Wahdat al Wujud
Ibn Arabi
Pemahaman, Pengertian dan Tujuan Wahdat al
Wujud
Wahdat al wujud adalah
ungkapan yg terdiri dari dua kata yaitu Wahdat dan al Wujud, wahdat artinya sendiri-tunggal-kesatuan,
sedangkan wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al wujud memiliki
pengertian kesatuan wujud/wujud tunggal/wujud sejati. Paham ini diajarkan oleh Ibn
Arabi nama lengkapnya Mohamad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’i al
Haitami, lahir di Murcia Andalusia Tengah, Spanyol pada tahun 560 H.
Lebih lanjut paham
ini menjelaskan bahwa wahdat al wujud, nasut yang sudah ada dalam hulul diubah
menjadi khalq (makhluk), dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Aspek yang di sebelah
luar disebut khalq sementara aspek yg berada di dalam disebut haqq.
Paham ini
selanjutnya menyebabkan kepada timbulnya paham bahwa diantara makhluk dan Tuhan
sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud
Tuhan, sedang kan wujud makhluk hanyalah bayang-bayang atau photo copy dari
wujud Tuhan. Dengan demikian alam ini adalah merupakan cermin dari Allah. Pada
saat Dia ingin melihat diriNya maka cukup dengan melihat alam ini. *¹
Dalam fushush
al hikam sebagaimana dijelaskan oleh al Qashini dan dikutip Harun Nasution,
fana dalam wahdat al wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan,
.......wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi
banyak.
Tuhanlah
sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau wajib al wujud, sementara
makhluk sebagai yg diciptakanNya hanya
mempunyai wujud yang bergantung kepada wujudNya. Yang mempunyai wujud
sebenarnya adalah Allah, sehingga wujud yg sebenarnya ada hanya satu wujud
yaitu wujud Tuhan.
Lebih lanjut dikatakan
Ibn Arabi sebagai berikut, sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah
dijadikan, dan bahwa ia berharap kepada khalik yang menjadikannya disebabkan ia
hanya mempunyai sifat mungkin dan dengan demikian wujudnya bergantung
pada sesuatu yang lain.
Paham tersebut
mengisyaratkan bahwa pada manusia terdapat unsur lahir dan bathin,
dan pada Tuhan pun ada kedua unsur tersebut. Unsur lahir manusia adalah
fisiknya, sedangkan bathinnya adalah roh atau jiwa yang dalam hal ini merupakan
pancaran/bayangan Tuhan. Kemudian unsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat
ketuhananNya yg tampak di alam ini, sedangkan unsur bathinNya adalah pada dzat
tuhanNya. Bersatunya unsur lahut yg ada pada manusia dengan unsur nasut
yang ada pada Tuhan. Ini sesuai pandangan para sufi yang juga menganggap unsur lahir
pada Tuhan ada pada sifat-sifatNya yang tampak dan unsur bathin ada pada
dzatNya. Karena manusia dianggap memiliki kedua unsur tersebut yang berasal
dari pancaranNya, sehingga manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu
wujud. *²
*¹ [ Akan lebih mudah
dicerna apabila manusialah yang ingin mengenal Tuhannya dengan melihat wujud
alam ini seperti mengenali dirinya sendiri melalui cermin, karena seperti dalam
firman-firmanNya yang banyak secara berulang disebutkan bahwa hendaknya manusia
berfikir, menggunakan akalnya, dalam memahami seluruh ciptaanNya yg terhampar
di alam ini termasuk penciptaan dirinya agar dapat mengenal Allah SWT. Karena
alam ini diciptakan untuk manusia bukan untuk Allah, semua untuk keperluan dan
kepentingan manusia. Bukankah Allah yang ingin dikenal makhluknya ?? ..........
(Penulis)
]
*² [ Dzat dan sifat
Allah meliputi seluruh alam ini, baik yang tampak dan tidak tampak oleh mata
lahir manusia, karena itulah Dia Akbar, Maha Besar, tetapi Dia bukanlah alam
itu sendiri. DzatNya adalah seluruh dzat yang ada di alam ini dalam satu
kesatuan wujud, tiada yang luput dariNya. Dan sifatNya pun menyifati seluruh
sifat dzat yang ada di alam ini, tiada pula yang luput dariNya...... apakah ada
dzat yang musnah di alam ini ? Tentu tidak, yang ada adalah berubah wujud atau
bentuknya karena merupakan susunan dari dzat/partikel/unsur yang pada suatu
waktu (atas kehendakNya) kembali membentuk senyawa dan mewujudkan bentuk yang
kelihatan mata lahir manusia (susunan yang paling rumit adalah pada manusia,
itulah yang dimaksud Allah bahwa manusia adalah ciptaanNya yang paling sempurna
sekalipun diprotes malaikat dan iblispun tak mau bersujud ketika diperintahkan
bersujud kepada Adam as). Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk/wujud karena
terurai kembali sebab dari yang telah
ditetapkan oleh sifatNya atau lebih dikenal dengan sebutan sunathullah. Termasuk
siklus perubahan bentuk pada jasad dan wajah manusia tanpa menghilangkan atau
merubah identitasnya, sekalipun dengan siklus kematian dan dibangkitkan sebagai
tujuan penyucian jiwa agar bisa kembali berpulang kepadaNya sebagai Yang
Tunggal. Siklus gerak kehidupan keseluruhan alam inilah yang dilambangkan
dengan melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah dalam ibadah Haji .......... (Penulis) ]
Pengaruh Tasawuf
terhadap Paham Wahdat al Wujud
Ajaran sentral Ibn Arabi ini ternyata
diilhami oleh Ibnu Thaimiyah yang justru menjadi tokoh yang paling keras
mengecam dan mengkritik paham Wahdat al Wujud ini dan malah berjasa mempopulerkan paham ini pada masyarakat meskipun dengan maksud
mengecam dan mengkritik. Padahal ia
dalam menyajikan ajaran tasawufnya ini telah penuh dengan kehati-hatian dan
penggunaan bahasa yang berbelat-belit dengan tujuan menghindari tuduhan fitnah,
kecaman dan ancaman dari kaum awam sebagaimana yang dialami al Hallaj.
Menurut Ibnu Thaimiyah, Wahdat
al Wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Penilaiannya bahwa ajaran ini dari
aspek tasybihnya (penyerupaan) Khalik dengan makhluknya, dan belum
menilai dari aspek tanzihnya (penyucian) Khalik. Masih dalam
penilaiannya, Ibnu Arabi memandang wujud semua yang ada hanyalah satu dan pada
hakikatnya wujud makhluk adalah wujud Khalik pula, tidak ada perbedaan
diantaranya dari sudut pandang hakikat dan panca indera. Wujud alam pada hakikatnya
adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara
wujud yang qadim dengan yang baru, atau dengan kata lain tidak adanya perbedaan
antara abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah).
Mengapa terlihat dua bila Khalik dan
makhluk bersatu dalam satu wujud ?
Menurut Ibn Arabi, memandangnya tidaklah dari satu sisi, tetapi memandang
keduanya bahwa Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lainnya.
Jika memandangnya dari sisi yang lainnya maka pasti memahami hakikat keduanya,
yakni dzatnnya satu yang tak terbilang dan terpisah. Wujud Tuhan juga wujud
alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud Alam (pantheisme). Wujud alam yang
kita lihat ini adalah wujud Tuhan sebagai satu-satunya wujud, tidak ada selain
wujudNya. *³
Dengan demikian Ibn Arabi menolak
ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Ia
mengatakan bahwa nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan
berbagai kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada diri para
Nabi serta para wali dan para suci lainnya.
*³ [ Ya, seperti kita
melihat lautan dari atas perahu, yang kita lihat adalah wujud lautan, padahal
tersembunyi didalamnya berbagai jenis ikan-ikan, udang, kerang, kepiting,
karang-karang, hingga plankton, adalah wujud yang tak terbilang didalam satu
wujud lautan. Atau pada wujud jasad si Fulan, didalamnya ada sel-sel penyusun
tubuhnya yang tak terbilang didalam satu wujud si Fulan. Dan seluruhnya diatur
dan dipelihara oleh satu kehendak yang halus dan lembut tak dirasakan telah mengatur dan
memeliharanya. Tentunya bukanlah lautan atau si Fulan yang secara sadar
mengatur dan memeliharanya.......... (Penulis) ]
Dalam penjelasannya, Ibn Arabi
mengungkapkan, bahwa wujud ini satu,
namun memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang
dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut barzah yaitu menghimpun
dan memisahkan antara lahir dan bathin, inilah yang dimaksud insan kamil.
Selanjutnya, dalam penjelasannya, Tuhan
segala tuhan adalah Allah SWT, sebagai nama teragung dan sebagai ta’ayun
(pernyataan) yang pertama. Dia merupakan sumber segala sumber nama, dan tujuan
akhir dari segala tujuan, serta arah dari segala keinginan yang mencakup segala
tuntutan. Ketahuilah, bahwa seluruh nama-nama Allah merupakan gambaran dari
ilmuNya, sedangkan hakikat Muhammad merupakan gambaran dari nama Allah yang
menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang
ada. Ditekankannya, bahwa hakikat Muhammad yang dimaksud adalah bukanlah sosok
manusianya melainkan hakikatnya sebagai asma dan sifat Allah yang terdapat
dalam akhlak manusia Muhammad.
Analisis Penulis
Dalam kehati-hatiannya Ibn Arabi ingin
menjelaskan, bahwa alam raya beserta seluruh isinya ini merupakan bentuk/wujud
(diciptakan atau tidak diciptakan?) yang menjadi ada adalah semata-mata karena
Allah ingin dikenal dalam kesendirian-Nya. Keinginan-Nya yang selalu berkembang
menghendaki kesempurnaan, menjadi ingin lebih dikenal makhluk-Nya bukan hanya
secara sukarela atau terpaksa tetapi secara islam, iman, ihsan, ikhlas dan kuat
hati menyadari akan keberadaan baik dzat
maupun sifat-sifat-Nya melalui penciptaan manusia. Karena hanya
manusialah sebagai makhluk yg diciptakan sesuai gambar-Nya, maksudnya,
makhluk ciptaan-Nya ini dilengkapi dengan instrumen-instrumen yang lebih rumit
akan tetapi jauh lebih sempurna dari makhluk ciptaan-Nya sebelumnya sehingga
dapat mendukung tujuan atau rencana-Nya.
Perkembangan ciptaan-Nya bertahap,
diawali dengan pancaran cahaya-Nya, kemudian menciptakan Alam, dengan memisahkan
bumi dan langit yang sebelumnya satu kesatuan, dan membagi langit menjadi tujuh
lapisan, dan mengisi langit yang terdekat dengan bintang-bintang. Kemudian pada
penciptaan kehidupan di bumi yang sebelumnya mati, gunung-gunung yang
dipancangkan, ditumbuhkan-Nya dengan air segala jenis tumbuh-tumbuhan, sebagai
bumi yang telah dihamparkan. Kemudian diptakaanNya pula hewan-hewan. Sehingga
layaklah kemudian untuk kehidupan manusia dan diciptakanlah manusia setelah
semua persyaratan kehidupan manusia telah ada.
Pikirkanlah, betapa teratur dan
terencananya proses penciptaan antara yang satu dengan yang lainnya, penciptaan
alam (tempat), bintang-bintang dan bumi sebagai tempat tumbuhnya
tumbuh-tumbuhan, kemudian hewan-hewan yang membutuhkan tumbuhan untuk
kehidupannya, kemudian hewan-hewan carnivora, barulah diciptakan-Nya manusia
yang telah tersediakan segala kebutuhan untuk keberlangsungan hidupnya.
Lihat dan pikirkanlah, seluruh ciptaan-Nya,
alam yang tumbuh berkembang, bintang-bintang yang juga tumbuh berkembang, bumi
yang tidak lepas dari pertumbuhan dan perkembangannya, sekalipun kita sebut
mereka itu adalah benda mati ternyata hidup dan berkembang, mengalami perubahan
bentuk, tidak diam, mati ataupun musnah. Mereka tetaplah ada sekalipun pada
suatu (waktu yang telah ditetapkan-Nya) terurai tetapi akan kembali lagi
kebentuk semula begitu terus berulang sebagai siklus ketetapan dari-Nya
(sunathullah). Begitupun kepada makhluk-makhluk yang kita sebut makhluk hidup
mengalami siklus yang sama seperti itu pula. Cuma, pada hal keberadaan kehidupan
manusia, kebanyakan masyarakat islam tidak mau mempercayai dan menganggap tabu
hal ini dikarenakan sama saja dengan membenarkan/mengakui proses reinkarnasi
yang ada pada ajaran Hindu dan Budha. Padahal banyak dijelaskan didalam firman-Nya
(salah satunya QS 7;57) yang menyebutkan kebangkitan setelah kematian, tetapi ini dipahami hanya
pada setelah kejadian hari akhir, yang justru membelenggu kedinamisan
pemahaman. Padahal reinkarnasi (siklus kebangkitan) adalah proses siklus
tidur dan bangun dalam skala besar (tidur sama dengan mati, dan bangun sama
dengan hidup).
“Bagaimana kamu ingkar
kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian
Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepadaNya-lah
kamu dikembalikan”. (QS al Baqarah 28)
TASAWUF
Tasawuf adalah ajaran yang membawa para
pelakunya kepada ketauhidan atau ke-Tunggalan Allah SWT, dengan menjalani
hidup sederhana, memurnikan amal perbuatan, menjaga diri dari kesesatan, dan
dampaknya yang membawa kesejukan bagi yang memandangnya.
Ketakutan akan cap sesat, syirik,
zindiq, bid’ah, bahkan kafir inilah yang telah membelenggu jiwa kebebasan
pemikiran menuju kepada hakikat pemahaman. Padahal Allah sendiri membebaskan
dengan cara apa saja manusia dapat menuju dan mengenal-Nya (ingat tujuan
penciptaan). Adalah hal yang mudah bagi
Allah bila hendak memaksakan memperkenalkan diri/dzat-Nya, tetapi bukanlah
dengan cara seperti itu yang dikehendakiNya.
Para pencari dzat dan sifat Allah
sebaiknya membekali dirinya dengan ilmu fiqih dalam naungan hukum (syariat
islam) yang telah menjadi pedoman hidup yang dikehendeki Allah SWT, yaitu al
Qur’an dan Hadits, sehingga terhindar dari kesesatan yang ditakutkan itu.
Pelaku tarikat tidak
meninggalkan syari’at dalam perjalanannya, demikian pula setelah mencapai tahap
ma’rifat tetap melakoni syariat dan tarikat, sehingga ia terhindar dari
fitnah dan tuduhan yang menghambat perjalanannya menuju hakikat.
Pemahaman tentang dzat dan sifat Allah
adalah pemahaman yang menuju tentang hakikat keberadaan-Nya yang tersembunyi
sekaligus nyata (gaib dan wujud). Dia mutlak ada berdasarkan tahapan ilm al
yakin (tarikat), ayn al yakin (ma’rifat) dan haqq
al yakin (hakikat).
Setelah memahami proses terciptanya
alam beserta isinya ini kemudian menyadari ada kekuasaan (sifat) yang
sesungguhnya mencipta,mengatur dan memelihara, dan tidaklah mungkin kuasa/sifat
itu ada pada dzat setingkat makhluk melainkan hanya ada pada dzat yang Maha
Kuasa. Keyakinan seperti itu berada pada tahap ilm al yakin, yakni
keyakinan yang berdasarkan ilmu. Keyakinan inilah yang sebagai modal dasar para
pelaku tarikat yang mendorong keinginannya semakin mengenal Rabnya.
Semakin lama dan semakin banyak ia mengenal, akan mengarahkan kepada rasa
penasaran ingin bertemu denganNya.
Sedangkan ayn al yakin, adalah
tahap yakin dimana pernah mengalami atau merasakan pertemuan dan menumbuhkan
rasa cinta kepada-Nya seperti keyakinan para nabi dan wali serta orang suci
lainnya. Tahap ini jelas adalah bagi orang yang telah menyucikan dirinya
sehingga pantas untuk bertemu dengan Allah SWT. Seperti nabi Musa as ketika
melihat api di semak-semak di lembah tuwa, dan saat dekat ternyata bukan api melainkan
cahaya, karena ranting semak ternyata tidak terbakar, saat semakin dekat cahaya
tersebut berkata-kata dan memperkenalkan diriNya dengan Musa as (QS 20:10).
Artinya Allah menemui nabi Musa as dalam bentuk cahaya yang terlihat seperti
nyala api. Tahapan ini membuat para pelakunya semakin ketergantungan akan
keberadaan dan haus akan pertemuan dengan-Nya, merasa putus asa bila tak
mendapatkan kabar dari/tentang-Nya, seperti yang dialami nabi Muhammad saw (QS
93:3). Inilah tahapan yang disebut rasa cinta (ma’rifat). Tetapi
akankah rasa cintanya akan berbalas ??
“Hai manusia,
sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sunguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka
pasti kamu akan menemuiNya.” (QS al Insyiqaq 6).
Itulah jawaban yang juga janji Allah
SWT.
Kemudian tahap hakikat, haqq
al yakin, saya sendiri belum memahami secara baik dalam hal ini, tetapi
untuk lebih mudah menyimpulkan adalah dengan cara yang sederhana memahami bahwa
dengan mencintai maka merasa telah mengenal-Nya dengan benar (haqq). Tetapi
adalah suatu kemustahilan memahami Dia yang Maha Haqq dengan benar/haqq. Tentulah hanya Dia yang
memahami diri-Nya. Disini saya ingin menjelaskan relatifnya keyakinan memahami
dengan benar (haqq) terhadap yang Maha Benar (Haqq). Maksudnya lebih dibatasi
lagi dengan, tidak ada yang mungkin
lebih mengetahui tentang diri-Nya selain Yang Maha Mengetahui. Karena
ini adalah puncaknya keyakinan. Lebih tepatnya, adalah berpulang, kebersamaan,
kebersatuan, manunggal pada yang Haqq yaitu sumber segala sumber tujuan, ilaihi
raji’un.
Perjalanan
Para Pencari al Haqq
Konsekuensi logis pada umumnya diri
manusia untuk mencari dan mengenal
Tuhannya akibat dari rasa kebutuhan akan perlindungan dan tempat mencurahkan
rasa ketidak berdayaannya. Tapi ketertarikan yang didasari ilmulah yang membuat
dirinya semakin kuat ingin mendekati pengenalan terhadap Tuhannya, dan Allah, dengan
janji-Nya, akan menunjuki jalan serta membimbingnya hingga sampai kepada
tujuan.
Bila telah sampai tahap ini, manusia
yang telah mengerti serta menjalani syari’at menuju kepada tarikat
(yakin berdasarkan ilmu, ilm al yakin), maka perjalanan yang ditempuhnya
akan bertemu dengan jalan para sufi pelaku tasawuf, dimana ia akan merasa bahwa
cara/pola hidupnya akan sangat mempengaruhi perjalanan spiritual yang ingin
diraihnya. Karena bukan hanya menjauhi yang haram saja yang perlu dilakukannya,
akan tetapi mengurangi yang makruh, mubah dan menghindari yang subhat serta
memperbanyak yang sunath.
Kemudian pada tahap penyucian diri,
membersihkan hati dari rasa amarah, syahwat kepada zina, kesombongan, iri dan
dengki, riya, syirik dan lain sebagainya hingga memperbanyak sabar, puasa dan dzikir
untuk semakin dekat kepadaNya dan mencapai ketentraman di dalam bathinnya. Sungguh
suatu tahap perjalanan yang tidak mudah bagi yang masih merasakan ikatan
terhadap perhiasan dunia. Bila keinginan mendekat lebih kuat dan dapat
menanggalkan ikatannya terhadap perhiasan dunia, maka secara tanpa sadar ia
sedang menuju menjadi insan kamil.
I. Perjalanan
Tahap Pertama (Tarikat / ilm al yakin) : Lima Hal Utama
1.
Penyucian Diri (Bersih
Hati)
Inilah langkah awal yang harus dijalani
para pencari. Diri atau jiwa yang masih terbelenggu dengan perhiasan duniawi
bukan cuma menghambat jalannya, akan tetapi malah bisa menyesatkan dan
menjerumuskan kepada kenistaan. Perhiasan duniawi termasuk diantaranya adalah
kekuasaan, harta benda, ladang pekerjaan, istri dan anak-anak, dan syahwat
kepada wanita.
Yang ditekankan dari menghindari diri
dari terbelenggunya jiwa dari perhiasan duniawi itu adalah kecintaannya, yaitu
kekuatan cintanya akan dunia itulah yang mempengaruhi diri/jiwa. Dunia tidak
perlu dihindari, dihadapi dan dijalani tetapi tetap dengan tujuan karena Allah
semata. Lilahi ta’ala. Cinta Sejati adalah yang menjadi tujuan utama. Kecintaan
kepadanya janganlah menyamai atau bahkan melebihi kecintaan terhadap Allah SWT.
Kecintaan yang berlebihan terhadap
dunia, akan menjauhkan jiwa manusia dari Allah SWT, karena dapat menyebabkan
kotoran-kotoran yang melekat kuat di dalam hati tempat cahaya Allah bersumber,
sehingga cahaya-Nya tidak dapat menembus untuk menerangi jiwa karena disebabkan
terhalang oleh kotoran-kotoran yang melekat tersebut. Kotoran-kotoran hati
tersebut adalah nafsu amarah, syahwat kepada zina, kesombongan, iri dan dengki,
kikir, serakah, riya, dan syirik.
Semuanya ini adalah sifat-sifat atau perilaku yang sangat dibenci Allah,
bahkan syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni. Itulah bahayanya kecintaan
yang berlebihan kepada perhiasan dunia. Bukan pula kemuliaan yang akan didapat
tapi malah kehinaan yang ada. Bukan mata yang tak melihat, tetapi hati yang
buta.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai
adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasulNya dan (dari) berjihad di
jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik ”. (QS at Taubah 24)
Banyak contoh yang dapat kita lihat dan
alami, dari mulai sejarah peradaban manusia hingga kehidupan sehari-hari saat
ini yang seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi manusia, akan tetapi setan
menjadikannya indah dipandang mata. Perhiasan dunia malah menjadi tujuan hidup
karena kemewahan dan kemegahan yang ditampilkan dan dibisikkan oleh iblis atau setan
penggoda dan penghasut yang sombong dan iri kepada jabatan manusia yang
diberikan Allah SWT sebagai khalifah di bumi agar terperosok kepada kehinaan.
“dia menjawab (setan), karena Engkau telah
menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari
jalanMu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan
kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS
Al A’raf 16-17)
Disebabkan janji iblis untuk
menjerumuskan manusia inilah, maka Allah mengingatkan, agar manusia selalu
waspada agar tidak terperosok kepada kehinaan yang akan menimpanya. Seperti
pada firman-Nya berikut ini,
“Wahai anak cucu Adam!
Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah
mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk
memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat
kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami
telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.
(QS Al A’raf 27)
Betapa banyak jalan dan cara iblis
membisikkan hasutan-hasutannya agar manusia terjerumus kesesatan. Iblis adalah
sisi gelap atau bisa disebut juga sisi negatif hati manusia. Kekuatannya sama
dengan malaikat tetapi intensitas pengaruhnya terhadap manusia amatlah sering
disetiap waktu. Pada awalnya iblis adalah ras malaikat, tetapi setelah
pembangkangannya terhadap perintah Allah agar sujud (tunduk) kepada Adam as,
maka Allah menamakannya iblis.
“Dan (ingatlah) ketika
Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka
merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia
termasuk golongan yang kafir”. (QS al Baqarah 34)
Sebenarnya iblis akan hilang dari
manusia bila jiwa dapat menundukkannya dengan tidak melayani segala
bisikkannya dan bila selalu berada di wilayah yang diterangi cahaya-Nya. Allah
menyebut jiwa ini sebagai jiwa yang tenang (nafsu al muthma’inah), yang dapat
mengatur/mengelola hawa nafsunya kepada nafsu kebaikan. Jadi sebenarnya, iblis
adalah malaikat juga, dia akan tunduk patuh dan menjadi cahaya penerang/petunjuk
bagi manusia, dan dapat pula membangkang menjadi api yang panas membakar hati serta
bujuk rayunya kepada api neraka yang menghinakan. Iblis seperti berada dan
terbawa dalam aliran darah manusia, mendorong hawa nafsu amarah maka tensi
darah pun melonjak naik.
“Ia (iblis) berkata:
Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan
(kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan
menyesatkan mereka semuanya”. (QS al Hijr 39)
Pada dasarnya manusia cenderung kepada
hawa nafsunya, dan berketergantungan kepada petunjuk, tetapi bukan berarti
semua nafsunya tidak dapat diatur atau dikelola dengan benar. Ini dapat
dianalogikan kepada bibit penyakit atau bakteri atau virus yang ada didalam
tubuh yang dapat dilemahkan (imune) sehingga tidak membahayakan atau bahkan
malah dibuat sebagai fungsi kekebalan tubuh. Manusia yang kebal terhadap godaan
dan bujuk rayu iblis, bahkan malah menundukkan dan menyuruhnya bersujud kepada
dirinya. Inilah yang terjadi pada diri rasulullah Muhammad SAW.
2.
Berserah Diri (Islam)
Ini bukanlah tahapan aturan yang harus
dilalui satu persatu secara berurutan dalam perjalanan pencarian, melainkan
tindakan yang dapat dilakukan bersamaan maupun terpisah dengan penyucian hati,
kesabaran, rasa syukur, rasa ikhlas dan selalu ingat (dzikir). Yang jelas
kesemuanya berkesinambungan dan harus terus tetap ada pada diri manusia yang
bertujuan melakukan perjalanan menuju Tuhannya. Tahapannya hanya terlihat pada
kualitas diri yang telah dicapainya.
Inti dari memahami tindakan berserah
diri adalah bahwa tiadalah kekuatan/kekuasaan yang ada dan terjadi selain
kekuatan/kekuasaan Allah SWT. Apapun yang terjadi di alam raya ini baik
yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari adalah kehendak dari
kekuatan/kekuasaan-Nya.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan
seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS al An’am
162-163)
Kebanyakan manusia lupa atau bahkan
menyepelekan hal ini, sehingga kehilangan esensi hidup islaminya yaitu
keberserahan dirinya kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Bijaksana, yang Maha
Pengasih dan yang Maha Penyayang. Padahal ayat ini sering diucapkan sehari
sebanyak lima kali didalam setiap shalat, tetapi kebanyakan manusia tidak
memahami maknanya dan mengeluarkannya tidak kepada bentuk amal perbuatan yang
dilandasi penyerahan diri dan keikhlasannya hanya kepada Allah semata.
Sehingga, amal perbuatannya hanya sebatas dari apa-apa yang diharapkannya saja,
tidak sampai kepada ridha Allah SWT. Manusia lupa, bahwa kekuatan untuk dapat
berbuat adalah juga karena kehendak dan kekuatan yang di berikan Allah
kepadanya, dia lupa menyadari bahwa Allah meliputi segalanya, dan dia lupa,
sesungguhnya perbuatannya itu akan terus menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Betapa
pentingnya hal ini sehingga para nabi mewasiatkan kepada anak-anaknya agar mati
dalam keadaan islam (berserah diri), karena Allah pun banyak berpesan kepada
manusia dalam firmanNya didalam al Qur’an.
“Apakah kamu menjadi
saksi saat maut akan menjemput Ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya:
apa yang kamu sembah sepeninggalku?. Mereka menjawab: kami akan menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan
yang maha esa dan kami (hanya) berserah diri kepadaNya ”. (QS al Baqarah
133)
Alam raya ini, langit dan
bintang-bintang, gunung-gunung, awan, burung-burung, dan seluruhnya tunduk
berserah diri dan bertasbih kepada-Nya. Secara sukarela maupun terpaksa, sadar
ataupun tidak sadar, sesungguhnya manusia telah ada dalam kekuasaan ketetapan
dan kehendak-Nya, hanya jiwa yang berdosalah yang merasa diluar kuasa-Nya.
Padahal tidaklah demikian, semua telah tetap dalam kuasa dan kehendak-Nya.
Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari ketetapanNya.
Ingatlah, istri serta anak-anak,
saudara-saudara, kaum keluarga, harta benda, ladang pekerjaan, dan rumah-rumah,
bahkan diri dan tubuhnya sendiri bukanlah milik yang dikuasainya, melainkan
milik Allah SWT. Yang sewaktu-waktu dapat hilang atau meninggalkannya.
Apa-apa yang disedekahkan pun adalah
karena rizki dari dan kehendak-Nya. Kekuasaanpun dari dan akan kembali kepada-Nya.
Akal dan ilmu juga adalah karena kemurahan-Nya. Tidaklah ada secuilpun yang
dimilikinya secara hakiki dan abadi dan merupakan hasil dari kekuatannya
sendiri. Berserah dirilah, karena sesungguhnya tiada kekuatan/kekuasaan selain
kekuatan/kekuasaan-Nya.
Sesungguhnya telah berserah diri
apa-apa yang berada di langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya.
Peredaran bintang-bintang serta gugusannya, dan matahari juga bulan serta siang
dan malamnya, bumi beserta gunung-gunung dan gerakan peredaran awan-awan
pembawa hujan, hewan-hewan dan tumbuhan dalam siklus ekosistem. Bahkan pada
tubuh manusia, pada peredaran darahnya dengan jantung yang memompa mengirimkan
makanan kepada setiap sel tubuh, paru-paru yang mengatur pernapasan, sel-sel
yang tumbuh dan saling menunjang. Seluruhnya tunduk dan berserah diri pada
ketetapan hukum-Nya. Semua itu adalah kuasa Tuhan yang bukan atas kehendak diri
manusia. Hanya jiwa yang berdosalah yang merasa diluar kuasa-Nya.
“.... Barangsiapa
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat
pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersdih hati”. (QS al Baqarah 112)
Penyerahan diri juga mencakup makna
memuliakan Tuhan yang maha Mulia, dan manusia diharapkan tetap menjaga
kemuliaan-Nya itu serta tidaklah pantas malah mengotori kemuliaan-Nya.
Menghindari penyesatan yang dibisikkan setan yang kelihatan indah dipandang
mata, akan tetapi malah menjerumuskan.
“Dan aku (Yusuf) tidak (menyatakan) diriku
bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu mendorong kepada
kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS Yusuf 53)
Yang bermakna pula, tidak mengotori
dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tercela. Banyak perbuatan manusia yang
dengan mengatas namakan Tuhan dan menyebabkan kerusakan atau bahkan pertumpahan
darah. Bila manusia mengorientasikan amal ibadahnya kepada ke-Muliaan Tuhan
yang maha Benar, maka caranya pun dengan cara-cara yang mulia dan benar.
Berserah diri adalah bertujuan untuk
mengembalikan kesadaran diri manusia kepada fitrah asalnya sebagai makhluk,
hamba. Dan bukan pula pasrah tanpa tujuan, akan tetapi menyadari bahwa dirinya
juga sebagai makhluk sempurna yang dibanggakan Penciptanya. Paham bahwa ia diharapkan
Tuhannya sebagai perwujudan-Nya di bumi. Berserah diri secara total atas
ketetapan (hukum-hukum)Nya, yaitu tujuan penciptaannya sebagai khalifah
di muka bumi yang juga sebagai perwujudan (sifat-sifat)Nya sehingga menjadi
rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
“Maka hadapkan wajahmu
dengan lurus kepada jalan (agama islam), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”, (QS ar Rum 30)
3.
Sabar dan Bersyukur
Dalam perjalanannya, seorang pencari
akan mengalami banyak tantangan-tantangan yang justru akan menambah khazanah
ilmunya. Apalagi dalam melakukan tindakan penyucian diri dan berserah diri,
sungguh diperlukan rasa sabar yang harus pula selalu diiringi rasa syukur. Di
setiap kesabaran manusia harus selalu ingat dan bersyukur agar kesabarannya
memiliki nilai dan tidak menjerumuskannya ke dalam keputus asaan. Karena Allah
SWT telah berjanji akan terus menambah nikmat-Nya jika manusia bersyukur.
Perlu diingat terus dan berulang-ulang
bahwa kesabaran yang didapatpun adalah karena kehendak dan rahmat darinya,
karena itulah hendaknya tidaklah lepas dengan bersyukur karena telah diberi
rahmat ini. Banyak melakukan puasa dan ingat (dzikir) dapat melatih manusia
untuk memperoleh kesabaran, dan hanya dengan cara seperti inilah kesabaran yang
didapat akan selalu diiringi rasa syukur. Bersabarlah dalam mengharap
pertolongan dari rahmat Allah, serta bersyukurlah bila rahmat itu datang,
dengan cara memurnikan setiap amal perbuatan selanjutnya hanya kepada Allah
semata.
Kesabaran adalah suatu upaya yang
mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan
kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari. Kesuksesan
adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran.
“Dan, orang-orang yang
sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian
rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan,
dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang
dapat mencapai tempat terakhir”. (QS ar Ra’d 22)
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan
seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya
amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang menolak kejahatan untuk
datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang
menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah
sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah
resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal
menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama,
yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan
nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala
musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan
ramah. Inilah salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu
kesabaran dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang
sungguh untuk dapat disyukurinya.
Ayat inilah yang menjadi daya tarik
para pencari untuk terus berusaha melakukan perjalanan spiritualnya, yaitu berusaha
mencari wajah Tuhannya dengan bersabar, menegakkan shalat untuk mengingatnya,
menafkahkan sebagian rezeki, berbuat kebaikan dan menolak kejahatan. Semua itu
dilakukannya dengan tekun dan sabar untuk dapat mencapai tempat terakhir seperti
yang dimaksud Allah SWT.
Sungguh banyak keutamaan yang dapat
diperoleh melalui kesabaran dan bersyukur, sebab manusia yang sabar adalah
tiada mengenal kata putus asa sehingga ia akan tetap kepada tujuannya sekalipun
tantangan-tantangan dan halangan menghadang di depan matanya. Keyakinannyalah
yang membuatnya bersabar untuk meraih tujuannya. Ingatlah, bahwa Allah selalu
bersama orang-orang yang sabar dan bersyukur.
“..... kemudian akan
kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak
akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS Al A’raf 16-17)
“........ Hanya orang-orang
yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. (QS az Zumar 10)
Pahalanya adalah buah dari kesabarannya
yang sebenarnya tanpa batas pula, karena rasa syukurnya setiap kali mendapatkan
rahmat dari Tuhan-Nya. Manusia tidak mengetahui batasnya sampai kapan dan
dimana tujuannya akan tercapai atau hanya sekedar menjadi cita-cita yang tak
pernah terealisasi, tetapi Allah SWT mengetahui usaha dan jerih payahnya dan
menjanjikan pahala yang tanpa batas pula.
Kesabaran dan rasa syukur adalah tindakan
yang tak terlihat dan terdengar tetapi dapat dirasakan oleh orang lain dari energinya.
Manusia seperti ini bukan cuma dicintai Allah, tetapi juga oleh sekelilingnya
dan menciptakan situasi dan kondisi yang harmonis dan bersahabat dengan alam
disekitarnya, yakni peka akan situasi disekitarnya. Dan telah disadarinya bahwa
disekelilingnya, alam ini beserta benda-benda lainnya adalah makhluk ciptaan
seperti dirinya yang perlu dihargai hak-haknya. Dia akan memahami seluk beluk
dan rahasia-rahasia yang sebelumnya terhijab oleh kotoran-kotoran yang melekat
di hatinya, dan buah dari membersihkan hati, penyerahan diri serta kesabaran
yang disertai rasa syukurnya telah melunturkan kotoran-kotoran yang sebelumnya
melekat dan menutupi sehingga cahaya ilmu/petunjuk mudah menembus kedalam
hatinya. Bukan lagi hanya mata yang melihat akan tetapi hatinya pun melihat
dengan terang benderang.
“Seeungguhnya Kamilah
yang memberi petunjuk”. (QS al Lail 12)
Tiada lagi susah ataupun senang, sedih
dan bahagia, kesulitan dan kemudahan, hina maupun mulia, semua dianggapnya
sama. Yaitu sama karena pemberian Allah SWT yang tiada daya upaya bagi siapapun
untuk menolaknya. Karena ia menyadari dibalik kesulitan ada kemudahan, maka
pasti semuanya itu beriringan silih berganti menemuinya berdasarkan ketetapan-Nya.
Bukan berarti hanya pasrah menerima tanpa pernah berbuat, akan tetapi justru
malah ikut serta dalam menciptakan kondisi yang harmonis dengan alam dan
seluruh makhluk disekitarnya.
4.
Ikhlas
Cobalah untuk
mengikhlaskan apapun yang pernah terjadi dan dialami, yang selama ini mungkin
masih mengganjal dan terus ada, yang terkadang timbul tanpa sengaja dan
teringat kembali. Bila masih belum bisa, tidak mengapa dan teruslah memahami
makna dari keikhlasan di bawah ini,
semoga Allah memberikan petunjuk (hidayah)Nya sehingga dapat mengerti
mengapa hal itu sampai terjadi dan malah menjadi rahmat pengetahuan, dan secara
tidak disadari maka hati telah mengikhlaskannya.
Hal ini
sungguh penting untuk memudahkan langkah dalam perjalanan membuka semua
tabir/hijab yang pasti akan selalu ditemui. Terbukanya hijab-hijab tersebut,
satu per satu, sesungguhnya adalah terlepasnya kotoran-kotoran yang melekat
pada hati, dan akan lebih membukakan jalan kepadaNya.
Ikhlas adalah
salah satu rasa puas tanpa berharap imbalan dari kesabaran dan rasa syukur hanya
karena/kepada Allah yang dilandasi hati yang bersih. Jadi, setiap amal perbuatan
yang didasari keikhlasan adalah amal perbuatan dari kesabaran dan rasa syukur
tanpa berharap imbalan hanya karena/kepada Allah yang menimbulkan rasa puas.
Mengapa ada
kesabaran dan rasa syukur dalam ikhlasnya amal perbuatan?
Karena amal
perbuatan adalah pekerjaan, dan di setiap pekerjaan pasti dituntut kesabaran
supaya mendapatkan hasil sesuai yang dinginkan. Sedangkan rasa syukur adalah
karena merasa masih dipercaya dan diberi pekerjaan dan ditujukan hanya karena
dan kepada yang secara hakiki memberinya, yaitu Allah SWT.
Mengapa
dapat menimbulkan rasa puas?
Rasa puas
adalah perwujudan dari keikhlasannya, jika amal perbuatan yang tidak
menimbulkan rasa puas maka berarti ada penyakit hati yang membuat tidak ikhlas.
Dengan tujuan pemurnian
amal perbuatan (ibadah) yang dikembalikan kepada-Nya dalam wujud penyerahan
diri secara total hanya dari dan untuk Allah semata.
Inilah
keterkaitan yang tidak terpisahkan masing-masingnya antara hati yang bersih,
penyerahan diri, sabar dan bersyukur, yang bila salah satunya cacat maka amal
perbuatannya takkan bernilai di mata Allah. Jadi semuanya adalah satu kesatuan
syarat bagi para pencari dalam perjalanan menuju Dia yang Haqq. Itulah
yang menyebabkan keikhlasan tidak sesederhana pengucapannya. Mudah diucapkan
tetapi sukar menjalankannya. Makanya, kadang terasa kesal, mendengar orang
sering berucap, “sudah, ikhlaskan saja....” Padahal sudah capek-capek
kerja...... Itulah yang dimaksud dengan salah satunya ada yang cacat, maka
rusaklah perjalanannya.
Hidup adalah ibadah,
yaitu amal perbuatan. Oleh sebab itu, bila tidak mau merasa kecewa, keikhlasan adalah
mutlak mau tidak mau harus menyertai aktifitas. Karena itu di setiap amal
perbuatan (ibadah) mulailah dengan niat yang ikhlas.
“....sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh
alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan
aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS al An’am 162-163)
“(Iblis) menjawab:
demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS Shad 82-83)
Dikarenakan
amal perbuatan (ibadah) harus disertai keikhlasan, justru inilah yang menjadi
sasaran tembak iblis agar manusia menjauhi keikhlasan dalam setiap amal
perbuatannya. Dan berhati-hatilah serta selalu waspada terhadap tipu daya iblis
yang memberikan pemandangan indah tetapi justru menjerumuskan. Dan dia tiada
pernah berhenti membisikkan bujuk rayunya yang menyesatkan.
“Ia (iblis) berkata:
Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan
(kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan
menyesatkan mereka semuanya”. (QS al Hijr 39)
Padahal iblis
tidak memiliki kekuasaan atas manusia (terutama yang ikhlas), dia hanya
merangsang angan-angan keinginan manusia. Dikuatkannya keinginan manusia melalui
angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah dan menarik hati
manusia yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan manusia itu
kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat
terwujud kepada manusia-manusia yang berpaling dari jalan Allah. Karena itu
manusia diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam setiap amal perbuatannya agar tetap terjaga
dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada kehinaan dirinya.
Bila dicermati dan dipahami secara
mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri
manusia sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir dan semakin kuat
mencengkeram jiwa kita selalu dalam pengaruhnya. Begitupun pada malaikat, bila
selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya maka terangnya
(malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya. Manusia yang secara tak
sadar terus menjauhkan diri dari cahaya Tuhannya, maka justru dia semakin
mendekatkan dirinya kepada kesesatan bujuk rayu iblis.
Pada dasarnya manusia menyukai terang,
dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi tidak mengetahui apa-apa,
hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata memandang. Tetapi sayangnya
jiwa tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat menerapkannya kedalam
memahami akan tempat kemana dia
seharusnya bergantung dan mendapatkan perlindungan.
“Tidakkah kamu tahu bahwa
Allah-lah pemilik kerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada bagimu pelindung dan
penolong selain Allah”. (QS al Baqarah 107)
Maka
beruntunglah orang-orang yang menyucikan hati dan jiwanya dengan ikhlas dalam
amal perbuatan (ibadah)nya hanya untuk mendapatkan rahmat dan ridha Allah SWT
yang tiada berbatas dan terus datang menghampirinya selama ia menjaga pada
jalan yang telah ditetapkan-Nya.
5.
Ingat
(Dzikir)
Hal utama ke
lima ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan empat hal sebelumnya, akan tetapi
peranannya jangan sampai disepelekan karena hal ke lima inilah yang membuka
pintu-pintu menuju kebersamaan manusia dengan sang Pencipta, sumber segala yang
Haqq.
Bila keempat
hal utama diatas tadi tidak ingin lepas dari setiap laku hidup, hendaklah
selalu mengingat-Nya setiap saat, karena intensitas godaan dan bujuk rayunya
amatlah sering disetiap saat pula. Dengan berdzikir maka hati menjadi tenang
dan tentram sehingga kewaspadaan akan selalu terjaga, dan secara otomatis hati
tidak akan rela kehilangan keempat hal utama tersebut.
“....dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir (mengingat)
Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir (mengingat) Allah hati menjadi tentram”.
(QS 13:28)
Shalat adalah
juga termasuk ingat (dzikir), akan lebih bermakna dan memiliki nilai bila
melakukannya dengan khusyu’ dikarenakan begitu banyak doa yang dibacanya dalam
bahasa yang bukan bahasa kita. Kekhusyu’annya bergantung kepada pemahaman arti
dan makna doa yang kita baca dalam shalat, serta menyadari bahwa sedang
berhubungan dua arah dengan Allah SWT, sang Penguasa dan Raja dari segala raja.
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepadaKu”. (QS Thaha:14)
Memperbanyak
shalat, yaitu dengan menambahkan shalat-shalat sunath adalah juga sebagian cara
memperbanyak ingat (dzikir). Di sisa waktu, dapat dilakukan dengan dzikir
khaffi disetiap saat sekalipun didalam kesibukan kerja, karena dzikir ini
dilakukan didalam hati dengan menyebut nama-nama Allah (asma al Husna), yang
tidak memerlukan gerakan maupun lisan bacaan doa yang terdengar, tidak pula menggangu
konsentrasi pekerjaan. Sehingga pekerjaan menjadi amal perbuatan (ibadah) yang
terjaga dari godaan dan bujuk rayu iblis.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan
kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih
besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Shalat,
dzikir, mengingat Allah itu ternyata bertujuan mencegah perbuatan keji
dan mungkar. Berarti, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak disukai
Allah SWT. Dan tidak berbuat keji dan mungkar merupakan amal perbuatan
(ibadah) yang utama. Shalat, dzikir, atau mengingat Allah adalah sebuah
sarana atau cara untuk mencapai keutamaan itu, yaitu tidak melakukan perbuatan
keji dan mungkar.
Kemudian,
simaklah firman Allah dalam Surah al Ma’un berikut ini,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang
miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS al
Ma’un 1-7)
Orang yang mendustakan
agama, diantaranya menghardik (berlaku keji kepada) anak yatim, dan tidak
memberi makan orang miskin, adalah bagian dari perbuatan keji dan mungkar.
Termasuk perbuatan riya dan enggan memberikan bantuan. Yang Allah kehendaki adalah
agar manusia meninggalkan perbuatan ini. Dan Allah mencela sekaligus
mengingatkan, kecelakaan bagi orang-orang yang melakukan ibadah shalat tetapi
lalai terhadap shalatnya, yang lalai terhadap Apa dan Siapa yang diingatnya,
yaitu Allah SWT. Seharusnya, dengan shalat (mengingat) kepada-Nya telah dapat
mencegah dirinya dari perbuatan tersebut. Ingatlah, mencegah perbuatan keji
dan mungkar adalah lebih besar keutamaannya (ibadah yang utama).
Semakin
terbuka hijab yang menutupi satu per satu, dan pemahaman pun datang satu per
satu. Akan tetapi semakin paham, rupanya semakin terasa berat perjalanan ini.
Tidak, tentu tidaklah demikian. Yang membuat terasa berat adalah angan-angan
yang ditampakkan atau dibisikkan iblis. Percayalah, keikhlasanlah yang
membuat semua itu menjadi ringan tak terasa berjalan dan membuat
kemudahan-kemudahan pada perjalanan selanjutnya.
Dirikan dan
tegakkanlah shalat dengan khusyu’ dan ikhlas untuk mengingat-Nya, yang membuat
hati dan jiwa dapat hidup menggerakkan setiap amal perbuatan (ibadah) yang membawa
rahmat kepada sekitarnya, sebagai wujud dari sifat-sifat Allah yang
membumi.
Sesungguhnya
apa-apa yang manusia makan dan minum serta udara yang dihirup dari rahmat Tuhan
adalah dzat-dzat atau unsur-unsur yang masuk kemudian diurai oleh tubuhnya menjadi energi yang keluar dari
tubuh untuk aktivitas amal perbuatan (ibadah).
Kesemua energi yang masuk dan keluar tersebut hendaklah bersih
dari unsur-unsur keji dan mungkar. Karena sesungguhnya, energi-energi tersebut
tidaklah musnah, hanya berubah bentuk atau terurai dan tetap berada di alam
ini, yang kelak pada hari pengadilan adalah sebagai bukti dan saksi atas
amal perbuatan manusia. Sebagai catatan amal.
“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka
bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat
kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS al
Ma’idah 93)
Ibarat, air
yang diubah menjadi tinta kemudian menjadi kata-kata yang menyusun kalimat
sebuah cerita pada lembaran-lembaran buku. Atau dalam bentuk audio, ibarat
siaran radio yang berada di udara kemudian ditangkap radio penerima kemudian
direkam kedalam kaset, cd, hard disk, ataupun flash disk. Atau yang dalam
bentuk audio visual, seperti siaran teve yang dapat ditangkap televisi di rumah
kemudian direkam kedalam bentuk video kaset, vcd, ataupun dvd. Dan semua itu
untuk dapat dibaca, didengar, dan dilihat kapan saja diperlukan. Seperti itulah
apa yang dimaksud kitab catatan amal yang akan dibuka kelak pada hari
penghisaban.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan
perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala
sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS an Naba’ 27-29)
Ada sebuah cerita, pernah suatu kali
didalam dzikirnya, Syaikh Abdul Qadir Jailani, seorang tokoh ulama ternama di abad
XI, dan ketika sedang mengalami ekstase atau rasa dengan suasana yang sulit
untuk diterangkan, tiba-tiba datang suatu cahaya terang benderang meliputi
seluruh ruangan tempatnya berdzikir, dan kepadanya dibisikkan bahwa dia
telah sampai pada puncak kesempurnaan dan telah dibebaskan oleh Allah kepadanya
segala ikatan syari’at serta telah menghalalkan semua yang sebelumnya
diharamkan. Namun karena sang Syaikh yang telah memiliki ketinggian ilmu
ma’rifat ini segera menyadari bahwa iblis telah menyusup dan berusaha
menyesatkannya dengan cara seperti itu. Allah SWT cukup dengan memberikan
ilmu-Nya, tidak perlu memberitahukan bahwa itu adalah perbuatan atau tipu daya
iblis.
Coba bayangkan, seandainya kejadian
tersebut terjadi pada hamba yang masih belum dibayangi keikhlasan yang kuat
dalam ibadahnya, ditambah lagi ilmu yang belum mumpuni, serta tidak datang
petunjuk dari Allah untuk menyelamatkannya. Tentu tersesatlah hamba ini.
Di sesekali kesempatan,
luangkanlah waktu untuk melakukan dzikir lisan. Pilihlah waktu dan tempat yang
mendukung kenyamanan mengerjakannya tanpa menggangu pihak lain. Lakukanlah
dengan khusyu’ agar mencapai suasana bathin yang hening dari hiruk pikuk keduniaan.
Lepaskan pikiran, dan fokuskan hati/rasa kepada kekosongan (fana), hindari
seluruh keinginan yang tiba-tiba datang, jangan dituruti, karena itu adalah
godaan. Lafadzkan kalimat Tauhid, la ilaha ilallah sebanyak-banyaknya,
untuk memfokuskan tujuan hanya kepada-Nya.
II. Perjalanan
Tahap kedua, Ma’rifat (ayn al
yakin)
Ma’rifat adalah alamnya para nabi,
waliy, dan orang-orang suci lainnya, akan tetapi bukan berati manusia lainnya
tidak dapat memasuki alam ini. Berarti, hanya dengan mensucikan diri atau jiwa
dahulu baru bisa menembus ke alam ini. Ini adalah alam cinta makhluk dengan
penciptaNya. Alam kesucian.
Bila alam tarikat telah dilalui,
bukanlah tidak mungkin alam ma’rifat inilah, kini, yang sedang dihadapi. Hanya
tinggal menumbuh kembangkan rasa cinta kepada Allah semata, dan tetap dengan
meningkatkan kualitas tarikat sebelumnya.
“Hai manusia,
sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sunguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka
pasti kamu akan menemuiNya.” (QS al Insyiqaq 6).
Jadi jelaslah bahwa bila manusia telah
berusaha dengan sungguh-sungguh dengan kemurnian (keikhlasan) hanya dan untuk
ridha-Nya, maka janji Allah akan datang, yaitu bertemu dengan-Nya.
Berbahagialah, karena janji Allah adalah benar.
Pada tahap ini, apa-apa yang dialami
dan dirasakan manusia berbeda satu sama lainnya, tidaklah sama. Dan umumnya
mereka rahasiakan, tidak diceritakan kepada sembarang orang. Mungkin
dikarenakan takut malah menjerumuskannya kepada perbuatan riya. Atau mungkin
takut dicap sebagai pembohong bila mudah menceritakan ke sembarang orang. Yang
jelas, kita tidak akan mengulas apa-apa yang dialami mereka, akan tetapi hanya
kepada apa-apa yang harus dilakukan untuk dapat seperti mereka para pencari
yang telah bertemu dan mencintai serta dicintai Allah SWT.
Cukuplah Teladan Rasulullah SAW sebagai Acuan Fitrah
Kemanusiaan
“Katakanlah
(Muhammad): jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu:
Allah maha Pengampun, maha Penyayang”. (QS Ali Imran 31)
Ikutilah nabi Muhammad. Ikuti amal
perbuatan (ibadah)-nya, yang memiliki akhlak terpuji sebagai acuan manusia.
Yang tiada seorang pun bisa menyamainya?
Tidak, hanya Allah sajalah yang tiada
seorangpun makhluk-Nya yang dapat menyamaiNya. Atau setaraf denganNya. Kan
Allah sendiri yang menyuruh manusia untuk mengikutinya, berarti bisa kita
mengikuti akhlaknya yang terpuji itu. Terbayang berat ya...... Ya, itu berarti
kita mengakui ketinggian akhlak beliau. Tapi, janganlah gusar dan putus asa,
karena kita disuruh mengikuti bukan menyamai apalagi mendahului. Jadi, walaupun
kita masih jauh dibelakang, akan tetapi arahnya tetap sama dan masih pada jalur
untuk tetap mengikutinya. Jadi, untuk langkah awal, tetapkanlah selalu pada
jalurnya.
Ada satu hal yang sangat perlu untuk
dicermati dan diteladani dari beliau, yang kebanyakan disepelekan kebanyakan
manusia, dan hampir saja terlupakan serta tak menyadari betapa besar
pengaruhnya pada kehidupan manusia, yaitu kemurahannya menyampaikan ilmu
yang diberikan Allah SWT kepadanya untuk disebarkan atau diamalkan dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan, bahkan sampai saat ini ilmunya masih terus menerangi
sebagian populasi manusia di bumi.
Dialah rahmat bagi alam semesta.
Mercusuarnya manusia yang mengarahkan kepada keselamatan. Islam. Dia yang yatim
piatu dan ummi. Suatu pencapaian yang luar biasa dari seorang manusia yang
pernah hidup di bumi. Mungkin inilah yang disebut Nur Muhammad. Terang
sepanjang masa dari semenjak gelar al amin tersandang pada dirinya. Sampai di
situlah pemahaman saya pada Nur Muhammad.
Dengan tidak mengurangi nama besar
ulama-ulama sebelumnya, bahwa paham Nur Muhammad yang dimaksud para
ulama, adalah Nur Allah, yaitu pancaran cahaya-Nya yang mengawali ciptaan
pertama-Nya. Dari pancaran cahaya-Nya itulah segala wujud dasar terbentuk, dan
(secara ilmiah) partikel-partikel wujud dasar tersebut terus berkembang
dan ber-evolusi (dalam hukum-Nya) sebagian saling berinteraksi dengan tumbukan
dan gaya gravitasi semesta membentuk wujud yang sedikit lebih kompleks dan
semakin lebih kompleks lagi ke tingkat yang lebih tinggi dan proses ini terus
berlangsung hingga saat ini. Proses inipun berlaku pada penghuni bumi, kepada
seluruh makhluk. Dan berlangsung terus hingga akhirnya kembali kepada penyusutan
alam semesta untuk proses balik kembali kepada Asal, dengan kata lain proses
peleburan yang mengembalikan wujud-wujud kompleks kepada wujud dasar akibat
gaya gravitasi pada pusatnya yang maha dahsyat kuatnya, yaitu pulang kepada-
Nya, ilaihi raji’un.
Dengan ketetapanNya (sunathullah),
proses berkembang dan ber-evolusi itulah
yang menjadikan, bintang-bintang, gugusan bintang, planet-planet, bumi dan
bulan terbentuk. Bahkan pada wujud-wujud yang lebih kompleks, yaitu
makhluk-makhuk semuanya, dari mulai malaikat, manusia, iblis, jin,
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pada benda-benda langit yang terbentuk dan tak
terhitung jumlahnya, mungkin juga berkembang biak seperti hewan dan manusia,
cuma perkembang biakannya yang tidak terdeteksi. Yang jelas, pasti ada
interaksi diantara mereka. Awalnyapun tumbuhan tidak diketahui proses perkembang
biakannya, tapi lama kelamaan akhirnya terkuak juga. Seperti biji-bijian yang
terbang terbawa angin dan jatuh serta tumbuh ditempat yang jauh dari induknya,
dan ada juga biji-bijian yang dimakan burung kemudian dikeluarkan sebagai
kotoran dan tumbuh di tempat yang jauh dari induknya. Dan ada yang atas andil
campur tangan manusia. Seluruh makhluk ciptaan-Nya ini mengalami siklus
keruntuhan (kematian/terurai) dan kebangkitan terus berulang untuk mencapai
kesempurnaan.
Mengapa iblis tercipta setelah manusia?
Pada QS al Baqarah ayat 34
disebutkan, bahwa seluruh malaikat diperintah sujud kepada Adam oleh Allah SWT,
maka sujudlah semuanya kecuali iblis.
“Dan (ingatlah) ketika
Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka
merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia
termasuk golongan yang kafir”. (QS al Baqarah 34)
Artinya, malaikat yang membangkang dari
sujud kepada Adam itulah yang disebut iblis. Jadi adanya iblis adalah setelah
adanya Adam. Dan akhirnya iblis berprofesi sebagai penghasut manusia kepada
jalan yang sesat. Juga ditegaskan lagi di QS al Baqarah ayat 102,
tentang setan-setan, yaitu malaikat Harut dan Marut, yang mengajarkan ilmu
sihir di Babilonia.
Cahaya pun, yang sebagai unsur dasar
penciptaan setiap makhluk Allah, pada malaikat, cahaya selain bersifat
menerangkan, ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang bersifat panas
inilah malaikat pembangkang menjadi ada dan disebut iblis oleh Allah
SWT. Seperti kita tahu, malaikat tercipta dari cahaya sedangkan iblis dari api.
Cahaya yang berubah menjadi api begitu banyak ditemui dalam kehidupan
sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah menjadi api, maka cahaya
memerlukan benda yang mudah terbakar, dan bukan benda yang terbakar itulah
apinya, bukan pula terangnya, tetapi nyalanya. Jelas kita dapat
membedakan antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu cahaya yang
menjadikan terang, dan kita dapat mengambil manfaat dengannya, juga
cahaya yang menjadikan nyala api yang membakar. Dan keduanya membutuhkan
benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui keberadaannya. Semua benda ada
terlihat karena ada cahaya yang menyentuhnya. Terangnya pun ada pada benda.
Keduanya pun dapat bertempat pada diri
kemanusiaan agar fungsinya lebih berarti. Yang satunya menyampaikan petunjuk,
sedangkan yang satunya lagi menghasut. Yang satunya memberi petunjuk dengan
terangnya, sedangkan yang satunya lagi menghasut dengan membakar. Akan tetapi,
ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat bagi setiap diri insan kemanusiaan.
Mengapa iblis membangkang dan menjadi
musuh manusia?
Itulah ketetapan Allah. Dan pada manusia
akan timbul dan bertambah kesempurnaannya dengan adanya iblis yang membangkang
dan menjadi musuh manusia. Kesempurnaan adalah kemenangan. Diperlukan
suasana pertandingan (penyaringan) untuk sebuah kemenangan, penonton sebagai suporter
yang membakar semangat dan pelatih sebagai pemberi
petunjuk, serta wasit sebagai hakim yang memiliki hukum pertandingan.
“Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sungguh. Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya............”. (QS al Hijr
28-29)
“Dia menciptakan
manusia dari tanah kering seperti tembikar”. (QS ar Rahman 14)
Dari ketiga ayat tersebut, menyiratkan,
bahwa setelah tanah yang dibentuk-Nya dalam penciptaan manusia, Allah hendak menyempurnakannya
dengan membakar seperti dalam pembuatan tembikar. Dengan demikian,
ternyata, iblis pun berguna menjadi salah satu komponen penyaring untuk
mendapatkan manusia-manusia unggul, sehingga menuju kepada Fitrah
seperti yang telah ditetapkanNya. Yaitu, sebagai makhluk Allah yang menyadari tujuan
penciptaannya sebagai khalifah di bumi yang merupakan juga perwujudan (sifat-sifat)Nya
sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil
‘alamin).
Memang ini adalah alamnya para nabi dan
orang-orang suci, tetapi merekapun berusaha dengan keras lagi ikhlas untuk
mengabarkan dan mencontohkan perilaku terpuji agar tercipta kehidupan yang
harmonis di lingkungannya. Tidak sedikit diantara mereka malah mendapat
pertentangan dari kaumnya. Akan tetapi itulah ketetapan Allah, yang menghendaki
kesempurnaan pada seluruh makhluk-Nya seperti juga manusia menghendaki
kesempurnaan dari apa-apa yang dimiliki dan diingininya. Karena manusia pun
diciptakan berdasarkan gambar-Nya.
Dan pada diri manusia, pada dasarnya
ada kecendrungan untuk pula mencapai kesempurnaan, dengan harapan kemapanan
tentunya, tetapi karena ketidak relaan iblis melihat itulah yang mendorong
kebanyakan manusia terperosok kepada kehinaan, disebabkan memperturutkan hawa
nafsu bujuk rayunya. Unsur-unsur kebendaannya masih kuat mempengaruhi jiwanya.
Padahal pada jiwa inilah Allah menghendaki manusia dapat mengaturnya, sehinggga
menjadi jiwa yang tenang dan teratur serta terkendali. Jiwa yang dapat
mendatangkan manfaat rahmat Allah kepada sesama makhluk disekitarnya dimanapun
dan kemanapun dia berada. Tetapi kebanyakan dari manusia yang tak bersyukur
atas nikmat yang Allah berikan kepadanya, dan iblis pun segera membuatnya lupa
akan jiwanya yang semakin terperosok. Dikiranya menuju pada kenikmatan yang
abadi, padahal ia sedang menuju pada kehinaan.
“Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan,
perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan
anak keturunan, adalah seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
dan kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya . Dan kehidupan dunia tidak lain
hanyalah kesenangan yang palsu”. (QS al Hadid 20)
Manusia yang hanyut terbawa larut pada
kehidupan dunia ini, adalah seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik
dalam permainannya sehingga lupa akan kewajibannya seperti yang diinginkan
orang tuanya untuk belajar atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya
kelak di masa depan. Ia tak menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah
menyia-nyiakan waktu belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan
kewajiban-kewajibannya yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang
telah membuang waktunya. Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan
saat dewasapun ia dapat terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah
yang membuat manusia sungguh dalam kerugian, seperti dalam firman-Nya,
“Demi masa (waktu).
Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling
menasehati untuk kesabaran”. (QS al Asr 1-3)
Dan Allah memberikan petunjuk kepada
manusia di hadapan matanya dalam kehidupan sehari-hari akan contoh-contoh untuk
dapat dipahami dan dapat menyadari kekeliruannya, dan segera memperbaiki arah
tujuannya.
Siapkanlah jiwa untuk disentuh oleh
cahaya Allah, yaitu cahaya yang menyentuh diri para nabi dan orang-orang suci.
Cahaya yang memberi petunjuk dan menerangi hidup kepada keselamatan dan
kesenangan yang sesungguhnya. Cahaya yang membawa kepada ketenangan dan
ketentraman jiwa yang cenderung galau dan sesat. Yaitu cahaya yang menerangi
jalan lurus langsung mengarah dan menuju Allah SWT.
Kepada Allah-lah tempat kembali.
Kembali dari penyesalan dan berusaha membersihkan jiwa serta membawanya kepada
arah jalan yang telah diterangi oleh cahaya Nur Muhammad sebagai panduannya
menuju kepada yang Maha Haqq. Inilah tempat pulang terakhir. Kesejatian.
Ditempat inilah manusia dapat ‘menemuinya’
menceritakan berbagai hal tentang apa-apa yang terjadi kemudian disesalinya,
lika-liku perjalanannya yang pada akhirnya dapat bertemu juga dengan-Nya,
harapannya akan petunjuk-petunjuk dari-Nya untuk ia pakai sebagai pedomannya, dan
semakin larut dalam suasana tersebut. Disinilah tahap awal pertemuan yang
membawanya kepada kerinduan akan rasa untuk terus dapat menemui dan bertutur
kata dengan-Nya.
Dan akan diilhamkan kepada manusia
apa-apa yang harus dilakukannya sebagai petunjuk dari rasa rindunya terhadap
Allah SWT dan sebagai penawar rindunya.
“Seeungguhnya Kamilah
yang memberi petunjuk”. (QS al Lail 12)
Dan setiap apa-apa yang dibakar iblis
terhadap manusia, bujuk rayunya, dan bisikan-bisikan menyesatkan adalah suatu
proses menuju kesempurnaan dirinya, apabila ia menyadari dan segera memperbaiki
arah. Yang tentunya adalah karena rahmat petunjuk seperti yang dikehendaki
Allah SWT.
Kemungkinan, pada tahap selanjutnya
seperti dalam cerita para nabi, entah karena pada dirinya yang telah mencapai
kesadaran tertinggi, ia lebih merasa ingin banyak berbuat daripada hanya
bercakap-cakap, disela-sela kesibukan kesehariannya maka Allah-lah yang menemui
atau menyuruh utusan-Nya (Jibril) untuk menyampaikan pesan-pesan atau wahyu
dari-Nya. Tetapi tetaplah ia tak pernah lupa untuk selalu mengingat-Nya, dan
mengambil waktu-waktu tertentu untuk dapat menemui Tuhannya.
Sementara pada diri rasulullah
saw, sekali waktu, Allah menyuruh Jibril menjemputnya untuk rekreasi
melakukan perjalanan malam, isra, dan mi’raj, untuk menunjukkan kuasa dan
membuka mata lahir dan bathin beliau, serta menyaring keimanan umatnya akan
keyakinan peristiwa yang sungguh mudah bagi Allah yang menguasai angin
dan waktu. Dan Allah maha Berkuasa atas segala seuatu.
Kembali lagi ke tahap awal bertemu,
disinilah kepekaan rasa begitu sangat berperan untuk dapat menangkap suasana
itu, akan tetapi belum pernah ada yang
dapat mengungkapkan dan menuangkannya kedalam kata-kata. Sehingga
suasana ini hanya menjadi rahasia yang tak terungkap kepada orang lain. Dan
hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Hanya tanda-tanda pada diri manusia yang
telah bertemu dan itupun hanya dapat diketahui oleh segelintir orang yang juga
sudah peka mata bathinnya.
Bagi manusia lain, pada umumnya, mereka
memandang aneh perilaku manusia yang telah berada pada tahap ini. Menghindari
kemewahan dan kemegahan hidup dunia, serta hidup seadanya yang seakan-akan
tiada mempunyai cita-cita. Hidup dijalani seperti sungai yang mengalirkan
airnya begitu saja tanpa variasi, sedari dulu hingga sekarang tetap begitu.
Sungguh diluar nalar mereka.
Yang terlihat di bagian luar memang
seperti itu, tetapi sungguh didalam bathinnya kaya akan pengetahuan yang
sebagian besarnya belumlah keluar, sementara sebagian lainnya keluar dalam bentuk
ketenangan dan ketentraman sehingga meneduhkan sekitarnya. Itulah yang
dirasakan dan dilihat mereka sebagai hidup apa adanya, monoton, tetapi
menciptakan ketenangan dan ketentraman pula mereka yang melihat dan bersamanya.
Hidup zuhud dengan kesederhanaannya
membuatnya cukup merasa puas, tidak ada lagi ambisi yang ingin digapainya.
Keikhlasannya selalu mengiringi setiap amal perbuatan yang juga ibadahnya yang
membuatnya seperti tak lagi memiliki kebutuhan. Kesulitan yang ditemui
dianggapnya kemudahan, kesedihan baginya adalah kebahagiaan, dan kekurangan ternyata
kecukupan. Tiada pernah keluhan terucap pada bibirnya, malah rasa syukur
tercermin dari senyumnya. Sungguh luar biasa orang yang berada pada tahap ini.
Kemanakah larinya iblis dari manusia
ini?
Iblis telah ciut, merasa putus asa,
kehabisan akal menghadapinya. Tetapi hendaknya, jagalah terus kewaspadaan
terhadap godaan dari bisikan-bisikan sesatnya. Sesungguhnya dia tak pernah rela
terhadap keikhlasan manusia dalam setiap amal perbuatannya. Inilah kemuliaan
dari seorang manusia yang dapat membedakan terang dan gelap, dan menyadari batas-batas
kecintaan makhluk dengan Khaliknya. Allah jelas menyukai dan lebih mencintai
makhluk-Nya yang sadar diri akan posisinya, dengan merendahkan dirinya ketika
menghadap dan bersamanya.
Mungkin, bertambah ciutlah si iblis ini
menghadapi manusia seperti ini, dan memadamkan wujud apinya dan melebur bersama
malaikat lainnya untuk tunduk sujud kepadanya.
Di alam ini sang api tidak dapat
membakar hati para pecinta, dikarenakan
kesejukan jiwa yang tentram dan cahaya ilmu yang melindungi dan menaunginya
selalu dalam rahman dan rahim-Nya. Disini, pada manusia ini, ia telah mengerti
akan hakikat kehidupan. Dan ini adalah amal perbuatan terakhir dari perjalanan
sang pencari untuk pulang dan tinggal bersama-Nya (Ilaihi raji’un).
Bersama al Haqq. Hakikat dari segala HAKIKAT.
III. Perjalanan
Tahap ketiga, Hakikat (haqq
al yakin)
1.
Misteri
Hakikat Segala Sesuatu
Manusia berusaha memahami hakikat suatu
objek dengan mendeskripsikannya pada keterbatasan yang dimilikinya. Dan setiap
hasil suatu pemahaman akan diperbaiki oleh pemahaman berikutnya yang timbul
akibat reaksi dari pemahaman sebelumnya. Begitu seterusnya hingga mencapai
kesempurnaan pemahaman. Proses interaksi menuju kesempurnaan inipun atas
kehendak Allah SWT (sunathullah). Tiada yang luput dari kuasa-Nya,
inilah yang menjadikan pemahaman pun hidup dan berkembang menuju kesempurnaan.
Banyak ulama-ulama, para orang suci,
dan para ahli pikir yang berusaha memahami hakikat ke-Tuhanan, kebanyakan
melakukan olah laku dengan mengasingkan diri (untuk beberapa waktu) dari hiruk
pikuk kehidupan dunia yang tentunya dapat mengganggu proses masuknya pemahaman.
Ini disebabkan ketidak puasan hatinya akan pemahaman-pemahaman yang telah masuk
kepadanya dan merasa terus mencari untuk memuaskan dahaganya yang selalu terus
bergolak.
Pemahaman-pemahaman yang dirasanya
tanggung, belum memuaskan membuatnya ingin mendapatkan keyakinan hakiki
langsung dari Tuhannya. Manusia ini tidak mungkin akan mengharapkan pengetahuan
dari selain-Nya. Hanya kepada-Nya lah ia menggantungkan harapan akan
petunjuk-petunjuk kepada pemahaman akhir yang dapat memuaskan bathinnya.
Bukan ia tak paham bahwa semakin banyak
ia mengetahui, maka akan semakin banyak pula kewajiban yang akan dituntut
darinya. Dan ia sama sekali tidak memperdulikan hal itu. Itulah manusia. Hawa
nafsu kebaikan pun ikut membujuknya untuk terus mengupayakan tehadap apa yang
diambisikannya. Sungguh, kalaulah bathin dan jiwanya tidaklah kuat, ia akan
mengalami gangguan kejiwaan berat. Hanya petunjuk Allah-lah, yang datangnya
satu per satu, tahap per tahap, yang dapat menguatkan jiwanya.
Bila telah banyak pemahaman yang datang
satu per satu tentang segala sesuatu, sungguh ia akan melihat dengan terang
akan keterkaitan setiap sesuatu tersebut, dan membawa serta mengarahkannya
kepada pemahaman pada kesatuan wujud. Wujud Tunggal (Wahdat al Wujud).
Akan tetapi ia tak pernah dapat menemui seperti apa sang Wujud ini, ia hanya
dapat merasakan keberadaan-Nya. Tak terjangkau oleh inderanya, tak
terdefinisikan oleh akalnya, dan tak tergambarkan oleh angan-angannya. DIA-lah
yang Maha Halus. Bahkan tak tersaring oleh hatinya, hanya merasakan
keberadaan-Nya.
2.
Hakikat Dari Segala
HAKIKAT
Adalah suatu kemustahilan memahami Dia
yang Maha Haqq dengan benar/haqq. Tentulah
hanya Dia yang memahami diri-Nya dengan benar. Dan tidaklah mungkin siapapun
yang memahami dengan benar tentang Dia selain diri-Nya. Seandainya pun ada
seseorang yang merasa telah paham, ia takkan dapat mendefinisikan pemahamannya.
Takkan dapat menuangkannya kedalam kata-kata. Sungguh tak ada pemahaman yang
memadai untuk dituangkannya kedalam bentuk penjelasan yang hakiki tentang
HAKIKAT SEJATI. Bila sampai ada, maka runtuhlah kesejatiannya sebagai HAKIKAT
SEJATI. Dan itu takkan pernah terjadi. Suatu kemustahilan.
Banyak angan dan khayal yang tercipta
untuk melukiskan keadaan orang-orang yang menempuh pencarian ini. Berusaha
keras dengan mengeluarkan segala macam pengetahuannya yang justru semakin
menjauhkannya dari hakikat yang sesungguhnya. Seperti orang-orang yang
mengilustrasikan Buraq (sebagai kendaraan rasulullah saw ketika isra dan
mi’raj) kedalam bentuk lukisan/gambar, sedangkan rasulullah saw mengilustrasikannya
dalam kalimat-kalimat yang berupa kiasan karena kesulitan menerangkan kepada
orang lain untuk dapat dipahami seperti pemahamannya. Apalagi mengilustrasikan Dzat
Allah SWT. Subhanallah.
Inilah, dikarenakan cinta yang
mendalam, maka dengan keras berusaha memahami hakikat Allah SWT. Akan tetapi,
sungguh Allah tak pernah membenci perbuatan ini. Justru Dia pun sangat
mencintai manusia seperti ini. Tapi sayangnya manusia takkan sanggup memahami
Hakikat-Nya, dikarenakan keterbatasannya sebagai makhluk.
Apa jadinya, jika seorang makhluk dapat
memahami hakikat-Nya, maka ia, dikarenakan cinta dan penghambaannya, akan
berusaha terus melayani Allah-nya disebabkan ia telah memahami segala
keinginan-Nya. Yang ada adalah dia sebagai makhluk yang justru menyiapkan
segala keperluan-Nya, bahkan apa-apa yang dibutuhkan-Nya. Sungguh suatu hal
yang sangat mustahil. Sekalipun ia merasa telah bersama-Nya, dalam Wujud-Nya.
Sekalipun begitu, kebersamaan tak menjamin memahami dengan haqq kepada Yang
Maha Haqq.
Dikarenakan memahami bahwa tiada wujud
lain selain Wujud-Nya, maka pada tahap hakikat ini, para pencari berusaha
menghilangkan keakuannya dan berusaha mewujudkan hanya keAKUan
Allah SWT yang ada pada dirinya. Sehingga, apabila hal ini telah terbiasa, maka
segala perbuatannya adalah perbuatan Allah, segala ucapannya adalah ucapan
Allah, segala yang dipikirkan adalah pikiran Allah, dan segala kehendaknya
adalah kehendak Allah. Dia berusaha mewujudkan Allah di bumi, yaitu pada
dirinya. Dan apabila ini dia proklamasikan, justru berbalik akan
membahayakan dirinya.
Dampak dari ambisi seperti ini adalah,
timbulnya pertentangan dari banyak pihak, karena pihak-pihak lain merasa harus
tunduk kepadanya. Karena hanya dia yang benar dan semua yang lain akan selalu
dalam kesalahan, serta bergantung kepadanya akan petunjuk untuk mendapat
keselamatan. Sungguh takkan rela para petinggi negara, maupun para petinggi
ilmu, ataupun para ulama untuk memberikan kewenangannya hanya kepada seseorang
manusia ini. Dan layaknya hal ini seperti di zaman para nabi, akan menimbulkan
kegaduhan baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Dampak paling
ekstrim kepadanya adalah cap sesat, yang berujung pada kematian dengan
hukuman mati dari masyarakatnya. Seperti yang di alami Husein ibn Mansur al
Hallaj di Irak (± 900 M) dan Syaikh Siti Jenar di tanah Jawa (± 1500 M). Tidak
usah memproklamirkan diri sebagai Wujud Allah, sebagai rasul-Nya saja maka
pertentangan yang hebat harus segera siap dihadapi. Berapa banyak ayat-ayat di
dalam al Qur’an yang menceritakan kisah para rasul yang ditolak dan ditentang
kaumnya, bahkan banyak diantaranya yang dibunuh. Sungguh itu adalah kisah-kisah
yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi manusia.
(QS 3 - 80)
Sebenarnya, pemahaman ini seharusnya
menggiring manusia untuk mewujudkan sifat- sifat Allah SWT di bumi dalam
bentuk amal perbuatan sehingga terciptalah manusia-manusia rahmatan lil
‘alamin yang membawa kesejahteraan kepada alam seluruhnya. Seperti itulah
fitrah manusia yang Allah kehendaki.
Sesungguhnya, bila dipahami secara
cermat dan penuh kehati-hatian, mereka berdua tidaklah salah ataupun sesat di
mata Allah, karena mereka tidak pernah melakukan amal perbuatan tercela atau
yang bertentangan dengan apa-apa yang diperintahkan Allah, malahan mereka
berusaha mewujudkan Allah pada dirinya. Hanya karena keteledoran dengan
memproklamirkan-nya, sekalipun tujuannya adalah mengajak agar orang lain
memahami dan berusaha mewujudkan Allah pada diri masing-masing sepertinya.
Ini adalah pemahaman tingkat tinggi
yang tidak banyak orang dapat pahami begitu saja. Seharusnya, jika hendak
diturunkan, hanya kepada orang-orang pilihan, dan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan masing-masingnya agar ajaran ini dapat diterima tanpa cepat ditolak
sebagai kesesatan.
3.
Isa al masih
AS (Konsep
Ketuhanan Yesus)
“Dan (ingatlah) ketika
Allah berfirman: Wahai Isa putra Maryam!
Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai
dua tuhan selain Allah. (Isa) menjawab: Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku
mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau
telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku
tidak mengetahui apa yang ada padamu. Sunguh, Engkaulah Yang Maha
Mengetahui segala yang gaib”. (QS al Ma’idah 116)
Di dalam sejarahnya, konsep ketuhanan
Yesus ini berkembang pesat di Eropa pada abad ke 2 setelah penyaliban
Yesus, khususnya Roma yang mengambil inisiatif konsep ini kemudian
menyebarkannya ke seluruh Eropa, serta kemudian ke seluruh dunia berdasarkan
kekuasaan kepausan dengan hasil konsili-konsili (ijma yang menjadi fatwa
para ulama nasrani) yang menetapkan Trinitas sebagai dasar iman
ketuhanan. Yang juga membabat habis
sampai ke akar-akarnya para pendeta maupun uskup-uskup yang menentang
konsep ini di seluruh Eropa hingga Afrika. Bahkan sampai pada abad ke 15, para
ilmuwan dengan penemuan-penemuannya yang menambah khasanah ilmu pengetahuan pun
yang bertentangan dengan fatwanya terkena hukuman penjara dan hingga hukuman
mati. Seperti yang dialami oleh Galileo Galilei, ia duhukum mati karena
mengumumkan hasil penelitiannya yang tidak selaras atau sesuai dengan kitab
Kejadian (Genesis), yaitu di dalam kitab ini disebutkan bahwa bumi adalah pusat
alam semesta., sementara ia melalui teleskopnya mendapati bahwa bumilah yang
bergerak mengitari matahari.
Padahal di tempat asalnya, Yerusalem
yang pada saat itu dibawah kekuasaan Roma, setelah penyaliban Isa al Masih,
tidaklah demikian. Para pengikutnya lari karena dikejar-kejar dengan ancaman
hukuman mati. Pengejaran ini sampai ke Eropa, yang justru malah berkembang
pesat dan bahkan dijadikan agama resmi kekaisaran Roma.
Marilah kita pahami secara mendetail
mengapa konsep ini dapat diterima sebagian manusia yang berada di muka bumi
ini.
“(Ingatlah), ketika
para malaikat berkata: wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar
gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang
putra), namanya al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di
akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia
berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa,
dan dia termasuk diantara orang-orang saleh”. (QS Ali Imran 45-46)
Perhatikan dan pahami makna dari kata
dan kalimat yang dicetak tebal dan menghubungkannya dengan pembahasan pemahaman
sebelumnya, yaitu hakikat dari segala HAKIKAT.
Kemudian,
“Dia (Maryam) berkata:
ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada
seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman: demikianlah
Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan
sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu
itu”. (QS Ali Imran 47)
“Dan ingatlah, ketika
Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada
ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus .......”. (QS al
Ma’idah 110)
Ini adalah firman Allah SWT di dalam al
Qur’an yang kita pun harus atau wajib mengimaninya. Mengapa ini jadi penting?
Ini menjadi penting sebagai petunjuk dari Allah dalam mengarahkan menuju kepada
pemahaman tentang konsep ketuhanan yang benar, sesuai yang dikehendaki-Nya.
Yaitu Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Selanjutnya, didalam iman Kristen juga
disebutkan, .....pada mulanya Ia adalah Firman, kemudian berubah
menjadi anak manusia...... Selanjutnya Allah sebagai Tuhan Bapa dan Roh
Kudus yang dianggap sebagai satu kesatuan di dalam kalimat syahadat
mereka menjadi dasar konsep Trinitas yang wajib diimani umatnya.
Mengapa ini terjadi, dan begitu kuat
mempengaruhi sebagian populasi bumi?
Ini tidak terlepas dari dari pemahaman
masa lalu, yaitu pada masa-masa nabi Isa al Masih hidup, pemakaian bahasa serta istilah-istilah yang
menggunakan kata-kata dan kalimat kiasan yang indah didengar dan memukau para
pendengarnya. Seperti anak-anak tuhan, tangan tuhan, di mata
tuhan, dan lain sebagainya yang dapat disalah artikan bagi orang awam
tetapi kemudian malah dikemas oleh para penguasa agama sebagai pemahaman
yang wajib diimani. Yang juga di masa itu banyak orang yang membuat karya-karya
sastra yang disukai masyarakatnya, bahkan hingga bercampur baur dengan
kitab-kitab yang berisi firman-firman
Allah. Itu pulalah yang dikutuk dan disebutkan di dalam al Qur’an sebagai
mereka yang suka menukar, menambahkan, dan merubah kitab Allah.
Ditambah lagi dengan mukjizat-mukjizat
yang diberikan Allah kepada Isa al Masih (seperti lanjutan ayat QS al Ma’idah
ayat 110 yang disebutkan di atas),
“........ Engkau dapat
berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan
ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah, taurat dan
injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung
kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya)
dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta
sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan
ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi
hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil
(dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan
keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata:
ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”. (QS al Ma’idah 110)
Cermatilah tentang seorang anak manusia
yang lahir tanpa bapak kemudian menganggap Allah sebagai bapaknya, yang justru
kelak ketika ia menjadi seorang yang terkemuka, dan apa-apa yang dianggapnya
itu dianggap dan dibenarkan pula oleh pengikutnya. Dikarenakan dia adalah
teladan yang baik untuk diikuti, dikarenakan setiap perbuatannya mengandung
mukjizat-mukjizat perbuatan Tuhan, dan dikarenakan pula ia terlahir ajaib dan
telah dapat berkata-kata kepada orang dewasa saat masih bayi (dalam buaian).
Perbuatannya tak pernah mengandung cela bahkan mulia diantara manusia lainnya.
Sebagian umatnya yang percaya
kepadanya, ada yang menganggapnya seorang manusia suci penyampai firman Tuhan,
dan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan yang turun ke bumi berdasarkan
sifat-sifat dan perbuatan yang luar biasa
yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia, akan tetapi
kebanyakan pula yang anti terhadapnya akibat hasutan dan propaganda kaum Farisi
yang terancam kedudukannya sebagai pemuka agama pada masa itu.
Kaum Farisi yang telah lama terlena
kemewahan hidup akibat sistem yang telah terbentuk lama bahwa kaum Farisi
adalah kasta suci yang dihormati bangsa Israel (Yahudi) sebagai pemegang
mandat kependetaan tertinggi. Hal ini rupanya yang salah satunya menjadi
kritikan Yesus (Isa al Masih) untuk dirubah dan diperbaiki sebagaimana ia
mengemban amanat kerasulan-nya. Akan tetapi, mereka, dengan propaganda
dan hasutannya kepada kebanyakan masyarakat termasuk pemerintah masa itu,
berhasil menyeret dan menghukum mati Yesus pada proses penyaliban.
Selamilah, seolah-olah kita berada pada
masa itu. Dimana pada masa itu, di Yerusalem dibawah imperium Romawi, mereka
bani israil, sedang mengharapkan datangnya Mesiah (al Masih) dari keturunan
David (Daud), seperti ramalan-ramalan dan nubuat-nubuat yang terdapat pada
kitab-kitab mereka, sebagai raja yang kuat yang dapat mengusir penjajah.
Dia memang Mesiah yang ditunggu, tapi
ternyata yang datang tidak seperti yang diharapkan sebagai pemimpin atau raja
yang dapat menggalang dan membangkitkan persatuan untuk bertempur melawan
penjajah Romawi Bizantium. Yang datang adalah orang yang penuh kasih,
mengutamakan dan mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bukan seorang pejuang
kemerdekaan seperti yang diharapkan kebanyakan mereka. Diantara mereka yang
percaya menjadi pengikutnya, yang setengah percaya mengambil manfaat darinya,
yang kecewa menjadi pengikut para penentang, dan sedangkan yang menentang yaitu
para penguasa agama (kaum Farisi) berusaha melenyapkannya dengan membunuh yang
pada akhirnya terjadilah kejadian penyaliban.
Mesiah (al Masih), yang berarti yang
diurapi. Yang pada kehidupan budaya masyarakat israel adalah seremoni atau
upacara penobatan seseorang dilakukan dengan pengurapan (dg minyak dari
rempah-rempah) pada bagian kepala orang yang dinobatkan. Dan Isa al Masih
memang mengalami upacara penobatan ini di sungai Jordan, dan yang menobatkannya
adalah Johanes (nabi Yahya) anak dari Zakaria. Dan inilah sebagai awal mula
upacara pembaptisan salah satu upacara spiritual umat Kristen sampai
sekarang.
Isa al Masih, Mesiah, Yesus, Kristus,
atau siapapun namanya adalah tetap seorang rasul Allah yang harus pula
dihormati dan dijunjung tinggi namanya oleh kaum muslim sebab ia adalah manusia
mulia yang telah menderita seumur hidupnya untuk kebaikan umatnya (bahkan Allah
pun menyebutkan dia adalah seorang yang terkemuka di dunia dan akhirat).
Yang justru mengherankan, bani israil
atau bangsa Yahudi (sekarang Israel) justru tetap pada agamanya (Ibrani), tidak
(mau) beragama Kristen, yang menyalib Yesus dan mengejar para
pengikut-pengikutnya untuk dihukum mati dan membiarkan bangsa lain yang memakai
agama tersebut asal bukan bangsanya, malah dipuja dan dijadikan sekutu umat
Kristen dunia. Sedangkan umat Muslim yang justru menghormati dan meninggikan
Isa al Masih, sekalipun tidak menganggap Tuhan, tetapi menghormati dia sebagai
anak manusia yang mulia, malah dimusuhi dan dibenci. Dan inilah yang dengan
berbagai cara (terorisme, salah satunya) menganggap ini adalah provokasi dan
propaganda zionisme terhadap bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika sebagai
pemegang kekuatan dunia saat ini, dikarenakan wilayah negaranya yang
dikelilingi bangsa Arab yang mayoritas muslim. Dan semenjak masa sesudah nabi
Yaqub (Israil) memang anak keturunannya ini selalu membuat onar di manapun mereka
menetap untuk menumpang hidup.
4.
Kadar
Ketuhanan
Kembali kepada pembahasan tentang
konsep ketuhanan Tauhid,
Pada dasarnya, setiap manusia harus
menyadari bahwa ruh-nya adalah Ruh Allah yang ditiupkan-Nya saat kejadian
penciptaan manusia dari mulai Adam sampai sekarang dan hingga akhir zaman.
Hal ini disebutkan di dalam firman-Nya berikut
ini,
“kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air sperma). Kemudian Dia
menyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya kedalam tubuhnya.....”. (QS as
Sajdah 8-9)
“.......al Masih putra
Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan ruh-Nya........”. (QS
an Nisa’ 171)
Bagi para pencari dan pecinta memahami
ayat ini sebagai dasar pemahaman Wahdat al Wujud, yaitu tiada wujud hakiki
selain wujud-Nya. Berdasarkan pemahaman inilah, maka manusia dapat bersatu
dengan Allah melalui ruh-Nya, sehingga segala amal perbuatannya adalah amal
perbuatan Allah.
Akan lebih bijak, dan dengan
kehati-hatian dalam memahami, adalah dengan rasa kebersatuan bersama Allah,
yang dengan petunjuk-Nya, maka manusia terjaga dan terlindungi dari amal
perbuatan yang tercela, serta dengan petunjuk-Nya tersebut, maka akan banyak
diberikan pemahaman-pemahaman lain berikutnya yang semakin membawanya kepada
kesempurnaan.
Bagi manusia yang perbuatannya jauh
dari kebajikan dapat disebut dengan kadar ketuhanannya rendah (misal, kadar
ketuhanannya 10 %). Karena yang dijadikan patokan amal perbuatan adalah
sifat-sifat Tuhan, yaitu Maha Pemurah agar manusia menjadi pemurah mendekati
kemurahannya Allah, Maha Penyayang agar manusia menjadi penyayang mendekati
rasa sayangnya Allah, Maha Mengetahui agar manusia lebih giat menuntut ilmu
untuk mendekati Maha Tahu, dan sifat-sifat Allah lainnya. Bagi para nabi
mungkin memiliki kadar ketuhanan diatas 80% dan pasti dibawah 99%.
Artinya manusia yang memiliki nilai semakin mendekati 100% adalah manusia yang
sempurna.
Dan inipun dapat digunakan sebagai
tolak ukur untuk mengetahui sendiri sudah sampai taraf mana dirinya memahami
Hakikat Sejati.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar