS 49:7)
Dan makna ayat tersebut diatas,
sesungguhnya menegaskan kembali bahwa kerasulan meliputi setiap diri
kemanusiaan, hadir dan mempengaruhi kehidupannya. Karena tujuan utama
sesungguhnya Allah menurunkan al Qur’an bukanlah untuk nabi Muhammad SAW karena
beliau telah terbukti memiliki akhlak terpuji dari semenjak sebelum kenabiannya,
melainkan untuk seluruh diri-diri kemanusiaan, maka segala firman yang berada
di dalamnya pun agar dapat menjadi petunjuk dan pelajaran bagi seluruh umat
kemanusiaan. Bukan hanya kerasulan yang telah terhenti sejak Muhammad bin
Abdullah telah tiada, dan bukan hanya pula rasul-rasul yang hadir di luar
dirinya, akan tetapi rasul-rasul yang berada di dalam diri-nya, kerasulan pada
diri-diri kemanusiaannya sendiri.
“Sungguh, engkau adalah seorang
dari rasul-rasul,” (QS 36:3)
Setelah insan kemanusiaan dapat
menerima dan menyadari dirinya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji
(muhammad), maka arah kehidupannya telah tentu atau jelas, dan lurus mengarah
kepada amal perbuatan yang terpuji. Dan memeliharanya sebagai bentuk pengabdian
hamba kepada sesama hamba (perwujudan Allahu Akbar), serta pengabdian yang
terpuji kepada Yang Maha Terpuji (perwujudan Allahu Akbar kepada Allahu Arsys
Tawaa) Yang Maha Memerintah dari tempat tunggal-Nya. Yaitu pengabdian
seorang utusan kepada Yang Mengutus, sebagai tugas mulia bagi wujud-wujud yang
terpuji.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi
salah seorang yang memberi peringatan.” (QS
26:192-194)
Kadar atau
tingkat kerasulan pada setiap kemanusiaan adalah tergantung diri
masing-masingnya dalam memahami makna anugerah kerasulan-nya dan
mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatan. Dan demikianlah keadilan-Nya,
bahkan setiap diripun tidak merasa diberatkan oleh penugasan-Nya tersebut.
Bila merasa, maka diri-nya akan rela dan ikhlas dalam menjalaninya. Bila
tidak merasa akan tugas-nya tersebut, tiada akan menjadi beban baginya,
seolah-olah itu hanya ditugaskan kepada orang-orang pilihan-Nya saja, bukan
kepada diri-nya.
Pilihan tetap ada pada diri
masing-masingnya, kebaikan atau keburukan, maupun yang berada diantara
keduanya. Maka kelak, yang dituainya pun surga atau nerakanya, ataupun yang
berada diantara keduanya. (Kelak, pada bab di belakang, kita akan mencapai pula
kesadaran bahwa sesungguhnya tiadanya pilihan dalam jalan Allah. Ya,
jalan lurus yang hanya satu)
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka
dari sebagian yang lain. Diantaranya ada yang (langsung) Allah berfirman
kepadanya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat.......” (QS 2:253)
Dia lebihkan
sebagian dari sebagian yang lain, karena mereka pun berbuat lebih dari
perbuatan mereka yang lainnya. Termasuk kerasulan pada diri-diri setiap
kemanusiaan, dari mulai menyadari kerasulan-nya hingga melakukan tugasnya
tersebut dengan kadarnya masing-masing, sehingga membawa kepada derajat yang
berbeda satu sama lainnya. Karena Dia-lah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Dan setelah ketiga keimanan ini
telah kokoh dipahami dan disadari, maka sekarang, tidaklah gaib lagi.
Bahkan nyata, dekat sekali dan ada bersama-sama diri kita ikut mempengaruhi dan
mengarahkan kehidupan kita. Maka akan lebih mudah untuk menguraikan keimanan
selanjutnya yang memang lebih nyata terasa, atau teraba, atau bahkan terlihat
telah ada bersama kita sejak lama, yaitu Al Qur’an. Akan tetapi, jangan hanya
terpaku hanya kepada yang nyata terlihat saja, melainkan penting pula
memahami makna-maknanya yang lain, yaitu yang nyata terasa tapi tak
terlihat maupun teraba sebagai yang masih ghaib, karena masih perlu dipahami
melalui petunjuk-Nya.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat
melaknati.”
(QS 2:159)
Bab IV
MEYAKINI KITAB KITAB ALLAH
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara
mereka, dan kami
berserah diri kepada-Nya.”
(QS
2:136)
S
|
egala puja dan
puji bagi Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya
tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di
semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta
yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan
ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki
memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang
lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah
tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau
makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi
diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada
siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya
sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada
Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan
melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar
dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya,
maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi
mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan,
bukannya petunjuk.
Berlindunglah kepada Allah,
saat hendak membuka dan membaca al Qur’an yang berisi firman-firmannya. Bila
hendak membaca al Qur’an saja harus berlindung kepada-Nya, tentu
apalagi bila hendak melakukan hal-hal lain yang lebih duniawi sifatnya. Renungkanlah,
semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka.
Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian
luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas
hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap
diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan manusia menuju atau bahkan dekat
dengan Tuhannya.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya”. (QS 15:39)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan
sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Kita adalah anak keturunan
Adam, yang menjadi sasaran serta tujuan dendam iblis. Tentang iblis sebenarnya
telah diulas pada uraian tentang keimanan kepada malaikat, dan di uraian ini
sedikit diulang untuk sekedar mengingatkan kembali bahayanya terjerumus pada
bujuk rayunya yang membawa pada kehinaan di akhirnya.
“dia menjawab (setan), karena
Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk
mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan
kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan
kanan mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Ingat, pada uraian keimanan kepada malaikat, bahwa iblis sebenarnya
‘dapat ditundukkan’ (sujud seperti yang dikehendaki Allah), karena sesungguhnya
Allah yang memerintahkan, akan tetapi, jangan pulalah jiwa menjadi
menyerupai-nya (iblis) yang congkak serta sombong dengan aku (ego)-nya, yang
tidak patuh kepada perintah Tuhannya. Dan dia (iblis) mengutus setan-setan sebagai
aparat-nya yang membisik-bisikkan segala bujuk rayu di dalam dada setiap diri
kemanusiaan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintahnya, maka sang
iblispun akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang
tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan,
sebagai teman sejawat pembawa dan penyampai kehendak Tuhan yang berupa rahamat
bagi semesta alam. Jadilah sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim
bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif
bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa
nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan
pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu. Dan
tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’
yang datang membanjiri bumi, serta peliharalah sebagai teman sejawat
yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju
kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar
dari kebodohan menuju pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan
memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata.
Begitu pulalah makna bunyi ayat, “.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat
terakhir.” (QS 13:22). Segala macam petunjuk yang datang
adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya
apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi
menjadi lebih bermanfaat bagi ‘sesama’. Atau bahkan menjadikannya
sebagai keburukan dan kesalahan, yang sesungguhnya , kelak, akan kembali
kepada dirinya sebagai yang dituai.
Berbagai kitab yang nyata
ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya,
seperti kitab-kitab samawi, yaitu al Qur’an, Injil, Zabur, Taurat. Juga
kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang
kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, tidaklah akan menjadi
petunjuk kepada kebaikan, kebenaran, maupun kesucian apabila setiap diri tidak
pula menyiapkan diri dan jiwanya tetap dalam kebaikan, kebenaran, maupun
kesucian agar terjadi harmonisasi antara petunjuk dan yang
diberi petunjuk. Seperti baut dan mur-nya yang harus sesuai.
Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab
Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya,
padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang
berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha
Esa (Tunggal).
Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat,
tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang
digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan
tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada,
dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap
kemanusiaan. Maka siasat iblispun menuju kepada diri-diri yang begitu
memegang teguh ego-nya ketimbang naluri ketuhanan-nya, seperti
tersebut diatas, apalagi bila diri-nya memegang kekuasaan yang besar, yaitu
seperti diterangkan dalam firmannya, ”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan
mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al Hijr 39), maka atas nama syi’ar, atas nama
kebenaran, atas nama agama, serta atas nama Tuhan, mereka berani menimbulkan
kerusakan dan pertumpahan darah yang mengorbankan banyak jiwa kemanusiaan.
”......... Mereka (para malaikat) berkata, apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (muka
bumi) sedangkan kami bertasbih dan menyucikan nama-Mu?” (QS 2:30)
Kepada manusia yang telah mengenal jati
diri-nya, maka kitab-kitab tersebut, kesemuanya, dapat diterima sebagai
yang wajib diimani seperti perintah-Nya. Tetapi, kebanyakan diri
kemanusian, lebih mementingkan ego, serta eksklusifitas golongan-nya, ras-nya,
umat-nya, sehingga terbentuklah pemahaman turun temurun, bahwa kitabnya lah
yang paling benar dan yang paling suci dari kitab-kitab lainnya. Kemudian
menafikan kitab selain kitabnya. Kitabnya hanya untuk agamanya.
Jadilah agamanya adalah agama yang diciptakannya sendiri,
bukan lagi agama serta kitab Tuhan yang seharusnya untuk seluruh diri
kemanusiaan yang dapat diterima sebagai kebenaran dan kesucian. Sehingga tanpa
sadar, semakin tergelincir bersama kefanatikan-nya dengan menjadikan
agama-nya sebagai Tuhannya.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan
laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar. Dan
dzikir
(mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang
lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata karena
menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Dan Allah sebagai Tuhan yang Maha Sempurna pun telah menyempurnakan
setiap diri kemanusiaan dengan telah memberikan kitab yang ditempatkan-Nya di
dalam dada di setiap diri kemanusiaan, sehingga setiap anugerah, perintah, atau
kehendak-Nya yang datang sebagai petunjuk, dan akan berharmonisasi
dengan kitab yang ada di dadanya, sehingga keluar dalam bentuk amal perbuatan
yang lurus, penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kesucian secara ikhlas. Juga
terhadap tanda-tanda yang tersebar di alam, yang merupakan ayat-ayatNya adalah
kitab yang akan berguna serta bermanfaat setelah berinteraksi dengan kitab yang
ada di dalam dadanya, sehingga keduanya merupakan petunjuk kebenaran dari Dia
Yang Maha Benar (Al Haqq).
Kitabul Ardhi
Setiap diri kemanusiaan bersama
tubuh atau jasad-nya, serta interaksinya kepada semesta alam yang tak terhitung
jumlah makhluk atau materi yang tersebar di dalamnya, yang telah ditanamkan
kepada seluruhnya tersebut berupa ketetapan (sunathullah) dan petunjuk sebagai
kehendak-Nya, Dia yang Maha Hidup dan Berkehendak.
Dan segala sesuatu yang berada
dan tersebar di alam raya adalah anugerah yang untuk diketahui, tetapi hanya
hak-Nya lah kepada siapa Dia berkehendak memberikan petunjuk-Nya.
Semesta alam raya ini merupakan kitab besar atau akbar, yang berisi
segala macam bentuk makhluk ciptaan,
maupun benda ataupun materi sebagai sebutan, baik wujud, dan sifat, serta
kehidupannya untuk dikenal dan diketahui serta dieksploitasi juga
dieksplorasi dalam arti positif bertanggung jawab demi kemaslahatan
bersama sebagai rahmat dari Allah kepada sesama di semesta alam.
Sungguh tak terhitung penemuan
tekhnologi mutakhir yang ‘dihasilkan’ dari kajian dan penelitian terhadap alam
sebagai petunjuk. Seperti pada sistem sonar kelelawar yang
mendapatkan pantulan dari suara yang dikeluarkannya sebagai petunjuk arah
terbangnya dikarenakan matanya yang lemah. Sistem ini kemudian dipakai sebagai
sistem sonar untuk tekhnologi radar, dan kapal selam yang bergerak di kedalaman
laut.
Banyak negara maju, terutama
negara-negara barat, yang berani melakukan riset-riset penelitian yang berbiaya
fantastis untuk mendapatkan data-data yang tersebar di alam sebagai kitab
yang nyata. Seperti riset ke angkasa luar yang sekali pejalanan pulang perginya
saja menghabiskan dana hingga milyaran dollar hanya untuk mendapatkan
data-data, belum sampai kepada penelitian di laboratoriumnya. Bahkan sejak
tahun 1970-an mereka telah membangun stasiun ruang angkasa hingga proyek perang
bintang (star wars), sebagai skenario di masa perang dingin antara
blok barat dan timur. Sekarang mereka lebih mengarahkan mencari planet lain
yang terdapat kehidupan seperti bumi, sebagai bumi cadangan bila bumi ini telah
habis mereka eksploitasi sehingga tidak layak lagi mereka huni. Serta
memindahkan mereka ke planet lain atau ‘bumi baru’ tersebut, yang
tentunya lebih utama mereka yang berduit. Bisnis baru kaum kapitalis. Sebuah
semangat gila dengan pemikiran gila!! Mustahil !!
Merekalah yang ternyata lebih
memahami makna kitab min indi’anfusihiim ini, kemudian melaksanakannya
sebagai suatu proyek pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sehingga
negara bahkan menyokongnya. Kemudian merekalah pula yang jauh lebih agresif
dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi alam ini untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyatnya.
Akan tetapi bila alam ini
dieksplorasi serta dieksploitasi secara habis-habisan dan tak bertanggung
jawab, maka akibatnya adalah kembali kepadanya sebagai bencana yang besarnya
pun sebanding dengan kerusakan yang dibuat mereka.
Bencana-bencana yang akan dan
yang telah terjadi sebenarnya adalah usaha penstabilan kembali bumi dari
kerusakannya akibat ulah kemanusiaan yang tak bertanggung jawab. Oleh karena
itu sungguh berbahaya dengan adanya kebijakan investasi asing di bidang
pertambangan, perkebunan, dan hutan industri, serta investasi kelautan. Sebab
ini akan berdampak langsung dengan alam sebagai tempat tinggal pribumi yang
menanngung bencana akibat kerusakan alamnya. Seharusnya, investasi ini dikuasai
negara sebagai pengelolanya, sehingga pengawasannya jauh lebih dapat
dipertanggung jawabkan ketimbang diserahkan kepada investor asing yang lebih
mengedapankan laba perusahaannya ketimbang kelestarian lingkungan yang bukan
sebagai tempat tinggalnya menetap.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”.
(QS 4:171)
Sehingga tidak ada bedanya pada
masa penjajahan dahulu dengan sekarang. Bila dahulu mereka mereka
mengeksplorasi kesuburan tanah nusantara serta mengeksploitasi tenaga bangsa
kita di perkebunan, kemudian membawa hasilnya ke negaranya sebagai kekayaan
mereka sehingga makmur hinngga kini, maka sekarang merekapun masih seperti itu,
kembali menjajah dengan kekuatan ekonomi mereka dengan tema globalisasi
perdagangan dan investasi padahal dibalik kedoknya adalah buruh murah dan laba besar, ditambah dengan warisan
bencana akibat kerusakan alam yang mereka tinggalkan setelah mengeruk
habis isi perut bumi kita.
Maka
bertanggung jawablah wahai pemegang dan penentu kebijakan,
sebagai khalifah dan wakil Tuhan di bumi. Jadilah perwujudan Tuhan di
muka bumi yang menjadi rahmat bagi sesama di semesta alam.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laot
disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS an 30:41)
Alam ini, selain sebagai tempat
hidup, juga merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) petunjuk dari Allah, dimana
dengan petunjuk-Nya tersebut dapat membawa kita kepada kemudahan-kemudahan
dalam kehidupan, dan bukanlah malah mendapatkan kesulitan ataupun bencana di
kemudiannya. Bila petunjuk yang membawa kepada kemudahan tersebut tidak dapat
direalisasikan secara baik, justru timbul keserakahan setelah mendapatkan
petunjuk, maka bencanalah yang siap menunggu, atau diri-nya sendirilah yang membangun
neraka-nya pada hari kemudian-nya.
Maka kita
kembali sekilas kebelakang, pada uraian keimanan kepada malaikat dan rasul yang
ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini, yang sesungguhnya untuk
disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa
nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada
bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai
petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai
rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri
kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di
dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri
ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk
dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa
yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui
kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi
sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim.
Sebagai contoh, segala sesuatu
yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang
dikiranya bekerja dengan sendirinya,
yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen,
usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang
menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis
di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu
sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya. Dan bagi orang-orang yang
bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut
pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan,
apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang
tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha
mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah
yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal
perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri.
Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa
tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
Gerak langkah, gerak melihat,
gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan
gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri
hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara
menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal
kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat
dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang
mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya.
Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya sehingga tak
ada waktu untuk memikirkan dan menyadari hal-hal tersebut.
Bila kita melangkah lebih jauh
kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan di dalam dada”
pada setiap diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana
DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan
(kitab yang terjaga). Atau pada
jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik
kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama
lainnya.
Sifat
bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri.
Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya
tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau stroke.
Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang tidak
disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila pola
hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat ditebak
atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis, ada pada
dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak
pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
pada tubuh atau jasad setiap
diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja
setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian
sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi
bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak
disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah,
melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan
catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang
memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata,
catatan-catatan tersebut merupakan sebagai catatan amal diri kemanusiaannya
yang pula akan dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya kelak.
Semesta alam beserta
keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang
menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata
merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi
catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
Kitab Tandzilal Adzizir-rahiim
“Dia menurunkan al Kitab
kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, juga menurunkan Taurat dan
Injil,
sebelum-(nya), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqan.” (QS 3:3-4)
“... sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah
didustakan,
mereka membawa mu’jizat-mu’jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang benar.” (QS 3:184)
Ada
pula kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah kepada orang-orang
pilihan-Nya melalui ruhul kudus (jibril), yang dikenal dengan sebutan Kitab
Samawi. Secara jelas Allah menyebutkan nama 4 kitab suci-Nya, yaitu Al Qur’an,
Injil, Zabur dan Taurat. Serta Dia menurunkan Al Furqan (Pembeda), yaitu Dia
yang memberikan pemahaman untuk membedakan antara yang benar (haqq) dan
yang salah (bathil).
“.........Bagi setiap masa ada Kitab (tertentu).” (QS 13:38)
Seperti diantaranya adalah, kitab al Qur’an, diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 23 tahun semenjak kenabian
beliau di usianya ke 40 tahun. Kitab ini pula yang di dalamnya membenarkan
kitab-kitab yang datang sebelumnya, bahkan pula menceritakan kehidupan para
nabi penerima kitab-kitab tersebut beserta umatnya, dan sebagai pelajaran
bagi umat kemudian.
Yang unik pada al Qur’an adalah sebagai kitab yang diturunkan kepada
seluruh umat kemanusiaan, tidak terbatas hanya kaum muslimin, atau hanya untuk
bangsa Arab saja, atau khusus bagi anak keturunan Ismail saja. Lain halnya
dengan kitab-kitab sebelumnya yang lebih bersifat lokal atau eksklusif. Hal ini
dijelaskan di dalam kitab-kitab tersebut. Sekalipun demikian, sekali lagi, al Qur’an
membenarkan dan mengakui kitab-kitab tersebut datang dan diturunkan oleh Allah
pada masa-masa sebelum al Qur’an. Sehingga kaum muslimin pun sebagai yang harus
percaya kepada kitab-kitab tersebut sebagai bentuk keimanannya.
Bila dikaji
lebih dalam, maka dapat disimpulkan setiap kitab yang diturunkan adalah selain
merupakan usaha perbaikan umat, juga sebagai penyempurna dan mengakui kitab
sebelumnya yang berisi ajaran sebagai agama atau petunjuk jalan hidup menuju
keselamatan di dunia dan di akhirat. Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah wajib
hukumnya, dengan makna bahwa Allah menurunkan seluruh kitab tersebut pada
masa, kaum, tempat, serta bahasa yang saling berbeda, dengan maksud dan
kehendak yang sama atau satu tujuan, yaitu memberikan petunjuk keselamatan
kepada setiap diri kemanusiaan.
Berarti, segala ajaran-ajaran
atau agama-agama yang ada sekarang ini, adalah hanya anggapan atau buatan
dari ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan saja. Karena
sesungguhnya, yang ditetapkan dan dikehendaki, serta akhirnya diturunkan Allah
adalah satu kesatuan ajaran (Ajaran Tunggal), sekalipun berbeda
waktu, tempat, umat, dan bahasa, akan tetapi, ternyata, merupakan ajaran atau
agama yang berkesinambungan, tidak terpisahkan.
“Dan kalau
Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang
yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang
pelindung
pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS 42:8)
Bila kenyataannya terpisah-pisah,
seperti ada jurang yang amat dalam disetiap antaranya, seperti kenyataannya
saat ini, tentu hal tersebut dikarenakan ego sektoral masing-masing diri
kemanusiaan yang lebih menginginkan adanya perbedaan. Renungkanlah ayat di
bawah ini.
“......... Seandaianya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Dan al Qur’an sebagai kitab yang terakhir,
diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah yang menjadi sumber pijakan setiap
uraian dan ulasan kita semenjak awal hingga akhir dalam buku ini, karena
ke–universalannya, al Qur’an selain merangkum kitab-kitab yang datang
sebelumnya, juga layak sebagai sumber karena selain berisi problematika di masa
lalu, masa sekarang, juga sebagai petunjuk keselamatan untuk masa yang akan
datang.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena, dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 31:27)
Petunjuk
keselamatan dalam arti luas, yang berarti pula mengandung petunjuk ilmu dan
pengetahuan baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, serta yang
telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Dan takkan pernah habis digali
untuk diambil hikmah-nya, sekalipun telah berulang-ulang kali sejak 1500
tahun yang lalu. Tidak ada kitab yang begitu lengkap menyajikan petunjuk ilmu,
berita hari kemudian (akhirat), sejarah masa lalu, hukum-hukum keadilan,
perniagaan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, yaitu bagi siapa
diantara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus.” (QS 81:27-28)
Belum lagi
hukum-hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman.
Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas
mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya
adalah apabila si-korban hendak memaafkan. Dan Allah memuliakannya
dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Selanjutnya, kandungan al
Qur’an yang di dalamnya berisi firman-firman Tuhan yang menyeluruh atas segala
sesuatu, adalah kitab panduan bagi setiap diri kemanusiaan yang menginginkan
keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Inilah kitab yang nyatanya
penuh dengan hikmah kebijaksanaan. Kandungannya meliputi 30 juz,
dengan juz pertama sebagai intisari keseluruhan kitab, dan 29 juz sebagai
penjelasannya.
A.
Kitab-Kitab sebelum Al Qur’an
Di dalam kisah-kisah yang
disebutkan dalam Al Qur’an, Taurat diturunkan Allah kepada nabi Musa AS,
sehingga berdasarkan urutan masa-masa kenabian, maka Taurat adalah sebagai kitab
suci yang pertama diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan kemanusiaan.
1.
Taurat
Jauh
kebelakang, pada masa nabi Musa As, yaitu kitab Taurat sebagai ajaran
hidup dan dengan perjanjian keras dari Tuhannya kepada bani Israil yang telah
dibebaskan oleh Musa As dari perbudakan Fir’aun di bumi Mesir sejak
kematian nabi Yusuf As telah lama berlalu. Pada masa keemasan Yusuf As, wilayah
kediaman bani Israil (saat itu masih sebuah keluarga besar nabi Yaqub As, ayah
Yusuf) sedang dilanda kekeringan hebat menyebabkan bencana kelaparan, saat
itulah Yusuf As memboyong ayah serta keluarga besarnya ke Mesir karena
mendapatkan jaminan Raja Mesir saat itu (al Qur’an Surat Yusuf).
Akan tetapi,
setelah kematian Yusuf, dan terjadi kemudian adalah, pergantian dinasti tampuk
pemerintahan kerajaan Mesir, berubah pula kebijakan rajanya, yang sebelumnya bani
Isra’il sebagai warga kelas dua dengan kehidupan yang makmur, kemudian
berubah 180 derajat menjadi warga budak, karena dianggap sebagai bagian
dari rezim pemerintahan sebelumnya. Selama ratusan tahun kemudian, bani Isra’il
yang telah berkali-kali lipat jumlah populasinya, sampai kepada masa nabi Musa
As yang dalam pelariannya di negri Madyan mendapatkan perintah dari Tuhan agar mengeluarkan
bani Isra’il dari penderitaan di bumi Mesir, itulah sebagai wahyu pertama
kepadanya.
Kemudian
akibat keingkaran-keingkaran sebagian umatnya maka mereka terkatung-katung di
luar wilayah Palestina (QS 5:22-26), bahkan sampai lama setelah kematian nabi
Musa As. Dan sungguh sejarah kehidupan mereka, yaitu keingkaran-keingkaran
kepada Tuhannya yang tak berhenti hanya sampai di situ, telah membentuk watak
tabiat mereka yang amat menentukan kehidupan keagamaan mereka. Seharusnya agama
yang membentuk watak tabiat mereka, tetapi apa yang mereka alami adalah
sebaliknya. Justru watak tabiat mereka yang telah membentuk agama mereka.
Hal ini
disebabkan oleh 2 hal yang menjadi obsesi perjuangan mereka semenjak exodus
dari bumi Mesir oleh Musa, yaitu firman Tuhan yang menyebutkan, bahwa mereka
adalah umat (bangsa) yang terpilih
dan Palestina sebagai tanah yang
dijanjikan kepada mereka.
Begitulah
akhirnya mereka pun terseret kepada pengubahan kitab-kitab untuk keperluan
mendukung kedua obsesi yang menjadi tujuan utama kehidupan bangsa mereka yang
merasa tak pernah memiliki tanah air. Sejarah kehidupan mereka hingga
terbentuknya pola kehidupan keagamaan mereka, akan diulas mendetail pada Bagian
3 Kembali kepada Agama Allah, kemudian.
Bani Isra’il tidak hanya
memakai Taurat sebagai kitab sucinya, masih banyak lagi sumber-sumber
lainnya yang lebih mirip dengan ide-ide pemikiran, dan mereka wajibkan kepada
kaumnya untuk mensucikannya. Diantaranya adalah Talmud (riwayat-riwayat
atau mitos) dan Protokol-Protokol Pendeta Zionis (ini yang paling
belakangan datang, sekitar pada masa akhir abad ke 19). Kelak kita akan
mengurai dan mengulasnya dalam bab kehidupan keagamaan mereka.
Taurat pun mereka masukkan pula
kedalamnya kitab Zabur dari masa nabi Daud. Tidak hanya itu, Misal-Misal dari nabi
Sulaiman dan kisah Ayub pun masuk
kedalamnya. Padahal masa nabi-nabi tersebut adalah setelah masa kenabian Musa.
Tetapi hal itu adalah wajar, karena mereka adalah nabi-nabi bani Isra’il juga,
sehingga kitabnya pun sebagai yang harus diimani pula. Namun ketika masa nabi
Isa, mengapa Injil tak mereka masukkan sebagai kitab yang mereka imani pula?
Sehingga terbukalah, bahwa mereka hanya mau menerima yang sesuai dengan
keinginan dan cita-cita, serta obsesi mereka.
Taurat atau Perjanjian Lama
(The Old Testament) adalah nama ilmiah bagi sifir-sifir Yahudi, dan tidak lain
Taurat itu adalah hanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama saja. Hanya
karena Musa yang mereka lebihkan dari nabi-nabi lainnya, selain pula Daud
sebagai yang pernah berhasil mencetuskan obsesi mereka membentuk negara di
tanah Palestina. Dan Taurat dalam pengertiannya sebagai syariat ajaran-ajaran
bagi bani Isra’il yang lebih terutama bagi agama Yahudi, atau sebagai wasiat
petuah-petuah Musa dari Tuhannya bagi kehidupan bani Isra’il.
Perjanjian
Lama dipandang suci oleh agama Yahudi dan oleh agama Masehi (Nasrani), akan
tetapi sifir-sifir di dalamnya tak semuanya sama. Sebagian pendeta atau rahib
ada yang menambah-nambahkan sifir-sifirnya, dan sebagian lagi ada yang
menolaknya. Demikian dibawah ini rincian sifir-sifir di dalam Perjanjian Lama
atau yang umat Yahudi anggap sebagai Taurat ;
a.
Bagian Pertama, Taurat sebagai
sifir-sifir Musa, yaitu :
Sifir Takwin atau Kejadian (Genesis), Sifir Khuruj, Sifir
Lawiyyun (Pendeta-Pendeta), Sifir Ada (Bilangan), dan Sifir Tatsniah
(Pengecualian).
b.
Bagian Kedua, sebagai sifir nabi-nabi
:
·
Sifir nabi-nabi terdahulu,
Sifir Yasyu’ (Yusya’ bin Nun), Sifir Qudlah, Sifir Samuel I
dan II, serta Sifir al Muluk I dan II.
·
Sifir nabi-nabi yang terkemudian,
Sifir Asya’ya, Sifir Irmiya, Sifir Hazkiyal, Sifir Husya’, Sifir
Yuil, Sifir Amos, Sifir Ubadya, Sifir Yunan (Yunus), Sifir Mikha, Sifir Nahum,
Sifir Habakkuk, Sifir Hajjal, Sifir Zakaria, dan Sifir Malakha
c.
Bagian Ketiga, sebagai al Kitabat :
·
Kitab-Kitab Besar,
Sifir
al Mazamir (Mazmur atau Zabur), Sifir Misal-Misal (al Amtsal, dari nabi
Sulaiman), dan Sifir Ayub.
·
Kitab-Kitab Majalah,
Sifir Lagu-Lagu, Sifir Ra’uts (Ruth), Sifir Rintihan (dari
Irmiya), Sifir al Jami’ah, dan Sifir Astir.
·
Kitab-Kitab lainnya,
Sifir Daniel, Sufur Azra, Sifir
Nahmiya, Sifir Berita Hari-Hari I, dan Sifir Berita Hari-Hari II.
Sifir-sifir inilah kesemuanya
yang juga dipakai sebagai kitab oleh umat Yahudi dan juga umat Nasrani hanya
ada sebagian yang ditambahkan sifir-sifirnya ada pula sebagian yang ditolaknya.
Umat Samiri tidak mau menerima dan tidak menganggap sebagai kitab suci
sifir-sifir lainnya, kecuali hanya lima sifir Musa saja.
2.
Zabur (Mazmur atau Mazamir)
Kemudian,
adalah kitab Zabur, yang diturunkan kepada nabi Daud As, juga fokus
kepada umat atau bani Israil. Kitab ini diyakini bani Isra’il sebagai bagian
dari sifir sifir Taurat atau Perjanjian Lama, yang mengandung sekumpulan
lagu-lagu yang diiringi seruling, itulah sebabnya kitab ini dinamakan Mazamir.
Dan banyak dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan dan pada saat perayaan
hari-hari keagaaman bani Isra’il. Kebanyakan lagu-lagunya berasal dari masa
Daud (sekitar 73 lagu), dan lagu-lagu dari masa Sulaiman dan Asaf, serta sebagian
lagi dari masa nabi Musa yang jauh ke belakang.
Pada masa
Daud inilah, akhirnya anak keturunan Yaqub (Israil) yang terkatung-katung di
luar wilayah Palestina setelah kematian nabi Musa As, dapat dipersatukan
olehnya dan dapat memasuki serta
menduduki Palestina sebagai wilayah pembentukan negara atau kerajaannya,
sebagai “tanah yang dijanjikan”
Tuhan kepada Musa As (QS 5:21).
Pada kitab
inilah bani Isra’il mengagung-agungkan dan menyanjung dengan puji-pujian kepada
Tuhan dan Daud, dan bagi masa keemasan mereka yang telah memiliki kedaulatan
sebagai bangsa yang telah memiliki tanah air-nya.
3.
Injil
Kitab
Injil, adalah kitab sebelum al Qur’an, yang diturunkan kepada nabi Isa al
Masih As, tujuan diturunkannya kitab dan nabi ini sebagai menyempurnakan serta
memperbaiki kembali kaum atau bani Israil (keturunan Yaqub), yang pada
masa-masa kemudian menjadi umat yang besar dan tersebar sebagai umat Nasrani,
tidak lagi hanya kepada keturunan (bani) Isra’il saja, malah anak keturunan
Isra’il tetap pada agama atau ajaran sebelumnya (agama Yahudi), dan membiarkan
ajaran (agama) ini dianut oleh bangsa-bangsa lain.
Selain umat Yahudi yang memakai sifir-sifir di dalam Taurat
atau Perjanjian Lama (seperti yang telah diurai sebelumnya), juga dipakai oleh
umat Nasrani (Protestan), selain tambahan Perjanjian Baru yang mengandung 4
Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yahya) juga Surat-Surat Paulus dan Wahyu dalam
kitab suci mereka. Dan ada beberapa sifir tambahan bagi umat Nasrani
(Katholik), yaitu :
Sifir Tuwiya, Sifir Yahudit, Sifir
al Hikmah (Kebijaksanaan), Sifir Yasu’ bin Sirakh, Sifir Barukh, Sifir Makkabi
I dan Sifir Makkabi II.
Kita tak akan menilai kebenaran
dan kesucian kitab-kitab mereka dari perubahan, tambahan ataupun pengurangan pada
ulasan kitab pada bab ini, juga nanti akan terungkap dengan sendirinya setelah
kita mengulas sejarah kehidupan keagamaan bani Isra’il pada bab-bab berikutnya.
Cukuplah pada saat ini, dua firman Allah di dalam Al Qur’an di bawah ini
sebagai pijakan berpikir kita.
“..... Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah
diperingatkan dengannya.....” (QS 5:13)
“Perumapmaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya
Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu.
Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim itu.” (QS 62:5)
B.
Al Qur’an
Al Qur’an ini berisi 30 (tiga
puluh) juz dan 114. Di dalamnya, lebih menitik beratkan kepada petunjuk tentang
keimanan sebagai dasar aqidah bagi pembentukan akhlak insan kemanusiaan
yang telah diberi kitab (ahli kitab), petunjuk hukum-hukum syariah, petunjuk
tentang alam dan penciptaan segala sesuatu, petunjuk tentang hubungan sosial
kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama.
Juga disertai
penggalan-penggalan kisah umat terdahulu sebagai contoh-contoh kasus yang
ternyata masih relevan di kehidupan saat ini, bahkan sepanjang masa. Yang
diharapkan adalah dapat memahami kisah-kisah tersebut dan mengambil kebaikan
dan keburukannya sebagai hikmah, sehingga menjadikannya sebagai dasar setiap
amal perbuatan yang keluar sebagai kebaikan dari setiap perintah-Nya dan
meninggalkan setiap keburukan yang merupakan larangan-Nya.
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS 75:19)
Juz
pertama ini berisi surah al Fatihah yang ketujuh ayatnya diturunkan di Mekkah,
dan sebagian surah al Baqarah yang paling banyak jumlah ayatnya dan sebagian
besar dari keseluruhan ayatnya diturunkan di Madinah. Di dalam juz ini,
penekanannya lebih kepada keimanan sebagai pondasi dasar kehidupan kemanusiaan,
disertai juga kisah-kisah masa lalu (nabi Musa bersama umatnya bani isra’il)
sebelum kenabian Muhammad SAW yang dapat dimbil sebagai pelajaran.
A. Al Fatihah
Ada
beberapa sebutan yang diberikan kepada surah ini, diantaranya adalah,
1.
Surathul Fatihah
Surah pertama al Qur’an ini berisi 7 (tujuh) ayat sebagai surah pembuka
dan inti sari kitab Al Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah. Surah ini
juga merupakan surah yang dipakai dalam shalat dan diulang-ulang membacanya di
setiap raka’atnya.
Di dalam
Surah ini disebutkan, bahwa, dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian segala puja-pujian kepada-Nya sebagai
pencipta dan pemilik semesta alam, termasuk diri ini yang dimiliki dan
dikuasai-Nya. Serta dalam lindungan pemeliharaan Dia sebagai Maha Pemurah dan
Penyayang. Kekuasaan-Nya pun meliputi hari-hari agama, yaitu selain hari-hari
di dunia maka juga termasuk dengan hari-hari di hari kemudian, sebagai balasan
dari kehidupan sebelumnya. Keikhlasan segala ibadah atau amal perbuatan
ditujukan hanya kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya berharap pertolongan, yaitu
berupa rahmat petunjuk kepada jalan yang lurus menuju kepadaNya, yaitu jalan
orang-orang terdahulu yang telah diberi nikmat, dan bukan jalan orang-orang
yang dimurkai dan sesat yang menyiksa dirinya sendiri.
2.
Ummul Kitab
Ummul Kitab atau induk dari
kitab al Qur’an sebagai inti dari intisari keseluruhan firman-Nya, yang bila ditafsirkan amat begitu
luas dan akbarnya yang takkan dapat terhitung. Andaikan seluruh pohon di
daratan sebagai bahan baku pembuat pena dan seluruh air di lautan menjadi
tintanya, maka tak kan habis tertulis kalimat (firman) Tuhan,
sekalipun ditambah lagi sebanyak itu pula. Dapat pula bermakna sebagai miniatur
keseluruhan isi kitab yang terangkum dalam tujuh ayat pada surah ini. Miniatur
yang merangkum isi keseluruhan al Qur’an, yaitu dengan Allah sebagai Maha
Pemurah dan Penyayang (Rahmaanur-rahiiym), Allah yang menciptakan,
memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam dan
isi, berikut apa-apa yang berada diantara keduanya (Rabbul ‘aalamiiyn).
Juga
Allah yang menguasai hari-hari agama atau hari kemudian (Maalikiyaw
mid-diiyn) dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Maka Dia-pun menyempurnakan
kehendak dan ketetapan-Nya dengan petunjuk, berupa jalan yang lurus
(Diynul qayyimah atau sirathal mustaqiiym) untuk mencapai keselamatan hidup
baik di dunia dan akhirat, dalam bentuk nikmat-Nya, dan bukan jalan
orang-orang yang dimurkai Allah, juga bukan jalan orang-orang yang berlaku
zhalim dan ingkar kepada-Nya.
3.
Ayatul Mukammah
Adalah sebagai ayat-ayat
pembuka keseluruhan isi kitab, serta merupakan makna akhir dari kesimpulan
penafsiran keseluruhan isi kitab. Keutamaannya adalah menyebut nama Tuhan, yakni Allah
sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang, puji-pujian kepadaNya
sebagai pencipta, pemilik, serta pemelihara semesta alam
beserta isinya, juga penguasa pada hari-hari ‘agama’ (dibahas
panjang lebar di keimanan kepada hari akhir), keikhlasan ibadah atau
amal perbuatan, Petunjuk kepada nikmat-Nya dan menghindari kemurkaan-Nya dengan
tidak berbuat zhalim (menyiksa) yang ternyata perbuatan itu akan kembali
kepada dirinya sendiri.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam),.....” (QS 6:125)
Tidak
hanya sekedar sebagai ayat-ayat yang membuka keseluruhan kitab Al Qur’an, akan
tetapi juga merupakan pembuka dada setiap diri pembacanya untuk menerima
kebenaran dari Tuhannya.
4.
Kitab Baqa
Ada dua pengertian makna Kitab
Baqa ini. Yang pertama, adalah kitab (tujuh ayat al Fatihah) yang abadi
dari semenjak adanya hingga akhir jaman, sebagai yang dipakai secara terus
menerus tiada pernah berhenti di alam ini. Di dalam shalat saja, di suatu zona
waktu (berdasarkan gerak matahari) tertentu yang berbeda dengan zona lainnya
telah dikumandangkan ketujuh ayat ini di dalam raka’at shalatnya, kemudian pada
daerah didekatnya dengan zona waktu yang berikutnya, masuk waktu shalat yang
juga mengumandangkan ketujuh ayat ini pula, begitu seterusnya hingga kembali
kepada zona waktunya lagi setelah satu hari. Begitu setiap harinya, sehingga
bumi ini dipenuhi jejak-jejak kumandang ketujuh ayat ini, dan menembus
lapisan atmosfeer ke luar angkasa menuju langit, sehingga semesta alam ini
menjadi hard disk penyimpan jejak kumandang ketujuh ayat ini.
Yang
kedua, adalah makna kitab diri-diri setiap kemanusiaan yang telah dianugerahkan
Tuhannya, yang juga sebagai bawaan kepada menentukan hari kemudian-nya,
kelak.
“Tidaklah suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 57:22)
Dengan kitab inilah setiap diri
kemanusiaan telah ditentukan sifat atau karakternya, yang dalam ilmu biologi
dalam rantai DNA-RNA yang didalamnya terdapat kromosom sebagai pembawa sifat
(karakter) diri-nya. Sifat atau karakter inilah sebagai penentu kehidupan-nya
di kemudian hari. Dan inipun sebagai yang abadi sesuai kemakhlukan-nya,
sekalipun dia mengalami kematian, kebangkitan, dan hidup kembali di kehidupan
yang baru, maka tetap membawa sifat bawaan tersebut sebagai cetak biru karakter
diri-nya.
Hubungannya dengan ketujuh ayat
surah al Fatihah sebagai kitab baqa adalah kepada makna-makna yang terkandung
di setiap ayatnya, yang merangkum hidup dan kehidupan setiap diri
kemanusiaan ke arah satu tujuan sejati, yaitu nikmat-Nya.
Sekalipun setiap diri memiliki
sifat dan karakter yang saling berbeda satu sama lainnya, maka juga akan
mempengaruhi pola hidup dalam kehidupannya, sehingga jelas akan mempengaruhi
pula nikmat yang akan diterimanya. Dengan demikian, diperlukan petunjuk dan
pertolongan Dia sebagai yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, serta yang
menguasai semesta alam sebagai tempat hidup dan kehidupannya. Dimana di alam
ini, segala sesuatu berpasang-pasangan, maka segala sesuatu akan ditemuinya
dalam bentuk kebaikan dan keburukan, sehingga diperlukan petunjuk
kepada kebaikan (nikmat-Nya) agar tidak tersesat kepada keburukan.
Belum
lagi di setiap mengawali atau mengakhiri doa-doa, yang juga sering menggunakan
ketujuh ayat ini, sebagai pelengkap permohonannya kepada Tuhannya. Keabadiannya
di semesta alam ini membawa rahmat-Nya mengalir terus menggerakkan kehidupan
seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang takkan pernah berhenti hingga pada
masa yang telah ditetapkan-Nya. Akhir Zaman.
5.
Kitabul Insan
Sebagai kitab pegangan bagi
hidup kemanusiaan yang begitu rentan dari godaan bujuk rayu iblis yang
dapat menjerumuskannya kedalam kehinaan. Tujuh ayat di dalamnya hanya dapat
dipahami dengan uraian penjelasan dari keseluruhan ayat atau firman-Nya yang
berada pada surah-surah lainnya, disitulah segala sesuatu terpapar, sekalipun
masih memerlukan penafsiran yang atas petunjuk dan kehendak Dia pula.
Sekalipun secara ringkas dalam
surah Al Fatihah ini menerangkan kemanusiaan, seperti ayat yang menyebutkan
agar hanya kepada Allah saja tujuan peribadatan dan dalam meminta pertolongan,
serta agar ditunjuki jalan lurus untuk memperoleh keselamatan. Dan penjelasan
dari ayat-ayat tersebut berada pada surah-surah lainnya secara yang lebih luas
dan terperinci, seperti hukum-hukum, sosial kemasyarakatan, dan lainnya hingga
akhirat sebagai yang ghaib.
Kitab
yang berisi kebenaran sejati kepada setiap insan kemanusiaan,
yang diturunkan oleh yang Maha Benar, melalui ruhul kudus (ruh yang suci dari
kesalahan), diterima pula oleh rasul (Muhammad bin Abdullah) yang penuh dengan
kebenaraan dalam akhlaknya, dengan gelar al amiin. Untuk disampaikan
kepada seluruh insan kemanusiaan yang ternyata pula sebagai cikal bakal
(calon) rasul. Sehingga terjadi kesinambungan penyampaian kebenaran sejati
yang tiada putus-putusnya sepanjang masa kehidupan insan kemanusiaan.
6.
Kitabul Mats-tsaniiy
Adalah sebagai 7 (tujuh) ayat
yang diulang-ulang, dalam shalat wajib lima waktunya setiap harinya. Dalam
setiap pembuka doa-doa yang dipanjatkan atau dimohonkan kepada-Nya, karena
sebagai inti dari intisari kitab yang mengandung makna yang luas, meliputi
keseluruhan petunjuk Dia yang Maha Rahman dan Rahim kepada insan kemanusiaan.
Sering
digunakan secara berulang-berulang dalam setiap harinya, karena ketujuh ayat
ini sangat begitu dihargai dan ditinggikan, bahkan dianggap sakral
sebagai pembuka dan penutup pada setiap permohonan doa-doa oleh sebagian besar
umat muslim.
7.
Kitabum-munir
Adalah
Kitab yang Terang dan Nyata, yaitu yang menerangi jiwa dengan kebenaran
sejati setiap insan kemanusiaan, kemudian diharapkan dapat membuka dadanya
agar segala petunjuk, yang merupakan hikmah, dapat masuk dan mengeluarkannya
kembali kepada bentuk amal perbuatan yang menerangi pula apa-apa yang berada di
sekelilingnya.
“......
lalu diantara
mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang besar”, (QS 35:32)
Terang
dan nyata kebenaran ketujuh ayat ini adalah setelah dada dapat terbuka, hatinya
melihat, dan akalnya berpikir bahwa segala apa yang telah diterimanya melalui
petunjuk Tuhannya adalah seperti yang telah dijelaskan di dalam kitab ini.
Sehingga kebenarannya dapat diterima indera-indera jasad dan diterima hatinya.
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca
suatu ayat dari Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak
ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 10:61)
Maka
hatinya tak dapat mengingkari segala nikmat kebenaran firman-Nya di ketujuh
ayat al Fatihah ini yang terpapar dan tersebar di semesta alam ini. Yang
sesungguhnya ternyata, kedua mata adalah mata milik-Nya, kedua telinga adalah
milik-Nya, dan berikut yang lain-lainnya adalah dianugerahkan kepadanya adalah
milik-Nya, yang dirasakan oleh diri (nafs)-nya hanya nikmat. Yang kelak,
segala anugerah tersebut, akan diminta pertanggung jawabannya, apakah
pengelolaannya digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Baik buruk-nya pasti
akan kembali kepada jiwa yang kelak akan merasakannya kembali sebagai buah
dari yang ditanam sebelumnya.
B. Tiga Ayat yang Utama
Utamanya ketiga ayat utama ini adalah kalimat yang bermakna
perwujudan kemuliaan sifat Tuhan, yakni Allah yang sebagai pelindung karena
Dia-lah Yang Maha Melindungi, pemelihara karena Dia-lah Yang Maha Pemurah dan
Penyayang, dan sebagai tujuan setiap puja dan pujian karena Dia-lah Yang Maha
Sempurna yang mencipta segala sesuatu (termasuk rasa apapun, juga rasa kagum)
dengan amat sempurna, tanpa ada kecacatan ataupun kekurangan pada setiap bagian
dari ciptan-Nya, yang merupakan perwujudan dari setiap kehendak-Nya di semesta
alam ini. Sehingga hanya kepada-Nya lah yang pantas segala puja dan puji di
tujukan.
·
Ta’awudz
Ta’awudz
ini sebenarnya bukanlah termasuk salah satu ayat yang terdapat di dalam
surathul Fatihah, melainkan di dalam (QS 16:98). Akan tetapi sebuah perintah.
Perintah-Nya agar memohon perlindungan Tuhan setiap sebelum membaca ayat-ayat
al Qur’an. Jadi, ta’awudz ini adalah memohon perlindungan dalam setiap
mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari kesesatan dalam
memahami makna-maknanya, sehingga terhindar dari kesalahan ataupun penyesatan
yang dilakukan oleh iblis.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk.” (QS 16:98)
Bila dalam ibadah atau perbuatan
hendak membaca al Qur’an. Yang sekalipun ayat-ayat tersebut adalah petunjuk
dari-Nya, dan yang jelas-jelas adalah
Kitab Suci yang disucikan oleh-Nya saja, maka kita diingatkan untuk selalu berlindung dahulu
kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak mengawali setiap amal perbuatan yang
lainnya. Maka sucikanlah setiap amal perbuatan tersebut dengan berlindung
dahulu kepada Dia yang memiliki hari kemudian.
Kembali
kepada yang telah diurai sebelumnya, yaitu bagaimana dendam yang abadi
dari iblis kepada kemanusiaan yang dijelaskan pula di ayat berikut ini,
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
“...kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Sebab
itulah bahayanya kesesatan yang dibisikkan iblis, sekalipun amal perbuatan kita
adalah menuju kepada kebaikan, maka tetap tak lepas dari bahaya bujuk rayu
penyesatannya. Kitab-Nya memanglah suci, akan tetapi yang sampai kepada kita,
pembacanya, adalah pemahaman, yang dapat saja tersentuh atau terkontaminasi
oleh kekotoran yang menyesatkan, sehingga yang keluar sebagai amal perbuatan
pun berupa kekotoran atau keburukan. Itulah yang sesungguhnya diharapkan untuk
dihindari.
· Bismillaahir-rahmaanir-rahiiymi
“Dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah, sebagai yang
Maha Pemurah dan Penyayang.”
Dengan pula menyebut nama Dia
yang Maha Pemurah dan Penyayang, selain memohon perlindungan-Nya, sebelum
melakukan setiap amal perbuatan sebagai perwujudan mengakui bahwa segala
sesuatu, termasuk pada amal perbuatan, adalah karena dan kepada-Nya
ditujukan, serta merupakan kehendak-Nya yang suci dari segala hasrat, hawa,
serta keinginan yang dapat menyesatkan diri (jiwa)-nya. Tidak hanya dengan
menyebut nama Dia, melainkan pula mengakui segala rahmat dan nikmat-Nya sebagai
wujud bersyukur, maka menghilangkan pengakuan (ego)-nya yang merasa karena
kekuatan diri-nya lah yang berbuat, dan tidak melupakan sesungguhnya kekuatan
untuk berbuat adalah karena kekuatan-Nya. Sehingga dia akan selalu berada dalam
kesadaran akan kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada diri-nya.
Kesadaran
itu pulalah yang membawa amal perbuatannya yang pemurah sebagai wujud rasa
ikhlasnya, dan amal perbuatan yang didasari kasih sayang sebagai wujud rasa
syukurnya. Adalah nama-nama atau sebutan-sebutan yang merupakan refleksi dari
sifat-sifatnya yang terangkum di dalam Asma al Husna (nama-nama terbaik-Nya),
sehingga menginspirasi (menggugah kesadaran)-nya, bahwa dirinya adalah sebagai
perwujudan Tuhan di bumi. Itulah kehendak Tuhan yang disadarinya.
· Alhamdulillaahi
rabbil ‘aalamiiyn
Segala puja dan puji hanya ditujukan karena dan kepada
Dia, yaitu Allah Tuhan
Semesta Alam,
Memuji Dia, yang hanya kepada-Nya segala pujian sesungguhnya dituju dan
kembali pulang kepada-Nya. Tiada sesuatupun yang merupakan makhluk yang
sesungguhnya tepat sebagai tempat tujuan pujian selain Dia. Karena segala
sesuatu pun adalah menerima rahmat dan kekuatan hanya dari-Nya.
Bukan karena
ego-Nya, maka Dia menyatakan hal itu di dalam firman-Nya tersebut, akan tetapi
karena hawa setiap diri kemanusiaan yang sangat mudah terjerumus
oleh godaan dan bujuk rayu iblis yang justru menyesatkan. Puji-pujian sungguh dapat
menggoda dan menjerumuskan jiwa kemanusiaan, yang memang telah memiliki pula
fitrah seperti itu, sebagai yang rapuh dan amat mudah terjerumus oleh
penyesatan iblis yang menjerumuskan. Karena sesungguhnya segala sesuatu adalah
kembali kepadanya sebagai tujuan dari segala tujuan.
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan
menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
C. 30
Juz
sebagai Penjelasan
Al Qur’an yang terdiri dari 30
(tiga puluh) juz, pada juz pertama sebagai intisari kitab, dan 29 (dua puluh
sembilan) juz sisanya merupakan uraian penjelasan juz pertama-nya secara lebih
luas dan mendetail berikut tambahan-tambahan kisah-kisah nabi yang lainnya.
Penjelasan secara meluas ini merupakan petunjuk keimanan yang mengarahkan
kepada keselamatan hidup setiap diri insan kemanusiaan sepanjang zaman.
Dan Al Qur’an secara
keseluruhannya juga disebut sebagai, kitab yang Terjaga, kitab Petunjuk (Hikmah
Kebijaksanaan), kitab Pembeda, kitab Perintah dan Larangan, kitab yang
Membenarkan Kitab Kitab Sebelumnya, dan kitab yang Memberitakan Kabar Gembira.
1. Kitab yang Terjaga
Sebagai kitab yang terjaga, al Qur’an yang
diturunkan secara berangsur-angsur, selain berisi perintah dan larangan,
cerita-cerita umat terdahulu, penciptaan alam, juga diturunkannya ayat-ayat yg
sebagai solusi problematika umat saat itu, sebagai bukti hubungan yang erat
antara Allah sebagai Tuhan yang Maha Tahu dengan Muhammad sebagai rasul-Nya
yang menerima wahyu sebagai petunjuk yang benar dari yang Maha Benar dan
diwahyukan kepada orang yang penuh kebenaran serta terpuji akhlaknya (al
amiin). Keterjagaan kitab-Nya ini dijamin oleh Allah melalui firman-Nya,
seperti yang dikutip di bawah ini,
“Bahkan
ialah al Qur’an yang mulia, yang
(tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (lauh mahfuz).” (QS 7:16-17)
Diturunkan
dengan menggunakan bahasa yang terdengar indah dan memukau melebihi karya
sastra yang belum pernah ada hingga saat ini yang dapat menyamainya. Bahkan
ditantang oleh Dia yang mewahyukannya bila ada yang hendak menyerupai
firman-firmannya, sekalipun hanya satu surah. Dan Allah menjamin terjaga
kebenaran serta keasliannya dari usaha-usaha kejahilan yang hendak menodainya
hingga akhir zaman. Dan telah terbukti dengan berbagai peristiwa yang berusaha menodai-nya
namun selalu saja gagal. Itulah jaminan dari Dia yang Maha Pemelihara.
“Dan jika kamu meragukan (al Qur”an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka
buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah,
jika kamu orang yang benar. Jika kamu tak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak
akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka
yang bahan bakarnya dari manusia dan batu yang disediakan bagi
orang-orang kafir.” (QS 2:23-24)
Ditambah lagi dengan jutaan orang yang hafal di setiap masa,
dan semakin bertambah banyak ke setiap masanya, karena budaya semenjak awal
turunnya wahyu yang dianjurkan untuk dihafal dan dibiasakan oleh nabi
Muhammad SAW. Maka jaminan dari Tuhan ini, menjaga keotentikan, kebenaran, dan
kesuciannya hingga akhir zaman sebagai kitab panduan insan kemanusiaan, dan tak
pernah lekang di setiap waktu baik dari sisi bahasa, sastra, ilmu dan
pengetahuan, serta seni keindahan kaligrafi serta keindahan bunyi bacaannya.
“Sebagaimana
(Kami telah memberi peringatan). Kami telah menurunkan (azab) kepada
orang-orang yang memilah-milah (kitab Allah).” (QS 3:3-4)
2.
Kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan)
“Demi al
Qur’an yang penuh hikmah.” (QS 36:2)
Al Qur’an merupakan kitab yang
dalam arti luas, berisi petunjuk berupa hikmah kebijaksanaan yang dapat
membawa mereka menuju kepada keselamatan hidup di dunia maupun kelak di
akhirat. Terpapar beruraian sebagai petunjuk hidup, petunjuk ilmu dan
pengetahuan tentang alam, petunjuk ilmu sosial kemasyarakatan, petunjuk hukum,
petunjuk ketata negaraan, serta pula petunjuk kepada ilmu perdagangan. Kemudian
tidak lepas sebagai petunjuk kepada hari akhir atau hari kemudian, sebagai
suatu masa yang baik maupun buruknya adalah ditentukan oleh amal
perbuatan masa sekarang.
Di dalamnya banyak petunjuk
kepada berlaku adil serta bijaksana dalam setiap permasalahan, menyikapinya
dengan tidak berlebihan, terutama pada menuruti hawa nafs-nya. Dan akibat tidak
berlaku adil adalah kecelakan sebagai yang kembali kepada diri-nya.
Memperjuangkan yang haqq dari kebathilan atau kezaliman, serta kemudian,
setelah terselamatkan, kembali untuk menyelamatkan kezaliman itu sendiri, agar
keluar dari kezalimannya. Demikianlah makna rahmat bagi semesta alam. Karena di
alam, segala sesuatu selalu berpasangan.
Kitab yang menjunjung hukum
bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang
terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata
(qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah
apabila si-korban hendak memaafkannya. Dan Allah memuliakannya dengan membalas
berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Sebagai
kitab petunjuk, di dalamnya banyak ayat-ayat yang tersurat gamblang dan jelas
sebagai petunjuk yang pasti, dan banyak pula yang tersirat atau memerlukan
penafsiran sehingga mengandung makna yang luas yang tiada akan pernah habis
untuk disimpulkan penafsirannya. Sebagai petunjuk, yaitu dari hal-hal yang
masih belum diketahui (gaib). Hanya dengan kehendak Allah-lah maka
petunjuk-petunjuk tersebut akan terbuka sebagai hikmah pengetahuan yang nyata
menjelaskan (QS 2:105).
“Dan kunci-kunci segala yang gaib (belum diketahui) ada pada-Nya, tidak ada
yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.
Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau
yang kering, yang tidak tertulis di dalam kitab yang nyata.” (QS 6:59)
3.
Kitab Pembeda
Adalah kitab yang menjelaskan
perbedaan segala sesuatu, baik yang nyata kelihatan dan yang nyata tidak
kelihatan, membedakan secara jelas sebagai pasangan segala sesuatu yang
selalu hadir dan mempengaruhi setiap diri kemanusiaan. Membedakan antara yang
terang dengan yang gelap, yang baik dengan yang buruk, serta jalan lurus dengan
jalan yang menyesatkan. Karena segala sesuatu Allah ciptakan secara
berpasang-pasangan.
Dibedakan bukan untuk ditolak,
melainkan untuk diketahui dan dapat menerima baik-buruknya, sebagai fitrah
hidup setiap diri kemanusiaan, yaitu menerima. Segala sesuatu yang ada
pada diri-nya adalah karena dapat menerima (hidup), dan adalah karunia
Tuhan-nya. Baik itu kekayaan harta benda, anak-istri, jabatan atau kedudukan,
sekalipun kemiskinan dan kemelaratan serta kesengsaraan, semuanya adalah karena
menerima. Adakah yang tidak diterimanya? Bahkan hidup dan matinya.
Tidaklah
ada kekuatan dari sesuatu atau siapapun yang dapat menolak kekuatan dan
kehendak Allah. Jika Dia telah menetapkan, sekalipun jiwanya menolak, tetapi
tetap harus diterimanya sebagai keterpaksaan, akibatnya bathinnya menjadi
resah, jiwanya gelisah, dan apapun geraknya menjadi serba salah.
Padahal, siapapun mengetahui dengan benar dan sadar diakuinya, keikhlasan
adalah kuncinya. Dan kita akan mengurainya pada bab tersendiri, di belakang.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan (agama), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Allah
menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan. Dan dirinya sendiri-lah
yang mengklasifikasikan segala sesuatu tersebut sebagai baik maupun buruk
bagi dirinya. Apakah itu kebaikan dan keburukan, benar dan salah, siang dan
malam, anugerah dan bencana, rahmat dan azab, surga dan neraka, maupun yang
lain-lainnya sebagai pembanding sebelum memutuskan setiap amal perbuatan.
Padahal segala sesuatunya tersebut pasti hadir secara beriringan
pada kehidupan, sebagai ketetapan yang merupakan fitrah setiap makhluk
ciptaan dari Allah. Seperti menerima sakit setelah sekian lama hidup sehat,
atau pada umumnya profesi pedagang yang tidak dapat menerima bila
mengalami kerugian.
4.
Kitab Perintah dan Larangan
Sebagai petunjuk kepada hikmah
yang merupakan kebijaksanaan Dia yang Maha Adil, dan demi keselamatan hidup,
maka tentunya petunjuk-petunjuk tersebut ibarat rambu-rambu yang berupa
perintah dan larangan yang berkesan ‘keras’dan ‘tegas’, namun demikian banyak
pula diri kemanusiaan yang membandel melanggarnya, yang padahal perintah
dan larangan tersebut justru ternyata adalah demi kebaikan dan keselamatan
mereka pula. Itulah luar biasanya iblis dalam usaha penyesatannya (QS al Hijr 39).
Inilah
kitab yang patut sebagai dasar pijakan atau sumber dari segala sumber hukum
dalam kehidupan sebagai pribadi, keluarga, lingkungan, hingga kepada kehidupan
berbangsa dan bernegara, agar tidak terjerumus pada usaha penyesatan iblis.
Seperti yang diperingatkan Allah di dalam firman-Nya,
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
5.
Kitab yang Membenarkan Kitab Sebelumnya
“Dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah
benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
Al Qur’an, selain adalah kitab yang
membenarkan kitab-kitab yang telah datang sebelumnya, juga merupakan kitab yang
dibenarkan pula akan kedatangannya oleh kitab-kitab tersebut.
“Dan
sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (disebut) dalam
kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama bani Isra’il mengetahuinya.” (QS 26:196-197)
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh
yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi lainnya,
yaitu Injil, Zabur, Taurat, juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha,
dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian,
merupakan kehendak Tuhan yang turun sebagai petunjuk kepada insan-insan
kemanusiaan yang terpilih menjadi rasul (utusan)-Nya untuk disampaikan kepada
masing-masing umat atau kaumnya.
Kehendak Dia-lah menurunkan kitab-kitab tersebut kepada siapa, dan
kapan, serta tempat atau wilayah diturunkannya. Yang jelas, bahasa kitabnya
memakai bahasa kaumnya, dan situasi atau suasana kehidupan yang telah rusak
parah akan menjadi sebab diturunkannya sebagai peringatan dan usaha perbaikan
kearah kehidupan yang dikehendaki Tuhannya.
Kitab-kitab
tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri
kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh
diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah
kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal). Kitab-kitab tersebut
diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda
satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti
berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian
yang universal mutlak ada dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah
kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan.
“......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
Dan
tidaklah pantas, bagi insan kemanusiaan malah terjerumus pada
perbedaan-perbedaan tersebut yang merupakan ketetapan Allah (sunathullah),
Tuhan semuanya. Berbantah-bantahan, saling mengejek, atau bahkan saling
menghina dan menghujat hingga malah saling menumpahkan darah, yang itu semuanya
merupakan perbuatan perwujudan kehendak iblis yang menginginkan setiap insan
kemanusiaan terjerumus pada kesesatan.
6.
Kitab yang Memberitakan Kabar Gembira
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab kepada
hamba-Nya
dan Dia tidak menjadikannya bengkok, sebagai petunjuk yang lurus, untuk memperingatkan
akan siksa yang amat pedih dari sisi-Nya dan
memberitakan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan
bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik.” (QS 18:1-2)
Sebagai petunjuk
yang lurus, al Qur’an mengandung kebenaran sejati dari Dia yang Maha
Benar, selain memperingatkan kepada setiap diri kemanusiaan akan amal perbuatan
yang berlawanan dengan apa-apa yang telah ditunjuki Dia, dan akibat-akibat yang
akan dituainya kelak, sebagai yang akan menyiksa dirinya sendiri. Begitupun
kepada amal perbuatan yang searah dan sesuai dengan kebenaran sejati tersebut,
maka akibat-akibatnya pun akan dituainya sebagai kebaikan pula yang kembali
kepada dirinya, sebagai berita gembira yang datang terlebih
dahulu sebagai firman-Nya di dalam al Qur’an.
Sesungguhnya,
bukanlah Dia yang menghukum, akan tetapi segala pengakuan-nya sendirilah
yang menghukum dirinya sendiri. Disebabkan setiap amal perbuatannya adalah
perwujudan dari setiap pengakuan yang menyesatkan jiwanya karena
mengaku-ngaku ‘aku’-nyalah yang berperan, sehingga diri atau jiwa-nya
pulalah yang harus mempertanggung jawabkannnya.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik”.
(QS 9:24)
Diri yang ber-Kekitaban (Ahli Kitab)
“Dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar,
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha
Mengetahui, Maha
Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
“Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu
diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan, dan ada
pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu
adalah karunia yang besar.” (QS 35:32)
Kebanyakan
kita kaum muslimin beranggapan, bahwa ahli kitab dipersepsikan kepada
mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Padahal dari segi bahasa, ahli kitab
bermakna kepada mereka atau siapa saja yang telah menerima kitab dari Allah. Adalah
mereka, insan kemanusiaan, yang telah diberi kitab dan petunjuk dari Tuhannya,
yang seharusnya terefleksikan pada kesempurnaan akhlak sebagai perwujudan keimanan-nya
yang keluar membentuk pola kehidupannya yang terpuji. Begitulah sebutan ahli
kitab, yang bermakna sebagai yang
pantas menyandang sebutan ahli, yaitu sebagai pewaris haqq yang seharusnya
mengelola dengan baik dan sempurna dari segala yang diberikan atau yang
dianugerahkan kepadanya, yaitu berupa kitab sebagai petunjuk kepada hikmah.
“Dan sungguh telah Kami anugerahkan Kitab (Taurat)
kepada Musa,
maka janganlah
engkau ragu-ragu menerimanya dan Kami jadikan kitab itu petunjuk bagi bani Isra’il.” (QS 4:171)
Tidak sedikit pula mereka yang
berpaling setelah mendapatkan petunjuk, akibat terjerumus dan terlenanya jiwa
pada hawa kehidupan dunia yang menggoda dan terlihat indah. Bahkan dengan
kekejiannya, iblis mengemas kesesatan tersebut dengan sedemikian rupa
agar terlihat sebagai suatu “kebaikan” yang indah bagi pandangan mereka (QS al Hijr 39).
Kebanyakan
kita, umat muslim, menerjemahkan ahli kitab kepada mereka umat Nasrani
dan Yahudi, tidak termasuk diri-nya. Padahal diri-nya pun sebagai yang menerima
kitab. Dan tuduhan kepada mereka, sebagai yang merubah kitab. Sekalipun
disebutkan di dalam firman-Nya di dalam al Qur’an, tidaklah pantas kita sebagai
kemanusiaan ikut menuduh. Karena akan semakin memperlebar jurang perbedaan yang
dapat mengarah kepada pertikaian. Cukuplah dengan saling berbuat kebaikan dan
saling menghargai sebagai makhluk Allah. Dan cukuplah memahami makna ayat
tersebut sebagai ancaman larangan dari Tuhan kepada mereka, siapapun yang
mencoba-coba hendak mengubah isi kitab-Nya, yang merupakan firman yang mutlak
kebenaran-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu
......” (QS 4:171)
Jika demikian apakah atau
dimanakah batas-nya itu? Maka kembalikanlah kesadaran jiwa dengan mengakui
segala sesuatunya sebagai rahmat karunia dari Dia dan bersyukur, Allah ar
Rahman yang Maha Pemurah. Dan hindari segala macam pengakuan bahwa hanya
dirinyalah yang memiliki apa-apa yang telah dianugerahkan (yang
sebenarnya hanyalah titipan atau amanah) kepadanya, apapun itu. Intinya adalah,
hanya Dia-lah pemilik segala sesuatu, tanpa terkecuali. Ternyata
bukanlah anugerah dalam arti, hibah kepemilikan yang diberikan
kepadanya, melainkan hanyalah titipan atau amanah yang wajib
dikelola dengan baik dan benar, apapun itu, istri dan anak-anak, harta benda,
rumah tingggal, kendaraan, dan ladang pekerjaan, serta seluruhnya yang
merupakan apa-apa yang diterimanya, sekalipun petunjuk atau hikmah.
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang di dalam) dada dan petunjuk serta
rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (QS 10:57)
Jangan biarkan jiwa kita
terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan
setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa
membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya.
Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad, padahal ternyata
dibelokkan dengan malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme.
Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain
dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka. Sesungguhnya,
bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.
“.........
Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang
lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Menghalangi mereka (umat lain)
beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri. Dan
merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri.
Sadarilah, bagaimana perbedaan pada masa, tempat atau wilayah, umat, bahasa
atau sebutan-sebutan, kala ajaran atau agama diturunkan Allah, adalah suatu
yang lumrah. Dan hal tersebut juga merupakan kehendak Allah. Bagaimana bila
Allah membiarkan setiap diri kemanusiaan, dalam naungan umat, serta atas nama
agama, saling balas membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Dan Allah “me-monumen-kan”
wilayah atau negri Palestina selama ribuan tahun sebagai contoh buruk
pergolakan perebutan ‘ego’ umat agama-agama samawi, sejak setelah
kematian nabi Musa As. Semua mengaku atas nama keturunan Ibrahim, atas nama
agama dan atas nama Tuhannya. Semua mengaku Ibrahim sebagai
bapaknya, padahal semua memang keturunan Ibrahim, bangsa arab berbapak Ismail
yang adalah anak Ibrahim dari Siti Hajjar (istri kedua), dan bangsa israel
berbapak Yaqub (Israel) yang adalah cucu Ibrahim dari anaknya Ishak dari Siti
Sarah (istri pertama). Sekalipun semuanya merasa “benar” menurut anggapan
mereka, tetapi mereka semuanya salah menurut Allah dikarenakan ego-nya
yang menyesatkannya kedalam bentuk perbuatan saling merusak dan saling
menumpahkan darah. Maka yang puas adalah iblis. Dan dia-pun telah lama
meninggalkan wilayah tersebut, mencari wilayah-wilayah lain demi kesibukannya untuk
menghasut dan menjerumuskan diri-diri kemanusiaan lainnya. Telah sampaikah
iblis di wilayah atau negri kita, disini dan saat ini? Bagaimana dengan yang
pernah terjadi di Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Sampang, dan sekarang yang
mengkhawatirkan adalah Papua.
Adalah Allah, Dia-lah Tuhan
yang Mutlak di semesta alam ini, baik sebagai Tuhan umat muslim, nasrani,
yahudi (bani israil), budha, hindu, khong hu chu, shinto, maupun umat-umat
lainnya, yang ternyata bukanlah merupakan umat agama. Agama atau ajaran tetaplah
satu, yaitu Agama Allah (diynul qayyimah, QS 98:5). Sementara yang kita sadari,
adalah hanya pada kesamaan inti ajarannya, akan tetapi tetap merasa dan
menganggap hanya ajaran atau agama milik kitalah yang benar, sementara
yang lain adalah dalam kesesatan. Padahal rasa seperti itulah
yang justru dapat menyesatkan diri kita, seperti layaknya tersesatnya iblis
dengan kesombongannya saat diperintah Tuhannya untuk sujud (tunduk)
kepada Adam (QS 2:34).
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya”. (QS 15:39)
Memang secara nyata, al Qur’an
sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, akan tetapi, juga membenarkan
keberadaan kitab-kitab sebelumnya, maka tidaklah layak hal itu malah
menjerumuskan diri kita kepada kesombongan seperti sombongnya iblis. Resapi dan
akuilah, bila kita melihat seseorang yang jauh lebih hebat, pintar, dan cerdas
daripada kita, tetapi bersikap angkuh dan sombong. Maka hilanglah segala kelebihannya
tersebut di mata kita, seakan-akan menginginkan dia tidak ada. Berhati-hatilah
dan selalu waspada pula terhadap segala sesuatu yang berlebihan dalam
menghadapi atau menjalankannya. Karena sesungguhnya, segala sesuatu tersebut
adalah merupakan anugerah Dia Tuhan yang Maha Pemurah kepada dirinya, sekalipun
itu anugerah berupa petunjuk atau hikmah.
Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam
agamamu,
Bab V
MEYAKINI HARI AKHIR
(HARI KEMUDIAN)
“Atau apakah manusia
akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah
kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
(QS 53:24-25)
A
|
llahu maalikiyaw mid-diiyn, Dia,
Allah Pemilik dan Penguasa ‘hari-hari agama’, adalah merupakan pijakan
uraian mengenai rukun iman yang ke lima ini. Literatur umum, menafsirkan ‘yaw mid-diiyn’ sebagai hari
pembalasan, akhirat, serta surga dan neraka. Dalam terjemahannya yang jelas,
maksudnya lebih menekankan peran agama sebagai ‘diyn’, yaitu petunjuk
ajaran atau aturan hidup menuju keselamatan. Makna
luasnya adalah kehidupan yang diisi hari-hari yang tidak pernah lepas dari aturan
hidup sebagai petunjuk dari Allahu rahmanur-rahiiym
dan Allahu raabal ‘aalamiiyn,
sebagai Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Tuhan semesta
(seluruh) alam. Apakah itu kehidupan di dunia ataupun di akhirat, maupun
diantara keduanya seperti hidup menanti di alam kubur.
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari
agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan
kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki,
merahmati dan menguasai-nya. Sehingga tidak tepatlah, anggapan
sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,
bahwa telah terputus-nya segala amalan. Sebagaimana
kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin
dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena
ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun
pada kehidupan di hari kemudian.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Pada
ayat diatas dijelaskan, bahwa para penghuni surga pun masih memerlukan
keselamatan dari kejahatan yang ada pada hari itu. Karena ketetapan
Allah adalah mutlak untuk di segala ruang (alam) dan waktu
(yang lalu, sekarang, maupun kemudian). Dan Allah pun menegaskan, bahwa alam
surga dan neraka pun adalah berada di alam dunia ini, dan sedang
berlangsung sekarang ini.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Dengan
demikian, apakah sekarang ini, kita sedang berhadapan dengan orang-orang yang
sedang mengalami surga dan neraka-nya? Berarti, diri kita ini pun
sedang mengalaminya? Hal ini akan semakin jelas, setelah kita masuk pada uraian
tentang kematian dan kebangkitan. Bersabarlah dalam memahami
makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an, dan mohonlah perlindungan-Nya,
agar kita tidak mudah tersesat.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari (penyesatan) syaitan yang
terkutuk.” (QS 16:98)
“..... dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan
katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS 20:114)
Pada hari akhir, kata ‘akhir’
adalah lawan kata ‘awal’, bermakna ujung dari sesuatu, yang lebih
menekankan waktu atau saat kejadian berujung. Hari Akhir dapat berarti, akhir
dari suatu urusan dalam kehidupan dunia, dan dapat pula merupakan berakhirnya
hidup di dunia (kematian), serta bermakna yang jauh lebih luas lagi, yaitu akhirnya
dunia atau semesta (kiamat). Akan tetapi hari akhir hanyalah masa
transisi atau peralihan atau pula penantian, yang berisi masa
pengadilan atau penilaian, perhitungan, maupun hisab, untuk menentukan kemana
kemudian kehidupan selanjutnya tertuju, yaitu hari kemudian.
Seperti adanya esok
setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, dan
adanya memetik setelah menanam. Seperti pula, naik atau tidak
naik kelas, lulus atau tidak lulus sekolah, dan naik
atau turun jabatan, yang membuat seseorang melanjutkan kehidupan pada
suasana baru sebagai alam lain-nya,
yang tentunya amat dipengaruhi oleh kehidupan sebelumnya.
Akan tetapi tetap dalam suasana yang sama, yaitu dalam suasana berlatih
(belajar) untuk menuju suatu kesempurnaan, serta kesucian jiwa (diri)-nya agar
dapat kembali pulang kepada-Nya. Ilayhi
raji’un. Hanya diri-diri yang telah bersih dari kontaminasi kekotoran
yang dapat kembali kepada-Nya, yaitu jiwa-jiwa yang tak lagi membawa keinginan
dan kebutuhan, apalagi jiwa yang tersesat. Itulah tauhid murni.
Pada suatu urusan, masih
didunia, malu dan terpojok ataupun rasa sakit sebagai balasan langsung adalah
sebagai neraka dunia-nya (neraka wayl), dan rasa puas dan nikmat sebagai
surga dunia-nya (surga firdaus). Dan di akhirat (setelah
kematian), semua rasa yang sangat tidak enak dan sangat menyakitkan terwujud
sebagai neraka akhiratnya (neraka safiil), serta semua rasa kenikmatan terwujud
sebagai surga akhiratnya (surga adniin). Serta di tempat tunggal-Nya,
yaitu di kalbu yang paling dalam, yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu
baik di dunia maupun nanti di akhirat, hati yang sempit terhimpit akibat rasa
bersalah, apapun menjadi serba salah, adalah nerakanya (neraka jahanam), serta
damai dan tentram serta sejahtera sebagai surganya (surga na’im).
Dari
ketiga uraian tersebut, adalah rasa yang merupakan unsur dominan
sebagai objek yang menerima balasan dari setiap amal perbuatan sebelumnya.
Sementara wujud diri dan alam sebagai tempat diri berada,
tidaklah menjadi hal penting, sekalipun suasana tempat ikut mempengaruhi, akan
tetapi tetap rasa-lah sebagai yang merasakan nikmat atau tidaknya. Dalam
kehidupan sekarang pun rasa-lah yang dicari dan dihindari. Yaitu rasa
nikmat sebagai yang dicari, dan rasa tidak nikmat sebagai yang dihindari.
Berapapun harga kenikmatan itu akan dibayar untuk mendapatkannya, begitupun
sebaliknya, berapapun harga yang dikeluarkan akan dibayar untuk menghindari
ketidak nikmatan.
Kematian
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Kematian
adalah hari akhir-nya kehidupan di dunia bagi diri kemanusiaan. Dalam
kehidupannya selama di dunia, yang dalam satu harinya, disibukkan oleh
kegiatannya dari pagi hingga sore, dan setelah lelahnya, dia merasakan kantuk
yang luar biasa saat malam tiba, kemudian tertidur untuk beristirahat.
Nah, begitu pulalah kehidupan dan kematian. Mati dan hidup adalah proses
tidur dan bangun yang dalam skala panjang waktunya. Kematian
merupakan pula hari akhir
kehidupan, dimana terpisahnya antara ruh, jiwa, serta jasad (tubuh)
untuk beristirahat, dan menunggu dibangunkan (dibangkitkan) lagi.
Masing-masing berada pada alam yang berbeda atau terpisah, tetapi dalam satu
sebutan tempat tunggal, yaitu alam penantian (barzakh), tempatnya
di alam kita ini juga.
Kematian pun
merupakan akhir satu fase kehidupan yang diisi dengan beristirahat atau menanti
di alam kubur untuk dibangkitkan melanjutkan kehidupan selanjutnya, untuk mengalami
balasan sebagai tuai-an amal perbuatan kehidupan sebelumnya. Seperti
kita bangun dari tidur dan melanjutkan atau mempertanggung jawabkan kembali
kesibukan yang kita perbuat kemarin yang belum selesai. Bila pertanggung
jawaban yang belum terselesaikan adalah hal yang besar, mungkin akan terbawa
sebagai mimpi yang menyusahkan di dalam tidurnya semalam, maka seperti itu
pulalah azab kubur.
Jiwa akan disimpan oleh Allah
di tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal, dan kelak akan ditiupkan-Nya
saat dibangkitkannya kembali bersama jasad-nya. Karena jiwa manusia adalah ‘bagian’
dari Ruh Allah yang dianugerahkan pada kehidupan
sebelumnya, maka harus kembali lagi kepada-Nya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan
kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Setelah
kematian, maka kehidupan selanjutnya adalah penantian di alam kubur (barzhak),
yaitu menunggu untuk dibangkitkannya kembali bersama jasad dan ruh-Nya.
Lamanya penantian adalah relatif waktunya. Tentunya, bagi jiwa yang tersesat,
adalah biasa baginya tidak pernah bersabar di kehidupan sebelumnya, maka
pada masa penantian inipun akan terasa lama sekali dan amat menyiksa bagi
jiwa-jiwa seperti ini dalam menunggu.
Sedangkan jiwa, ada dua
kemungkinan kemana dia bertempat tinggal. Yang pertama, adalah bagi jiwa-jiwa
yang di kehidupan di dunianya telah bersama Tuhan-nya, yaitu bagi jiwa-jiwa
yang damai, tenang tentram dan terkendali (mutma’innah), maka dia akan
mengikuti karena telah terbiasa manunggal, mengikuti bersama ruh-nya menuju
tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah
jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang
lain
sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan
Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS 39:42)
Yang berikutnya adalah, bagi jiwa-jiwa yang tersesat kala di kehidupan
dunianya, terpukau dan hanyut oleh kemegahan serta kemewahan dunia, maka
setelah kematiannya pun, setelah terpisah dengan ruh dan jasad, tinggallah jiwa
tertambat di alam dunia meratapi jasadnya yang lama kelamaan hancur, kemudian
tersesat bergentayangan di tempat-tempat dahulu disenangi dan sering
disinggahinya. Dia tersesat, dan tersiksa oleh rasa ketertarikan pada kemegahan
dan kemewahan kehidupan dunia yang tak dapat dinikmatinya lagi namun tetap
menggodanya. Dia lebih memilih begitu, sekalipun sudah tak bersama jasadnya
lagi, karena tak rela meninggalkannya,
terus tersiksa menunggu hingga waktu dibangkitkannya sebagai jiwa yang
merana, untuk mengalami pembalasan pula di kehidupan selanjutnya.
Kematian, seharusnya adalah kesempurnaan. Karena itu di
kehidupannya kemanusiaan selalu mencari jalan untuk mendapatkan
kesempurnaan-kesempurnaan dalam segala hal. Dan dalam meniti jalan-jalan
tersebut, tentu tidaklah mudah, selalu ada halangan ataupun godaan bujuk rayu
dari hawa nafsu (iblis)-nya sendiri yang hendak menyesatkannya. Akan tetapi,
setiap diri selalu hendak mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya,
sekalipun harus mengalami berkali-kali jatuh dan bangun. Sekalipun harus
mengalami hidup dan mati, serta dibangkitkan beberapa kali, namun dengan itulah
jiwanya menjadi kuat, dan semakin dirinya mendekati pada kesempurnaan, maka
segera pula hendak meraih kesempurnaan berikutnya yang lebih sempurna lagi dari
sebelumnya. Begitu seterusnya hingga dirinya akhirnya menemukan kesempurnaan
sejati, yaitu kesempurnaan jiwanya untuk dapat kembali pulang kepada Dia Yang
Maha Tunggal.
Tidaklah
sempurna uraian ini bila tidak mengulas pula kebangkitan sebagai awal kehidupan
selanjutnya di hari kemudian. Banyak ayat al Qur’an yang berisi
keterangan tentang kebangkitan, mengasumsikan seolah-olah bahwa sesungguhnya
Allah meragukan keyakinan manusia akan kejadian kebangkitan diri-nya.
Atau sekedar memperingatkan kepada manusia yang meragukan kekuasaan Allah dalam
hal membangkitkan mereka. Karena begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan
tentang kebangkitan yang menggunakan perumpamaan kejadian-kejadian di alam,
sehingga menafsirkan bahwa Allah meragukan keyakinan diri-diri kemanusiaan
terhadap adanya kebangkitan.
Padahal sesungguhnya,
kebangkitan adalah hal yang mutlak harus terjadi setelah hari perhitungan atau
penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas
setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Sekalipun dunia ini belumlah
kiamat. Dan itu merupakan ketetapan-Nya, sunathullah yang pasti terjadi pada
setiap makhluk ciptaan-Nya. Tidak hanya pada diri kemanusiaan saja, melainkan
seluruh alam raya ini berikut isinya. Seluruhnya mengalami peluruhan, kematian,
kemudian terurai dan dibangkitkan kembali dengan wujud baru
sebagai siklus gerak kehidupan dalam sistem semesta untuk mencapai kesempurnaan.
Siklus Kebangkitan
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang
berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus
tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau pada siklus
proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali
kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya
lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai yang telah murni, suci dan
bersih.
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai
kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal
dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad
dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih,
sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus
kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa
kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci
dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga
menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus
mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran
yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).” (QS 30:19)
Bila
kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan
atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan
atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan
sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan
kita sebelumnya.
Kemudian timbul pertanyaan,
sungguhkah kehidupan sekarang ini, di dunia ini, adalah kehidupan akhirat yang
merupakan pembalasan dari kehidupan dunia sebelumnya? Jadi, telah berapa
kalikah masing-masing kita mengalami kebangkitan?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Mungkin pertanyaan ini akan menjadi polemik, dikarenakan pemahaman
sebelumnya, yang pada umumnya tidaklah demikian. Melainkan dikarenakan
pemahaman sebelumnya yang secara umum mempercayai, bahwa kebangkitan tersebut
di alam akhirat setelah alam dunia ini hancur atau kiamat. Dan menganggap tabu
kebangkitan yang berulang-ulang, seperti reinkarnasi-nya ajaran umat
lainnya. Apakah menjadikan penting dan merasa harus berbeda? Ataukah
hanya sekedar agar tak dianggap mengikuti ajaran umat lain? Dan apakah dengan
begiitu kita mau menutup mata terhadap kebenaran-Nya? Janganlah kita
menjadi terjerumus kepada taqlid yang pada akhirnya kufur
terhadap kebenaran yang seharusnya kita terima sebagai perwujudan ikhlasnya
rasa berserah diri (islam) kita
terhadap apa-apa yang turun dari-Nya sebagai kebenaran yang hakiki.
Kembali lagi di sini, pengakuan (ego) yang merasa harus berbeda,
atau merasa tidak mau disamakan dengan umat lainnya. Perasaan congkak inilah yang sesunguhnya akan
dapat menjerumuskan jiwa kita. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah, bila Dia
kuasa membangkitkan, mengapa hanya sekali saja? Sedangkan ayat diatas tersebut
tegas menyatakan kebangkitan yang berulang-ulang. Jiwa akan terus menanggung
beban pensucian-nya selama kekotoran atau dosa masih melekat. Apakah kita mau memakan
makanan yang akan masuk ke dalam tubuh kita yang ada penyakit, ada kotoran, dan
najis yang melekat padanya? Tentu kita akan sabar menunggu dengan mencuci dan
memasaknya terlebih dahulu. Hanya pada
jiwa yang telah suci dari kekotoran sesungguhnya yang dapat pulang kembali
bersama ruh-Nya kepada Dia Yang Maha Tunggal, ila’ihi raji’un.
Betapa
banyak ayat-ayat mengenai kebangkitan yang Allah gambarkan dengan mengambil
kejadian-kejadian di alam ini sebagai contoh yang nyata. Dan sesungguhnya Allah
menciptakan satu alam ini untuk semua alam, baik yang dimaksudkan dengan alam
dunia maupun alam kubur dan juga alam akhirat. Karena jelas,
bahwa alam kubur, dimana terpisahnya ruh dan jiwa dengan jasad yang dikuburpun
memakai alam ini pula, sedangkan jiwa dan ruh yang merupakan gaib atau bathin
tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Buktinya, banyak jiwa-jiwa penasaran
(tersesat) sebagai energi yang masih dapat ditemui di alam ini juga,
memakai alam ini pula. Dan setelah dibangkitkan, apakah perlu Allah menciptakan
alam lain sebagai tempat pembalasan? Apakah untuk alam pembalasan tidak dapat
memakai alam ini pula? Dia-lah Allahu
rabbul ‘aalamiyn.
Bila surga dan nerakanya
seperti yang dibayangkan pada umumnya, mungkin saja. Akan tetapi bila telah
memahami surga dan neraka adalah rasa bathin, maka tidak diperlukan lagi
alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Cukup di alam ini. Toh, begitu
banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga
tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal
perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada
putus-putusnya.” (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari
pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat
adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit
dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi
jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di
kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah
kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus
sebagai tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan sekarang ini
adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat
mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari
kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat
ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang
kepada Tuhannya.
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup,
terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali
menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat
pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus
berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci)
jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak agar dapat kembali pulang
kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal.
Alam semesta (langit dan bumi)
inipun mengalami kematian sebagai hari akhirnya, yaitu kiamat.
Kemudian dibangkitkan (dibangun) lagi sebagai kejadian yang
berulang-ulang. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya di bawah ini.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Kemudian ditegaskan lagi oleh
ayat diatas, bahwa kiamat, kejadian akhir dunia atau semesta alam,
ternyata juga merupakan fase peralihan menuju pembentukan kembali
awal semesta alam yang baru. Begitu seterusnya sebagai siklus semesta
yang amat panjang dan tak terukur waktunya. Janji Allah adalah ketetapan
mutlak, yang pasti akan terjadi. Tidak ada perubahan pada ketetapan Allah.
Akan
lebih melengkapi ulasan tentang hari akhir ini bila didukung pula kejadian
awalnya, sehingga akan membawa kita kepada pemahaman tentang proses
siklus semesta yang dimaksud di atas.
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Suatu keadaan “awal” diterangkan Allah
dengan istilah suatu yang padu, dimana ini mengandung makna bahwa satu
obyek yang dapat dipecah, dibelah, atau dipreteli hingga terpisah menjadi
minimal dua bagian. Kata padu pun dalam ayat ini mengandung makna pula,
sebagai suatu keadaan berkumpul menjadi satu (singularitas) dari sebelumnya
yang terpisah atau berjarak. Karena Allah tidak memakai kata “awalnya” atau
“dimulai” melainkan kata dahulunya. Sedang kata dahulunya lebih menunjukkan kepada suatu masa atau waktu sebelumnya,
yang tidak hanya mengandung makna waktu awal dari segala sesuatu, maupun
dimulainya segala sesuatu. Atau pula dapat bermakna, telah mengalami beberapa
kali awal dan berapa kali akhir. Sehingga lebihlah tepat adalah
suatu keadaan atau kondisi masa-masa awal penciptaan alam
semesta, yaitu dengan memisahkan langit dan bumi. Yang bermakna unsur-unsur
pembentuk langit dan bumi telah ada sebelum dipisahkan.
Setelah dipisahkannya langit dan bumi, kemudian diluaskanlah
langit, dalam bahasa astrofisika, alam semesta yang terus mengalami mengembang
atau memuai volume ruangnya. Sehingga kemudian dengan ketetapan-Nya,
terciptalah bintang-bintang serta gugusan-gugusan yang mengelompokkannya.
“Dan langit
itu Kami bangun dengan kekuasaan, dan sungguh Kami
benar-benar meluaskannya.” (QS 51:47)
“Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih
berupa asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun
terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS 41:11-12)
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan
bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang
memandangnya.” (QS 15:16)
Alam semesta yang sebelumnya adalah
suatu yang padu, kemudian dipisahkan oleh-Nya langit dan bumi, dan
mengembangkan langit menjadi jauh lebih luas hingga terciptanya bintang-bintang
(jumlahnya hingga milyaran). Hingga pada suatu waktu tertentu yang telah
ditetapkan-Nya, Allah mengembalikan prosesnya seperti menggulung
lembaran kertas, mempersatukan
kembali (singularitas) langit dan bumi sehingga meleburlah milyaran bintang
yang berada di langit, sebagai alam semesta yang menyusut. Begitulah proses
kelahiran dan kematian alam semesta sebagai suatu siklus penciptaan yang akan diulangi-Nya
kembali.
Tempatnya tetap satu, semesta alam ini, akan tetapi hidup-mati dan
kebangkitan yang berulang-ulang sebagai siklus, sampai pada suatu waktu akhir,
yang hanya Dia yang tahu kapan waktunya, yaitu hari akhir bagi alam semesta
(kiamat kubra). Dimana segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi, serta
yang berada diantara keduanya, kembali menyatu menjadi sebagai suatu yang padu
kembali seperti diterangkan pada ayat QS 21:30 dan prosesnya seperti
diterangkan pada ayat QS 21:104, manunggal kembali kepada Tuhannya, ila’ihi
raji’un. Dan pada ayat itu pula diterangkan, sebagai yang akan diulangi-Nya
kembali, sebagai siklus besar penciptaan alam semesta.
“......... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Bila dalam masa kehidupan alam
dunia, dari lahir hingga kematiannya, proses tidur dan bangun kita tak
terhitung jumlahnya, maka jangan heran atau bingung, bila pda proses kematian
dan dibangkitkan pun akan terjadi berulang kali karena amat panjangnya waktu
berakhirnya alam semesta ini.
Dan
sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah diberitakan turun temurun akan kejadian
akhir itu sebagai suatu yang harus diyakini, dengan segala macam
‘mitos-mitos’ yang mengerikan dan menyenangkan untuk hari
kemudiannya, sebagai wujud balasan atas kehidupan sebelumnya. Maka
jelaslah hal tersebut ikut mempengaruhi pemahaman tentang surga dan neraka.
Sehingga penggambarannya memiliki banyak ragam, tetapi tetap memiliki makna
yang sama, yaitu agar setiap diri dapat mencapai akhlak yang baik dan terpuji
dengan mengingat adanya balasan di hari kemudian. Itu karena petunjuk
dari Allah juga kepada orang-orang terdahulu, hanya mungkin lebih bervariasi
akibat penyampaian dari mulut ke mulut yang telah berlangsung lama, dari masa
ke masa.
Surga dan Neraka
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka
(tempatnya) di dalam surga, mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Pemahaman sebelumnya, bahwa
surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari
kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup
di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada
keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada
bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang
sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan
yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya,
berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel
terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat
bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah
yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya,
bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun
sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan
begitu pula pada kesengsaraannya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun
akan dibalas Tuhannya dengan adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan
surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat
atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba
keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala
kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari
rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka
melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana pembersihan atau penyucian jiwa. Selama masih mengalami kehidupan di alam
ini, apakah itu alam kubur dan alam akhirat sebagai pembalasan, jelas merupakan
masih mengalami suasana pembersihan dari segala kekotoran dan dosa-dosa yang
ada dan melekat dari amal perbuatan sebelumnya.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Ayat di atas pun menjelaskan,
bahwa di surga pun tak lepas dari ancaman kejahatan, dan makin menjelaskan
pentingnya peran agama untuk mengatur kehidupan di alam tersebut. Itulah makna
Allah sebagai penguasa hari-hari yang dinaungi agama (aturan hidup) dan rahmat-Nya.
Karena kuasa-Nya pun meliputi segala sesuatu, termasuk semesta alam ini sebagai
wadah kehidupan makhluk-Nya yang didalamnya pun terdapat alam pembalasan
(surga dan neraka).
Selama
jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus
melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus
surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Itulah balasan dari yang
Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut
dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan
buruknya. Jadi surga dan neraka merupakan keaadaan atau suasana
jiwa yang sedang mengalami hari-hari pembalasan dari amal perbuatan di
kehidupan sebelumnya. Dan perlu diingat, pembalasan itu masih pula membawa
kepada pembalasan pada kehidupan selanjutnya lagi, bila jiwa masih juga dalam
kesesatannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Begitulah kehidupan ini, hidup
dan mati kemudian dibangkitkan untuk mengalami pembalasannya sebagai yang
berulang-ulang selama masih adanya langit dan bumi, sebagai pula penyucian
jiwanya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Yaitu pada berakhirnya
semesta alam ini (kiamat qubra), dimana segala sesuatu, tak terkecuali
mengalami peluruhan dan kembali kepada asalnya Yang Maha Tunggal. ‘ilayhi
raji’un.
Akan tetapi, bagi yang telah
sadar diri atau jiwanya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta
pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan,
hampa, kosong, dan dirinya bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para
penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia
berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya
akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai
dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta
penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Entah
bagaimana kesalah pahaman akibat kerancuan makna ini akan berlanjut sampai
kapan, sehingga menyimpangkan makna dan pengertian yang seharusnya telah
berkembang sejauh-jauhnya menuju kepada hikmah yang haq (sejati), akibat kerancuan
makna yang berlarut-larut. Kerancuan tersebutlah yang menjadi penyumbat aliran
pengembangan pikir para pencari yang takut kepada cap sesat bila
hendak melancarkan alirannya kembali normal, maka yang ada, tetap yang
terjadi adalah kebuntuan.
Nikmat Sejati
Inilah yang sebenarnya patut
menjadi arah tujuan dari segala tujuan. Kejaran bagi orang-orang yang hendak
merasakan nikmat yang sesungguhnya. Seperti yang selalu diminta dalam setiap
membaca suratul Fatihah, yang paling tidak dalam setiap shalat-nya. Adalah,
.... tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, dan bukan jalan mereka yang ingkar lagi berbuat
kerusakan.
Tidak ada nilai yang pantas
untuk dapat mencapai sebutan harga nikmat yang dimaksud. Sementara
segala sesuatu selain itu adalah fana, hampa, dan kosong. Akan tetapi,
jangan pula terkecoh dari setiap keinginan, sekalipun itu adalah kebaikan.
Kemurnian Diri dari segala macam keinginanlah yang sesungguhnya menjadikan
seseorang sempurna, karena hanya diri atau jiwa yang murni atau bersih dari keinginan
dan peng-aku-an (ego) yang dapat menuju kepada-Nya yang Maha
Tunggal. Yang berada dan sebagai penguasa arsy atau taman nikmat
sejati.
Kita tidak akan pernah dapat
merasakan nikmat sejati bila belum dapat mengenal diri kita sendiri yang akan
mengarahkan pemahaman tentang realitas sejati (diulas kemudian
secara ringkas pada Bagian-4 Lahir & Bathin). Pemahaman ini
tidak mudah didapatkan, akan melalui proses yang panjang juga melelahkan,
kecuali bila Allah menghendaki lain. Semoga kita akan dimudahkan untuk dapat
menerima hikmah ini sebagai karunia yang besar dari-Nya.
Segala macam nikmat adalah rasa, yang
sesungguhnya ada dan bertempat di dalam hati atau kalbu. Hanya kalbulah yang
dapat mengetahui kehadiran rasa, baik itu berupa kenikmatan ataupun
sebaliknya. Akan tetapi, lebih jauh lagi ke dalam, pada kalbu yang paling
dalam, maka tidak segala sesuatu pun dapat masuk, kecuali bila dengan kehendak
Dia yang Maha Tunggal yang bersemayam di situ. Sehingga, kenikmatan sejati
tersebut hanya bisa diraih bila telah dapat menghilangkan segala macam keinginan,
maka diri menjadi jiwa yang murni dari pengakuan (ego).
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al 15:39)
“....... kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS 7:16-17)
“...... pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Bahayanya pengakuan,
yang merupakan salah satu sasaran serangan iblis, salah satunya adalah kuatnya rasa
memiliki apa-apa yang telah dianugerahi Allah kepadanya. Seperti, anak dan
istri, harta benda berupa perhiasan,rumah tinggal, dan kendaraaan, juga ladang
pekerjaan ataupun perniagaan, bahkan pengakuan kepemilikan tubuh atau
jasadnya (lihat kembali uraian Malaikat Min
‘Indillahi).
Terjerumusnya
diri kepada segala macam pengakuan tersebut, bahkan yang berada di jasadnya,
seperti penglihatan dengan mata-ku, pendengaran dengan telinga-ku,
kata-kata yang keluar dari mulut-ku, dan lain sebagainya, sungguh dapat
menjerumuskan dirinya kepada perbuatan syirik. Akibatnya seperti, “coba kalau
aku tidak melihat ...”, atau “coba kalau aku tidak dengar ...”, dan “kan aku
sudah bilang ...”. Seolah-olah tiada peran Tuhan, dan yang ada hanya peran
diri-nya saja.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik”. (QS
9:24)
Bila
semua itu lebih dicintai daripada mencintai Allah, jelaslah itu adalah
perbuatan syirik. Dosa besar yang tak terampuni, bila tak segera
bertobat. Maka jelaslah, bahwa iblis telah menyeret kebanyakan setiap diri
kemanusiaan sebegitu jauhnya dari jalan Tuhannya, kemudian menjerumuskan mereka
ke dalam neraka. Sungguh tidak disadari, ternyata diri ini begitu gampangnya
terhanyut oleh pengakuan-pengakuan seperti itu, dan bila salah satu saja dari
semua yang dimilikinya diambil atau hilang, maka goncanglah jiwa-nya,
seakan-akan tidak terima. Itulah pengakuan yang ternyata sangat
menjerumuskan.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
“....... pasti aku
akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka”. (QS 38:82-83)
Keikhlasan pada setiap
amal perbuatan yang disertai dengan melepaskan segala macam rasa keinginan atau
harapan, dan menyerahkannya hanya kepada kehendak Dia, adalah cara terbaik
menjaga kemurnian jiwa dari bisikan dan godaan iblis. Sehingga tanpa terasa dan
mengharap, sesungguhnya kita sedang menuju Nikmat Sejati yang diridhai
dan diberkati oleh Dia sebagai ar Rahman.
Maka sejatinya Nikmat Sejati adalah terbebas dari rasa
keinginan, harapan, maupun cita-cita sekalipun nikmat sejati
tersebut adalah terlihat dan terasa sebagai kebaikan. Nikmat Sejati yang sejati
adalah ketenangan dan ketentraman bathin yang membawa jiwa dapat terkendali
bahkan tanpa terganggu lagi oleh iming-iming nikmat sejati itu sendiri,
kebaikan, ataupun surga. Jiwa-nya tidak lagi disibukkan oleh keinginan yang
justru dapat meresahkannya sendiri.
Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
M
|
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi
orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya
sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya
dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini
adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya
memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat
yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai
atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik dan
buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang memang
selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan ciptaan
atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian dari
ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya
kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan
gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya)
tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan
kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya
sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya
tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari
setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah
menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa.
Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan
kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang
perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh
hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu
kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan
penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau
pekerjaan lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang
justru sia-sia pada akhirnya.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala
sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut,
sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang
tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam,
makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan
menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS
51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala
sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang
berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu
berpasangan. Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk
ciptaan-Nya. Juga, segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau
berketerkaitan satu sama lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait
dan menguntungkan, simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya
(sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan
sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang
tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh
Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna,
menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan
ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang
dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati
yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat
dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi
terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat
makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya
Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya
tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang
terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan
benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak
nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang
dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai
makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya
terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka
diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu
kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai
ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak,
yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau
harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat
Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi
Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan
bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian
ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti
fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa
harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet,
hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan
setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai
hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang
sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya
sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah,
kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan
bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat
kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun
keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula
akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang
hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Kita telah dapat menerima lapar setelah
kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’
setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus
diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan
lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk
membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas
terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang
air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun
ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua
terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila
diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan
yang datang yang ternyata akibat dari
perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena
pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang
semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena.
Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut
dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin
memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya,
maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino.
Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi
untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya,
sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari
kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih,
setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun
sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah
sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai
rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya
mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas
menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah
rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan,
orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan
dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang
mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan
kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari.
Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran.
Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah
Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya
yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah
membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan
tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang
membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun
kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa
bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan
seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya
amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan
untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal
perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan
dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air
(mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon
disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya
itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan
tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan,
tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah
salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran
dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk
dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah
kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan
kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang
secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda
dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian
(islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya
meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal
yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau
upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya
adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat
melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah
keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan
saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan
sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima,
bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya
akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama
pasangannya.
Dan pada
orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang
alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai
sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila
tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai
makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi
oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat
makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan
perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan
penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan
kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang
memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari
dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk
memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati
makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari
gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan
tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan.
Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati
kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang
menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang
pula kita tidak menyadarinya.
Tiada
sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut
menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada
dosa dan menanggung dosa?
Karena di
alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan
pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi
berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih
cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang
dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas
keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat.
Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi
iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada
keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri,
menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan
utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan
yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu
disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan
kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya
kebaikan.
Itulah
manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi
terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan.
Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa
terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum
bekerja mengendarainya.
Segala
sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang
sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu
mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat
kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau
Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri
kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima
kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan
tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai.
Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat
Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya
sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Kenalilah
diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah
Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya
adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana,
kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan,
kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang
lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya.
Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak
ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena
dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun
karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia
sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari
kuasa-Nya.
Maka keikhlasan
adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah
kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan
bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah
Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di
bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang
terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri
(islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang
melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan
cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai
kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya
kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia
telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian
kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai.
Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya
belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka,
adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah
diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan
seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya
dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang
mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang
kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi,
serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian
datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam
pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah
bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja,
apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak
pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan
bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak
bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya
telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian
kepada Tuhannya.
Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha
menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah
kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa
yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan
kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk
bekalnya di hari kemudian.
Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
(QS 2:136)
B
|
er-keimanan mengandung makna luas,
tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah
yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk
malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya,
kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk sebagai
dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak hanya
sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir, ucap,
serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan
pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari
akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang
sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan
berlanjut dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya
akan dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil
menanam di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya,
sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan
dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di
alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya,
kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan
memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari
kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan
selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan
selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun
nikmat-nikmat kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi,
adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang
pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin
dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan
kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab,
hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah
hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui.
Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya
menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji
(muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah),
di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai
gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat
dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal
dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang
dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang
sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat,
sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh
adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan
dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju
kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan
kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan
terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu
apa sajakah itu?
Kelak,
dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan
anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang
sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan
kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah
yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu
aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai
Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang
berada diantara keduanya (Allahu rabbul
‘aalamiiyn).
Iman, dengan
iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai
apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang
menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat
menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya
berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar
dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu
dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan. Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji
sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu
agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan
keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya
terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh
alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS 6:162-163)
Ibadah
shalat, sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad,
pakaian, dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran
yang lahir (nyata terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin,
yaitu pengakuan yang
mengaku-ngaku sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat
sah-nya shalat.
Jasadnya
yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya
yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya
yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia
menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah
kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja
diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya.
Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad,
pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah kepadanya
itu merupakan titipan atau amanah yang harus dipertanggung
jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan
(ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang
dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk
diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik
Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda,
perhiasan, kendaraan,anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan
lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Tersesatnya
jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut
memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya
terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya
akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa,
yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya
terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak
rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran,
gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah
tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di
pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam
kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan
bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah sebagai
kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian berupa pengakuan
yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari peringatan Tuhannya agar
tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya keluar dari surga
sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka diberikan-Nya kunci
tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana
tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah
pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada
anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya
mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan
datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang
telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi
masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa
hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah
seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa
akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar
atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak
menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu
belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya
yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya.
Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat
terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia
sungguh dalam kerugian.
“Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk
kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Kebaikan dan
keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung
jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditananm sebelumnya, serta
bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan
dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat
menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang
Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa
dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia
tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia
kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah
ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian,
dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi
sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi
jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu
yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk
kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya.
Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala
sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya
hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar
sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah
berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang
menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan
penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang
semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat
sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada
kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam
tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada
kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta
selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia,
dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai
titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup
sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini.
Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah
anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa bila
jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad
ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat,
tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan
menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa
sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya
yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan
materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga
kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang
seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak
disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat
petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari
akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi
memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari
kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah
pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani
tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa
perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa
berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari
struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli
pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian. Dan sebaik-baiknya
pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila
diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa,
rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan
senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi
nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan
dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa,
semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka
penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam
menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima
datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan
sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan
yang selalu ada di belakang cahaya.
“sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah
dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga).
Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs
keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit.
Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa
jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang
terkendali.
Marilah kita, sebagai insan
kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa
kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa
pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan
demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila
masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula
menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta
pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang
paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan
yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami
perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara.
Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa
kemudian.
Dengan begitu, kita secara
bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah
secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli
(pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup
secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi
hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak
sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan masyarakat
kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin parah.
Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan
penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan
negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara
menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa
(nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin
tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan,
bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik
mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti,
untuk membeli bbm (bahan bakar minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek,
bis kota, dan angkutan umum lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau
harga-harga kebutuhan rumah tangga yang selalu naik. Maka masyarakat umum
kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup
kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri
ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan
pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para
petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada
buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran
yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang
semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan
menjadi tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan.
Yang akhirnya balik kembali kepada diri masing-masing individu sebagai
keluhan-keluhan, yang sesungguhnya, ternyata diri-diri kita sendirilah yang
menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya,
melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi.
Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih
dari sebelumnya. Inilah akar masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap
individu menyadari pentingnya merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan
keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan
bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama
sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih,
tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai
kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa
agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan
jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang
hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah
sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah
membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari
bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang
dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan
itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih
mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan
suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul
Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah dapat
mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan
kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional,
malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana
perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang
justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral
hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa
sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita
terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang
tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas
semua itu.
Sungguh ironis, parahnya
keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai
dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan
Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat
kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima
secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup
kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari
bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari
sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari
kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan
keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita
wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya
dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung
jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat (balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat
dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah
sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung
jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di
sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya
kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah
pemilik segala sesuatu.
Hidup
dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk
menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat.
Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan
atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul
qayyimah. Saling berketerkaitan satu sama lainnya, tak perlu mencari
yang mana lebih dulu untuk memulainya. Mulai saja sekarang salah satunya,
ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya sangat berkaitan dan menentukan
satu sama lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar