Rabu, 22 Mei 2013

Wahdat al Wujud


                

Wahdat al Wujud
Ibn Arabi

Pemahaman, Pengertian dan Tujuan Wahdat al Wujud

Wahdat al wujud adalah ungkapan yg terdiri dari dua kata yaitu Wahdat dan al Wujud, wahdat artinya sendiri-tunggal-kesatuan, sedangkan wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al wujud memiliki pengertian kesatuan wujud/wujud tunggal/wujud sejati. Paham ini diajarkan oleh Ibn Arabi nama lengkapnya Mohamad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’i al Haitami, lahir di Murcia Andalusia Tengah, Spanyol pada tahun 560 H.
Lebih lanjut paham ini menjelaskan bahwa wahdat al wujud, nasut yang sudah ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk), dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Aspek yang di sebelah luar disebut khalq sementara aspek yg berada di dalam disebut haqq.
Paham ini selanjutnya menyebabkan kepada timbulnya paham bahwa diantara makhluk dan Tuhan sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan, sedang kan wujud makhluk hanyalah bayang-bayang atau photo copy dari wujud Tuhan. Dengan demikian alam ini adalah merupakan cermin dari Allah. Pada saat Dia ingin melihat diriNya maka cukup dengan melihat alam ini.
Dalam fushush al hikam sebagaimana dijelaskan oleh al Qashini dan dikutip Harun Nasution, fana dalam wahdat al wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan, .......wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak.
Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau wajib al wujud, sementara makhluk sebagai yg diciptakanNya  hanya mempunyai wujud yang bergantung kepada wujudNya. Yang mempunyai wujud sebenarnya adalah Allah, sehingga wujud yg sebenarnya ada hanya satu wujud yaitu wujud Tuhan.
Lebih lanjut dikatakan Ibn Arabi sebagai berikut, sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan, dan bahwa ia berharap kepada khalik yang menjadikannya disebabkan ia hanya mempunyai sifat mungkin dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu yang lain.
Paham tersebut mengisyaratkan bahwa pada manusia terdapat unsur lahir dan bathin, dan pada Tuhan pun ada kedua unsur tersebut. Unsur lahir manusia adalah fisiknya, sedangkan bathinnya adalah roh atau jiwa yang dalam hal ini merupakan pancaran/bayangan Tuhan. Kemudian unsur lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhananNya yg tampak di alam ini, sedangkan unsur bathinNya adalah pada dzat tuhanNya. Bersatunya unsur lahut yg ada pada manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan. Ini sesuai pandangan para sufi yang juga menganggap unsur lahir pada Tuhan ada pada sifat-sifatNya yang tampak dan unsur bathin ada pada dzatNya. Karena manusia dianggap memiliki kedua unsur tersebut yang berasal dari pancaranNya, sehingga manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu wujud. *²
[ Akan lebih mudah dicerna apabila manusialah yang ingin mengenal Tuhannya dengan melihat wujud alam ini seperti mengenali dirinya sendiri melalui cermin, karena seperti dalam firman-firmanNya yang banyak secara berulang disebutkan bahwa hendaknya manusia berfikir, menggunakan akalnya, dalam memahami seluruh ciptaanNya yg terhampar di alam ini termasuk penciptaan dirinya agar dapat mengenal Allah SWT. Karena alam ini diciptakan untuk manusia bukan untuk Allah, semua untuk keperluan dan kepentingan manusia. Bukankah Allah yang ingin dikenal makhluknya ?? .......... (Penulis) ]
*² [ Dzat dan sifat Allah meliputi seluruh alam ini, baik yang tampak dan tidak tampak oleh mata lahir manusia, karena itulah Dia Akbar, Maha Besar, tetapi Dia bukanlah alam itu sendiri. DzatNya adalah seluruh dzat yang ada di alam ini dalam satu kesatuan wujud, tiada yang luput dariNya. Dan sifatNya pun menyifati seluruh sifat dzat yang ada di alam ini, tiada pula yang luput dariNya...... apakah ada dzat yang musnah di alam ini ? Tentu tidak, yang ada adalah berubah wujud atau bentuknya karena merupakan susunan dari dzat/partikel/unsur yang pada suatu waktu (atas kehendakNya) kembali membentuk senyawa dan mewujudkan bentuk yang kelihatan mata lahir manusia (susunan yang paling rumit adalah pada manusia, itulah yang dimaksud Allah bahwa manusia adalah ciptaanNya yang paling sempurna sekalipun diprotes malaikat dan iblispun tak mau bersujud ketika diperintahkan bersujud kepada Adam as). Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk/wujud karena terurai kembali sebab dari  yang telah ditetapkan oleh sifatNya atau lebih dikenal dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad dan wajah manusia tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya, sekalipun dengan siklus kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa kembali berpulang kepadaNya sebagai Yang Tunggal. Siklus gerak kehidupan keseluruhan alam inilah yang dilambangkan dengan melakukan tawaf  mengelilingi  Ka’bah dalam ibadah Haji .......... (Penulis) ]

Pengaruh Tasawuf terhadap Paham Wahdat al Wujud
Ajaran sentral Ibn Arabi ini ternyata diilhami oleh Ibnu Thaimiyah yang justru menjadi tokoh yang paling keras mengecam dan mengkritik paham Wahdat al Wujud ini dan malah berjasa mempopulerkan paham ini  pada masyarakat meskipun dengan maksud mengecam dan  mengkritik. Padahal ia dalam menyajikan ajaran tasawufnya ini telah penuh dengan kehati-hatian dan penggunaan bahasa yang berbelat-belit dengan tujuan menghindari tuduhan fitnah, kecaman dan ancaman dari kaum awam sebagaimana yang dialami al Hallaj.
Menurut Ibnu Thaimiyah, Wahdat al Wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Penilaiannya bahwa ajaran ini dari aspek tasybihnya (penyerupaan) Khalik dengan makhluknya, dan belum menilai dari aspek tanzihnya (penyucian) Khalik. Masih dalam penilaiannya, Ibnu Arabi memandang wujud semua yang ada hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud Khalik pula, tidak ada perbedaan diantaranya dari sudut pandang hakikat dan panca indera. Wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim dengan yang baru, atau dengan kata lain tidak adanya perbedaan antara abid (yang menyembah) dan ma’bud (yang disembah).
Mengapa terlihat dua bila Khalik dan makhluk bersatu dalam satu wujud ?  Menurut Ibn Arabi, memandangnya tidaklah dari satu sisi, tetapi memandang keduanya bahwa Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lainnya. Jika memandangnya dari sisi yang lainnya maka pasti memahami hakikat keduanya, yakni dzatnnya satu yang tak terbilang dan terpisah. Wujud Tuhan juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud Alam (pantheisme). Wujud alam yang kita lihat ini adalah wujud Tuhan sebagai satu-satunya wujud, tidak ada selain wujudNya. *³
Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Ia mengatakan bahwa nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan alamiah yang terealisasikan pada diri para Nabi serta para wali dan para suci lainnya.

*³ [ Ya, seperti kita melihat lautan dari atas perahu, yang kita lihat adalah wujud lautan, padahal tersembunyi didalamnya berbagai jenis ikan-ikan, udang, kerang, kepiting, karang-karang, hingga plankton, adalah wujud yang tak terbilang didalam satu wujud lautan. Atau pada wujud jasad si Fulan, didalamnya ada sel-sel penyusun tubuhnya yang tak terbilang didalam satu wujud si Fulan. Dan seluruhnya diatur dan dipelihara oleh satu kehendak yang halus dan lembut  tak dirasakan telah mengatur dan memeliharanya. Tentunya bukanlah lautan atau si Fulan yang secara sadar mengatur dan memeliharanya.......... (Penulis) ]

Dalam penjelasannya, Ibn Arabi mengungkapkan,  bahwa wujud ini satu, namun memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma yang memiliki pemisah yang disebut barzah yaitu menghimpun dan memisahkan antara lahir dan bathin, inilah yang dimaksud insan kamil.
Selanjutnya, dalam penjelasannya, Tuhan segala tuhan adalah Allah SWT, sebagai nama teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Dia merupakan sumber segala sumber nama, dan tujuan akhir dari segala tujuan, serta arah dari segala keinginan yang mencakup segala tuntutan. Ketahuilah, bahwa seluruh nama-nama Allah merupakan gambaran dari ilmuNya, sedangkan hakikat Muhammad merupakan gambaran dari nama Allah yang menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada. Ditekankannya, bahwa hakikat Muhammad yang dimaksud adalah bukanlah sosok manusianya melainkan hakikatnya sebagai asma dan sifat Allah yang terdapat dalam akhlak manusia Muhammad.


Analisis Penulis
Dalam kehati-hatiannya Ibn Arabi ingin menjelaskan, bahwa alam raya beserta seluruh isinya ini merupakan bentuk/wujud (diciptakan atau tidak diciptakan?) yang menjadi ada adalah semata-mata karena Allah ingin dikenal dalam kesendirian-Nya. Keinginan-Nya yang selalu berkembang menghendaki kesempurnaan, menjadi ingin lebih dikenal makhluk-Nya bukan hanya secara sukarela atau terpaksa tetapi secara islam, iman, ihsan, ikhlas dan kuat hati menyadari akan  keberadaan baik dzat maupun sifat-sifat-Nya melalui penciptaan manusia. Karena hanya manusialah sebagai makhluk yg diciptakan sesuai gambar-Nya, maksudnya, makhluk ciptaan-Nya ini dilengkapi dengan instrumen-instrumen yang lebih rumit akan tetapi jauh lebih sempurna dari makhluk ciptaan-Nya sebelumnya sehingga dapat mendukung tujuan atau rencana-Nya.
Perkembangan ciptaan-Nya bertahap, diawali dengan pancaran cahaya-Nya, kemudian menciptakan Alam, dengan memisahkan bumi dan langit yang sebelumnya satu kesatuan, dan membagi langit menjadi tujuh lapisan, dan mengisi langit yang terdekat dengan bintang-bintang. Kemudian pada penciptaan kehidupan di bumi yang sebelumnya mati, gunung-gunung yang dipancangkan, ditumbuhkan-Nya dengan air segala jenis tumbuh-tumbuhan, sebagai bumi yang telah dihamparkan. Kemudian diptakaanNya pula hewan-hewan. Sehingga layaklah kemudian untuk kehidupan manusia dan diciptakanlah manusia setelah semua persyaratan kehidupan manusia telah ada.
Pikirkanlah, betapa teratur dan terencananya proses penciptaan antara yang satu dengan yang lainnya, penciptaan alam (tempat), bintang-bintang dan bumi sebagai tempat tumbuhnya tumbuh-tumbuhan, kemudian hewan-hewan yang membutuhkan tumbuhan untuk kehidupannya, kemudian hewan-hewan carnivora, barulah diciptakan-Nya manusia yang telah tersediakan segala kebutuhan untuk keberlangsungan hidupnya.
Lihat dan pikirkanlah, seluruh ciptaan-Nya, alam yang tumbuh berkembang, bintang-bintang yang juga tumbuh berkembang, bumi yang tidak lepas dari pertumbuhan dan perkembangannya, sekalipun kita sebut mereka itu adalah benda mati ternyata hidup dan berkembang, mengalami perubahan bentuk, tidak diam, mati ataupun musnah. Mereka tetaplah ada sekalipun pada suatu (waktu yang telah ditetapkan-Nya) terurai tetapi akan kembali lagi kebentuk semula begitu terus berulang sebagai siklus ketetapan dari-Nya (sunathullah). Begitupun kepada makhluk-makhluk yang kita sebut makhluk hidup mengalami siklus yang sama seperti itu pula. Cuma, pada hal keberadaan kehidupan manusia, kebanyakan masyarakat islam tidak mau mempercayai dan menganggap tabu hal ini dikarenakan sama saja dengan membenarkan/mengakui proses reinkarnasi yang ada pada ajaran Hindu dan Budha. Padahal banyak dijelaskan didalam firman-Nya (salah satunya QS 7;57) yang menyebutkan kebangkitan  setelah kematian, tetapi ini dipahami hanya pada setelah kejadian hari akhir, yang justru membelenggu kedinamisan pemahaman. Padahal reinkarnasi (siklus kebangkitan) adalah proses siklus tidur dan bangun dalam skala besar (tidur sama dengan mati, dan bangun sama dengan hidup).
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepadaNya-lah kamu dikembalikan”. (QS al Baqarah 28)


TASAWUF
Tasawuf adalah ajaran yang membawa para pelakunya kepada ketauhidan atau ke-Tunggalan Allah SWT, dengan menjalani hidup sederhana, memurnikan amal perbuatan, menjaga diri dari kesesatan, dan dampaknya yang membawa kesejukan bagi yang memandangnya.
Ketakutan akan cap sesat, syirik, zindiq, bid’ah, bahkan kafir inilah yang telah membelenggu jiwa kebebasan pemikiran menuju kepada hakikat pemahaman. Padahal Allah sendiri membebaskan dengan cara apa saja manusia dapat menuju dan mengenal-Nya (ingat tujuan penciptaan). Adalah  hal yang mudah bagi Allah bila hendak memaksakan memperkenalkan diri/dzat-Nya, tetapi bukanlah dengan cara seperti itu yang dikehendakiNya.
Para pencari dzat dan sifat Allah sebaiknya membekali dirinya dengan ilmu fiqih dalam naungan hukum (syariat islam) yang telah menjadi pedoman hidup yang dikehendeki Allah SWT, yaitu al Qur’an dan Hadits, sehingga terhindar dari kesesatan yang ditakutkan itu.
Pelaku tarikat tidak meninggalkan syari’at dalam perjalanannya, demikian pula setelah mencapai tahap ma’rifat tetap melakoni syariat dan tarikat, sehingga ia terhindar dari fitnah dan tuduhan yang menghambat perjalanannya menuju hakikat.
Pemahaman tentang dzat dan sifat Allah adalah pemahaman yang menuju tentang hakikat keberadaan-Nya yang tersembunyi sekaligus nyata (gaib dan wujud). Dia mutlak ada berdasarkan tahapan ilm al yakin (tarikat), ayn al yakin (ma’rifat) dan haqq al yakin (hakikat).
Setelah memahami proses terciptanya alam beserta isinya ini kemudian menyadari ada kekuasaan (sifat) yang sesungguhnya mencipta,mengatur dan memelihara, dan tidaklah mungkin kuasa/sifat itu ada pada dzat setingkat makhluk melainkan hanya ada pada dzat yang Maha Kuasa. Keyakinan seperti itu berada pada tahap ilm al yakin, yakni keyakinan yang berdasarkan ilmu. Keyakinan inilah yang sebagai modal dasar para pelaku tarikat yang mendorong keinginannya semakin mengenal Rabnya. Semakin lama dan semakin banyak ia mengenal, akan mengarahkan kepada rasa penasaran ingin bertemu denganNya.
Sedangkan ayn al yakin, adalah tahap yakin dimana pernah mengalami atau merasakan pertemuan dan menumbuhkan rasa cinta kepada-Nya seperti keyakinan para nabi dan wali serta orang suci lainnya. Tahap ini jelas adalah bagi orang yang telah menyucikan dirinya sehingga pantas untuk bertemu dengan Allah SWT. Seperti nabi Musa as ketika melihat api di semak-semak di lembah tuwa, dan saat dekat ternyata bukan api melainkan cahaya, karena ranting semak ternyata tidak terbakar, saat semakin dekat cahaya tersebut berkata-kata dan memperkenalkan diriNya dengan Musa as (QS 20:10). Artinya Allah menemui nabi Musa as dalam bentuk cahaya yang terlihat seperti nyala api. Tahapan ini membuat para pelakunya semakin ketergantungan akan keberadaan dan haus akan pertemuan dengan-Nya, merasa putus asa bila tak mendapatkan kabar dari/tentang-Nya, seperti yang dialami nabi Muhammad saw (QS 93:3). Inilah tahapan yang disebut rasa cinta (ma’rifat). Tetapi akankah rasa cintanya akan berbalas ??
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sunguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya.” (QS al Insyiqaq 6).
Itulah jawaban yang juga janji Allah SWT.
Kemudian tahap hakikat, haqq al yakin, saya sendiri belum memahami secara baik dalam hal ini, tetapi untuk lebih mudah menyimpulkan adalah dengan cara yang sederhana memahami bahwa dengan mencintai maka merasa telah mengenal-Nya dengan benar (haqq). Tetapi adalah suatu kemustahilan memahami Dia yang Maha Haqq  dengan benar/haqq. Tentulah hanya Dia yang memahami diri-Nya. Disini saya ingin menjelaskan relatifnya keyakinan memahami dengan benar (haqq) terhadap yang Maha Benar (Haqq). Maksudnya lebih dibatasi lagi dengan, tidak ada yang mungkin  lebih mengetahui tentang diri-Nya selain Yang Maha Mengetahui. Karena ini adalah puncaknya keyakinan. Lebih tepatnya, adalah berpulang, kebersamaan, kebersatuan, manunggal pada yang Haqq yaitu sumber segala sumber tujuan, ilaihi raji’un.

Perjalanan Para Pencari al Haqq
Konsekuensi logis pada umumnya diri manusia  untuk mencari dan mengenal Tuhannya akibat dari rasa kebutuhan akan perlindungan dan tempat mencurahkan rasa ketidak berdayaannya. Tapi ketertarikan yang didasari ilmulah yang membuat dirinya semakin kuat ingin mendekati pengenalan terhadap Tuhannya, dan Allah, dengan janji-Nya, akan menunjuki jalan serta membimbingnya hingga sampai kepada tujuan.
Bila telah sampai tahap ini, manusia yang telah mengerti serta menjalani syari’at menuju kepada tarikat (yakin berdasarkan ilmu, ilm al yakin), maka perjalanan yang ditempuhnya akan bertemu dengan jalan para sufi pelaku tasawuf, dimana ia akan merasa bahwa cara/pola hidupnya akan sangat mempengaruhi perjalanan spiritual yang ingin diraihnya. Karena bukan hanya menjauhi yang haram saja yang perlu dilakukannya, akan tetapi mengurangi yang makruh, mubah dan menghindari yang subhat serta memperbanyak yang sunath.
Kemudian pada tahap penyucian diri, membersihkan hati dari rasa amarah, syahwat kepada zina, kesombongan, iri dan dengki, riya, syirik dan lain sebagainya hingga memperbanyak sabar, puasa dan dzikir untuk semakin dekat kepadaNya dan mencapai ketentraman di dalam bathinnya. Sungguh suatu tahap perjalanan yang tidak mudah bagi yang masih merasakan ikatan terhadap perhiasan dunia. Bila keinginan mendekat lebih kuat dan dapat menanggalkan ikatannya terhadap perhiasan dunia, maka secara tanpa sadar ia sedang menuju menjadi insan kamil.

I.      Perjalanan Tahap Pertama  (Tarikat / ilm al yakin) :  Lima Hal Utama

1.    Penyucian Diri (Bersih Hati)
Inilah langkah awal yang harus dijalani para pencari. Diri atau jiwa yang masih terbelenggu dengan perhiasan duniawi bukan cuma menghambat jalannya, akan tetapi malah bisa menyesatkan dan menjerumuskan kepada kenistaan. Perhiasan duniawi termasuk diantaranya adalah kekuasaan, harta benda, ladang pekerjaan, istri dan anak-anak, dan syahwat kepada wanita.
Yang ditekankan dari menghindari diri dari terbelenggunya jiwa dari perhiasan duniawi itu adalah kecintaannya, yaitu kekuatan cintanya akan dunia itulah yang mempengaruhi diri/jiwa. Dunia tidak perlu dihindari, dihadapi dan dijalani tetapi tetap dengan tujuan karena Allah semata. Lilahi ta’ala. Cinta Sejati adalah yang menjadi tujuan utama. Kecintaan kepadanya janganlah menyamai atau bahkan melebihi kecintaan terhadap Allah SWT.
Kecintaan yang berlebihan terhadap dunia, akan menjauhkan jiwa manusia dari Allah SWT, karena dapat menyebabkan kotoran-kotoran yang melekat kuat di dalam hati tempat cahaya Allah bersumber, sehingga cahaya-Nya tidak dapat menembus untuk menerangi jiwa karena disebabkan terhalang oleh kotoran-kotoran yang melekat tersebut. Kotoran-kotoran hati tersebut adalah nafsu amarah, syahwat kepada zina, kesombongan, iri dan dengki, kikir, serakah, riya, dan syirik.  Semuanya ini adalah sifat-sifat atau perilaku yang sangat dibenci Allah, bahkan syirik adalah dosa besar yang tidak terampuni. Itulah bahayanya kecintaan yang berlebihan kepada perhiasan dunia. Bukan pula kemuliaan yang akan didapat tapi malah kehinaan yang ada. Bukan mata yang tak melihat, tetapi hati yang buta.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik ”. (QS at Taubah 24)
Banyak contoh yang dapat kita lihat dan alami, dari mulai sejarah peradaban manusia hingga kehidupan sehari-hari saat ini yang seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi manusia, akan tetapi setan menjadikannya indah dipandang mata. Perhiasan dunia malah menjadi tujuan hidup karena kemewahan dan kemegahan yang ditampilkan dan dibisikkan oleh iblis atau setan penggoda dan penghasut yang sombong dan iri kepada jabatan manusia yang diberikan Allah SWT sebagai khalifah di bumi agar terperosok kepada kehinaan.
 “dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalanMu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS Al A’raf 16-17)
Disebabkan janji iblis untuk menjerumuskan manusia inilah, maka Allah mengingatkan, agar manusia selalu waspada agar tidak terperosok kepada kehinaan yang akan menimpanya. Seperti pada firman-Nya berikut ini,
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS Al A’raf 27)
Betapa banyak jalan dan cara iblis membisikkan hasutan-hasutannya agar manusia terjerumus kesesatan. Iblis adalah sisi gelap atau bisa disebut juga sisi negatif hati manusia. Kekuatannya sama dengan malaikat tetapi intensitas pengaruhnya terhadap manusia amatlah sering disetiap waktu. Pada awalnya iblis adalah ras malaikat, tetapi setelah pembangkangannya terhadap perintah Allah agar sujud (tunduk) kepada Adam as, maka Allah menamakannya iblis.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS al Baqarah 34)
Sebenarnya iblis akan hilang dari manusia bila jiwa dapat menundukkannya dengan tidak melayani segala bisikkannya dan bila selalu berada di wilayah yang diterangi cahaya-Nya. Allah menyebut jiwa ini sebagai jiwa yang tenang (nafsu al muthma’inah), yang dapat mengatur/mengelola hawa nafsunya kepada nafsu kebaikan. Jadi sebenarnya, iblis adalah malaikat juga, dia akan tunduk patuh dan menjadi cahaya penerang/petunjuk bagi manusia, dan dapat pula membangkang menjadi api yang panas membakar hati serta bujuk rayunya kepada api neraka yang menghinakan. Iblis seperti berada dan terbawa dalam aliran darah manusia, mendorong hawa nafsu amarah maka tensi darah pun melonjak naik.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS al Hijr 39)
Pada dasarnya manusia cenderung kepada hawa nafsunya, dan berketergantungan kepada petunjuk, tetapi bukan berarti semua nafsunya tidak dapat diatur atau dikelola dengan benar. Ini dapat dianalogikan kepada bibit penyakit atau bakteri atau virus yang ada didalam tubuh yang dapat dilemahkan (imune) sehingga tidak membahayakan atau bahkan malah dibuat sebagai fungsi kekebalan tubuh. Manusia yang kebal terhadap godaan dan bujuk rayu iblis, bahkan malah menundukkan dan menyuruhnya bersujud kepada dirinya. Inilah yang terjadi pada diri rasulullah Muhammad SAW.

2.    Berserah Diri (Islam)
Ini bukanlah tahapan aturan yang harus dilalui satu persatu secara berurutan dalam perjalanan pencarian, melainkan tindakan yang dapat dilakukan bersamaan maupun terpisah dengan penyucian hati, kesabaran, rasa syukur, rasa ikhlas dan selalu ingat (dzikir). Yang jelas kesemuanya berkesinambungan dan harus terus tetap ada pada diri manusia yang bertujuan melakukan perjalanan menuju Tuhannya. Tahapannya hanya terlihat pada kualitas diri yang telah dicapainya.
Inti dari memahami tindakan berserah diri adalah bahwa tiadalah kekuatan/kekuasaan yang ada dan terjadi selain kekuatan/kekuasaan Allah SWT. Apapun yang terjadi di alam raya ini baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari adalah kehendak dari kekuatan/kekuasaan-Nya.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS al An’am 162-163)
Kebanyakan manusia lupa atau bahkan menyepelekan hal ini, sehingga kehilangan esensi hidup islaminya yaitu keberserahan dirinya kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Bijaksana, yang Maha Pengasih dan yang Maha Penyayang. Padahal ayat ini sering diucapkan sehari sebanyak lima kali didalam setiap shalat, tetapi kebanyakan manusia tidak memahami maknanya dan mengeluarkannya tidak kepada bentuk amal perbuatan yang dilandasi penyerahan diri dan keikhlasannya hanya kepada Allah semata. Sehingga, amal perbuatannya hanya sebatas dari apa-apa yang diharapkannya saja, tidak sampai kepada ridha Allah SWT. Manusia lupa, bahwa kekuatan untuk dapat berbuat adalah juga karena kehendak dan kekuatan yang di berikan Allah kepadanya, dia lupa menyadari bahwa Allah meliputi segalanya, dan dia lupa, sesungguhnya perbuatannya itu akan terus menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Betapa pentingnya hal ini sehingga para nabi mewasiatkan kepada anak-anaknya agar mati dalam keadaan islam (berserah diri), karena Allah pun banyak berpesan kepada manusia dalam firmanNya didalam al Qur’an.
“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya: apa yang kamu sembah sepeninggalku?. Mereka menjawab: kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan yang maha esa dan kami (hanya) berserah diri kepadaNya ”. (QS al Baqarah 133)
Alam raya ini, langit dan bintang-bintang, gunung-gunung, awan, burung-burung, dan seluruhnya tunduk berserah diri dan bertasbih kepada-Nya. Secara sukarela maupun terpaksa, sadar ataupun tidak sadar, sesungguhnya manusia telah ada dalam kekuasaan ketetapan dan kehendak-Nya, hanya jiwa yang berdosalah yang merasa diluar kuasa-Nya. Padahal tidaklah demikian, semua telah tetap dalam kuasa dan kehendak-Nya. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari ketetapanNya.
Ingatlah, istri serta anak-anak, saudara-saudara, kaum keluarga, harta benda, ladang pekerjaan, dan rumah-rumah, bahkan diri dan tubuhnya sendiri bukanlah milik yang dikuasainya, melainkan milik Allah SWT. Yang sewaktu-waktu dapat hilang atau meninggalkannya.
Apa-apa yang disedekahkan pun adalah karena rizki dari dan kehendak-Nya. Kekuasaanpun dari dan akan kembali kepada-Nya. Akal dan ilmu juga adalah karena kemurahan-Nya. Tidaklah ada secuilpun yang dimilikinya secara hakiki dan abadi dan merupakan hasil dari kekuatannya sendiri. Berserah dirilah, karena sesungguhnya tiada kekuatan/kekuasaan selain kekuatan/kekuasaan-Nya.
Sesungguhnya telah berserah diri apa-apa yang berada di langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara keduanya. Peredaran bintang-bintang serta gugusannya, dan matahari juga bulan serta siang dan malamnya, bumi beserta gunung-gunung dan gerakan peredaran awan-awan pembawa hujan, hewan-hewan dan tumbuhan dalam siklus ekosistem. Bahkan pada tubuh manusia, pada peredaran darahnya dengan jantung yang memompa mengirimkan makanan kepada setiap sel tubuh, paru-paru yang mengatur pernapasan, sel-sel yang tumbuh dan saling menunjang. Seluruhnya tunduk dan berserah diri pada ketetapan hukum-Nya. Semua itu adalah kuasa Tuhan yang bukan atas kehendak diri manusia. Hanya jiwa yang berdosalah yang merasa diluar kuasa-Nya.
“.... Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersdih hati”. (QS al Baqarah 112)
Penyerahan diri juga mencakup makna memuliakan Tuhan yang maha Mulia, dan manusia diharapkan tetap menjaga kemuliaan-Nya itu serta tidaklah pantas malah mengotori kemuliaan-Nya. Menghindari penyesatan yang dibisikkan setan yang kelihatan indah dipandang mata, akan tetapi malah menjerumuskan.
 “Dan aku (Yusuf) tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS Yusuf 53)
Yang bermakna pula, tidak mengotori dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tercela. Banyak perbuatan manusia yang dengan mengatas namakan Tuhan dan menyebabkan kerusakan atau bahkan pertumpahan darah. Bila manusia mengorientasikan amal ibadahnya kepada ke-Muliaan Tuhan yang maha Benar, maka caranya pun dengan cara-cara yang mulia dan benar.
Berserah diri adalah bertujuan untuk mengembalikan kesadaran diri manusia kepada fitrah asalnya sebagai makhluk, hamba. Dan bukan pula pasrah tanpa tujuan, akan tetapi menyadari bahwa dirinya juga sebagai makhluk sempurna yang dibanggakan Penciptanya. Paham bahwa ia diharapkan Tuhannya sebagai perwujudan-Nya di bumi. Berserah diri secara total atas ketetapan (hukum-hukum)Nya, yaitu tujuan penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi yang juga sebagai perwujudan (sifat-sifat)Nya sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan (agama islam), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS ar Rum 30)

3.    Sabar dan Bersyukur
Dalam perjalanannya, seorang pencari akan mengalami banyak tantangan-tantangan yang justru akan menambah khazanah ilmunya. Apalagi dalam melakukan tindakan penyucian diri dan berserah diri, sungguh diperlukan rasa sabar yang harus pula selalu diiringi rasa syukur. Di setiap kesabaran manusia harus selalu ingat dan bersyukur agar kesabarannya memiliki nilai dan tidak menjerumuskannya ke dalam keputus asaan. Karena Allah SWT telah berjanji akan terus menambah nikmat-Nya jika manusia bersyukur.
Perlu diingat terus dan berulang-ulang bahwa kesabaran yang didapatpun adalah karena kehendak dan rahmat darinya, karena itulah hendaknya tidaklah lepas dengan bersyukur karena telah diberi rahmat ini. Banyak melakukan puasa dan ingat (dzikir) dapat melatih manusia untuk memperoleh kesabaran, dan hanya dengan cara seperti inilah kesabaran yang didapat akan selalu diiringi rasa syukur. Bersabarlah dalam mengharap pertolongan dari rahmat Allah, serta bersyukurlah bila rahmat itu datang, dengan cara memurnikan setiap amal perbuatan selanjutnya hanya kepada Allah semata.
Kesabaran adalah suatu upaya yang mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari. Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran.
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS ar Ra’d 22)
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang menolak kejahatan untuk datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk dapat disyukurinya.
Ayat inilah yang menjadi daya tarik para pencari untuk terus berusaha melakukan perjalanan spiritualnya, yaitu berusaha mencari wajah Tuhannya dengan bersabar, menegakkan shalat untuk mengingatnya, menafkahkan sebagian rezeki, berbuat kebaikan dan menolak kejahatan. Semua itu dilakukannya dengan tekun dan sabar untuk dapat mencapai tempat terakhir seperti yang dimaksud Allah SWT.
Sungguh banyak keutamaan yang dapat diperoleh melalui kesabaran dan bersyukur, sebab manusia yang sabar adalah tiada mengenal kata putus asa sehingga ia akan tetap kepada tujuannya sekalipun tantangan-tantangan dan halangan menghadang di depan matanya. Keyakinannyalah yang membuatnya bersabar untuk meraih tujuannya. Ingatlah, bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dan bersyukur.
“..... kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS Al A’raf 16-17)
“........ Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. (QS az Zumar 10)
Pahalanya adalah buah dari kesabarannya yang sebenarnya tanpa batas pula, karena rasa syukurnya setiap kali mendapatkan rahmat dari Tuhan-Nya. Manusia tidak mengetahui batasnya sampai kapan dan dimana tujuannya akan tercapai atau hanya sekedar menjadi cita-cita yang tak pernah terealisasi, tetapi Allah SWT mengetahui usaha dan jerih payahnya dan menjanjikan pahala yang tanpa batas pula.
Kesabaran dan rasa syukur adalah tindakan yang tak terlihat dan terdengar tetapi dapat dirasakan oleh orang lain dari energinya. Manusia seperti ini bukan cuma dicintai Allah, tetapi juga oleh sekelilingnya dan menciptakan situasi dan kondisi yang harmonis dan bersahabat dengan alam disekitarnya, yakni peka akan situasi disekitarnya. Dan telah disadarinya bahwa disekelilingnya, alam ini beserta benda-benda lainnya adalah makhluk ciptaan seperti dirinya yang perlu dihargai hak-haknya. Dia akan memahami seluk beluk dan rahasia-rahasia yang sebelumnya terhijab oleh kotoran-kotoran yang melekat di hatinya, dan buah dari membersihkan hati, penyerahan diri serta kesabaran yang disertai rasa syukurnya telah melunturkan kotoran-kotoran yang sebelumnya melekat dan menutupi sehingga cahaya ilmu/petunjuk mudah menembus kedalam hatinya. Bukan lagi hanya mata yang melihat akan tetapi hatinya pun melihat dengan terang benderang.
“Seeungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk”. (QS al Lail 12)
Tiada lagi susah ataupun senang, sedih dan bahagia, kesulitan dan kemudahan, hina maupun mulia, semua dianggapnya sama. Yaitu sama karena pemberian Allah SWT yang tiada daya upaya bagi siapapun untuk menolaknya. Karena ia menyadari dibalik kesulitan ada kemudahan, maka pasti semuanya itu beriringan silih berganti menemuinya berdasarkan ketetapan-Nya. Bukan berarti hanya pasrah menerima tanpa pernah berbuat, akan tetapi justru malah ikut serta dalam menciptakan kondisi yang harmonis dengan alam dan seluruh makhluk disekitarnya.

4.    Ikhlas
Cobalah untuk mengikhlaskan apapun yang pernah terjadi dan dialami, yang selama ini mungkin masih mengganjal dan terus ada, yang terkadang timbul tanpa sengaja dan teringat kembali. Bila masih belum bisa, tidak mengapa dan teruslah memahami makna dari keikhlasan di bawah ini,  semoga Allah memberikan petunjuk (hidayah)Nya sehingga dapat mengerti mengapa hal itu sampai terjadi dan malah menjadi rahmat pengetahuan, dan secara tidak disadari maka hati telah mengikhlaskannya.
Hal ini sungguh penting untuk memudahkan langkah dalam perjalanan membuka semua tabir/hijab yang pasti akan selalu ditemui. Terbukanya hijab-hijab tersebut, satu per satu, sesungguhnya adalah terlepasnya kotoran-kotoran yang melekat pada hati, dan akan lebih membukakan jalan kepadaNya.
Ikhlas adalah salah satu rasa puas tanpa berharap imbalan dari kesabaran dan rasa syukur hanya karena/kepada Allah yang dilandasi hati yang bersih. Jadi, setiap amal perbuatan yang didasari keikhlasan adalah amal perbuatan dari kesabaran dan rasa syukur tanpa berharap imbalan hanya karena/kepada Allah yang menimbulkan rasa puas.
Mengapa ada kesabaran dan rasa syukur dalam ikhlasnya amal perbuatan?
Karena amal perbuatan adalah pekerjaan, dan di setiap pekerjaan pasti dituntut kesabaran supaya mendapatkan hasil sesuai yang dinginkan. Sedangkan rasa syukur adalah karena merasa masih dipercaya dan diberi pekerjaan dan ditujukan hanya karena dan kepada yang secara hakiki memberinya, yaitu Allah SWT.
Mengapa dapat menimbulkan rasa puas?
Rasa puas adalah perwujudan dari keikhlasannya, jika amal perbuatan yang tidak menimbulkan rasa puas maka berarti ada penyakit hati yang membuat tidak ikhlas.
Dengan tujuan pemurnian amal perbuatan (ibadah) yang dikembalikan kepada-Nya dalam wujud penyerahan diri secara total hanya dari dan untuk Allah semata.
Inilah keterkaitan yang tidak terpisahkan masing-masingnya antara hati yang bersih, penyerahan diri, sabar dan bersyukur, yang bila salah satunya cacat maka amal perbuatannya takkan bernilai di mata Allah. Jadi semuanya adalah satu kesatuan syarat bagi para pencari dalam perjalanan menuju Dia yang Haqq. Itulah yang menyebabkan keikhlasan tidak sesederhana pengucapannya. Mudah diucapkan tetapi sukar menjalankannya. Makanya, kadang terasa kesal, mendengar orang sering berucap, “sudah, ikhlaskan saja....” Padahal sudah capek-capek kerja...... Itulah yang dimaksud dengan salah satunya ada yang cacat, maka rusaklah perjalanannya.
Hidup adalah ibadah, yaitu amal perbuatan. Oleh sebab itu, bila tidak mau merasa kecewa, keikhlasan adalah mutlak mau tidak mau harus menyertai aktifitas. Karena itu di setiap amal perbuatan (ibadah) mulailah dengan niat yang ikhlas.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS al An’am 162-163)
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS Shad 82-83)
Dikarenakan amal perbuatan (ibadah) harus disertai keikhlasan, justru inilah yang menjadi sasaran tembak iblis agar manusia menjauhi keikhlasan dalam setiap amal perbuatannya. Dan berhati-hatilah serta selalu waspada terhadap tipu daya iblis yang memberikan pemandangan indah tetapi justru menjerumuskan. Dan dia tiada pernah berhenti membisikkan bujuk rayunya yang menyesatkan.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS al Hijr 39)
Padahal iblis tidak memiliki kekuasaan atas manusia (terutama yang ikhlas), dia hanya merangsang angan-angan keinginan manusia. Dikuatkannya keinginan manusia melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah dan menarik hati manusia yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan manusia itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat terwujud kepada manusia-manusia yang berpaling dari jalan Allah. Karena itu manusia diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam  setiap amal perbuatannya agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada kehinaan dirinya.
Bila dicermati dan dipahami secara mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri manusia sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir dan semakin kuat mencengkeram jiwa kita selalu dalam pengaruhnya. Begitupun pada malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada cahaya-Nya maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi jiwanya. Manusia yang secara tak sadar terus menjauhkan diri dari cahaya Tuhannya, maka justru dia semakin mendekatkan dirinya kepada kesesatan bujuk rayu iblis.
Pada dasarnya manusia menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi tidak mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata memandang. Tetapi sayangnya jiwa tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat menerapkannya kedalam memahami  akan tempat kemana dia seharusnya bergantung dan mendapatkan perlindungan.
“Tidakkah kamu tahu bahwa Allah-lah pemilik kerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada bagimu pelindung dan penolong selain Allah”. (QS al Baqarah 107)
Maka beruntunglah orang-orang yang menyucikan hati dan jiwanya dengan ikhlas dalam amal perbuatan (ibadah)nya hanya untuk mendapatkan rahmat dan ridha Allah SWT yang tiada berbatas dan terus datang menghampirinya selama ia menjaga pada jalan yang telah ditetapkan-Nya.

5.    Ingat (Dzikir)
Hal utama ke lima ini jauh lebih mudah dibandingkan dengan empat hal sebelumnya, akan tetapi peranannya jangan sampai disepelekan karena hal ke lima inilah yang membuka pintu-pintu menuju kebersamaan manusia dengan sang Pencipta, sumber segala yang Haqq.
Bila keempat hal utama diatas tadi tidak ingin lepas dari setiap laku hidup, hendaklah selalu mengingat-Nya setiap saat, karena intensitas godaan dan bujuk rayunya amatlah sering disetiap saat pula. Dengan berdzikir maka hati menjadi tenang dan tentram sehingga kewaspadaan akan selalu terjaga, dan secara otomatis hati tidak akan rela kehilangan keempat hal utama tersebut.
“....dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir (mengingat) Allah hati menjadi tentram”. (QS 13:28)
Shalat adalah juga termasuk ingat (dzikir), akan lebih bermakna dan memiliki nilai bila melakukannya dengan khusyu’ dikarenakan begitu banyak doa yang dibacanya dalam bahasa yang bukan bahasa kita. Kekhusyu’annya bergantung kepada pemahaman arti dan makna doa yang kita baca dalam shalat, serta menyadari bahwa sedang berhubungan dua arah dengan Allah SWT, sang Penguasa dan Raja dari segala raja.
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepadaKu”.  (QS Thaha:14)
Memperbanyak shalat, yaitu dengan menambahkan shalat-shalat sunath adalah juga sebagian cara memperbanyak ingat (dzikir). Di sisa waktu, dapat dilakukan dengan dzikir khaffi disetiap saat sekalipun didalam kesibukan kerja, karena dzikir ini dilakukan didalam hati dengan menyebut nama-nama Allah (asma al Husna), yang tidak memerlukan gerakan maupun lisan bacaan doa yang terdengar, tidak pula menggangu konsentrasi pekerjaan. Sehingga pekerjaan menjadi amal perbuatan (ibadah) yang terjaga dari godaan dan bujuk rayu iblis.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Shalat, dzikir, mengingat Allah itu ternyata bertujuan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Berarti, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak disukai Allah SWT. Dan tidak berbuat keji dan mungkar merupakan amal perbuatan (ibadah) yang utama. Shalat, dzikir, atau mengingat Allah adalah sebuah sarana atau cara untuk mencapai keutamaan itu, yaitu tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Kemudian, simaklah firman Allah dalam Surah al Ma’un berikut ini,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS al Ma’un 1-7)
Orang yang mendustakan agama, diantaranya menghardik (berlaku keji kepada) anak yatim, dan tidak memberi makan orang miskin, adalah bagian dari perbuatan keji dan mungkar. Termasuk perbuatan riya dan enggan memberikan bantuan. Yang Allah kehendaki adalah agar manusia meninggalkan perbuatan ini. Dan Allah mencela sekaligus mengingatkan, kecelakaan bagi orang-orang yang melakukan ibadah shalat tetapi lalai terhadap shalatnya, yang lalai terhadap Apa dan Siapa yang diingatnya, yaitu Allah SWT. Seharusnya, dengan shalat (mengingat) kepada-Nya telah dapat mencegah dirinya dari perbuatan tersebut. Ingatlah, mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah lebih besar keutamaannya (ibadah yang utama).
Semakin terbuka hijab yang menutupi satu per satu, dan pemahaman pun datang satu per satu. Akan tetapi semakin paham, rupanya semakin terasa berat perjalanan ini. Tidak, tentu tidaklah demikian. Yang membuat terasa berat adalah angan-angan yang ditampakkan atau dibisikkan iblis. Percayalah, keikhlasanlah yang membuat semua itu menjadi ringan tak terasa berjalan dan membuat kemudahan-kemudahan pada perjalanan selanjutnya.
Dirikan dan tegakkanlah shalat dengan khusyu’ dan ikhlas untuk mengingat-Nya, yang membuat hati dan jiwa dapat hidup menggerakkan setiap amal perbuatan (ibadah) yang membawa rahmat kepada sekitarnya, sebagai wujud dari sifat-sifat Allah yang membumi.
Sesungguhnya apa-apa yang manusia makan dan minum serta udara yang dihirup dari rahmat Tuhan adalah dzat-dzat atau unsur-unsur yang masuk kemudian diurai oleh  tubuhnya menjadi energi yang keluar dari tubuh untuk aktivitas amal perbuatan (ibadah).  Kesemua energi yang masuk dan keluar tersebut hendaklah bersih dari unsur-unsur keji dan mungkar. Karena sesungguhnya, energi-energi tersebut tidaklah musnah, hanya berubah bentuk atau terurai dan tetap berada di alam ini, yang kelak pada hari pengadilan adalah sebagai bukti dan saksi atas amal perbuatan manusia. Sebagai catatan amal.
“Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS al Ma’idah 93)
Ibarat, air yang diubah menjadi tinta kemudian menjadi kata-kata yang menyusun kalimat sebuah cerita pada lembaran-lembaran buku. Atau dalam bentuk audio, ibarat siaran radio yang berada di udara kemudian ditangkap radio penerima kemudian direkam kedalam kaset, cd, hard disk, ataupun flash disk. Atau yang dalam bentuk audio visual, seperti siaran teve yang dapat ditangkap televisi di rumah kemudian direkam kedalam bentuk video kaset, vcd, ataupun dvd. Dan semua itu untuk dapat dibaca, didengar, dan dilihat kapan saja diperlukan. Seperti itulah apa yang dimaksud kitab catatan amal yang akan dibuka kelak pada hari penghisaban.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS an Naba’ 27-29)
Ada sebuah cerita, pernah suatu kali didalam dzikirnya, Syaikh Abdul Qadir Jailani, seorang tokoh ulama ternama di abad XI, dan ketika sedang mengalami ekstase atau rasa dengan suasana yang sulit untuk diterangkan, tiba-tiba datang suatu cahaya terang benderang meliputi seluruh ruangan tempatnya berdzikir, dan kepadanya dibisikkan bahwa dia telah sampai pada puncak kesempurnaan dan telah dibebaskan oleh Allah kepadanya segala ikatan syari’at serta telah menghalalkan semua yang sebelumnya diharamkan. Namun karena sang Syaikh yang telah memiliki ketinggian ilmu ma’rifat ini segera menyadari bahwa iblis telah menyusup dan berusaha menyesatkannya dengan cara seperti itu. Allah SWT cukup dengan memberikan ilmu-Nya, tidak perlu memberitahukan bahwa itu adalah perbuatan atau tipu daya iblis.
Coba bayangkan, seandainya kejadian tersebut terjadi pada hamba yang masih belum dibayangi keikhlasan yang kuat dalam ibadahnya, ditambah lagi ilmu yang belum mumpuni, serta tidak datang petunjuk dari Allah untuk menyelamatkannya. Tentu tersesatlah hamba ini.
Di sesekali kesempatan, luangkanlah waktu untuk melakukan dzikir lisan. Pilihlah waktu dan tempat yang mendukung kenyamanan mengerjakannya tanpa menggangu pihak lain. Lakukanlah dengan khusyu’ agar mencapai suasana bathin yang hening dari hiruk pikuk keduniaan. Lepaskan pikiran, dan fokuskan hati/rasa kepada kekosongan (fana), hindari seluruh keinginan yang tiba-tiba datang, jangan dituruti, karena itu adalah godaan. Lafadzkan kalimat Tauhid, la ilaha ilallah sebanyak-banyaknya, untuk memfokuskan tujuan hanya kepada-Nya.

II.    Perjalanan Tahap kedua, Ma’rifat (ayn al yakin)
Ma’rifat adalah alamnya para nabi, waliy, dan orang-orang suci lainnya, akan tetapi bukan berati manusia lainnya tidak dapat memasuki alam ini. Berarti, hanya dengan mensucikan diri atau jiwa dahulu baru bisa menembus ke alam ini. Ini adalah alam cinta makhluk dengan penciptaNya. Alam kesucian.
Bila alam tarikat telah dilalui, bukanlah tidak mungkin alam ma’rifat inilah, kini, yang sedang dihadapi. Hanya tinggal menumbuh kembangkan rasa cinta kepada Allah semata, dan tetap dengan meningkatkan kualitas tarikat sebelumnya.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sunguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya.” (QS al Insyiqaq 6).
Jadi jelaslah bahwa bila manusia telah berusaha dengan sungguh-sungguh dengan kemurnian (keikhlasan) hanya dan untuk ridha-Nya, maka janji Allah akan datang, yaitu bertemu dengan-Nya. Berbahagialah, karena janji Allah adalah benar.
Pada tahap ini, apa-apa yang dialami dan dirasakan manusia berbeda satu sama lainnya, tidaklah sama. Dan umumnya mereka rahasiakan, tidak diceritakan kepada sembarang orang. Mungkin dikarenakan takut malah menjerumuskannya kepada perbuatan riya. Atau mungkin takut dicap sebagai pembohong bila mudah menceritakan ke sembarang orang. Yang jelas, kita tidak akan mengulas apa-apa yang dialami mereka, akan tetapi hanya kepada apa-apa yang harus dilakukan untuk dapat seperti mereka para pencari yang telah bertemu dan mencintai serta dicintai Allah SWT.

Cukuplah Teladan Rasulullah SAW sebagai Acuan Fitrah Kemanusiaan
“Katakanlah (Muhammad): jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu: Allah maha Pengampun, maha Penyayang”. (QS Ali Imran 31)
Ikutilah nabi Muhammad. Ikuti amal perbuatan (ibadah)-nya, yang memiliki akhlak terpuji sebagai acuan manusia. Yang tiada seorang pun bisa menyamainya?
Tidak, hanya Allah sajalah yang tiada seorangpun makhluk-Nya yang dapat menyamaiNya. Atau setaraf denganNya. Kan Allah sendiri yang menyuruh manusia untuk mengikutinya, berarti bisa kita mengikuti akhlaknya yang terpuji itu. Terbayang berat ya...... Ya, itu berarti kita mengakui ketinggian akhlak beliau. Tapi, janganlah gusar dan putus asa, karena kita disuruh mengikuti bukan menyamai apalagi mendahului. Jadi, walaupun kita masih jauh dibelakang, akan tetapi arahnya tetap sama dan masih pada jalur untuk tetap mengikutinya. Jadi, untuk langkah awal, tetapkanlah selalu pada jalurnya.
Ada satu hal yang sangat perlu untuk dicermati dan diteladani dari beliau, yang kebanyakan disepelekan kebanyakan manusia, dan hampir saja terlupakan serta tak menyadari betapa besar pengaruhnya pada kehidupan manusia, yaitu kemurahannya menyampaikan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadanya untuk disebarkan atau diamalkan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, bahkan sampai saat ini ilmunya masih terus menerangi sebagian populasi manusia di bumi.
Dialah rahmat bagi alam semesta. Mercusuarnya manusia yang mengarahkan kepada keselamatan. Islam. Dia yang yatim piatu dan ummi. Suatu pencapaian yang luar biasa dari seorang manusia yang pernah hidup di bumi. Mungkin inilah yang disebut Nur Muhammad. Terang sepanjang masa dari semenjak gelar al amin tersandang pada dirinya. Sampai di situlah pemahaman saya pada Nur Muhammad.
Dengan tidak mengurangi nama besar ulama-ulama sebelumnya, bahwa paham Nur Muhammad yang dimaksud para ulama, adalah Nur Allah, yaitu pancaran cahaya-Nya yang mengawali ciptaan pertama-Nya. Dari pancaran cahaya-Nya itulah segala wujud dasar terbentuk, dan (secara ilmiah) partikel-partikel wujud dasar tersebut terus berkembang dan ber-evolusi (dalam hukum-Nya) sebagian saling berinteraksi dengan tumbukan dan gaya gravitasi semesta membentuk wujud yang sedikit lebih kompleks dan semakin lebih kompleks lagi ke tingkat yang lebih tinggi dan proses ini terus berlangsung hingga saat ini. Proses inipun berlaku pada penghuni bumi, kepada seluruh makhluk. Dan berlangsung terus hingga akhirnya kembali kepada penyusutan alam semesta untuk proses balik kembali kepada Asal, dengan kata lain proses peleburan yang mengembalikan wujud-wujud kompleks kepada wujud dasar akibat gaya gravitasi pada pusatnya yang maha dahsyat kuatnya, yaitu pulang kepada- Nya, ilaihi raji’un.
Dengan ketetapanNya (sunathullah), proses berkembang dan ber-evolusi  itulah yang menjadikan, bintang-bintang, gugusan bintang, planet-planet, bumi dan bulan terbentuk. Bahkan pada wujud-wujud yang lebih kompleks, yaitu makhluk-makhuk semuanya, dari mulai malaikat, manusia, iblis, jin, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pada benda-benda langit yang terbentuk dan tak terhitung jumlahnya, mungkin juga berkembang biak seperti hewan dan manusia, cuma perkembang biakannya yang tidak terdeteksi. Yang jelas, pasti ada interaksi diantara mereka. Awalnyapun tumbuhan tidak diketahui proses perkembang biakannya, tapi lama kelamaan akhirnya terkuak juga. Seperti biji-bijian yang terbang terbawa angin dan jatuh serta tumbuh ditempat yang jauh dari induknya, dan ada juga biji-bijian yang dimakan burung kemudian dikeluarkan sebagai kotoran dan tumbuh di tempat yang jauh dari induknya. Dan ada yang atas andil campur tangan manusia. Seluruh makhluk ciptaan-Nya ini mengalami siklus keruntuhan (kematian/terurai) dan kebangkitan terus berulang untuk mencapai kesempurnaan.
Mengapa iblis tercipta setelah manusia?
Pada QS al Baqarah ayat 34 disebutkan, bahwa seluruh malaikat diperintah sujud kepada Adam oleh Allah SWT, maka sujudlah semuanya kecuali iblis.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS al Baqarah 34)
Artinya, malaikat yang membangkang dari sujud kepada Adam itulah yang disebut iblis. Jadi adanya iblis adalah setelah adanya Adam. Dan akhirnya iblis berprofesi sebagai penghasut manusia kepada jalan yang sesat. Juga ditegaskan lagi di QS al Baqarah ayat 102, tentang setan-setan, yaitu malaikat Harut dan Marut, yang mengajarkan ilmu sihir di Babilonia.
Cahaya pun, yang sebagai unsur dasar penciptaan setiap makhluk Allah, pada malaikat, cahaya selain bersifat menerangkan, ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang bersifat panas inilah malaikat pembangkang menjadi ada dan disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti kita tahu, malaikat tercipta dari cahaya sedangkan iblis dari api. Cahaya yang berubah menjadi api begitu banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar, dan bukan benda yang terbakar itulah apinya, bukan pula terangnya, tetapi nyalanya. Jelas kita dapat membedakan antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu cahaya yang menjadikan terang, dan kita dapat mengambil manfaat dengannya, juga cahaya yang menjadikan nyala api yang membakar. Dan keduanya membutuhkan benda (sebagai fasilitas) untuk diketahui keberadaannya. Semua benda ada terlihat karena ada cahaya yang menyentuhnya. Terangnya pun ada pada benda.
Keduanya pun dapat bertempat pada diri kemanusiaan agar fungsinya lebih berarti. Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi menghasut. Yang satunya memberi petunjuk dengan terangnya, sedangkan yang satunya lagi menghasut dengan membakar. Akan tetapi, ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat bagi setiap diri insan kemanusiaan.
Mengapa iblis membangkang dan menjadi musuh manusia?
Itulah ketetapan Allah. Dan pada manusia akan timbul dan bertambah kesempurnaannya dengan adanya iblis yang membangkang dan menjadi musuh manusia. Kesempurnaan adalah kemenangan. Diperlukan suasana pertandingan (penyaringan) untuk sebuah kemenangan, penonton sebagai suporter yang membakar semangat dan pelatih sebagai pemberi petunjuk, serta wasit sebagai hakim yang memiliki hukum pertandingan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: Sungguh. Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya............”. (QS al Hijr 28-29)
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar”. (QS ar Rahman 14)
Dari ketiga ayat tersebut, menyiratkan, bahwa setelah tanah yang dibentuk-Nya dalam penciptaan manusia, Allah hendak menyempurnakannya dengan membakar seperti dalam pembuatan tembikar. Dengan demikian, ternyata, iblis pun berguna menjadi salah satu komponen penyaring untuk mendapatkan manusia-manusia unggul, sehingga menuju kepada Fitrah seperti yang telah ditetapkanNya. Yaitu, sebagai makhluk Allah yang menyadari tujuan penciptaannya sebagai khalifah di bumi yang merupakan juga perwujudan (sifat-sifat)Nya sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Memang ini adalah alamnya para nabi dan orang-orang suci, tetapi merekapun berusaha dengan keras lagi ikhlas untuk mengabarkan dan mencontohkan perilaku terpuji agar tercipta kehidupan yang harmonis di lingkungannya. Tidak sedikit diantara mereka malah mendapat pertentangan dari kaumnya. Akan tetapi itulah ketetapan Allah, yang menghendaki kesempurnaan pada seluruh makhluk-Nya seperti juga manusia menghendaki kesempurnaan dari apa-apa yang dimiliki dan diingininya. Karena manusia pun diciptakan berdasarkan gambar-Nya.
Dan pada diri manusia, pada dasarnya ada kecendrungan untuk pula mencapai kesempurnaan, dengan harapan kemapanan tentunya, tetapi karena ketidak relaan iblis melihat itulah yang mendorong kebanyakan manusia terperosok kepada kehinaan, disebabkan memperturutkan hawa nafsu bujuk rayunya. Unsur-unsur kebendaannya masih kuat mempengaruhi jiwanya. Padahal pada jiwa inilah Allah menghendaki manusia dapat mengaturnya, sehinggga menjadi jiwa yang tenang dan teratur serta terkendali. Jiwa yang dapat mendatangkan manfaat rahmat Allah kepada sesama makhluk disekitarnya dimanapun dan kemanapun dia berada. Tetapi kebanyakan dari manusia yang tak bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepadanya, dan iblis pun segera membuatnya lupa akan jiwanya yang semakin terperosok. Dikiranya menuju pada kenikmatan yang abadi, padahal ia sedang menuju pada kehinaan.
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, adalah seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning dan kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya . Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu”. (QS al Hadid 20)
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya. Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia sungguh dalam kerugian, seperti dalam firman-Nya,
“Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran”. (QS al Asr 1-3)
Dan Allah memberikan petunjuk kepada manusia di hadapan matanya dalam kehidupan sehari-hari akan contoh-contoh untuk dapat dipahami dan dapat menyadari kekeliruannya, dan segera memperbaiki arah tujuannya.
Siapkanlah jiwa untuk disentuh oleh cahaya Allah, yaitu cahaya yang menyentuh diri para nabi dan orang-orang suci. Cahaya yang memberi petunjuk dan menerangi hidup kepada keselamatan dan kesenangan yang sesungguhnya. Cahaya yang membawa kepada ketenangan dan ketentraman jiwa yang cenderung galau dan sesat. Yaitu cahaya yang menerangi jalan lurus langsung mengarah dan menuju Allah SWT.
Kepada Allah-lah tempat kembali. Kembali dari penyesalan dan berusaha membersihkan jiwa serta membawanya kepada arah jalan yang telah diterangi oleh cahaya Nur Muhammad sebagai panduannya menuju kepada yang Maha Haqq. Inilah tempat pulang terakhir. Kesejatian.
Ditempat inilah manusia dapat ‘menemuinya’ menceritakan berbagai hal tentang apa-apa yang terjadi kemudian disesalinya, lika-liku perjalanannya yang pada akhirnya dapat bertemu juga dengan-Nya, harapannya akan petunjuk-petunjuk dari-Nya untuk ia pakai sebagai pedomannya, dan semakin larut dalam suasana tersebut. Disinilah tahap awal pertemuan yang membawanya kepada kerinduan akan rasa untuk terus dapat menemui dan bertutur kata dengan-Nya.
Dan akan diilhamkan kepada manusia apa-apa yang harus dilakukannya sebagai petunjuk dari rasa rindunya terhadap Allah SWT dan sebagai penawar rindunya.
“Seeungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk”. (QS al Lail 12)
Dan setiap apa-apa yang dibakar iblis terhadap manusia, bujuk rayunya, dan bisikan-bisikan menyesatkan adalah suatu proses menuju kesempurnaan dirinya, apabila ia menyadari dan segera memperbaiki arah. Yang tentunya adalah karena rahmat petunjuk seperti yang dikehendaki Allah SWT.
Kemungkinan, pada tahap selanjutnya seperti dalam cerita para nabi, entah karena pada dirinya yang telah mencapai kesadaran tertinggi, ia lebih merasa ingin banyak berbuat daripada hanya bercakap-cakap, disela-sela kesibukan kesehariannya maka Allah-lah yang menemui atau menyuruh utusan-Nya (Jibril) untuk menyampaikan pesan-pesan atau wahyu dari-Nya. Tetapi tetaplah ia tak pernah lupa untuk selalu mengingat-Nya, dan mengambil waktu-waktu tertentu untuk dapat menemui Tuhannya.
Sementara pada diri rasulullah saw, sekali waktu, Allah menyuruh Jibril menjemputnya untuk rekreasi melakukan perjalanan malam, isra, dan  mi’raj, untuk menunjukkan kuasa dan membuka mata lahir dan bathin beliau, serta menyaring keimanan umatnya akan keyakinan peristiwa yang sungguh mudah bagi Allah yang menguasai angin dan waktu. Dan Allah maha Berkuasa atas segala seuatu.
Kembali lagi ke tahap awal bertemu, disinilah kepekaan rasa begitu sangat berperan untuk dapat menangkap suasana itu, akan tetapi belum pernah ada yang  dapat mengungkapkan dan menuangkannya kedalam kata-kata. Sehingga suasana ini hanya menjadi rahasia yang tak terungkap kepada orang lain. Dan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Hanya tanda-tanda pada diri manusia yang telah bertemu dan itupun hanya dapat diketahui oleh segelintir orang yang juga sudah peka mata bathinnya.
Bagi manusia lain, pada umumnya, mereka memandang aneh perilaku manusia yang telah berada pada tahap ini. Menghindari kemewahan dan kemegahan hidup dunia, serta hidup seadanya yang seakan-akan tiada mempunyai cita-cita. Hidup dijalani seperti sungai yang mengalirkan airnya begitu saja tanpa variasi, sedari dulu hingga sekarang tetap begitu. Sungguh diluar nalar mereka.
Yang terlihat di bagian luar memang seperti itu, tetapi sungguh didalam bathinnya kaya akan pengetahuan yang sebagian besarnya belumlah keluar, sementara sebagian lainnya keluar dalam bentuk ketenangan dan ketentraman sehingga meneduhkan sekitarnya. Itulah yang dirasakan dan dilihat mereka sebagai hidup apa adanya, monoton, tetapi menciptakan ketenangan dan ketentraman pula mereka yang melihat dan bersamanya.
Hidup zuhud dengan kesederhanaannya membuatnya cukup merasa puas, tidak ada lagi ambisi yang ingin digapainya. Keikhlasannya selalu mengiringi setiap amal perbuatan yang juga ibadahnya yang membuatnya seperti tak lagi memiliki kebutuhan. Kesulitan yang ditemui dianggapnya kemudahan, kesedihan baginya adalah kebahagiaan, dan kekurangan ternyata kecukupan. Tiada pernah keluhan terucap pada bibirnya, malah rasa syukur tercermin dari senyumnya. Sungguh luar biasa orang yang berada pada tahap ini.
Kemanakah larinya iblis dari manusia ini?
Iblis telah ciut, merasa putus asa, kehabisan akal menghadapinya. Tetapi hendaknya, jagalah terus kewaspadaan terhadap godaan dari bisikan-bisikan sesatnya. Sesungguhnya dia tak pernah rela terhadap keikhlasan manusia dalam setiap amal perbuatannya. Inilah kemuliaan dari seorang manusia yang dapat membedakan terang dan gelap, dan menyadari batas-batas kecintaan makhluk dengan Khaliknya. Allah jelas menyukai dan lebih mencintai makhluk-Nya yang sadar diri akan posisinya, dengan merendahkan dirinya ketika menghadap dan bersamanya.
Mungkin, bertambah ciutlah si iblis ini menghadapi manusia seperti ini, dan memadamkan wujud apinya dan melebur bersama malaikat lainnya untuk tunduk sujud kepadanya.
Di alam ini sang api tidak dapat membakar hati  para pecinta, dikarenakan kesejukan jiwa yang tentram dan cahaya ilmu yang melindungi dan menaunginya selalu dalam rahman dan rahim-Nya. Disini, pada manusia ini, ia telah mengerti akan hakikat kehidupan. Dan ini adalah amal perbuatan terakhir dari perjalanan sang pencari untuk pulang dan tinggal bersama-Nya (Ilaihi raji’un). Bersama al Haqq. Hakikat dari segala HAKIKAT.
III.  Perjalanan Tahap ketiga, Hakikat (haqq al yakin)

1.    Misteri Hakikat Segala Sesuatu
Manusia berusaha memahami hakikat suatu objek dengan mendeskripsikannya pada keterbatasan yang dimilikinya. Dan setiap hasil suatu pemahaman akan diperbaiki oleh pemahaman berikutnya yang timbul akibat reaksi dari pemahaman sebelumnya. Begitu seterusnya hingga mencapai kesempurnaan pemahaman. Proses interaksi menuju kesempurnaan inipun atas kehendak Allah SWT (sunathullah). Tiada yang luput dari kuasa-Nya, inilah yang menjadikan pemahaman pun hidup dan berkembang menuju kesempurnaan.
Banyak ulama-ulama, para orang suci, dan para ahli pikir yang berusaha memahami hakikat ke-Tuhanan, kebanyakan melakukan olah laku dengan mengasingkan diri (untuk beberapa waktu) dari hiruk pikuk kehidupan dunia yang tentunya dapat mengganggu proses masuknya pemahaman. Ini disebabkan ketidak puasan hatinya akan pemahaman-pemahaman yang telah masuk kepadanya dan merasa terus mencari untuk memuaskan dahaganya yang selalu terus bergolak.
Pemahaman-pemahaman yang dirasanya tanggung, belum memuaskan membuatnya ingin mendapatkan keyakinan hakiki langsung dari Tuhannya. Manusia ini tidak mungkin akan mengharapkan pengetahuan dari selain-Nya. Hanya kepada-Nya lah ia menggantungkan harapan akan petunjuk-petunjuk kepada pemahaman akhir yang dapat memuaskan bathinnya.
Bukan ia tak paham bahwa semakin banyak ia mengetahui, maka akan semakin banyak pula kewajiban yang akan dituntut darinya. Dan ia sama sekali tidak memperdulikan hal itu. Itulah manusia. Hawa nafsu kebaikan pun ikut membujuknya untuk terus mengupayakan tehadap apa yang diambisikannya. Sungguh, kalaulah bathin dan jiwanya tidaklah kuat, ia akan mengalami gangguan kejiwaan berat. Hanya petunjuk Allah-lah, yang datangnya satu per satu, tahap per tahap, yang dapat menguatkan jiwanya.
Bila telah banyak pemahaman yang datang satu per satu tentang segala sesuatu, sungguh ia akan melihat dengan terang akan keterkaitan setiap sesuatu tersebut, dan membawa serta mengarahkannya kepada pemahaman pada kesatuan wujud. Wujud Tunggal (Wahdat al Wujud). Akan tetapi ia tak pernah dapat menemui seperti apa sang Wujud ini, ia hanya dapat merasakan keberadaan-Nya. Tak terjangkau oleh inderanya, tak terdefinisikan oleh akalnya, dan tak tergambarkan oleh angan-angannya. DIA-lah yang Maha Halus. Bahkan tak tersaring oleh hatinya, hanya merasakan keberadaan-Nya.

2.    Hakikat Dari Segala HAKIKAT
Adalah suatu kemustahilan memahami Dia yang Maha Haqq  dengan benar/haqq. Tentulah hanya Dia yang memahami diri-Nya dengan benar. Dan tidaklah mungkin siapapun yang memahami dengan benar tentang Dia selain diri-Nya. Seandainya pun ada seseorang yang merasa telah paham, ia takkan dapat mendefinisikan pemahamannya. Takkan dapat menuangkannya kedalam kata-kata. Sungguh tak ada pemahaman yang memadai untuk dituangkannya kedalam bentuk penjelasan yang hakiki tentang HAKIKAT SEJATI. Bila sampai ada, maka runtuhlah kesejatiannya sebagai HAKIKAT SEJATI. Dan itu takkan pernah terjadi. Suatu kemustahilan.
Banyak angan dan khayal yang tercipta untuk melukiskan keadaan orang-orang yang menempuh pencarian ini. Berusaha keras dengan mengeluarkan segala macam pengetahuannya yang justru semakin menjauhkannya dari hakikat yang sesungguhnya. Seperti orang-orang yang mengilustrasikan Buraq (sebagai kendaraan rasulullah saw ketika isra dan mi’raj) kedalam bentuk lukisan/gambar, sedangkan rasulullah saw mengilustrasikannya dalam kalimat-kalimat yang berupa kiasan karena kesulitan menerangkan kepada orang lain untuk dapat dipahami seperti pemahamannya. Apalagi mengilustrasikan Dzat Allah SWT. Subhanallah.
Inilah, dikarenakan cinta yang mendalam, maka dengan keras berusaha memahami hakikat Allah SWT. Akan tetapi, sungguh Allah tak pernah membenci perbuatan ini. Justru Dia pun sangat mencintai manusia seperti ini. Tapi sayangnya manusia takkan sanggup memahami Hakikat-Nya, dikarenakan keterbatasannya sebagai makhluk.
Apa jadinya, jika seorang makhluk dapat memahami hakikat-Nya, maka ia, dikarenakan cinta dan penghambaannya, akan berusaha terus melayani Allah-nya disebabkan ia telah memahami segala keinginan-Nya. Yang ada adalah dia sebagai makhluk yang justru menyiapkan segala keperluan-Nya, bahkan apa-apa yang dibutuhkan-Nya. Sungguh suatu hal yang sangat mustahil. Sekalipun ia merasa telah bersama-Nya, dalam Wujud-Nya. Sekalipun begitu, kebersamaan tak menjamin memahami dengan haqq kepada Yang Maha Haqq.
Dikarenakan memahami bahwa tiada wujud lain selain Wujud-Nya, maka pada tahap hakikat ini, para pencari berusaha menghilangkan keakuannya dan berusaha mewujudkan hanya keAKUan Allah SWT yang ada pada dirinya. Sehingga, apabila hal ini telah terbiasa, maka segala perbuatannya adalah perbuatan Allah, segala ucapannya adalah ucapan Allah, segala yang dipikirkan adalah pikiran Allah, dan segala kehendaknya adalah kehendak Allah. Dia berusaha mewujudkan Allah di bumi, yaitu pada dirinya. Dan apabila ini dia proklamasikan, justru berbalik akan membahayakan dirinya.
Dampak dari ambisi seperti ini adalah, timbulnya pertentangan dari banyak pihak, karena pihak-pihak lain merasa harus tunduk kepadanya. Karena hanya dia yang benar dan semua yang lain akan selalu dalam kesalahan, serta bergantung kepadanya akan petunjuk untuk mendapat keselamatan. Sungguh takkan rela para petinggi negara, maupun para petinggi ilmu, ataupun para ulama untuk memberikan kewenangannya hanya kepada seseorang manusia ini. Dan layaknya hal ini seperti di zaman para nabi, akan menimbulkan kegaduhan baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Dampak paling ekstrim kepadanya adalah cap sesat, yang berujung pada kematian dengan hukuman mati dari masyarakatnya. Seperti yang di alami Husein ibn Mansur al Hallaj di Irak (± 900 M) dan Syaikh Siti Jenar di tanah Jawa (± 1500 M). Tidak usah memproklamirkan diri sebagai Wujud Allah, sebagai rasul-Nya saja maka pertentangan yang hebat harus segera siap dihadapi. Berapa banyak ayat-ayat di dalam al Qur’an yang menceritakan kisah para rasul yang ditolak dan ditentang kaumnya, bahkan banyak diantaranya yang dibunuh. Sungguh itu adalah kisah-kisah yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi manusia.
(QS 3 - 80)
Sebenarnya, pemahaman ini seharusnya menggiring manusia untuk mewujudkan sifat- sifat Allah SWT di bumi dalam bentuk amal perbuatan sehingga terciptalah manusia-manusia rahmatan lil ‘alamin yang membawa kesejahteraan kepada alam seluruhnya. Seperti itulah fitrah manusia yang Allah kehendaki.
Sesungguhnya, bila dipahami secara cermat dan penuh kehati-hatian, mereka berdua tidaklah salah ataupun sesat di mata Allah, karena mereka tidak pernah melakukan amal perbuatan tercela atau yang bertentangan dengan apa-apa yang diperintahkan Allah, malahan mereka berusaha mewujudkan Allah pada dirinya. Hanya karena keteledoran dengan memproklamirkan-nya, sekalipun tujuannya adalah mengajak agar orang lain memahami dan berusaha mewujudkan Allah pada diri masing-masing sepertinya.
Ini adalah pemahaman tingkat tinggi yang tidak banyak orang dapat pahami begitu saja. Seharusnya, jika hendak diturunkan, hanya kepada orang-orang pilihan, dan secara bertahap sesuai dengan kemampuan masing-masingnya agar ajaran ini dapat diterima tanpa cepat ditolak sebagai kesesatan.

3.    Isa al masih AS (Konsep Ketuhanan Yesus)
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Wahai Isa  putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah. (Isa) menjawab: Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada padamu. Sunguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib”. (QS al Ma’idah 116)
Di dalam sejarahnya, konsep ketuhanan Yesus ini berkembang pesat di Eropa pada abad ke 2 setelah penyaliban Yesus, khususnya Roma yang mengambil inisiatif konsep ini kemudian menyebarkannya ke seluruh Eropa, serta kemudian ke seluruh dunia berdasarkan kekuasaan kepausan dengan hasil konsili-konsili (ijma yang menjadi fatwa para ulama nasrani) yang menetapkan Trinitas sebagai dasar iman ketuhanan. Yang juga  membabat habis sampai ke akar-akarnya para pendeta maupun uskup-uskup yang menentang konsep ini di seluruh Eropa hingga Afrika. Bahkan sampai pada abad ke 15, para ilmuwan dengan penemuan-penemuannya yang menambah khasanah ilmu pengetahuan pun yang bertentangan dengan fatwanya terkena hukuman penjara dan hingga hukuman mati. Seperti yang dialami oleh Galileo Galilei, ia duhukum mati karena mengumumkan hasil penelitiannya yang tidak selaras atau sesuai dengan kitab Kejadian (Genesis), yaitu di dalam kitab ini disebutkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta., sementara ia melalui teleskopnya mendapati bahwa bumilah yang bergerak mengitari matahari.
Padahal di tempat asalnya, Yerusalem yang pada saat itu dibawah kekuasaan Roma, setelah penyaliban Isa al Masih, tidaklah demikian. Para pengikutnya lari karena dikejar-kejar dengan ancaman hukuman mati. Pengejaran ini sampai ke Eropa, yang justru malah berkembang pesat dan bahkan dijadikan agama resmi kekaisaran Roma.
Marilah kita pahami secara mendetail mengapa konsep ini dapat diterima sebagian manusia yang berada di muka bumi ini.
“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata: wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk diantara orang-orang saleh”. (QS Ali Imran 45-46)
Perhatikan dan pahami makna dari kata dan kalimat yang dicetak tebal dan menghubungkannya dengan pembahasan pemahaman sebelumnya, yaitu hakikat dari segala HAKIKAT.
Kemudian,
 “Dia (Maryam) berkata: ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman: demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu”. (QS Ali Imran 47)
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus .......”. (QS al Ma’idah 110)
Ini adalah firman Allah SWT di dalam al Qur’an yang kita pun harus atau wajib mengimaninya. Mengapa ini jadi penting? Ini menjadi penting sebagai petunjuk dari Allah dalam mengarahkan menuju kepada pemahaman tentang konsep ketuhanan yang benar, sesuai yang dikehendaki-Nya. Yaitu Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Selanjutnya, didalam iman Kristen juga disebutkan, .....pada mulanya Ia adalah Firman, kemudian berubah menjadi anak manusia...... Selanjutnya Allah sebagai Tuhan Bapa dan Roh Kudus yang dianggap sebagai satu kesatuan di dalam kalimat syahadat mereka menjadi dasar konsep Trinitas yang wajib diimani umatnya.
Mengapa ini terjadi, dan begitu kuat mempengaruhi sebagian populasi bumi?
Ini tidak terlepas dari dari pemahaman masa lalu, yaitu pada masa-masa nabi Isa al Masih hidup,  pemakaian bahasa serta istilah-istilah yang menggunakan kata-kata dan kalimat kiasan yang indah didengar dan memukau para pendengarnya. Seperti anak-anak tuhan, tangan tuhan, di mata tuhan, dan lain sebagainya yang dapat disalah artikan bagi orang awam tetapi kemudian malah dikemas oleh para penguasa agama sebagai pemahaman yang wajib diimani. Yang juga di masa itu banyak orang yang membuat karya-karya sastra yang disukai masyarakatnya, bahkan hingga bercampur baur dengan kitab-kitab  yang berisi firman-firman Allah. Itu pulalah yang dikutuk dan disebutkan di dalam al Qur’an sebagai mereka yang suka menukar, menambahkan, dan merubah kitab Allah.
Ditambah lagi dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada Isa al Masih (seperti lanjutan ayat QS al Ma’idah ayat 110 yang disebutkan di atas),
“........ Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah, taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”. (QS al Ma’idah 110)
Cermatilah tentang seorang anak manusia yang lahir tanpa bapak kemudian menganggap Allah sebagai bapaknya, yang justru kelak ketika ia menjadi seorang yang terkemuka, dan apa-apa yang dianggapnya itu dianggap dan dibenarkan pula oleh pengikutnya. Dikarenakan dia adalah teladan yang baik untuk diikuti, dikarenakan setiap perbuatannya mengandung mukjizat-mukjizat perbuatan Tuhan, dan dikarenakan pula ia terlahir ajaib dan telah dapat berkata-kata kepada orang dewasa saat masih bayi (dalam buaian). Perbuatannya tak pernah mengandung cela bahkan mulia diantara manusia lainnya.
Sebagian umatnya yang percaya kepadanya, ada yang menganggapnya seorang manusia suci penyampai firman Tuhan, dan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan yang turun ke bumi berdasarkan sifat-sifat dan perbuatan yang luar biasa  yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia, akan tetapi kebanyakan pula yang anti terhadapnya akibat hasutan dan propaganda kaum Farisi yang terancam kedudukannya sebagai pemuka agama pada masa itu.
Kaum Farisi yang telah lama terlena kemewahan hidup akibat sistem yang telah terbentuk lama bahwa kaum Farisi adalah kasta suci yang dihormati bangsa Israel (Yahudi) sebagai pemegang mandat kependetaan tertinggi. Hal ini rupanya yang salah satunya menjadi kritikan Yesus (Isa al Masih) untuk dirubah dan diperbaiki sebagaimana ia mengemban amanat kerasulan-nya. Akan tetapi, mereka, dengan propaganda dan hasutannya kepada kebanyakan masyarakat termasuk pemerintah masa itu, berhasil menyeret dan menghukum mati Yesus pada proses penyaliban.
Selamilah, seolah-olah kita berada pada masa itu. Dimana pada masa itu, di Yerusalem dibawah imperium Romawi, mereka bani israil, sedang mengharapkan datangnya Mesiah (al Masih) dari keturunan David (Daud), seperti ramalan-ramalan dan nubuat-nubuat yang terdapat pada kitab-kitab mereka, sebagai raja yang kuat yang dapat mengusir penjajah.
Dia memang Mesiah yang ditunggu, tapi ternyata yang datang tidak seperti yang diharapkan sebagai pemimpin atau raja yang dapat menggalang dan membangkitkan persatuan untuk bertempur melawan penjajah Romawi Bizantium. Yang datang adalah orang yang penuh kasih, mengutamakan dan mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bukan seorang pejuang kemerdekaan seperti yang diharapkan kebanyakan mereka. Diantara mereka yang percaya menjadi pengikutnya, yang setengah percaya mengambil manfaat darinya, yang kecewa menjadi pengikut para penentang, dan sedangkan yang menentang yaitu para penguasa agama (kaum Farisi) berusaha melenyapkannya dengan membunuh yang pada akhirnya terjadilah kejadian penyaliban.
Mesiah (al Masih), yang berarti yang diurapi. Yang pada kehidupan budaya masyarakat israel adalah seremoni atau upacara penobatan seseorang dilakukan dengan pengurapan (dg minyak dari rempah-rempah) pada bagian kepala orang yang dinobatkan. Dan Isa al Masih memang mengalami upacara penobatan ini di sungai Jordan, dan yang menobatkannya adalah Johanes (nabi Yahya) anak dari Zakaria. Dan inilah sebagai awal mula upacara pembaptisan salah satu upacara spiritual umat Kristen sampai sekarang.
Isa al Masih, Mesiah, Yesus, Kristus, atau siapapun namanya adalah tetap seorang rasul Allah yang harus pula dihormati dan dijunjung tinggi namanya oleh kaum muslim sebab ia adalah manusia mulia yang telah menderita seumur hidupnya untuk kebaikan umatnya (bahkan Allah pun menyebutkan dia adalah seorang yang terkemuka di dunia dan akhirat).
Yang justru mengherankan, bani israil atau bangsa Yahudi (sekarang Israel) justru tetap pada agamanya (Ibrani), tidak (mau) beragama Kristen, yang menyalib Yesus dan mengejar para pengikut-pengikutnya untuk dihukum mati dan membiarkan bangsa lain yang memakai agama tersebut asal bukan bangsanya, malah dipuja dan dijadikan sekutu umat Kristen dunia. Sedangkan umat Muslim yang justru menghormati dan meninggikan Isa al Masih, sekalipun tidak menganggap Tuhan, tetapi menghormati dia sebagai anak manusia yang mulia, malah dimusuhi dan dibenci. Dan inilah yang dengan berbagai cara (terorisme, salah satunya) menganggap ini adalah provokasi dan propaganda zionisme terhadap bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika sebagai pemegang kekuatan dunia saat ini, dikarenakan wilayah negaranya yang dikelilingi bangsa Arab yang mayoritas muslim. Dan semenjak masa sesudah nabi Yaqub (Israil) memang anak keturunannya ini selalu membuat onar di manapun mereka menetap untuk menumpang hidup.

4.    Kadar Ketuhanan
Kembali kepada pembahasan tentang konsep ketuhanan Tauhid,
Pada dasarnya, setiap manusia harus menyadari bahwa ruh-nya adalah Ruh Allah yang ditiupkan-Nya saat kejadian penciptaan manusia dari mulai Adam sampai sekarang dan hingga akhir zaman.
 Hal ini disebutkan di dalam firman-Nya berikut ini,
“kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air sperma). Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya kedalam tubuhnya.....”. (QS as Sajdah 8-9)
“.......al Masih putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan ruh-Nya........”. (QS an Nisa’ 171)
Bagi para pencari dan pecinta memahami ayat ini sebagai dasar pemahaman Wahdat al Wujud, yaitu tiada wujud hakiki selain wujud-Nya. Berdasarkan pemahaman inilah, maka manusia dapat bersatu dengan Allah melalui ruh-Nya, sehingga segala amal perbuatannya adalah amal perbuatan Allah.
Akan lebih bijak, dan dengan kehati-hatian dalam memahami, adalah dengan rasa kebersatuan bersama Allah, yang dengan petunjuk-Nya, maka manusia terjaga dan terlindungi dari amal perbuatan yang tercela, serta dengan petunjuk-Nya tersebut, maka akan banyak diberikan pemahaman-pemahaman lain berikutnya yang semakin membawanya kepada kesempurnaan.
Bagi manusia yang perbuatannya jauh dari kebajikan dapat disebut dengan kadar ketuhanannya rendah (misal, kadar ketuhanannya 10 %). Karena yang dijadikan patokan amal perbuatan adalah sifat-sifat Tuhan, yaitu Maha Pemurah agar manusia menjadi pemurah mendekati kemurahannya Allah, Maha Penyayang agar manusia menjadi penyayang mendekati rasa sayangnya Allah, Maha Mengetahui agar manusia lebih giat menuntut ilmu untuk mendekati Maha Tahu, dan sifat-sifat Allah lainnya. Bagi para nabi mungkin memiliki kadar ketuhanan diatas 80% dan pasti dibawah 99%. Artinya manusia yang memiliki nilai semakin mendekati 100% adalah manusia yang sempurna.
Dan inipun dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui sendiri sudah sampai taraf mana dirinya memahami Hakikat Sejati.


Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar